Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21 - Jadi, Kita Nikahnya Kapan?

Sesungguhnya orang yang bersabar akan dibalas pahalanya tanpa perhitungan
(Az-Zumar : 10)

❤❤❤

"Hah? Taarufan? Kita?" Gina terlihat sangat syok atas pernyataan Dion.

"Tapi bunyi kentut lo aja gue udah apal. Ngapain pake taarufan lagi, ye?" Dion terkekeh. Mendengar itu, kepalan tangan Gina terulur untuk menonjok bahu Dion, tapi nggak jadi.

"Yon, lo ngigo? Lo tau kan taaruf itu tujuannya buat nikah?"

"Iya, tau," jawab Dion yakin.

Alis Gina makin menukik. "Terus ngapain lo ngajak gue taarufan?"

"Karena tujuan gue nikah sama lo."

"APA?!" Mulut Gina ternganga lebar.

Suer tekewer-kewer ini bukan bulan April jadi nggak mungkin April Mop.

Gina mengedarkan pandangan. Siapa tahu ada kamera tersembunyi dan sekarang Dion lagi ikut program tipi jail terus akhirnya bilang, "Kena, deh!"

Atau jangan-jangan Dion lagi taruhan sama Pilip dan Juli buat ngerjain dia? Kalau benar begitu, beribu pembalasan sadis sudah terlintas dalam benak Gina untuk tiga sekawan itu. Namun, hati Gina yang lain seolah berbisik. Bagaimanapun menyebalkannya Dion, dia tak akan mungkin sejahat itu untuk menjadikannya bahan taruhan. Apalagi dalam konteks pernikahan seperti ini.

Gina menghela napas panjang-panjang. "Maksud lo apa sih, Yon? Sumpah bercanda lo nggak lucu."

"Gue serius, Nang." Dion kukuh di tempatnya berdiri. Langit seolah memberi semangat pada Dion karena hujan yang perlahan teduh. "Kalau gitu gue ralat, gue nggak lagi ngajak lo taaruf, gue mau ngelamar lo."

"HAH?!" Gina menampar pipinya. Nggak mungkin. Ini pasti mimpi.

"Ini bukan mimpi, jadi stop nabokin pipi. Gue serius. Lo nggak liat muka gue serius banget nih?" Dion menunjuk raut wajahnya yang mencoba meyakinkan Gina.

"Apaan sih? Lo abis denger tadi Hafi sama Aira mau nikah jadi mau nikah juga? Jangan main-main deh, Yon. Lo nggak mikirin cewek yang lo suka itu? Dia kenapa? Nolak cinta lo? Denger ya, Yon. Gini-gini gue bukan opsi!" Ada sedikit emosi yang terpancar dari wajah Gina.

Dion memandang Gina lekat. "Gue mikirin cewek itu. Hampir setiap hari. Bahkan sekarang ketika gue ada di hadapan dia."

"Hah?"

"Cewek itu elo, Firstya Angginafila. Dari dulu, cewek itu elo."

"Apa?!" seru Gina tak percaya. Cewek yang Dion suka itu ... dirinya?

"Gue tau gue udah banyak bohong ke elo buat nutupin perasaan gue. Gue serius. Lo bukan opsi. Sama sekali bukan. Karena lo satu-satunya pilihan gue, nggak ada yang lain. Gue nggak mau kita pacaran. Gue mau ... kita nikah."

Gina begitu kaget mendengar ungkapan hati Dion yang sebenarnya telah cowok itu pendam sejak lama.

"Kalau lo mau, sekarang juga gue bakal pulang nemuin mama lo," tukas Dion.

"Dion! Bentar duluuu." Gina mengambil napas sebanyak-banyaknya. Jantungnya jumpalitan.

"Jangan lama-lama kagetnya. Gue butuh jawaban. Lagian juga kita nggak bakal langsung kawin besok, Nang."

Gina menggigit bibir bawahnya. "Gue masih kaget. Sumpah."

Dion tahu ini memang terlalu mendadak tapi ia sudah memikirkan hal ini matang-matang. "Kalau yang dimasalahin masa depan kita nanti. Gue udah punya tabungan. Gue juga nggak mungkin nelantarin lo dan masalah rezeki udah dijamin sama Allah."

"Iya gue tau itu, Yon. Gue tau." Gina tahu Dion adalah tipe orang yang sangat terorganisir dan pekerja keras. "Tapi sumpah bukan itu masalahnya. Lo sendiri gimana? Lo yakin sama gue? Lo tau kelakuan asli gue kayak gimana dan segala aib gue selama ini. Lo benar-benar yakin sama gue?" tanya Gina serius.

"Gue nggak pernah seyakin ini," jawab Dion lugas.

"Dion, pikirin dulu." Gina menghela napas pelan. "Lo tau kita selalu sama-sama. Kita nggak pernah pisah. Gimana kalau nanti kita jauh? Apa perasaan lo bakal tetap sama? Kita nggak bisa jamin itu, Yon. Nggak bisa. Lo yakin perasaan lo ke gue itu cinta? Bukan perasaan semu karena kita udah biasa sama-sama?"

Dion terdiam. Merenungi kata demi kata yang Gina ucapkan. Perkataan Gina menohok batinnya. Benar, dia tak bisa menjamin hatinya sendiri karena sesungguhnya hati itu terbolak-balik. Dia juga tak bisa menjamin bahwa apakah perasaannya ini benar cinta atau bukan. Satu hal yang ia yakini, ia ingin bersama Gina hingga nanti.

"Kalau lo minta, kita bakal buktiin. Gimana rasanya kalau kita jauh. Apa perasaan gue ke elo tetap sama atau enggak. Apa perasaan gue ini bener cinta atau bukan, lo bisa liat nanti." Dion berkata dengan nada lembut tapi Gina dapat merasakan ketegasan di setiap katanya.

Gina tahu, setelah ini, keadaan mereka, persahabatan mereka, tidak akan pernah lagi sama.

***

Minggu demi minggu berjalan. Sehabis menghadiri pernikahan Aira dan Hafi di sebuah masjid, Gina berdiri di depan jendela kamarnya. Pernikahan Aira dan Hafi berlangsung khidmat. Mereka bahagia, tentunya. Terikat dalam hubungan yang halal dengan niat beribadah kepada-Nya.

Dan ketika Dion menawarkan kebahagiaan serupa, Gina menolak secara tak langsung. Bukan menolak, hanya ... dia rasa waktu mereka benar-benar belum tepat. Dia juga merasa belum pantas.

Apakah perkataannya waktu itu menyakiti hati Dion? Kenapa dia merasa serba salah begini?

Jujur, Gina merasa hampa tanpa kehadiran Dion. Sangatlah hampa. Tapi bagaimana lagi? Dia tidak siap dengan ungkapan Dion yang begitu mendadak waktu itu.

Gina memandangi jendela Dion yang tertutup. Dulu, mereka saling berseru dari jendela masing-masing. Dibanding lewat ponsel, mereka sering berbincang secara langsung dari sini.

Tapi itu dulu. Sekarang sudah berbeda.

Gina tersenyum kala teringat Dion berseru heboh meminta bantuannya untuk menyelamatkan cowok itu dari gangguan kecoak. Dion yang melempar banyak makanan ringan lewat jendela. Ia yang menonton Dion bernyanyi sambil memainkan gitar di depan jendela secara live.

Semua itu kini hanyalah kenangan.

Selain disibukkan dengan tugas skripsi, Gina kini sering mengikuti kajian di masjid bersama Aira. Gina tahu bahwa sesungguhnya hijrah bukan hanya sebatas menutup aurat, tapi juga mendalami ilmu agama. Menuntut ilmu hukumnya wajib dari buaian hingga liang lahat. Apalagi ilmu agama, bekal kita untuk menuju akhirat. Meninggalkan kehidupan yang fana ini.

Tapi Gina sendiri tak pernah berkata ia sedang berhijrah secara gamblang. Semua itu dibuktikan dengan perbuatan bukan perkataan. Biarlah orang-orang yang menilai. Gina sadar dia sendiri masih tak luput dari kesalahan. Ia hanya ingin menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Gina menghela napas lalu menutup jendelanya. Dan tanpa Gina sadari, Dion membuka jendela setelahnya. Memandangi jendela Gina yang tertutup dengan perasaan sama resahnya.

Sekarang yang bisa mereka lakukan hanyalah berjuang dalam doa. Jika nanti waktu yang tepat itu telah tiba. Langit dan bumi akan menjadi saksi, jika mereka memang benar-benar ditakdirkan untuk bersama.

Dion membuka notesnya. Penanya bergerak. Dan lagi, ada nama Gina yang terpatri dalam rencana hidupnya.

***

Siang itu, Gina keluar dari perpustakaan pusat kampus mencari referensi. Tubuh Gina menegang karena takut. Sosok itu, Gery. Keluar dari mobilnya dengan sangat tiba-tiba. Jantung Gina sesak mengingat seringai mengerikan Gery pada malam itu. Gina masih trauma. Tubuhnya makin gemetar saat Gery berjalan cepat ke arahnya.

Dan sebelum Gery mencapai Gina, sebuah punggung menjelma sebagai tameng di depan Gina. Punggung dengan kemeja warna merah marun itu ialah punggung Dion yang hadir tepat waktu.

"Gue mau ngomong sama Gina," mohon Gery sungguh-sungguh pada Dion yang berekspresi dingin. Rahang Dion terkatup menahan emosi.

"Yon, gue nggak apa-apa." Gina berusaha tenang. Namun, nada suaranya malah terdengar bergetar.

Dion berdecak. "Nggak. Lo tetap di belakang gue."

Pandangan Dion lalu tertuju pada Gery. "Lo mau ngomong apa? Gina tetap bisa denger lo."

Gery menghembuskan napas panjang. Ia lalu membuka ransel dan mengulurkan undangan pada Dion.

"Gue bakal nikah dalam waktu dekat." Gery tersenyum tipis. "Gue mau ucapin terima kasih sama lo, Na. Makasih udah nonjok gue waktu itu. Dan perkataan lo waktu di rumah sakit itu juga, Yon. Terima kasih udah menyadarkan gue."

Gina dan Dion kaget bukan kepalang. Pernyataan Gery benar-benar mengejutkan mereka.

"Gue harus tanggung jawab sama apa yang gue perbuat. Gue sayang sama calon istri gue, juga ... calon anak gue. Gue harap gue bisa berubah jadi lebih baik dan ... kayak perkataan lo waktu itu, Yon. Gue harap anak gue nggak ketemu cowok brengsek kayak gue."

Dion tertegun beberapa saat sebelum berujar, "Gue minta maaf untuk waktu itu. Selamat atas pernikahan lo."

"Nggak apa-apa, Yon. Santai. Yang lalu udah berlalu. Gue harap kalian bisa datang." Gery tersenyum dan menengok Gina yang ada di belakang punggung Dion. "Lo makin cantik pakai hijab, Na. Serius."

"Gue harap keluarga kalian bahagia," ujar Gina penuh ketulusan.

Gery mungkin punya sisi kelam dan terkenal sebagai PK. Married by accident mungkin akan melekat pada Gery dan istrinya dan akan menerima nyinyiran banyak orang yang mengetahuinya. Mungkin mereka salah, tapi bukan berarti pintu yang terang benderang tertutup bagi mereka yang pernah terjerumus dalam kegelapan.

"Nang,"

"Hm?" Gina gugup saat Dion berbalik menatapnya.

"Pulang?"

Gina mengangguk dan mereka berjalan beriringan dalam senyap.

***

Dion dan Gina hampir tak pernah lagi menjajakkan kaki di markas mereka—tempat fotokopian Bu Astuti. Sore itu Juli dan Pilip mengambil alih dengan berleha-leha di sana sambil main PS.

"Jul-Jul, lo ngerasa nggak sih kalau ada yang beda antara Dion sama Gina? Mereka kayak ... saling menghindar gitu," ujar Pilip dengan raut seriusnya.

Juli mengangguk heboh. "Ngerasa banget, Broh! Mukegile, entu bocah berdua yak udah kayak penganten lagi dipingit, kalo di kos mah ngejegrok aje di kamar masing-masing. Kagak ada lagi tereak-tereak lewat jendela. Udah kagak pernah ngumpul di sini juga."

Bibir Pilip mengerucut sambil manggut-manggut. Walaupun Gina telah berhijab, kedua sahabat itu masih sering melontar canda meski tanpa jitak-jitakkan, ketek-ketekkan, cubit-cubitan manja, tabok-tabok gemash dan skinship ala-ala persahabatan mereka. Namun, sekarang melihat mereka saling bicara pun jarang.
Sepertinya ada sesuatu yang mereka sembunyikan.

"Noh mereka datang!" seru Pilip heboh melihat Dion dan Gina berjalan beriringan tapi berjauh-jauhan. Kayak lagi musuhan aja.

Pilip berlari dan memiting leher Dion sambil menyeret cowok itu masuk ke fotokopian. Juli memanggil Gina untuk bergabung tapi cewek itu beralasan sibuk dengan tugas skripsinya.

"Kalian berdua kenapa sih, Yon? Kayak ngejauh gitu," tanya Juli penasaran setelah Dion duduk di sofa markas mereka.

"Gue ngelamar Gina."

"HAH?!" Mata Juli dan Pilip hampir copot. "Terus-terus?"

"Dia belum siap."

"Terus-terus-terus?" Pilip udah kayak tukang parkir.

"Ya gue nunggu dia siap." Dion tersenyum kalem sambil mengangkat alis. Ada pengharapan yang bisa mereka baca pada kedua mata Dion.

Hening.

Juli dan Pilip saling lirik melihat Dion yang begitu serius. Jarang-jarang sekali melihat Dion dalam suasana seperti ini.

"Yon, lo tau nggak Hafi sama Aira ada sesuatu waktu mondok dulu?" tanya Pilip. Tentu, Dion menggeleng.

"Sesuatu maksudnya? Mereka pernah pacaran?" tanya Juli heboh.

"Bukan pacaran sih, tapi dulu tuh lagi musim banget surat-suratan sama santriwati. Hafi kan suka sama Aira, dia ikut-ikutan ngirim surat. Eh, apesnya, sebelum Aira baca, surat itu malah ketahuan Pak Kiai. Dan Kiai itu sebenarnya abinya Hafi. Abinya Hafi emang agak keras sih. Mereka dipanggil ke kantor terus mau dinikahin."

Juli membelalak. "Buset! Terus-terus?"

"Hafi bilang dia belum siap. Nikah kan tanggung jawabnya gede. Apalagi umur segitu."

"Terus-terus? Kenapa mereka nggak perjuangin cinta mereka? Kan lo bilang Aira sebenarnya juga suka sama Hafi. Mereka bisa backstreet gitu loh," tukas Juli.

"Perjuangan yang terbaik buat mereka saat itu adalah saling melepaskan, Jul. Kalau belum waktunya, ya harus menahan diri. Berjuangnya lewat doa. Asik." Pilip tersenyum sambil mendorong bahu Dion.

Dion hanya diam dan tersenyum tipis.

Memang, dua orang yang tepat akan dipertemukan pada waktu yang tepat dalam ikatan yang tepat. Tidak pernah terlambat, tidak juga lebih cepat.

Semuanya telah diatur dengan tepat. Bahkan sebelum kita dilahirkan.

Bersambung

Karena sub judulnya,

Intinya, Kapan Dihalalin?

Jadi tujuannya emang buat kalian bertanya, Kapan? Kapan? Kapaan?????

😂😂😂😂😂😂

Sabar lah sabar wahai sahabat~~~~~ Orang sabar wattpadnya lebaaaar~~~

ig:

@indadahindadah

@angginafila

@dionangkasa_

Regards, Iin 😸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro