Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Trick or trick - Ashu Yuta

► Ashu Yuta × Reader ──
► B Project belongs to MAGE ──
► Story by @floriechw ──
►Halloween event by KanojoProjects  ──

Hiruk pikuk suasana Halloween terasa amat jelas. Meski hari-hari yang ditunggu itu baru akan datang di besok, para siswa sudah sibuk mempersiapkan dekorasi demi dekorasi pada setiap inci ruangan di sekolah. Bahkan ada siswa yang jahil memasang hiasan kelelawar kertas pada ruang guru. Padahal telah jelas dikatakan oleh ketua OSIS jika mereka diizinkan menghias seluruh sekolah asal jangan ruang guru dan kepala sekolah.

Tapi siapa yang mau mematuhi perkataan la lmembosankan tersebut? Kebanyakan siswa memegang prinsip, tidak akan menyenangkan suatu memori jika tak ada perbedaan. Mungkin memang sebagian siswa tidak setuju dengan prinsip tersebut, tapi hey, masa bodo. Setuju tidak setuju, Halloween kali ini harus benar-benar menyenangkan. Itu yang terus terputar di kepala.

"[Name]! Curang sekali kau ini!"

"Curang apanya?"

"Bantu kami menghias dong! Hanya kau di kelas yang tidak ikut :( "

"Tidak mau, itu membosankan"

"Mou, Ketua kelas!! Hapus dia dari daftar siswa!" Suara nyaring tersebut benar-benar mengganggu aktivitasnya yang tengah membaca. Dengan tatapan sinis tidak terima, si Surai [h/c] membuka mulut.

"Pertama, ketua kelas tidak bisa menghapus namaku dari daftar siswa. Hanya kepala sekolah yang bisa melakukannya. Dan kedua, Rika, kau sendiri tahu jika aku tidak menyukai aktivitas seperti ini. Lagipula, sudah banyak yang membantu, bahkan tanpaku sekalipun pekerjaan kalian akan selesai tuh" Usai berucap demikian, gadis yang dipanggil [Name] itu kembali pada aktivitasnya yang tadi. Membaca.

Rika──teman dari sang gadis──tetap kukuh menyuruhnya berpartisipasi. Bahkan tak segan-segan memperbesar volume yang tentunya menarik perhatian seisi kelas. Sementara si lawan bicara hanya merespon dengan tatapan sinis atau mengabaikannya.

"Permisi ... " Suara ketokan pintu kelas menghentikan aktivitas. Figur seorang gadis dengan tatapan lembut miliknya tertangkap oleh seluruh pasang mata.

"Mira-senpai? Ada apa?" Sang pemegang status ketua kelas, beranjak menghampiri. Dengan sopan, mempersilahkannya masuk yang langsung dibalas gelengan pelan serta senyum kikuk.

"Tidak usah, aku sebentar saja kok. Jadi begini, aku ingin meminjam satu temanmu untuk membantu menghias ruangan di lantai 3. Kami kekurangan orang, dan kuharap ada satu yang bersedia" Ucapnya.

Ketua kelas tersebut sempat berpikir sejenak. Mengingat-ingat apa ada yang sedang kosong hari ini. Sampai maniknya berhenti pada [Name] seorang.

"[Last name]! Kau kosong hari ini?"

"Tid─"

"YA! DIA KOSONG HARI INI! Ketua kelas tahu, dia hanya membaca di tempat duduknya, iya 'kan?" Sengiran jahil terpasang, beradu dengan tatapan tajam tidak terima.

"Baguslah, Mira-senpai membutuhkan bantuan mu. Kuharap kau bisa membantunya" Pemilik nama yang disebut tersenyum simpul. Lega, karena dirinya tidak perlu mengelilingi lantai 2 lagi.

"Tapi aku─"

"Huaa, [Name]! Bukankah itu pengalaman yang bagus? Kau bisa menghias ruangan di lantai 3 dengan kakak kelas!! Itu akan sangat menyenangkan ~ " Sekali lagi perkataannya dipotong. Menambah kekesalan yang kian memuncak.

Ketua kelas tertawa kecil diikuti Mira, berbanding terbalik dengan [Name] yang memasang raut wajah masam.

Sebelum beranjak sepenuhnya dari kelas, ia melempar tatapan tajam pada sang gadis yang kini menyengir ria tanpa dosa.

"Aku membencimu"

"Aku juga menyayangimu ~ "

Ah, sudahlah. Kesabarannya telah terkuras habis sampai ke inti berkat gadis tiada akhlak tersebut. Daripada membuang tenaga yang tersisa untuk debat dengan Rika, dia memutuskan untuk segera menyusul Mira yang telah berada beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

"Senpai, ruangan apa saja yang ada di lantai 3?" Di sela-sela perjalanan, [Name] bertanya. Dia bukan siswi kebanyakan, yang tahu segala informasi di sekolah. Habitatnya hanya di kelas, rooftop, dan kantin. Tidak terlalu tertarik mengetahui hal-hal seperti itu, meski sudah sepantasnya para murid mengetahui denah sekolah.

"Laboratorium, lab komputer, ruang masak, perpustakaan, dan ... Ruang musik" Percaya tidak percaya, suara Mira memelan di bagian akhir, entah apa alasannya. Dan tentu [Name] mengetahui kejanggalan itu, hanya saja dia enggan bertanya.

Tidak berlangsung lama, mereka akhirnya sampai di lantai 3. Dimana teman-teman Mira telah duluan menghias beberapa ruangan. Tapi sepertinya mereka tidak menyadari kedatangan kedua orang itu, karena buktinya, mereka masih tetap fokus mendekorasi.

Tanpa ba bi bu lagi, [Name] dan Mira juga telah ikut membantu. Sekedar memasang beberapa hiasan, atau meletakkan barang-barang yang memang masih menyangkut seputar Halloween.

Ramai, bukan?

"Lho, eh?" Si Surai [e/c] mengernyit bingung kala mendapati ruang musik masih kosong belum dihias. Sangat berbanding dengan ruangan lainnya di lantai ini yang telah penuh dengan dekorasi.

Kaki nya melangkah masuk. Sunyi hening menyambut kedatangan. Tertampak jelas bahwa ruangan itu jarang dipakai dan dibersihkan, sekalipun beberapa murid biasanya hanya mengambil alat musik lalu pergi tak ingin menetap.

"Nah, harus dimulai darimana aku?" Sang pemilik netra [e/c] bertanya entah pada siapa. Atensi mengelilingi seluruh penjuru ruangan, mencari satu titik yang pas untuknya memasang hiasan.

Tapi sayang, sebelum gadis itu memulai aksinya, seorang kakak kelas tiba-tiba masuk terburu-buru. Wajahnya yang pucat penuh ketakutan membuat tanda tanya besar bagi [Name].

"Senpai .... ?"

"[Name]!! Kau ... Belum menyentuh pianonya 'kan?" Masih dengan nafas yang tersengal-sengal, suara tersebut bertanya khawatir.

"Ehh .. B-belum ... "

Sekilas wajah sang lawan bicara tak yakin dengan jawaban yang dikeluarkannya. Tapi sebisanya ia menepis pergi pikiran negatif tersebut.

"Ruang musik tidak perlu dihias, itu perintah dari Ketua OSIS dan Kepala sekolah" Sangat jelas bahwa perkataan tadi terdengar ada yang janggal. Sama seperti Mira. Tapi tetap saja, [Name] enggan untuk bertanya pada kakak kelasnya. Dirasa jika hal tersebut seperti terlalu ingin tahu. Bagaimana jika itu adalah hal pribadi? Tentu dia tidak akan mungkin tetap menggali 'kan? Oh, tapi sepertinya dia tahu siapa yang akan menjawab kejanggalan itu.

"Oh, [Name]. Terimakasih ya, semua ruangan telah selesai dihias. Berkatmu, terasa cepat sekali. Kau tahu? Teman-teman ku sedari tadi terus mengeluh lho, ahahaha. Tapi syukurlah, pekerjaan ini cepat selesai karena kau ikut membantu. Sekali lagi, kami benar-benar berterimakasih." Mira menyambut hangat. Diikuti teman-temannya yang juga ikut mengucap terimakasih.

[Name] hanya dapat tersenyum kikuk sembari menjawab ucapan mereka. Ia tidak terlalu mahir dalam hal interaksi seperti ini, habitatnya paling hanya di kelas dan perpustakaan.

-----

"Tidak biasanya kau mengajakku ke atap sekolah. Pasti ada yang terjadi tadi 'kan?" Rika menghela nafas kasar. Masih tidak rela jika waktu makannya terbuang sia-sia akibat [Name] dengan tidak santainya langsung menyuruh untuk berbicara di rooftop. Apa ini? Ternyata dia hanya babu yang dimanfaatkan?

"Aku ingin bertanya padamu."

"Ya, dari 15 menit yang lalu hanya kata itu yang keluar dari mulutmu. Kau ingin bertanya apasih?!" Urat kesal tertampang padanya, menarik sebuah tawa kecil tanda puas akan balas dendam yang berhasil dari [Name].

"Oke, aku serius. Saat di lantai 3 tadi, aku menyadari ada hal yang janggal. Dibandingkan dengan ruangan lainnya di lantai itu, hanya ruang musik yang tidak disentuh sama sekali. Kakak kelas mengatakan jika Ketua OSIS beserta kepala sekolah memberi perintah tersebut, tapi aku sama sekali tidak percaya. Jika ruang guru saja dihias oleh para murid, mengapa ruang musik tidak? Aku yakin ada sesuatu, Rika. Dan aku juga tahu, kau pasti memiliki jawabannya"

Rika sempat terdiam, ia sama sekali tidak menyangka jika sahabatnya itu telah menemukan apa yang selama ini sengaja disembunyikan olehnya. Dia sangat tahu, [Name] adalah orang yang memiliki keingintahuan yang sangat tinggi. Apapun yang membuatnya penasaran, akan ia gali lebih dalam. Termasuk perihal tentang ruang musik. Dan dia sama sekali tak ingin jika [Name] menyelam terlalu jauh.

"2 tahun yang lalu, saat kakak kelas kita masih duduk di bangku paling rendah, ada seorang siswa. Dia sekelas dengan Mira-senpai, orang-orang mengenalnya sebagai pribadi yang ceria dan pandai mencairkan suasana. Dan satu sekolah pun tahu bahwa dia adalah satu-satunya siswa yang benar-benar ahli dalam bermain piano. Seperti, piano telah menjadi bagian dari hidupnya.

Tapi sayangnya, itu tak berlangsung lama. Siswa itu meninggal, tepat di ruang musik, sembari tangannya masih berada di atas tuts piano. Ada yang bilang dia dibunuh, juga ada yang mengatakan jika itu disebabkan oleh bunuh diri. Tak ada yang tahu. Semenjak saat itu, seisi sekolah dilanda ketakutan saat melangkah masuk di ruang musik.

Terutama pada piano, muncul mitos yang berisi bahwa jika kau menekan salah satu tuts nya di saat malam Halloween, keberadaan mu di dunia nyata akan hilang. Kebenarannya tidak pasti, tapi banyak yang mempercayai. Apalagi kakak kelas kita. Mereka tak ingin kejadian lalu kembali terulang." Rika mengakhiri penjelasan, mengambil nafas perlahan. Sementara gadis di sampingnya dibuat diam tak dapat berkata-kata. Dia tak pernah menyangka kejadian seperti ini pernah ada.

Jadi itu sebabnya dia seperti dijauhkan dari ruang musik. Karena mereka berniat menjaga.

"Kenapa kau tidak pernah cerita soal ini?"

"Kau tidak pernah bertanya." Lagi-lagi Rika berbohong. Dia memang sengaja menyembunyikan tentang ini. Tak ingin [Name] mengetahuinya.

"Aku ke kelas duluan, dan sebaiknya kau juga, jika tak ingin dihukum seperti kemarin." Lanjutnya. Figur itu perlahan menghilang dari pandangan, meninggalkan dirinya beserta hening yang menemani.

Tapi siapa sangka, beberapa menit setelah keluarnya Rika dari atap sekolah, pintu tersebut kembali terbuka. Memunculkan sesosok yang sebelumnya tak pernah dilihat di manapun.

"Heee ... aku baru tahu ada orang yang hobi kesini~"

[Name] menoleh, menatap pelaku yang telah mengganggu ketenangannya. Surai merah muda, netra berwarna violet, juga senyum lebar yang memperlihatkan gigi taringnya.

"Kau siapa?"

"Yuta, Ashu Yuta. Kau sendiri siapa?"

"[Name]. Rasanya ... Aku tidak pernah melihatmu di sekolah"

"Oh, benarkah? Memangnya kau bisa mengingat seluruh wajah siswa dan siswi di sekolah ini?"

Skakmat.

"Ti-tidak sih."

"Hehe, wajahmu lucu sekali ~ Oh, apa kau tidak kembali ke kelasmu? Bel bunyi sebentar lagi, lho~" Sang lelaki bertanya, mengundang tatapan sinis dari lawan.

"Katakan itu pada dirimu sendiri" sarkasnya.

"Heeee ... Jahat sekali~ Padahal aku hanya bertanya tuh" Tak putus semangat, Yuta terus jahil mengganggu [Name]. Dan berkali-kali juga [Name] membalasnya dengan jawaban yang tidak santai, alias dipenuhi kekesalan.

'Anak ini kenapa sih?! Menggangu waktu orang saja!'

"Sudah cukup. Aku kembali. Dan kau juga harus! Jangan membolos seperti anak sialan lainnya." Yuta tertawa kecil mendengar perkataan kejam itu, secara tak langsung [Name] memikirkannya.

"Akan kudapatkan kau, [fullname]. Bahkan jika harus membawamu pergi"

----

"[Name], tidak keluar? Kostummu telah Kaasan siapkan, lho." Wanita paruh baya yang menduduki status ibunya itu menghampiri. Ikut bingung dengan perubahan sikap putrinya yang akhir-akhir ini terlalu banyak melamun.

"Terlalu ramai, [Name] tidak suka." Ia menjawab singkat.

Didasari rasa khawatir yang berlebihan, ibunya tetap memaksa dia untuk keluar. Dengan alasan, hari ini adalah malam Halloween, dan seharusnya ia juga turut menikmati dengan anak anak sebayanya.

Usai mengenakan kostum penyihir yang disiapkan untuknya, si Surai [h/c] pamit keluar dari rumah. Dan simsalabim! Gadis yang menjadi pelaku utama mengapa dirinya disuruh untuk keluar telah berdiri sembari memasang senyum paling menyebalkan miliknya.

"Ke sekolah, yuk!" [Name] membuang tatapan malas kala perkataan itu dengan jelas masuk dalam indera pendengaran. Nampak sudah sangat lelah dengan segala perilaku tidak jelas dari sahabat ( re: babu ) nya itu.

"Y." Jawaban yang singkat diberinya. Mengikuti Rika yang telah jalan lebih dulu dengan senyuman lebar yang lebih nampak seperti senyuman badut baginya.

Sepanjang perjalanan tidak hanya satu atau dua insan yang mereka temukan tengah asik berlari dari satu rumah ke rumah lainnya demi mengumpulkan banyak permen.

"Kenapa tidak melakukan trick or treat saja sih? Sekolah juga baru akan melakukannya sehari setelah Halloween. Kenapa kau malah ingin kesana, saat tahu dengan jelas itu tidak berpenghuni." Ucapnya kesal.

Rika yang telah terbiasa dengan kata sarkas [Name] hanya menyengir ria tanpa merasa bersalah.

"Mau uji nyali .... Mungkin (?)" Balas Rika tidak terlalu yakin. Sengaja sih, supaya [Name] tambah marah tidak tertolong.

Definisi teman yang pantas di kick dari dunia.

"Hey! Kita sudah sampai!"

Seperti biasa, [Name] tidak mempedulikan ocehan Rika. Hanya berjalan masuk meninggalkan gadis itu yang masih sibuk dengan kicauannya.

[Name] cukup tertegun saat memasuki sekolah nya. Bagaimana tidak? Ini malam hari, banyak pernak pernik Halloween menghiasi, tak lupa dengan suasana mencekam yang menyelimuti. Apalagi ini malam Halloween, dimana banyak hantu yang berkeliaran ikut pesta, setidaknya itulah yang dikatakan beberapa orang.

Oh, ayolah [fullname]. Tidak mungkin dia takut dengan rumor yang tidak ada kepastiannya 'kan?

"Sial, kenapa disini dingin sekali sih?" Entah pada siapa insan yang satu itu bertanya, tapi lebih baiknya tidak ada yang menjawab pertanyaan tadi.

Menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya berulang kali, demi mendapat sensasi hangat. Tapi nihil, yang ia rasakan justru malah semakin kedinginan. Mungkin karena kostumnya yang hanya berlengan pendek dengan batas panjang yang hanya sampai di paha, beserta suhu pada malam hari yang tidak main dinginnya.

Sekarang dia baru menyesal mengapa mengiyakan ajakan Rika tadi.

Walau melontarkan 1001 keluhan yang pastinya tidak dapat didengar oleh siapapun, gadis bermarga [surname] tersebut tak kunjung berbalik arah guna keluar dari bangunan yang kini semakin mencekam auranya. Entah karena alasan apa, ia justru semakin melajukan langkah kaki. Padahal jelas-jelas firasatnya mengatakan bahwa akan ada sesuatu yang tidak beres. Menyuruhnya segera kembali untuk pulang ke rumah. Tapi seakan tidak mengindahkan firasat itu, dirinya tetap kukuh menjelajahi seluruh ici sekolah.

Sampailah gadis itu di lantai terakhir sekolah, lantai 3. Daripada lantai lain, di lantai 3 justru suasananya yang paling tidak mengenakkan. Dirasa sudah cukup, [Name] berniat berbalik untuk turun, sebelum netra [e/c] miliknya dengan samar melihat satu sosok yang berdiri di depan ruang musik. Merasa penasaran berat, [Name] mengurungkan niat untuk kembali. Pelan melangkah agar tak menimbulkan suara yang menarik perhatian.

"Yu ... Ta?"

Mungkin memang gelapnya malam hari menjadi alasan utama mengapa [Name] tidak terlalu jelas melihat manusia (?) di depannya, tapi dia yakin sekali itu adalah Ashu Yuta.

"Oh! [Name]-chan~~" Senyuman lebar diiringi lambaian terlihat. Menghela nafas perlahan, sedikit lega dugaannya telah benar. Beberapa saat yang lalu, dia sempat mengira itu adalah Kunti-chan, sang penunggu lantai 3 yang sering dibicarakan teman-temannya.

"Apa yang kau lakukan disini?"

"[Name]-chan sendiri, apa yang kau lakukan?"

"Kebiasaan, ditanya malah balik bertanya."

Yuta terkekeh, puas menjahili gadis pemilik Surai [h/c].

"Aku iseng doang, kok. Lebih ke kabur dari teman-temanku sih ...." Kalimat terakhir sengaja dikecilkan agar [Name] tidak dapat mendengar apa yang dikatakannya.

Gadis itu hanya ber'oh' ria. Tidak terlalu memusingkan alasan yang Yuta miliki.

"Hey, [Name]-chan. Tadi saat kuperiksa, ruang musik ternyata tidak dikunci. Mau memasukinya bersama?" Saat itu, bagai dikendalikan oleh sesuatu, [Name] mengangguk tak menolak kendati perasaannya dilanda cemas serta ketakutan tiada henti.

"[Name]-chan bisa bermain piano?" Yuta bertanya seraya menunjuk satu-satunya alat musik yang tertutupi oleh kain. Sang gadis mengangguk kecil membalas pertanyaan darinya.

"Hanya waktu kecil, setelahnya sudah tidak pernah lagi."

"Bagaimana jika melihat kemampuan mu lagi? Tidak ada salahnya sedikit nostalgia, bukan?" Yuta tersenyum, dengan maksud tersembunyi dibaliknya.

Jika yang tadi dia seperti diperintah oleh sesuatu, kini ia bergerak dengan kesadaran penuh. Sama sekali tidak merasa bahwa hal yang dilakukannya sudah diluar batas.

[Name] duduk di bangku kecil, meniup secara perlahan tuts tuts itu guna membersihkan debu yang tak main banyaknya.

Satu persatu tuts dimainkan, mengeluarkan nada lembut yang mengisi keheningan. Laksana sang penari yang tengah merasakan euforianya.

Dia sudah terjatuh terlalu dalam, sama seperti apa yang sahabatnya Rika takutkan sejak dulu. Tenggelam dalam sebuah jebakan malapetaka, yang takkan bisa mengendalikan segalanya.

Tiba-tiba pintu dibuka secara paksa, memunculkan figur yang tak lain dan tak bukan adalah Rika. Gadis itu dengan nafasnya yang tak beraturan, juga raut wajah cemas yang tak bisa dikatakan, menyapu seluruh pandang ruangan tersebut.

Tapi tidak. Tak ada seorangpun yang terlihat mau berapa kali dia meyakinkan diri. Ruangan itu kosong, hanya berbagai alat musik yang menjadi penghuni.

"[Name] ... A-aku .. maaf .... Ini salahku .. " Dia jatuh terduduk. Tak kuasa menahan tangis yang dibendung. Tanpa diberitahu, Rika sudah tahu apa yang terjadi disini. Mengapa sahabatnya itu tidak kunjung ia temukan.

Karena piano yang tak pernah disentuh oleh siapapun juga telah ikut menghilang.

Tanpa disadari, keduanya masih tetap ada pada posisi yang sebelumnya.

"Sekarang, [Name] ..."

Masih setia memainkan piano tersebut, [Name] menjawab tanpa menoleh. Terlalu larut dalam alunan nada yang dihasilkan. "Hm?"

"Trick or treat?" Ia bertanya, memainkan helai rambut sang gadis yang masih tetap fokus.

"Aku pilih treat. Kurasa saat ini aku membutuhkan manisan" Akhirnya, kegiatan yang candu itu terhenti. Menoleh pada oknum yang telah melempar pertanyaan.

Yuta segera mengeluarkan beberapa buah permen dalam kantong miliknya sembari tersenyum seperti biasa dengan kata-kata manis yang terlontar. Ya, itu hanya ekspetasi belaka milik [Name].

Nyatanya, kini Yuta sedang mengangkat dagunya dengan jemari yang benar-benar terasa dingin sehingga mampu membuat seluruh tubuhnya gemetar ketakutan.

Tatapan mata itu sangat berbeda dari apa yang selama ini [Name] simpulkan terhadap Ashu Yuta. Manik violet yang biasanya secerah mentari, kini tak terlihat lagi. Justru diganti oleh sorot mata yang begitu tajam seakan membuatnya diam membeku tak dapat beralih.

Seringai tipis tertampang bersamaan dengan senyum miring yang memberi mantra agar bungkam.

Benarkah ini Ashu Yuta yang ditemuinya di rooftop ..... ? Benarkah dia adalah pemuda yang terus menjahilinya dengan kata-kata yang menyebalkan? Apa benar pemuda dihadapannya adalah orang yang sama dengan orang yang dicintainya pada pandangan pertama?

"Yuta .... " Bibir itu bergerak kaku memanggil nama sang pemuda merah muda yang kian memajukan wajah guna menghapus jarak antara mereka.

"Sayangnya, tidak ada treat tuan putri. Dari awal, pilihannya hanya satu,

"trick or trick?"

─────────────────────────────────

📰⌇ P.S
:: MAAF INI GA JELAS BANGET, AKU LAGI KEKURANGAN IDE (╥﹏╥)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro