Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 - Ungkapan Tak Terduga

Rasulullah saw, bersabda, "Sesungguh-nya Allah mempunyai para malaikat yang senantiasa berkeliling di bumi yang akan menyampaikan salam kepadaku dari umatku."
[HR. An-Nasa’i, Al-Hakim 2/421]







❤❤❤


Dion Awan Angkasa.

Seseorang yang akan tampak layaknya ilmuwan muda menawan jika mengenakan jas laboratoriumnya. Pernah menjadi bagian dari Badan Eksekutif Mahasiswa dengan pemikiran-pemikiran cemerlang. Gigbags berisikan gitar yang tercangklong di bahunya hampir setiap hari. Suaranya pun merdu, terdengar begitu menenangkan.

Mengingat sosok Dion, Aira tak bisa menghapus momen kebaikan yang pernah cowok itu lakukan untuknya. Waktu itu ketika mereka masih menjadi mahasiswa baru. Saat ospek berlangsung, Aira lantas kalang kabut karena telah meminum air mineral yang seharusnya dikumpulkan. Aira kira, air mineral itu nantinya juga akan diberikan pada mereka sendiri, bukannya dikumpulkan bersama makanan teka-teki lainnya.

Melihat para Gaklin (Penegak Disiplin)—semacam Komisi Disiplin yang beranggotakan kakak-kakak tingkat  sangar—yang kian mendekat, Aira tambah menciut.

Menyadari kegelisahan Aira yang duduk di sebelahnya dan botol air mineral gadis itu yang hanya tersisa setengah, Dion menukar botol itu dengan botol air  miliknya yang masih bersegel. Aira terperangah. Dan sebelum Aira sempat mengatakan apa pun apalagi berterimakasih, Dion telah diseret Gaklin ke depan barisan untuk menerima hukuman.

Sejak saat itu, Aira diam-diam memerhatikan Dion.

Dion yang senang melucu. Dion yang memiliki banyak teman. Dion yang selalu diandalkan para dosen. Dion yang memenangkan lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat nasional.

Jujur, Aira kagum padanya.

"Yumna awas!" Aira terkejut saat Hafi menarik tangannya. Detik selanjutnya, gulungan karpet tebal yang tadinya berdiri di sudut ruangan, jatuh ke lantai dan berdebum cukup keras.

Cepat-cepat, Hafi melepaskan genggamannya. "Kamu nggak apa-apa?"

Aira yang masih syok hanya mengangguk seadanya. Hafi pun beranjak untuk menggeser gulungan karpet itu ke tepi ruangan. Sekarang mereka sedang bersiap untuk acara penutupan pekan iman dan takwa yang dilaksanakan pada aula panti asuhan ini.

Memandang punggung Hafi yang semakin menjauh, hati Aira berdesir. Netranya melirik tangan yang tadi digenggam oleh Hafi. Jantungnya kian berdebar. Suara Hafi yang tadi memanggil nama tengahnya terus terngiang-ngiang di telinga.

Di sisi lain, Gina yang bertugas sebagai pembawa acara pun sibuk bersiap-siap. Gadis itu tampak manis dengan gamis juga hijab berwarna abu yang menutup kepalanya. Tak jauh dari Gina, Dion sedang sibuk memperbaiki salah satu mikrofon yang dari tadi bermasalah, ia duduk bersila di kelilingi oleh speaker dan kabel-kabel sound lainnya. Dion menghapus peluh dengan kaos lengan pendek bergambar band cadas yang ia kenakan. Sedangkan baju kokonya masih terlipat dengan rapi di jok motor.

Gina terkekeh geli melihat Dion pakai sarung sama kaos begini. Dia teramat fokus dengan pekerjaannya.

Satu kata, ganteng.

Hehe.

"Nih, coba tes." Dion mengulurkan mikrofon yang sudah ia utak-atik pada Gina.

Gina mengetuk moncong mikrofon menggunakan satu jari sebelum mengeluarkan suaranya, "Tes. Cek satu dua. Satu dua."

Gina mengacungkan jempolnya dengan mata berbinar-binar. Dion ini multitalenta sekali ya. Sepertinya kecerdasan jamak yang dikemukakan Prof. Howard Gardner Dion borong semuanya.

"Ya udah, gue ganti baju dulu." Dion menyugar rambutnya beberapa kali sembari berdiri.

Baru beberapa langkah, Juli dan Pilip menghadang Dion dengan laporan gawat darurat. Katanya, Pak Amin pelatih sekaligus vokalis utama shalawat yang sering menemani Zul dan teman-teman mendadak harus ke luar kota sekarang juga, beliau menunjuk Dion menemani Zul cs tampil untuk acara yang sebentar lagi akan dimulai ini.

"Serius? Gue? Itu arab semua woy, kalau gue salah gimana?" sahut Dion panik. "Lo aja dah, Lip. Lo kan pernah nyantri."

"Ye, yang diamanahin kan elo, Yon. Lagian beberapa hari ini kan lo juga yang dampingin mereka latihan sama Pak Amin," kata Pilip meyakinkan.

"Suara lo bagus juga, udah selow aja," timpal Juli.

"Hafi mana Hafi?" tanya Dion.

"Hafi lagi jemput ustadz yang bakal ngisi ceramah. Anak-anak udah siap tuh. Ini gamis dari Pak Amin biar seragam sama anak-anak." Pilip memberikan gamis berwarna putih tulang untuk Dion tapi Dion belum juga menyambutnya.

"Gue nggak yakin bisa. Bawain shalawat sama nyanyi kan beda."

"Pasti bisa." Kini Gina yang bersuara. Akhir-akhir ini dia sering mendengar Dion melantunkan shalawat yang biasa anak-anak bawakan saat latihan. "Cepetan, Yon. Acaranya udah mau mulai."

Dion menatap anak-anak yang duduk di kursi yang disusun di depan aula. Mereka membawa rebana, rawis dan alat musik pengiring lainnya. Di tengah-tengah, Zul duduk di kursi roda sedang asyik bercanda dengan teman-temannya. Hati Dion menghangat. Mereka telah berlatih keras untuk acara hari ini. Setidaknya, dia juga harus melakukan sesuatu untuk mendukung mereka.

Mata Dion kemudian beralih menatap Juli dan Pilip. Tangannya perlahan terulur untuk menerima gamis yang Pilip berikan.

"Gitu dong dari tadi," celetuk Juli.

"Pake lama bener mikirnya," tambah Pilip terkekeh.

Dion menggaruk belakang kepalanya. Pandangannya kini beradu dengan mata Gina.

"Yakin pasti bisa," kata Gina seraya tersenyum tipis.

***

Sholatum ... bissalamil mubiin...
Linuqtotittta'yini ...
Ya ghoromi....

Gina tertegun. Terpesona habis-habisan pada ketampanan tiada batas Dion Awan Angkasa yang terpancar penuh mengeluarkan suara emasnya. Dion mengenakan gamis ditambah sorban yang tersampir di bahu juga peci yang menutup kepala. Dion terlihat begitu berbeda. Auranya semakin terang dan mempesona.

Tabuhan rebana dan rawis mulai bertalu. Anak-anak panti, para pengurus, juga tamu undangan masyarakat sekitar panti asuhan sudah memenuhi aula. Sebenarnya, Dion dilanda gugup yang teramat sangat. Ia memang telah pro dalam menyanyi di depan umum. Tapi kali ini berbeda. Dion berusaha berkonsentrasi dan melakukan yang terbaik.


صَلاَةٌ بِالسَّلاَمِ المُبِينِ لِنُقطَةِ التَّعيِينِ يَاغَرَامِى

Sholatum bissalamil mubiini....
Linuqtotittta'yini ... Ya ghoromi.... [Shalawat serta salam sesungguhnya untuk yang terkhusus, wahai Rinduku…]

نَبِيٌّ كَانَ اصلَ التَّكوِينِ مِن عَهدِ كُن فَيَكُون يَاغَرَامِي

Nabiyyun kana ashlattakwiini min 'ahdikun fayakun ya ghoromi .... [Sang Nabi, awal penciptaan sejak masa Kun fa yakun, wahai Rinduku…]

اَيَّامَن جَاءَنَا حَقًّا نَذِيرِ مُغِيثًامُسبِلا سُبُلَ الرَّشَادِ

Ayyaman ja ana haqqon nadziri
Mughiitsam musbilan subularrosyaadi [Wahai engkau yang telah datang kepada kami membawa sebenar peringatan, penolong serta penunjuk jalan kebenaran…]

رَسُولُ اللهِ يَاضَاوِي الجَبِينِ وَيَامَن جَاءَ بِالحَقِّ المُبِينِ

Rasulullahiya dhowil jabiini
Wa ya man ja a bil haqqil mubiini [Wahai Rasulullah yang dahinya bercahaya…Wahai yang datang dengan kebenaran yang terang…]


صَلاَةُ لَم تَزَل تُتلى عَلَيكَ كَمِعطَرِ النِّسِيمِ تُهدى الَيك

Sholatulam tazal tutla alaika
Kami'thorinnasiimi tuhda ilaika
[Shalawat senantiasa tercurah atasmu bagaikan angin wewangian yang dihadiahkan kepadamu]

Dion bagaikan magnet. Bukan hanya Gina, tapi perempuan yang berhadir di tempat itu pun lantas bisik-bisik terpesona. Bahkan, ibu-ibu juga berandai-andai memiliki menantu idaman seperti cowok yang sedang melantunkan shalawat di depan sana.

***

Rangkaian acara penutupan pekan iman dan takwa berjalan dengan lancar. Di akhir acara, Hafi sebagai ketua pelaksana mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kerja sama orang-orang yang telah membantu banyak hal dalam keberlangsungan acara itu.

Mereka juga menggalang dana untuk membantu anak-anak panti asuhan. Rasanya senang sekali melihat tawa bahagia anak-anak. Semoga kegiatan ini bisa membawa manfaat. Jujur saja, Gina dan Dion cs merasa bahwa merekalah yang beruntung bisa belajar banyak dari anak-anak di panti asuhan ini.

"Dan, ini. Saya harap kalian bisa berhadir." Hafi memberikan undangan pada mereka semua. Semua lantas terkejut melihat isi undangan tersebut.

Dua minggu lagi akan dilaksanakan acara pernikahan antara Muhammad Hafi Azwardhana dan Humaira Yumna Andini.

"Lho? Kalian?" Mata Gina membulat total. Tidak menyangka. Dia kira, Aira baru mengenal Hafi sama sepertinya. "Kok nggak bilang-bilang, sih?"

"Kamu nggak nanya." Aira tersenyum tipis. Tapi rona wajahnya memancarkan kebahagiaan.

Gina menatap Hafi dan Aira bergantian. Betul juga sih. Mereka berdua ini sama-sama nggak banyak omong. Keduanya juga jarang terlihat berinteraksi. Diam- diam menghanyutkan.

"Selamat, Bro. Jodoh emang nggak ke mana." Pilip menepuk bahu Hafi sambil tertawa kecil. Sebenarnya Hafi adalah sahabat Pilip waktu mondok dulu. Dan Aira ... Pilip tentu tahu perempuan itu. Meski awalnya tidak sadar karena sudah sangat lama dan di pondok dulu pun ia baru satu kali melihat sosok yang namanya Aira.

"Makasih, Lip." Hafi membalas pelukan Pilip ala bro-bro.

Setelah Pilip, semua orang pun memberi ucapan selamat pada Hafi dan Aira. Dion tersenyum. Merasakan kebahagiaan mereka. Mereka telah membuat keputusan besar untuk menikah muda. Bahkan di semester yang krusial ini. Namun, kalau jodohnya sudah tiba, mau bilang apalagi?

Hafi sangat gentle bertemu dengan keluarga Aira dan penuh keyakinan  mengkhitbah Aira yang telah mengisi hatinya sejak bertahun-tahun yang lalu.

Beruntung, pinangannya diterima. Karena dalam diamnya, Aira juga telah menyimpan rasa itu sejak lama.

***

"Nggak nyangka, ih. Mereka mau nikah sebentar lagi." Gina mesem-mesem. Merasa baper sendiri. Walaupun agak potek, iya karena Hafi adalah sosok yang ia kagumi dari pertama kali melihatnya. Tapi Aira benar-benar cocok bersanding dengan Hafi. Couple goals banget. Jujur, Gina banyak belajar dari sosok mereka berdua.

"Lo sendiri kapan, Ya?" tanya Gina meledek Kiya. Kini mereka berdiri di koridor panti menatap rintik air hujan yang jatuh ke bumi. Meski tidak deras, tapi kalau diterobos pasti akan basah juga.

"Nggak tau. Hafi sama Aira kan udah siap lahir batin. Kalau gue sih belum siap." Kiya cengengesan. Gina juga. Ngurus diri sendiri aja belum beres gimana ngurus rumah tangga.

Gina tertawa. "Kita mikirin lulus dulu aja deh, Ya. Lagian jodoh juga entar datang sendiri."

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Si Juli datang membawa payung menghampiri Kiya dan Gina.

"Yang, pulang yuk," ajak Juli. Kiya pun mengangguk.

"Yah, jahat banget ninggalin gue ...." Gina menggerutu. Bibirnya cemberut total.

"Sori-sori, nih, Na. Gue bukan ojek payung. Entar Dion jemput, tunggu aja." Juli terkekeh menyebalkan.

"Na, duluan dikit ya," pamit Kiya seraya mencubit pipi Gina sebelum berjalan di bawah payung asmara bersama Juli.

"ya. Hati-hati, yaaa," pesan Gina.

"Sipp."

Sepeninggal Juli dan Kiya, Gina membuka ponselnya menunggu Dion. Membuka instagram dan yang pertama kali ia lihat adalah post beberapa akun islami yang menyampaikan keberkahan halalnya suatu hubungan. Eak, halal zone banget ini. Lihat postingan kayak gitu bikin hati Gina baper. Bukannya Gina ngebet mau nikah. Tapi semua cewek pasti punya impian memiliki pernikahan sakinah, mawaddah dan warrahmah di masa depan.

"Firstya Angginafila."

Gina perlahan mendongak. Dion telah berdiri di depannya. Di bawah gerimis yang melanda. Dion masih mengenakan gamis serta peci.

Dion tidak membawa payung. Tapi tangan cowok itu bergerak untuk melepas sorban yang tersampir di bahunya. Dan alangkah terkejutnya Gina saat Dion membentangkan sorban itu di atas hijabnya. Melindunginya dari tetes air hujan.

"Kalau kita taarufan, gimana?"














Bersambung











Nggak jadi cinta jajar genjang, karena gue rasa terlalu ribet dan panjang untuk menjelaskan.

Tapi jangan senang dulu 😌

Terus apalagi ya.

Gue sendiri seperti Gina yang awam masalah agama. Di sini gue sama sekali nggak berniat menggurui. Gue nggak ada baik-baiknya. Kelakuan gue juga bala banget sama kayak Gina, walaupun gasrak dia sih teteup. Sekali lagi ditegaskan saya ini pendiam dan kalem, pemirsah.

Waktu sakit dulu tuh, pas tengah malam demam gue tinggi banget, perut leper ampe tulangnya keliatan gizi buruk banget gue. Disitu gue ngerasa sakit banget. Kepala juga pusing. Mual tapi udah nggak ada yang bisa dimuntahin. Suara gue juga hilang karena serak. Terus gue kayak apa ya. Mikir. Kalau mati sekarang gimana? Gue nggak siap ditanya malaikat dalam kubur.

Gue takut banget waktu itu.

Ditegur dulu baru deh sadar.

Waktu itu kuliah lagi hectic banget. Sampai kayaknya susah napas. Itu waktu mau pengumpulan tugas akhir di ujung semester. Pas sakit itu. Gue udah nggak bisa apa-apa lagi, kan. semua deadline lepas gitu aja. gue bahkan nggak ikut intervensi ke sekolah dan cuma bisa andelin temen-temen kelompok yg alhamdulillah bisa ngerti.

Pertanyaan itu muncul lagi. Kalau gue mati sekarang gimana? Gimana abah kalau gue tinggal? Gimana kalau gue ketemu sama mama sekarang?

Tugas-tugas yang udah gue kerjain mati-matian gimana? nilai kuliah gue gimana? Fangirl Enemy yang mau terbit juga gimana?

Gue sadar semua itu nggak ada artinya. Dunia nggak akan dibawa ke alam kubur.

Sementara bekal akhirat gue belum cukup. Sangat belum cukup. Sholat yg kewajiban paling utama aja suka buru-buru, nggak khusyuk. Tapi alhamdulillah masih diberi umur.

Semoga, aku, kamu, kita bisa lebih baik. Bukan lebih baik dari orang lain tapi lebih baik dari diri kita yang sebelumnya.

Udah ah makasih udah baca curhatan gue yg panjang kali lebar ini. Semoga kalian bisa mengambil hikmah dari apa yang gue rasain. Hehe. Kayak orang bener aja kan gue wkwkw.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Salam super, Iin❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro