Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1

Seekor alap-alap terkena sambaran petir dan meluncur menyedihkan hingga jatuh menghantam bongkahan batu yang menyerupai manusia sedang berlutut dan melolong. Alap-alap itu mendarat dan tak bernyawa lagi di sebuah desa yang telah terlupakan oleh peradaban. Sebuah desa terpencil di pinggiran wilayah yang terkena bencana meluapnya lumpur akibat pengeboran tak bertanggung jawab. Desa itu sendiri, bahkan lebih buruk nasibnya dari desa-desa tetangga yang lumat berkubang lumpur. Seluruh penduduk desa itu tak terselamatkan barang sejiwa pun. Sebab bencana yang menimpa, datang bagaikan malaikat ajal itu sendiri. Datang tanpa diundang di suatu malam sunyi. Kapak kematiannya menebas sekaligus puluhan kepala keluarga dalam serangan kutukan mematikan. Kutukan batu. Bencana yang menimpa desa itu mengingatkan peristiwa jaman lampau kaum Sodom.

Semua yang ada di desa itu jadi batu. Kebanyakan sudah hancur lebur rata dengan tanah akibat kikisan angin dan petir menyambar. Bila ada penjelajah yang nekad datang ke tempat itu, tentunya mereka akan menganggap tempat itu sebagai peninggalan jaman batu. Tapi, belum ada satu pun penjelajah yang minat untuk menjejakkan kaki ke sana. Itu karena akses menuju tempat itu dilingkupi lumpur panas. Siapa orang bodoh yang mau berenang di lumpur panas? Bahkan gagasan untuk numpang helikopter dan mendarat dengan bantuan tali pun, orang-orang tak mau mengambilnya. Desa itu benar-benar dilupakan.

Kembali ke teman alap-alap kita yang bernasib sial. Pada saat mendarat pasrah itu kepalanya membentur kepala patung batu. Dari semua yang ada, hanya satu itu yang masih utuh bentuknya. Sikapnya berlutut, kepala mendongak ke langit, dua tangan membentuk corong di mulut. Itu kesan bilamana mungkin ada orang yang mau mengamati batu itu lebih lama. Bilamana ditengok singkat, tentunya hanya serupa onggokan batu tak berarti. Hasil benturan kepala alap-alap terhadap batu itu ternyata menimbulkan keretakan serupa telur ayam mau menetas. Sebutir bongkahan kecil jatuh menggelinding berjumpa tanah. Dari ceruk yang tercipta, secara mengejutkan, tampak mata yang membuka. Lalu napas terengah-engah menyusul. Mata itu membelalak, panik ketakutan. Dalam waktu setengah hari, manusia yang berada dalam batu itu berhasil membebaskan diri. Tak tahu ada alap-alap mengenaskan yang tertimbun batu darinya. Ia menghirup udara sebanyak mungkin. Bersujud dan lalu telentang. Bajunya awut-awutan penuh robekan. Dadanya naik turun cepat, orang yang habis maraton pun bakal kalah temponya. Ia menoleh ke sekitar dengan teramat sedih. Sedih terutama ia tak ingat apa-apa.

Orang dalam batu itu masihlah muda. Belum sampai usia tujuh belas kalau dilihat dari posturnya. Ia butuh waktu lama demi mengenali situasi. Ia memegangi kepalanya dengan raut kesakitan. Sedetik kemudian berubah jadi cengkeraman. Mukanya menunjukkan sakit kepala seperti habis dihantam martil. Ia tersungkur. Mata mengerjap berulang-ulang. Dalam isapan kosmis yang tak bisa kita antisipasi, kita terbawa dalam pusaran ingatan pemuda itu yang satu per satu muncul. Orang dalam batu itu melolong, tanpa suara.

Hamlin Murai.

Dimulai dari nama pemberian sejak lahir oleh sang Ibu yang gemar memelihara burung cantik itu. Ditambah dengan nama depan usulan dari sang Ayah yang terilhami oleh dongeng Tukang Suling Hamlin yang berhasil menggiring tikus penginvasi kota ke jurang kematian. Dengan campuran nama itu, mereka berharap Hamlin Murai dapat menggiring orang-orang menuju kebaikan. Atau setidaknya, bisa menggiring niat-niat jahat keluar jauh-jauh dari desa mereka.

Setidaknya itulah yang digadang-gadangkan oleh pasangan yang berbahagia itu. Sebab pada saat Hamlin Murai lahir, peristiwa tak biasa tengah berlangsung hari itu, di desa itu. Untuk lebih mudah dalam cerita berikutnya, mari kita namai desa itu dengan Ndoroalas. Tentu ini bukan nama sebenarnya. Sebab kehancuran di awal yang kita saksikan, desa itu sudah lama kehilangan jati diri dan namanya. Kita akan tahu nanti.

Hamlin Murai lahir di tengah malam buta. Setelah sebelumnya sang Ibu menjalani proses berat dalam bukaan sejak pagi buta. Ibu Hamlin, adalah ibu pertama yang menjerit lebih kencang dari siapa pun di tempat dukun beranak Bik Muyah. Dukun beranak itu sudah panas dingin saat menerima ibu Hamlin datang pagi-pagi buta digendong ayah Hamlin. Pasalnya, beberapa jam sebelum itu, Bik Muyah kedapatan terawangan yang membuatnya menggigil. Selain menangani persalinan, Bik Muyah juga merangkap sebagai ahli dunia gaib di desa Ndoroalas. Kemampuannya itu turun temurun diwariskan melalui pijatan dan tukar darah. Bik Muyah hanya membagi terawangannya itu kepada ayah Hamlin. "Aku mendapat mimpi kalian berdua menyatu lalu menetaskan seorang anak yang tak punya lidah. Anak itu kemudian kena sambaran petir yang membakar habis desa ini."

Ayah Hamlin tak mau repot menanggapi itu. "Tolong, itu dibicarakan nanti saja. Terpenting tangani dulu istriku ini. Keselamatan nyawa lebih penting dari mimpi yang Bik Muyah dapat, yang belum tentu bakal kejadian juga."

Bik Muyah yang gelisah akhirnya menyetujui, ayah Hamlin ada benarnya. Kadang kala, apa yang didapatinya melalui mimpi, pernah salah. Bik Muyah menangani proses persalinan itu dengan dibayangi kegelisahan. Terutama karena cuaca di luar yang tak terkendali. Angin kencang bertiup sedari matahari terbit. Awan-awan menjadi kelam kelabu. Membuat para penduduk malas keluar rumah menjemur pakaian. Sebab genteng saja ikut terbang bersama angin puting beliung. Salah satu genteng dan papan kayu dinding rumah Bik Muyah pun ikut terbawa angin. Membuat upayanya menolong kelahiran Hamlin Murai jadi menyeramkan. Mungkin saja, mimpinya itu berkata betul. Ayah Hamlin akhirnya yang bekerja keras membetulkan genteng dan dinding kayu dibantu oleh anak laki-laki Bik Muyah. Jeritan pertama yang panjang dan melengking merobek gendang telinga terjadi pada waktu menjelang tengah hari. Saat itu, suasananya sudah segelap mau senja. Hujan turun malas-malasan. Angin semakin kencang dan gemuruh guntur datang seperti tamu lebaran. Bik Muyah sampai terjengkang dan melindungi telinga menggunakan bebatan jarik. Cuaca ekstrim mereda menjelang senja. Pada saat itu Bik Muyah sudah mulai senang sebab kemungkinan jabang bayi bisa mbrojol segera. Tapi perhitungannya salah. Ibu Hamlin berteriak melengking panjang dan menyakitkan. Bahkan membuat ayah Hamlin dan anak Bik Muyah jatuh pingsan. Mau tak mau, minta maaf berkali-kali, Bik Muyah menyumpal mulut ibu Hamlin. Proses melahirkan kemudian berjalan kembali, meski dengan kegelisahan hati Bik Muyah.

Ia sampai sempat berpikir, "kugagalkan saja kelahiran ini. Aku takut sekali. Bisa jadi, kehancuran di mimpiku adalah akibat aku mensukseskan kelahirannya." Tapi melihat muka ibu Hamlin, Bik Muyah jadi menangis sendiri. Ia teringat susah payahnya mendapatkan seorang anak. Dulu Bik Muyah menikah berkali-kali. Di setiap pernikahannya itu, si suami tak berhasil membuatnya bunting, dan berakhir cerai. Maka tak heran, di usia Bik Muyah yang tak lagi muda sekarang ini, anaknya masih amat muda.

Selepas senja, orang-orang berdatangan ke rumah Bik Muyah. Mereka tahu ibu dan ayah Hamlin adalah termasuk orang penting di desa. Bukan orang penting yang memiliki jabatan, melainkan orang biasa yang banyak urun tenaga dan pikiran untuk kesejahteraan orang banyak. Mereka kepengin tahu dan menyaksikan kelahiran anak dari pasangan panutan desa. Dari sebagian yang datang, membawakan makanan untuk ayah Hamlin dan keluarga Bik Muyah. Mereka mendoakan proses kelahirannya semoga lancar. Ayah Hamlin berterima kasih untuk itu.

Setelah menyalakan banyak lampu minyak, ruang persalinan Bik Muyah masih terlampau gelap. Langit tak seperti biasanya. Di atas sana, tak diketemukan awan kelabu, tetapi mengapa bintang-bintang bersembunyi dan petir selalu datang? Itu misteri yang membuat Bik Muyah ketakutan. Bulir-bulir keringatnya menetes dari kening. Ia akan tetap menyelamatkan anak ini. Persetan dengan mimpi buruk dan pertanda. Napas kehidupan bayi suci lebih mulia.

Setelah jeritan terakhir yang panjang dan memekakkan telinga hingga membuat orang yang tadinya berdatangan jadi kabur malang melintang, Hamlin Murai akhirnya lahir ke dunia. Bik Muyah meledak tangis serta kelelahan. Bayi Hamlin Murai sudah ia mandikan dan bungkus dengan kain, dan diletakkan di atas dada ibunya. Ayah Hamlin menangis terharu.

"Mengapa ia tidak menangis dan bergerak?" tanya ibu Hamlin, curiga.

Ayah Hamlin menggendong anaknya dengan hati-hati, membisikkan sesuatu ke telinga. Tetap saja, bayi itu belum bereaksi. Bik Muyah yang kelelahan diberitahu oleh anaknya, segera menghampiri dan melakukan sesuatu. Warna kulit bayi Hamlin Murai kemerah-merahan, itu tanda bagi bayi yang kulitnya akan sangat putih ketika besar nanti. "Tunggu sebentar," kata Bik Muyah menenangkan kegelisahan ibu Hamlin. Ia membawa Hamlin Murai ke ruang rahasia. Anak Bik Muyah, panggil saja ia Margo, menghadang ayah Hamlin ikut masuk. "Kata ibuk, siapa pun tidak boleh masuk ke ruangan itu."

Ayah Hamlin tak mau ribut, asal itu demi keselamatan anaknya. "Mohon bantuannya, Bik Muyah!"

Bik Muyah melakukan sesuatu yang tak bisa dilihat ibu dan ayah Hamlin. Sementara Margo siaga menjaga pintu kelambu ruangan rahasia Bik Muyah. Lama-lama tercium bau asap bakaran kembang. Ibu dan ayah Hamlin jadi khawatir. "Bik Muyah sedang apa?" tanyanya kepada Margo.

"Menyelamatkan Hamlin Murai."

Ayah Hamlin menggenggam tangan istrinya, berusaha menenangkan meski ia sendiri berkalilipat cemasnya. Istrinya tertidur setelah satu jam menunggu dalam ketidakpastian. Ayah Hamlin mondar-mandir di hadapan Margo. Pikirannya penuh dengan ketakutan terbesar, yaitu anaknya lahir dalam kondisi mati. Ah, tapi ia tadi lihat dada anaknya naik turun dan ada embusan napas ketika ia membisiki. Demi menenangkan diri sendiri, ia akhirnya berdoa, menghitung ruas jari disertai nama baik Ilahi.

Bik Muyah lama berada di ruangan rahasianya. Akhirnya ayah Hamlin capai sendiri mondar-mandir, demi mengusir kegelisahan dan kebosanan menunggu ia membuat kopi. Makanan dari tetangga ia coba nikmati walau perut lagi tak begitu mau diisi. Setelah kiranya ada tiga macam makanan berat yang telah dihabiskannya secara kunyahan santai, Bik Muyah akhirnya keluar. Sisa tempe goreng yang baru digigit ia buang begitu saja ke piringnya. Ayah Hamlin membangunkan istrinya dan bersiap menyambut buah hati. Namun ada hal yang kentara jelas di muka Bik Muyah. Kengerian. Dukun beranak itu membawa Hamlin Murai dengan begitu hati-hati. Kain yang membungkusnya kini berwarna merah. Begitu diletakkan di dada ibunya, dan keningnya disentuh lembut oleh telunjuk Bik Muyah, sang bayi baru bersuara. Begitu kencang seperti sirine. Margo jadi terganggu, ia menutup telinganya rapat-rapat. Segera saja ayah Hamlin membantu bayi Hamlin untuk mencari puting susu ibunya. Anak itu diam sesaat, menekuni sajian puting susu ibu. Pelan-pelan, Bik Muyah mundur. Mukanya masih pucat.

Setelah memastikan istrinya bisa mendekap aman bayi Hamlin, ayah Hamlin menghampiri Bik Muyah. "Ada apa Bik?"

"Mimpi yang tadi aku ceritakan kepadamu. Agaknya, kemungkinan besar akan terjadi." Itu dikatakan Bik Muyah dengan datar dan pandangan mata lurus kosong. Tangannya gemetaran.

"Begitu." Ayah Hamlin tidak begitu menganggap penting mimpi Bik Muyah. "Akan kupastikan itu tidak terjadi." Katanya, berupaya mengusir ketakutan Bik Muyah.

Itu tidak berhasil, Bik Muyah mendengus, "Kita lihat nanti. Kalian bermalamlah di tempatku dulu."

"Terima kasih, Bik."

Ayah Hamlin kembali kepada anak dan istrinya. Sementara Bik Muyah berputar badan dan memberi isyarat buat Margo untuk melindungi telinga. Setelah proses inisiasi dini selesai, bayi Hamlin meraung begitu keras. Mengalahkan jeritan ibunya yang sebegitu saja sudah mengalahkan guntur bergemuruh.

Tangisan Hamlin Murai begitu keras hingga kayu-kayu dinding sampai retak dan gelas-gelas di ruangan pecah. Ayah Hamlin berusaha mengambil alih gendong, tapi ditolak oleh sang ibu. Ibu Hamlin mendudukkan diri dan mencoba membuat bayi Hamlin nyaman. Itu dilakukan dengan susah payah selagi menahan sakitnya telinga mendengar tangisan Hamlin Murai. Yang pertama tumbang adalah sang ayah. Lututnya lemas, kepalanya berdenyut, lubang telinganya berdarah. Ayah Hamlin jatuh pingsan. Margo yang bertugas berjaga-jaga, sudah membebat kepalanya dengan kain jarik berlapis-lapis, berusaha menolong ayah Hamlin. Tapi belum sampai ke sana, ada hempasan energi tak kasat mata yang membuat segalanya melayang. Untuk kemudian beberapa detik lamanya, jatuh ke tanah. Perabotan dalam rumah Bik Muyah banyak yang hancur. Di luar sana, terjadi angin kencang dan amukan guntur. Hamlin Murai masih kuat melanjutkan tangisan mematikannya.

Hempasan energi tak kasat mata itu merambatkan serta frekuensi tinggi tangisan Hamlin Murai. Membuat rumah-rumah dalam radius tiga ratus meter mengalami peristiwa serupa di rumah Bik Muyah. Dukun beranak itu sendiri, sudah tak sadarkan diri di ruang rahasianya. Sementara itu, akibat dari hempasan energi tak kasat mata yang kemungkinan datangnya dari tangisan dahsyat Hamlin Murai, mata sebelah kanan Margo terkena pecahan beling. Amat sangat disayangkan, di hari pertamanya datang ke dunia, Hamlin Murai sudah dapat musuh. Itu diungkapkan sendiri oleh Margo ketika sadar di hari esoknya. Sebelum Margo sadar, menjelang fajar, ayah Hamlin duluan membuka mata dan menggendong anak dan istrinya sekaligus untuk pulang. Tidak ada yang tahu kapan bayi Hamlin berhenti menangis dahsyat. Pada saat dibawa pulang itu, bayi Hamlin sudah tidur damai dan langit di luar sudah kembali menayangkan bintang dan bulan. Fajar itu tampak tenang, seperti tidak ada hal ganjil yang terjadi sebelumnya.

Margo bangun dengan merintih, tangannya berlumuran darah, ia menjerit saat menemukan beling menancap di mata kanannya. Bik Muyah bangun sedikit terlambat, kalau Margo tidak menjerit kesakitan, mungkin Bik Muyah lanjut tidur setelah sempat sadar dari pingsannya beberapa waktu sebelumnya. "Duh, Gusti. Matamu, nak."

Margo mendengus menahan sakit, "Sumpah, akan kubuat bocah itu tidak aman seumur hidup."

BikMuyah menyentil telinga Margo sebelum ia membawanya ke rumah sakit terdekat dikecamatan. "Jangan menyimpan dendam, terlebih kepada jabang bayi baru lahir."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro