- 2 -
Kemegahan Sector 1 di Mars, adalah impian dari banyak orang. Bahkan beberapa manusia di Bumi, mendambakan untuk tinggal dikota megah tersebut. Mars menjadi cita-cita dari manusia Bumi yang tersisa. Bagaimana setiap orang bekerja keras untuk mendapatkan uang, menjadi gambaran hebatnya kota diluar Bumi itu. Semua orang begitu ingin melintasi langit untuk tinggal disana. Sehingga seluruh harta yang mereka punya di Bumi, akan mereka jual hanya untuk bisa tinggal di kota megah di plane merah tersebut.
"Terimakasih." Adalah Mingi, satu dari banyaknya penduduk Bumi yang begitu ingin tinggal di Mars.
Itu kenapa dia bekerja dengan keras menghasilkan uang. Pria bermarga Song itu menggunakan kepintarannya, dan mengambil banyak pekerjaan. Karena biaya untuk pergi ke planet merah tidaklah sedikit. Dan mengharuskan Mingi untuk mengumpulkan banyak uang hanya agar bisa tinggal di planet impiannya itu.
"Aku akan menyimpan semua ini." Mingi berujar setelah menerima gaji dari hasilnya menjadi seorang buruh yang bekerja untuk membersihkan bangunan yang hancur.
"Jangan menyimpan semuanya, pakailah sebagian untuk memberi makanan dan juga pakaian." Itu adalah saran dari San, sahabat Mingi sekaligus rekan bekerjanya.
"Aku masih memiliki persediaan makanan, dan juga...aku tak butuh pakaian baru." Balas Mingi yang disambut helaan nafas berat San.
"Kau tidak memiliki persediaan makanan Mingi, bubur instan yang ada didalam lemarimu itu akan kadaluarsa bulan depan." Dengan nada putus asa, San berujar.
"Setidaknya sampai bulan depan itu masih bisa dijadikan makanan." Kurva terkembang diwajah Mingi, memunculkan dimple manis diwajah lucunya.
"Mingi-ya..."
"Aku tidak akan mati hanya karena makan-makanan yang akan kadaluarsa bulan depan." Masih dengan ekspresi yang sama, Mingi beranjak setelah menyelesaikan kalimat tersebut.
"Kau tidak akan mati, tapi kesehatanmu bisa memburuk karena itu." San berujar seraya menahan gerakan Mingi dengan menarik lengan kurus sang pria Song.
"Kau sudah pingsan beberapa kali saat bekerja, tidakkah kau sadar itu adalah sinyal jika tubuhmu memerluka nutrisi yang baik." San melanjutkan ucapannya saat Mingi membawa netra mereka bertemu.
"Hey...saat itu aku hanya kelelahan, itu tak ada hubungannya dengan..."
"Apa planet sampah itu lebih penting dari tubuhmu? Jika kau sudah tiba disana, apa kau pikir kau bisa hidup dengan baik jika tubuhmu dalam kondisi buruk?" Dengan nada kesal San berujar memutus ucapan Mingi.
Mingi tak membalas, dia hanya menatap datar San yang menunjukkan emosinya.
"Jika kau terus hidup seperti ini, Mars tidak akan menjadi tempat tinggalmu. Planet itu justru akan menjadi makam bagimu. Dan uang yang kau kumpulkan tak akan bisa membuatmu menikmati apapun disana, tapi justru bisa dimamfaatkan oleh orang-orang yang membangun koloni disana." San masih menggunakan nada bicara yang sama.
"Ingat itu...dan jaga dirimu dengan benar jika kau mau hidup dengan baik disana." San beranjak segera setelah menuntaskan kekesalannya pada Mingi.
***
"Hey Mountain!!" Nyaris saja wajah San terkena lemparan kaleng Cola, kalau saja tangannya yang terlatih tidak sigap menangkap minuman tersebut yang dilempar kearahnya oleh sosok yang memanggilnya.
"Kau mau membunuhku ya!" Dengan ekspresi kesal, San berujar pada Wooyoung. Pria yang saat ini tertawa pelan seraya menghampirinya.
"Benar seakali...itu tujuanku. Bila kau mati, kan jumlah penduduk bumi akan berkurang. Itu berarti cadangan makanan akan semakin bertambah untuk manusia yang bertahan." Seperti biasanya, Wooyoung berujar dengan candaan yang akan terdengar seperti sesuatu yang serius di telinga sebagian orang.
"Kalau begitu biarkan aku yang membunuhmu, untuk kelangsungan hidup yang lebih baik bagi manusia." Tiba disisinya, San segera mengalungkan lengannya dileher kecil Wooyoung. Yang bukannya mengundang rintihan kesakitan, justru membuat pria bermarga Jung itu tertawa pelan.
"Lepaskan...lepaskan...aku benar-benar bisa mati." Merasa lengan San semakin kuat dilehernya, Wooyoung berujar.
"Itu baguskan...kalau kau benar-benar mati." San berujar seraya menarik lengan kekarnya dari leher Wooyoung.
"Itu tidak sepenuhnya baik, karena bumi akan kehilangan makhluk indah jika aku mati." Balasan dari Wooyoung membuat San berdecih pelan.
"Berhenti membuat bualan di hidupmu. Itu akan membuat masa depanmu semakin suram jika kau sadar kalau tak ada satupun yang kau pikirkan adalah sesuatu yang benar." Tinju pelan dibahunya, San dapati diakhir kalimat panjangnya yang bernada candaan.
"Aku hanya coba menghargai diriku sendiri, disaat tempat ini tidak mau menghargai manusia lagi." Wooyoung berjalan pelan menuju batu besar, lalu duduk diatasnya.
Tak ada balasan dari San, dia hanya memandangi Wooyoung sesaat sebelum melepas pandangannya ke langit.
"Mars itu seperti apa?" Kalimat tanya itu memuat Wooyoung yang semula tak lagi memperhatikannya, segera mengarahkan pandangannya lagi pada sang pria Choi.
"Apa ini tentang Mingi?" Seperti sudah terbiasa dengan arah pembicaraan San, Wooyoung balas bertanya.
San tak memberi balasan, dia hanya meneguk minumannya sambil terus menatap langit.
"Dia masih mau ketempat itu?" Sebenarnya Wooyoung tak harus mengurai frasa tanya itu, karena sang pria Jung sudah tentu tau jawabannya.
Telinga San mendengar decak sebal Wooyoung, membuat langit tak lagi menjadi fokusnya.
"Sampai kapan dia mau bermimpi terlalu tinggi. Apa dia pikir ke Mars itu mudah? Jika mudah, makhluk bumi tak akan lagi hidup menderita seperti ini. Kita semua pasti bisa menuju tempat itu, jika Mars adalah tempat yang mudah di gapai." Salah satu yang San sukai dari Wooyoung adalah sikapnya yang sedikit realistis, walaupun hal omong kosong jauh lebih banyak dari sifat positif yang San sukai itu.
"Mars memang tempat yang sulit digapai, tapi mimpi Mingi lebih sulit lagi dihentikan. Kau tau pria seperti apa si Song itu." Tersenyum tipis, San meneguk minuman yang diberikan Wooyoung padanya.
"Ya...aku tau, saaaaangaaat tau." Wooyoung ikut meneguk minuman ditangannya.
Tak ada percakapan lagi setelah itu, karena Wooyoung dan juga San memilih bungkam seraya menatap langit. Bagai ingin menggapai kemegahan Mars dengan mata mereka, dua pria dengan tinggi badan tak jauh berbeda itu terus mengarahkan pandangan ke angkasa. Membiarkan bungkam menenggelamkan mereka dalam pikiran masing-masing.
***
"Aku salah ya?" Mingi bertanya pada Hyunsik, pemilik kedai minuman tempatnya beristirahat.
"Tentang?" Hyunsik menatap bingung Mingi.
"Keinginanku untuk pergi ke Mars." Jawaban Mingi membuat Hyunsik tersenyum
"Tidak...semua orang memiliki keinginan itu." Balas Hyunsik yang membuat Mingi menarik nafas dalam.
"Jadi kenapa San kesal padaku, hanya karena aku mau ke Mars?" Mingi mengerucutkan bibirnya diakhir omelannya.
Hyunsik tak segera menjawab, untuk beberapa saat dia menatap Mingi yang menikmati rasa kesalnya.
"Karena kau terlalu memaksakan diri?" Ucapan Hyunsik itu memaksa Mingi menatapnya lekat.
"Aku..."
"Semua orang tau itu, tentang bagaimana kau memaksakan dirimu bekerja tanpa banyak istirahat hanya untuk ke sana. Jadi percuma saja kalau kau menyangkalnya." Hyunsik menahan ucapan Mingi dengan fakta yang dia miliki.
"Dari yang kudengar, Mars bukanlah tempat yang bersahabat untuk kaum pendatang. Terlebih pendatang itu dari golongan kelas bawah seperti kita. Jika kau berhasil datang ke sana, kau tidak akan mudah beradaptasi melihat bagaimana kau hidup di bumi. Bahkan di tempat ini kau tidak perduli dengan tubuh dan kesehatanmu, apa kau pikir kehidupan yang keras disana bisa membuatmu lebih perduli pada diri sendiri?" Hyunsik mengurai kalimat panjang yang tak bisa membuat Mingi berujar apapun.
"Pikirkan lagi keinginanmu itu. Jangan sampai kau menyesal, setelah tiba disana. Karena jika kau menyesal setelah ada disana, kau mungkin tak bisa kembali ketempat ini lagi." Melihat lawan bicaranya hanya diam, Hyunsik kembali melanjutkan ucapannya.
Sejenak keadaan hening, karena Mingi sibuk tenggelam dalam pikirannya.
"Mingi-ya." Dengan suara rendahnya, Hyunsik memanggil sang pria Song. "Mungkin tempat ini tidak terlihat luar biasa, seperti yang tergambar disana. Mungkin ada banyak hal yang kau benci disini, tapi inilah rumahmu. Tempat kau dilahirkan, tempat kau mengistirahatkan tubuhmu saat kau lelah, dan tempat menampung kesedihanmu." Mengulurkan tangannya, Hyunsik mengusap bahu Mingi.
"Walau banyak hal yang tidak memuaskanmu, tapi hal itu adalah hal yang akan kau rindukan saat kemegahan itu kau dapatkan. Dan ketika kemegahan itu datang padamu, dan kau tahu kemegahan itu bahkan tak bisa menandingi hal sederhana yang ada disini. Saat itu kau akan menyesalinya. Hal yang aku takutkan saat kau menyesali itu adalah, kau bahkan tak bisa kembali walaupun kau begitu ingin kembali." Saat mata keduanya bertemu, Hyunsik meneruskan kata-katanya.
"Jikapun kau bisa kembali, mungkin kau kehilangan banyak hal disini. Rumahmu, orang-orang yang menjagamu, dan bahkan sahabatmu." Hyunsik mengukir seulas senyum getir diwajahnya.
Dada Mingi dibuat sesak karena ucapan Hyunsik yang selalu saja terdengar realistis ditelinganya.
"Maka pikirkanlah dengan baik. Jangan karena kau menganggap tempat itu megah dan indah, kau melupakan hal sederhana disini." Dengan nada tegas Hyunsik melanjutkan kalimatnya.
"Pikirkan lagi apa yang ingin kau dapatkan disana. Pikirkan dengan baik apa yang menjadi tujuanmu ke sana. Karena pergi tanpa tujuan yang pasti, tidak akan membuatmu mendapatkan banyak hal, justru itu membuatmu banyak kehilangan. Jadi pikirkan dengan baik sebelum melepas apa yang ada ditanganmu. Karena saat kau sudah berani melepaskan apa yang ada ditanganmu untuk tujuan baru, kau akan sulit meraih apa yang kau lepaskan saat kau menyesali pilihan barumu." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Hyunsik bangkit merapikan gelas minuman Mingi yang sudah kosong dan meninggalkan pria bermarga Song itu merenung seorang diri.
"Hahhh..." Membawa matanya menatap langit, Mingi menggela nafas berat karena rasa sesak yang bersarang didalam dadanya.
***
Aroma daging adalah hal pertama yang menyapa satu dari lima indera milik San saat memasuki kediaman sederhananya. Bukan sebuah kediaman mewah, hanya bangunan kecil yang bersanding dengan gedung pencakar langit tua yang tak lagi memiliki fungsi. Bangunan itu awalnya juga bukan miliknya. Dia hanya menempati bangunan itu, karena kebetulan bangunan itu tidak ada penghuninya lagi.
"Kau pulang." Itu Mingi yang menyapa, sahabat, rekan kerja dan juga house mate nya.
Tepat dua minggu setelah San menemukan bangunan tua itu, Mingi tiba di kediamannya. saat itu kedaan Mingi cukup menyedihkan. Tubuhnya dipenuhi luka lebam, dan pria bermarga Song itu terlihat basah kuyup. Saat tiba di 'rumah baru' San itu, Mingi tidak meminta tinggal disana. Tapi karena kasihan dengan kondisi pria tinggi itu, San menyuruh Mingi masuk dan tinggal disana. Awalnya Mingi bilang hanya akan tinggal beberapa hari saja, sampai dia menemukan rumah untuknya sendiri. Tapi mereka berakhir tinggal bersama, karena seiring berjalan waktu keduanya menjadi begitu akrab, terlebih saat San tahu alasan Mingi tiba disana dengan kondisi menyedihkan.
"Kau masak daging?" Mata San membulat mendapati daging yang sedang Mingi panggang.
"Eoh." Mengangguk Mingi menjawab. "Kau belum makan malam kan? Duduklah...kita makan bersama." Lanjut sang pria Song kemudian.
Bukannya menuruti perintah pria berzodiak Leo didepannya, San justru termenung menatap daging dan juga nasi panas yang ada diatas meja. Dua sajian yang tak pernah ditemuinya di meja sejak keduanya tinggal bersama. Karena baik Mingi maupun San, sama-sama tidak memiliki penghasilan besar yang memungkinkan mereka menyantap sajian semewah itu. Terlebih saat Mingi sudah terobsesi dengan Mars, keduanya jadi lebih sering menyantap roti kering dan susu untuk menghemat biaya hidup.
"Ini...bukan mayat manusia kan?" Tak cukup yakin dengan sajian berbau mengiurkan didepannya, San bertanya guna memastikan.
Mingi tertawa mendengar pertanyaan itu, lalu menggeleng.
"Tidak...ini daging sapi. Bukan daging terbaik sih, tapi ini daging sapi." Disela tawanya, Mingi berujar.
"Darimana kau mendapatkannya? Apa seseorang memberikan padamu? Jika benar...kenapa dia memberikannya? Kau tidak melakukan hal aneh hanya untuk mendapatkan daging ini kan?" Tawa Mingi berganti senyuman karena kalimat tanya yang dilontarkan oleh San.
"Hey...Mountain...kau kejam sekali sih. Aku tidak mendapatkan ini secara gratis, terlebih mendapatkannya dengan cara aneh seperti yang kau bilang. Aku membelinya, dengan uang yang kuhasilkan hari ini." Penjelasan Mingi membuat San terkejut.
"Kenapa? Kenapa kau menggunakan uangmu untuk membeli ini? Bukankah..."
"Kita bicarakan itu setelah makan saja ya. Sekarang aku sangat lapar, jadi ayo mulai makan." Mingi memutus pertanyaan San begitu saja.
San tak cukup puas, namun pada akhirnya memilih berhenti bertanya. Menatap lurus Mingi, pandangannya mengarah ke mangkuk nasinya saat Mingi meletakkan sepotong daging diatas nasi panas miliknya.
"Ayo makan dengan tenang." Melebarkan senyumnya, Mingi berujar pada San.
San kembali menatap Mingi, lalu terlihat ikut menarik senyum diwajahnya.
"Ayo makan." Balas San, lalu menyuapkan nasi kedalam mulutnya.
Dan itu adalah makan malam terbaik San semenjak tinggal bersama Mingi. San nyaris saja menangis saat nasi panas bercampur daging sapi menyatu didalam mulutnya. Tak jauh berbeda dengan Mingi, yang juga merasakan kebahagiaan saat mulai menyantap makan malamnya. Ada kepuasan yang tak terungkapkan oleh Mingi saat itu. Mingi benar-benar bersyukur pada pilihan makan malamnya. Walau karena pilihan itu, Mingi harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk makan malam mereka.
***
Ditemani dua kaleng bir, Mingi dan San duduk menatap langit malam diatap rumah mereka. San terlihat memainkan kaleng bir ditangannya, setelah Mingi mengurai penjelasan yang dijanjikannya sebelum makan malam tadi.
"Kau hanya akan memikirkannya bukan? Itu tak berarti kau akan berhenti berusaha untuk ke sana kan?" Tinggal bersama Mingi lebih dari tujuh tahun, jelas membuat San memahami house mate nya itu.
Mingi tak memberi tanggapan, sang pria Song memilih menikmati bir nya dalam diam.
"Maka cobalah berpikir baik-baik." San mengangguk pelan menanggapi kebungkaman Mingi.
San cukup tahu makna diamnya Mingi, jadi tak menuntut sahabatnya itu menjawab pertanyaannya.
"Dan...saat kau sudah menemukan keputusan yang benar, apapun itu...aku akan mendukungmu." San tetaplah San yang selalu mengutamakan keinginan Mingi.
Latar belakang sang pria Song, memaksa San merajakan pria berzodiak Leo itu.
"Jika keputusanku itu membuatmu tinggal sendiri disini, apa kau tetap akan mendukungnya?" Mingi membawa mata tegasnya menyelami netra hangat San.
"Sendiri kapalamu." San memaksa tawa terurai dari bibirnya. "Aku masih punya Wooyoung, kalau kau lupa." Pelan San merebahkan tubuhnya.
Mingi menatap lekat San yang memandang langit gelap, lalu ikut berbaring disisi pria bermarga Choi itu.
"Jika kau berhasil ke sana, dan meninggalkanku disini. Berjanjilah..." Tanpa menatap Mingi, San berujar. "...berjanji untuk lebih memperhatikan dirimu dan hidup dengan baik disana." San memejamkan matanya setelah menyelesaikan kalimat itu.
"Tanpa kau memintanya, aku akan melakukan itu." Balas Mingi seraya mengurai tawa pelan.
"Baguslah kalau begitu." Suara San memelan, membuat Mingi menoleh padanya.
"Kau tidur?" Gumaman San membalas pertanyaan Mingi itu.
"Kalau mau tidur, turun dan pindah ke kamar sana." San memiringkan tubuhnya memunggungi Mingi.
"Nanti." Balas San singkat.
"Kau bisa masuk angin jika tidur disini." Mingi menarik tubuhnya kembali duduk. "Mountain..." Mingi menguncang tubuh San, namun sahabatnya itu justru mengeluarkan suara dengkuran yang membuat Mingi menghela nafas kesal.
"Awas saja kalau kau mengeluh padaku saat sakit nanti." Gerutu Mingi
Sang pria Song bangkit, untuk meninggalkan San yang terbaring disana. Berniat meninggalkan San begitu saja, Mingi akhirnya melempar jaketnya menutupi tubuh sang sahabat sebelum beralu meninggalkan sosok itu.
To be Continue
Sorry for Typo
Thanks for Votement
🌻HAEBARAGI🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro