Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 - Diet?

Mungkin sudah lebih dari tiga puluh menit Gina menghabiskan waktu di dalam distro ternama yang terletak pada salah satu mal besar ibu kota ini. Gina ingat, sekitar satu tahun yang lalu, mungkin pada awal semester empat, ia pernah menyambangi tempat ini bersama Dion.

Saat itu Dion sedang berbahagia karena mendapat honor pertamanya sebagai penyanyi di sebuah cafe terkenal. Setelah mentraktir cewek itu makan sepuasnya, Dion meminta Gina untuk memilihkan kemeja flanel yang akan ia beli.

Gina menghela napas memandangi dua potong kemeja di kedua tangannya. Kemeja itu bermotif kotak-kotak dan juga berwarna abu-abu. Hanya dua kemeja tersebut yang memiliki persentase kemiripan mendekati kemeja Dion yang telah ia gosongkan secara tak sengaja.

"Yang ini apa yang ini, Ya?" Gina bertanya pada seorang cewek yang sedang sibuk memilih kemeja-kemeja flanel khas anak muda itu.

"Woy, Kiyayaya!" Gina mengentakkan kaki saat berjalan menghampiri Kiya.

Iya, ini Kiya teman dunia maya Gina sesama penggemar Kiev Bhagaskara pada waktu SMA dulu. Jangan lupakan fakta bahwa Kiya juga merupakan sepupu Dion. Ayah Kiya adalah adik kandung dari Adhyasta Cendikiawan Angkasa alias Pak Kepsek.

Meninggalkan Bandung, Dion dan Gina merantau untuk berkuliah di Jakarta. Padahal, kedua orang tua Kiya menawarkan Dion untuk tinggal di kediaman mereka. Keluarga Kiya memang telah lama menetap di Jakarta. Tetapi Dion menolak dan lebih memilih untuk tinggal di kos-kosan dekat Gina.

Et, dekat kampus maksudnya.

"Oy, Ya! Kiya calon bini Julian Kenneth Rojali! Lo denger gue nggak sih?!"

Gina mulai mengomel dan membawa-bawa nama Juli, pacar Kiya yang juga sohib satu kos Dion. Juli dan Kiya sudah menjalin kasih sejak masih jadi mahasiswa baru.

"Iya-iya! Rengginang Poli bawel amat sih." Kiya menolehkan kepala hingga rambut indahnya terbang menampar wajah Gina yang langsung memberengut. Gina kembali menghela napas panjang-panjang meredam emosinya.

"Elo juga, nyebelin! Jadi, yang mana nih?"

Gina menunjukkan dua kemeja yang ada di tangannya. Berpikir, Kiya mengetuk-ngetuk telunjuknya dengan anggun di depan dagu.

"Hm ... dua-duanya bagus," komentar Kiya akhirnya. "Lagian lo kenapa sih, bukannya beli sama Dion aja." Kiya mendumal kesal.

"Dion nggak mau gue ganti," sahut Gina cepat.

"Ya udah. Kalau begitu nggak usah diganti, ribet amat."

"Nggak bisa gitu, dong. Entar gue terus-terusan dihantui rasa bersalah."

"Ya udah yang ini aja," putus Kiya dan menunjuk salah satu kemeja yang Gina tenteng.

Gina malah terlihat tidak setuju akan pilihan Kiya. "Nggak yang ini aja nih? Kayaknya Dion lebih cocok pake yang ini."

"Apa sih bedanya? Kemeja flanel mah gitu-gitu aja juga, Na." Kiya memutar bola mata. "Walaupun gue males bilangnya, tapi Dion Awan Angkasa aka sepupu gue itu ganteng-ganteng aja mau pake apapun juga."

Mau tak mau Gina membenarkan ucapan Kiya. Buktinya, Dion tetep aja tamvan meski mengenakan daster waktu dulu ikut lomba tarik tambang. Memeriahkan acara tujuhbelasan yang diselenggarakan karang taruna daerah kos-kosan mereka.

Gina berpikir cukup lama sebelum menentukan keputusannya.

"Ya udin, entar gue beli sama Dion aja dah."

"Si kampret." Kiya harus menahan diri untuk tidak memberi amukan pada Gina. "Jadi kita lama-lama di sini ngapain?!"

Gina hanya menyengir tanpa dosa dan mengembalikan dua kemeja itu ke tempat semula.

"Gue aja dah yang beli buat yayang Juli." Kiya meraih kemeja yang telah ia pilih dan menuju kasir.

"Kiya, gue kasih tau nih. Kata orang pamali ngasih baju ke pacar. Bisa putus lo!" bisik Gina penuh penekanan.

"Kata siapa? Mana ada. Mitos itu, Na. Lagian elo juga tadi mau beliin Dion."

Gina mengerucutkan bibir. "Lah, Dion kan bukan pacar gue."

"Tapi lo suka kan sama dia?" goda Kiya setelah melakukan transaksi di depan kasir. Ia mengucapkan terimakasih dan menyambut kantong kertas berisikan kemeja flanel teruntuk pacar tercinta.

"Kagak lah idih. Siapa yang bilang?" tanya Gina sewot.

"Alaaaah, nggak mau ngaku terus lo pada. Gue kasih tau nih, Dion tuh kayaknya juga suka sama lo, Na."

"Itu kan cuma kayaknya. Cuma spekulasi lo doang," ujar Gina meyakinkan.

"Tapi Dion nggak suka sama lo itu juga spekulasi lo doang," balas Kiya. Kedua cewek itu terus berdebat sembari berjalan beriringan menuju pintu keluar.

"Eeeh, itu tuh fakta. Dion nggak mungkin suka sama gue. Buktinya, selama ini Dion biasa aja tuh kalau gue deket sama cowok."

"Biasa aja itu cuma di permukaan. Siapa yang tau hatinya? Inget kata peribahasa, Na. Sedalam-dalamnya lautan itu bisa diukur. Tapi dalamnya hati, siapa yang tau?" cerocos Kiya tak mau kalah.

Jdug!

"Adaw!"

Kiya berdecak saat jidat Gina tidak sengaja membentur pintu kaca. Perhatian semua orang yang ada di sana lantas tertuju ke arah mereka.

"Na, jalan tuh hati-hati dong. Untung kacanya nggak kenapa-napa."

"Sakit tau!" dumal Gina kala keduanya telah berada di luar outlet. "Lagian lo tuh, ngomong suka ngawur, gue kan jadi nggak fokus."

"Hehe, maaf deh maaf. Tapi serius loh, Dion tuh---"

"Ssst! Udah deh, bahas Dion mulu. Gue laper nih. Mau makaaan." Gina merengek dan menyeret tangan Kiya untuk mencari tempat makan.

Setibanya di sana, mereka lantas duduk dan memilih menu. Kiya terheran-heran saat Gina menarik buku menu dan menutup seluruh wajahnya secara mendadak. Ujung mata Gina mengintip dua orang yang baru saja memasuki restoran.

Gina tak habis pikir, dari banyaknya tempat yang menyediakan makanan di mal ini, ia malah bertemu dengan Ruri dan Zoya. Semenjak Ruri mengumumkan kisah cintanya bersama Zoya dengan cara yang menyakitkan. Gina berusaha keras untuk tidak menampakkan batang hidungnya di hadapan mereka berdua.

Jujur saja itu karena Gina masih memiliki dendam kesumat pada Ruri.

"Kenapa, Na?" tanya Kiya. Gadis itu semakin mengernyit bingung melihat gelagat Gina yang menyuruhnya diam. Setelah mengikuti arah pandang Gina, Kiya baru memahami situasi.

Selain Dion, Kiya juga mengetahui cerita mengenai Ruri. Bahkan, Kiya turut tersedu-sedu kala Gina bercerita sambil terisak hebat padanya. Sebagai teman, Kiya jelas tidak rela atas tindakan Ruri. Namun, dia juga bersyukur karena Gina tak lagi dekat dengan cowok itu.

Gina semakin menenggelamkan wajahnya dalam buku menu. Sekarang Ruri dan Zoya sedang berdiri begitu dekat dari mejanya bersama Kiya.

"Mau makan apa, Yang?" tanya Ruri pada Zoya.

Telinga Gina memanas. Bukan karena rasa cemburu. Melainkan oleh rasa benci yang membara.

"Hm ... nggak deh, aku lagi diet. Temenin aku belanja lagi aja, ya?"

"Eh? Oh, ya udah," sahut cowok itu pasrah. Ruri mencoba berlapang dada. Padahal sekarang dia sedang dilanda kelaparan dan kelelahan akut. Tapi percuma berdebat dengan Zoya, ia tak pernah menang.

Kedua orang itu pun berlalu. Zoya berjalan lebih dulu, penampilannya glamor seperti biasa. Sedangkan Ruri berjalan di belakangnya sembari membawa kantong belanja yang memenuhi kedua tangan.

"Kasian banget si Ruri, udah pasti tuh diporotin," komentar Kiya setelah Gina menurunkan buku menu yang menutup wajahnya.

"Rasain, makan tuh cewek matre," rutuk Gina sebal.

"Ya udah. Sekarang lo mau mesan apa?"

"Gue nggak jadi makan deh. Kagak napsu," ujar Gina dengan ekspresi murung bercampur kesal.

"Na, kan tadi elo yang ngerengek-rengek kelaperan? Elo kan belum makan dari pagi."

"Nggak, Ya. Gue mau diet."

"Bujubuset." Kiya mendesis. "Na, lo tuh punya maag kronis. Jadi lo harus makan sekarang."

"Kiya, lo nggak denger tadi Zoya bilang kalo dia lagi diet? Gila, cewek triplek itu mau sekurus apa lagi emangnya? Gue yang penuh lemak ini jelas tersungging, lah!"

"Terus sekarang lo juga mau ikut-ikutan diet gara-gara dia?"

"Yoilah, entar kalau gue kurus. Biar gue ratain tuh hidung si Ruri!"

Kiya mengembuskan napasnya perlahan. "Oke, fine. Gue nggak bakal ngelarang. Tapi nanti. Sekarang, elo makan dulu."

"Nggak mau."

"Gue laporin ke Dion, nih," kata Kiya dengan nada mengancam.

Gina melotot. "Apa hubungannya sama Dion coba? Emangnya gue anaknya?"

"Yeu, kan dia yang paling rempong kalo lo kenapa-napa."

"Pokoknya gue nggak mau makan. Titik." Gina bersikeras.

"Pesen cepetan, Na."

Mata Gina membesar saat Kiya menyeringai dan menggoyangkan ponselnya di depan Gina. Ada nama Dion di sana. Ternyata cewek itu benar-benar serius atas ancamannya.

"Iya-iya, gue pesen. Cepetan matiin!" Gina menyerah dan segera menulis menu yang akan ia pesan.

"Gitu dong dari tadi," ujar Kiya sebelum memanggil seorang pelayan resto dan menyerahkan kertas pesanannya dan Gina.

Setelah menunggu beberapa lama, makanan mereka pun tiba. Kiya jadi merasa sedih melihat Gina yang hanya makan satu-dua suapan, sekarang cewek itu hanya memainkan sendok di sekitar makanannya.

"Na, makan yang bener," tegur Kiya sambil menggoyang lengan Gina.

"Ya ... napsu makan gue kayaknya beneran telah punah seperti Dinosaurus," tukas Gina dengan wajah tertekuk.

"Perlu gue suapin?"

Sebuah suara bariton yang berasal dari arah belakang mengejutkan Gina dan juga Kiya. Itu suara Dion Awan Angkasa. Sejak kapan makhluk itu berada di sana, pemirsa?

"Ngapain lo di sini?!" tanya Gina dengan nada tinggi karena shock. Lantas, dia mengarahkan pandangan tajam ke arah Kiya. "Elo ya, Ya?"

Kiya langsung membantah. "Eh, bukan gue, suer!"

Sumpah, Kiya tak jadi menghubungi atau mengirimkan pesan diam-diam tentang keberadaan mereka di sini pada Dion. Mana Kiya tahu Dion akan berada di sini.

"Emang nape kaget amat liat gue. Lagi gosipin gue lo pada?" Dion menyentil kening Gina sebelum duduk di samping cewek itu.

Gina mengkeplak bahu Dion sebagai balasan. "Elo ke sini sendiri, nyet?" tanyanya mengalihkan bahasan.

"Nggak, sama Juli. Dia lagi di toilet."

Gina menatap Kiya kesal. "Pantesan. Lo nggak ngasih tau Dion. Tapi lo ngabarin si kompeni, kan?"

"Hehe, iya Na. Tapi gue juga nggak tau doi lagi sama Dion. Dan plis deh Na, jangan panggil yayang Juli kompeni," protes Kiya. Meski Juli memang benar memiliki darah Belanda, tapi cowok itu kan tidak ada sangkut pautnya dengan penjajahan di masa lalu.

"Tapi kalau Juli mah cukup menjajah hati gue aja. Gue ikhlas lahir batin."

Gina dan Dion memutar bola mata melihat Kiya yang mesem-mesem. Apalagi kala Julian Kenneth Rojali memasuki restoran dan berjalan menghampiri mereka.

"Hei." Juli mengacak rambut Kiya lembut dan duduk di sebelah gadis itu. Kiya mengulum senyum, terdapat rona bahagia yang terpancar dari wajahnya.

"Kamu mau pesen?" Kiya bertanya manis pada cowok bule di sampingnya.

"Enggak, aku sama Dion udah makan tadi." Juli menjawab tak kalah lembut. Kiya tertegun beberapa detik kala Juli menghapus saus yang ada di ujung bibirnya. Keduanya tersenyum, salah tingkah.

Hal itu membuat Gina dan Dion kompak ingin muntah melihat interaksi dua orang yang duduk di seberang mereka itu. Juli menyengir melirik Gina dan Dion yang sedang memasang wajah masam.

"Sirik aja lo pada. Rasain pan jadi obat nyamuk!" ledek Juli. Muka boleh aja bule. Tapi mulut anak babe Rojali ini cablaknya kebangetan.

"Ijul, lo diem atau gue kasih air comberan," sahut Gina judes.

"Enak aje Ijul-ijul! Nama aye Ju-li, Mpok! Je-uju-el-eli! Juli!" Juli mengeja namanya sampai muncrat-muncrat.

"Udah, Yang. Gina tuh lagi nggak mood." Kiya mencoba melerai.

"Tuh, denger." Gina menjulurkan lidah singkat ke arah Juli.

Setelah perdebatan tak penting itu, Dion memusatkan perhatian pada Gina yang masih menganggurkan makanan yang ada di piringnya. Gina terkaget-kaget tatkala Dion menarik piring dan menyendok makanan. Sendok itu kemudian tertuju ke arah mulutnya.

"Buka mulut lo, mubazir kalau kagak dimakan, Nang."

Gina menggeleng dan menutup mulutnya dengan kedua tangan seperti anak kecil yang menolak makan.

"Elo aja sana yang makan. Gue mau diet, Yooon," rengek Gina.

"Ngapain pakai acara diet-dietan? Entar lo sakit. Siapa yang repot?"

"Elo tuh nggak ngerti perasaan gue, Yon. Kalau Kiya mah enak. Mau makan sebanyak apapun juga dia tetep aja kurus."

Kiya kicep dan melirik Juli yang juga diam menyaksikan konflik antara Dion dan Gina.

"Gue ngerti, makanya gue nyuruh lo makan."

Gina berdecih. "Ngerti gimana? Lo itu cowok. Nggak mungkin ngerti perasaan gue!"

Satu decakkan lolos dari mulut Dion. Ia meletakkan sendok itu kembali ke atas piring. "Apa gue harus jadi cewek dulu biar ngerti perasaan lo?"

Gina terdiam mendengar suara Dion yang meninggi. Namun, setelah itu Dion mulai melunakkan raut wajahnya.

"Kalau mau diet, diet yang bener. Olahraga. Besok lari pagi sama gue. Jangan mager." Dion berkata cukup lembut tetapi tegas sehingga Gina seolah tak sanggup untuk membantah. Apalagi tatapan Dion yang membuatnya terhipnotis. Wadaw, ini Dion apa Romy Rafael?

"Sekarang, makan." Dion kembali menyodorkan sendok ke depan mulut Gina. Perlahan Gina membuka mulutnya dan melahap makanan dari Dion.

Melihat itu, Kiya dan Juli lantas tersenyum dan saling menaik-naikkan alis mereka penuh makna.

Tangan Dion terulur mencubit pipi Gina yang sedang mengunyah makanannya. "Lagian, lo nggak usah kurus deh, Nang. Entar banyak yang naksir."




note;

HEMMM SA AE KANG KEBOOON.

Hahay.

Ah iya, mungkin next chapter bakal ada bulan Agustus. Aku lagi prioritasin PLL biar cepet tamat. Jadi HZ bisa lancar kayak keran Aamiin.

Oke,

qotd; ada yg mau ditanya?

Lafeeeu
Iin😹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro