Ill Be Waiting | Osaka Sogo [IDOLiSH7]
Request by OsaKakeru
.
.
Mempunyai senpai yang tampan, baik hati dan tidak sombong tentu saja menjadi harapan semua junior. Entah itu di sekolah menengah maupun universitas. Apalagi jika kau bisa menjalin hubungan baik dengan mereka, entah itu menjadi teman, sahabat, atau bahkan .... Pacar?
Kata terakhir terdengar mustahil bagimu. Tapi meski begitu, kenyataannya sekarang kau memang tengah berpacaran dengan senpai-mu di universitas tempatmu menuntut ilmu.
Osaka Sogo namanya. Dia adalah laki-laki yang tampan, pintar, baik hati, lembut, dan penyayang. Suatu keajaiban bagimu bisa berpacaran dengan laki-laki sepertinya.
Bagimu, Sogo itu sempurna. Hampir tanpa cela. Meski berasal dari keluarga kaya raya, dia tidak pernah merasa tinggi dan tidak pernah memandang orang lain dengan sebelah mata.
Dia selalu berkata bahwa di atas langit, masih ada langit. Jadi... apa yang harus kita sombong kan?
Sogo adalah kakak tingkatmu di kampus. Kalian mengambil jurusan yang sama, yaitu jurusan kedokteran. Kau tidak ingat bagaimana kalian akhirnya bisa bersama. Yang jelas, kau tidak pernah berhenti bersyukur karena memiliki Sogo di sampingmu saat ini.
Namun akhir-akhir ini, entah kenapa kau merasa ada yang aneh dengan kekasihmu. Sogo terlihat jauh lebih pendiam dari biasanya. Dan jika lebih diperhatikan lagi, kau juga merasa lelaki itu lebih kurus dan wajahnya sering kali terlihat pucat.
Ketika kau bertanya padanya apakah dia baik-baik saja, Sogo selalu tersenyum dan berkata bahwa dia baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan, katanya. Meskipun dia berkata begitu, tetap saja kau tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa khawatir.
"Sogo-kun, kau yakin baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali." Ucapmu ketika kalian duduk di bangku taman yang terletak di halaman universitas.
"Aku baik-baik saja, [Name]. Kau tidak perlu khawatir." Balas Sogo seraya menyadarkan kepalanya di bahumu. Mata pria itu terpejam sebelum berkata, "Aku hanya kelelahan. Setelah istirahat, energiku pasti kembali lagi. Jadi, izinkan aku tidur sebentar."
Dengkuran halus yang tertangkap indra pendengarmu memberi tanda bahwa Sogo sudah berselancar ke alam mimpi. Tidak ada yang bisa kau lakukan selain ikut menyandarkan kepalamu di atas kepala Sogo seraya mengelus kepalanya.
"Mimpi indah, Sogo-kun."
Begitu kau ikut memejamkan matamu, kelopak mata Sogo pun terbuka, menampilkan iris violetnya yang kini terlihat sendu.
Sogo tidak bisa memberitahumu bahwa dia tidak baik-baik saja. Baik hati dan fisiknya sama-sama lelah mendapat begitu banyak tekanan dari sang ayah. Dia tau Ayahnya tidak menyukai tentang dia yang menjalin hubungan denganmu.
Masalah kasta tentu menjadi halangan utama. Tapi kalau sudah cinta mau bagaimana? Lagi pula, Sogo tidak peduli tentang itu semua. Karena dia mencintaimu apa adanya.
Tapi Ayahnya berbeda. Dia tidak akan mengerti tentang apa yang dirasakan anaknya.
'Baiklah jika kau tidak mau mengakhiri hubunganmu dengan gadis itu. Tapi sebagai gantinya, kau harus menjadi penerusku dan lupakan mimpimu untuk menjadi seorang dokter. Bagaimana? Adil 'kan?'
Lagi. Sederet kalimat Ayahnya itu kembali terngiang di kepala Sogo. Bagaimana mungkin sang Ayah memberinya pilihan seperti itu? Ayahnya tentu saja tau bahwa keduanya begitu berharga bagi Sogo. Baik itu cintanya atau pun mimpinya.
Apa yang harus dia lakukan?
Haruskah dia melepaskan mimpinya demi cintanya? Atau justru sebaliknya?
"Sogo-kun, kau menangis?"
DEG
Sogo tersentak kaget begitu mendengar pertanyaanmu. Pria itu baru sadar bahwa dia menangis dan air matanya jelas mengenai bahu tempat dia bersandar saat ini.
"Ada apa?" Tanyamu lembut seraya menunduk untuk menatap matanya, "Tolong ceritakan padaku, Sou. Aku tau kau menyembunyikan sesuatu dariku 'kan?"
Sogo terdiam beberapa saat. Pria itu seolah tengah berperang dengan batinnya sendiri. Apakah dia memang harus menceritakan apa yang menjadi beban pikirannya akhir-akhir ini padamu? Dia tidak ingin membuatmu khawatir, tapi memendam masalah seorang diri tentu saja menyiksa sanubari. Lagipula, dia punya kau disini. Seseorang untuk dia berbagi.
Akhirnya, Sogo pun memberitahumu tentang masalah yang membebaninya akhir-akhir ini. Tentang ancaman ayahnya dan juga pilihan yang diberikan sang Ayah.
Kau diam sejenak. Mencoba memproses serta memikirkan jalan keluar untuk masalahnya. Kau tidak mau berpisah dengan Sogo, tapi kau juga tidak bisa bersikap egois dengan mengorbankan impiannya yang berharga hanya agar kalian tetap bersama.
Setelah memantapkan hati dan memikirkan konsekuensi, kau lantas berkata pada orang yang kau cintai.
"Aku tidak ingin menjadi penghalang dalam mewujudkan impianmu, Sou. Jika memang kita harus berpisah, aku tidak apa-apa. Mimpimu jauh lebih berharga daripada aku. Jadi--...."
"Omong kosong apa yang kau bicarakan?" Potong Sogo tajam. Dia tentu saja tidak suka dengan apa yang kau katakan, "Lebih berharga darimu? Bagaimana mungkin mimpiku jauh lebih berharga darimu? Aku akan melupakan mimpiku jika memang itu perlu."
"Tentu saja itu tidak perlu! Aku tau bagaimana perjuanganmu hingga sampai ke titik ini, Sou. Jadi kumohon, jangan pernah berbohong dengan mengatakan impianmu tidak berharga."
"Tapi kau juga berharga bagiku, [Name]."
Tubuhmu kaku ketika Sogo memelukmu. Terlebih ketika kau merasa bahumu kembali basah oleh air matanya.
Kau tau apapun pilihannya, hal itu akan sama-sama menghadirkan rasa sakit untuk kalian berdua.
******
Hiruk pikuk bandara Haneda sabtu sore yang cukup dingin adalah hal pertama yang menyambut setiap orang yang baru saja memasuki gate keberangkatan. Dengan suhu yang cukup rendah, membuat sebagian besar calon penumpang pesawat menggunakan mantel tebal agar suhu tubuh mereka tetap hangat.
Tak terkecuali dirimu dan pria di sampingmu.
"[Name], apa kau yakin dengan semua ini?"
Pertanyaan Sogo membuatmu menoleh padanya. Kau tersenyum sebelum merapikan syal yang melilit di leher laki-laki bermata violet itu.
"Aku yakin, Sou. Kita sudah membicarakan ini 'kan?" Ucapmu lembut, "Lagi pula, ini pilihan terbaik untuk kita."
"Tapi aku pergi bukan sehari atau dua hari. Aku akan disana selama 2 atau 3 tahun, [Name]."
"Kalau begitu, aku hanya tinggal menunggu kau kembali 'kan?" Kau tersenyum manis pada Sogo. Namun sepertinya hal itu tidak cukup untuk menghilangkan kekhawatirannya. Menghela napas sejenak, kau kembali berkata, "Sou, kau percaya padaku?"
"Tentu saja."
"Aku juga percaya padamu. Jadi, kita hanya harus saling berkomunikasi dan menjaga kepercayaan itu 'kan?"
Sogo terdiam, namun tatapan matanya tak lepas darimu. Inilah pilihan terbaik yang bisa kalian pilih. Sogo tidak ingin kehilanganmu, jadilah dia menuruti keinginan Ayahnya untuk menjadi penerus. Pilihan itu tidak semudah kedengarannya. Dengan pengetahuan Sogo yang minim tentang dunia bisnis mengharuskan pria itu untuk lebih mempelajarinya lagi.
Alhasil, disinilah dia.
Hanya tinggal menunggu pemberitahuan keberangkatan dari pihak maskapai hingga akhirnya jarak akan memisahkan kalian berdua.
Tidak pernah terpikir oleh Sogo bahwa keadaan mengharuskannya pergi ke negara lain hanya untuk menuntut ilmu. Ayahnya lagi-lagi membuatnya kesal. Setelah Sogo berkata bahwa dia bersedia menjadi penerus, sang Ayah langsung menyuruhnya untuk mengambil jurusan bisnis di luar negeri.
Hell ... Jika saja kau tidak segera menenangkannya, mungkin Sogo sudah dicoret dari kartu keluarga karena menghajar ayahnya.
"Kau akan menungguku 'kan?" Tanya Sogo serius.
Kau hanya mengangguk disertai senyum manismu, "Tentu. Aku akan menunggu untukmu."
Berpegang pada keyakinan itu, akhirnya Sogo memantapkan hatinya. Pria itu memelukmu untuk terakhir kalinya saat pihak maskapai menginformasikan bahwa pesawat yang akan ditumpanginya akan lepas landas beberapa menit lagi.
"Tunggu aku, ya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro