
24. Ungkapan Virtual
"Tapi besok-besok jangan diulangi lagi ya, Nak? Gimanapun, nggak baik kamu main kabur aja sekalipun akhirnya diizinin sama suami," nasihat Mama Lestari begitu akhirnya Almira berkenan bercerita tentang kebenaran kecurigaan beliau kalau anaknya ini sedang bertengkar.
Benar. Mama Lestari curiga bahwa anak dan menantunya tersebut sedang bertengkar. Pasalnya Almira berkunjung tanpa Emil dan Almira juga datangnya menggunakan jasa taksi online. Begitu sampai rumah, wajah Almira tampak kusut walau sudah sedemikian disamarkan menggunakan ulasan senyum. Memeluk beliau begitu erat untuk kemudian beranjak ke kamarnya dan mengurung diri. Sorenya, barulah Emil menjemput dan Almira justru katanya mau menginap dengan alasan kangen Mama.
"Baik, Ma. Maaf, Ma. Almira masih kekanakan banget, ya?" sahut Almira, memeluk sebelah tangan Mama Lestari yang tengah duduk bersamanya di ruang keluarga.
Tidak langsung menjawab, Mama Lestari justru mengelus sebelah punggung tangan Almira seraya baru membalas, "Nggak apa-apa. Ini jadi pembelajaran berharga buat kalian berdua. Semoga setelah ini, hubungan rumah tangga kalian jadi lebih baik."
"Aamiin," sahut Almira, menyandarkan kepalanya yang mengenakan hijab biru dongker ke sebelah bahu Mama Lestari.
"Dulu, gimana perjalanan awal Mama menikah sama Papa Kinan?" Mendadak, Almira jadi penasaran perkara itu. Soalnya, Mama Lestari juga memiliki masa lalu dengan Appa-nya.
"Ya ... awal-awal menikah, Mama juga sedikit sulit beradaptasi. Ada beberapa kehidupan baru yang buat Mama kerasa banget belum terbiasanya. Salah satunya adalah karakter Papa Kinan sama Appa-nya kamu yang beberapa bertolak belakang. Tapi pelan-pelan, Mama terbiasa dengan semua itu, lebih bisa mengerti, lebih bisa memahami karakter Papa Kinan, dan lebih pandai bagaimana cara Mama harus bersikap," jujur Mama Lestari, dirinya memang sempat seperti itu, hidupnya dengan Daehyun tidaklah sebentar, memulai hidup baru dengan Kinan yang memiliki banyak kebiasaan dan karakter berbanding balik, ini tidaklah mudah. Sejujurnya, beliau paham rasa kaget Emil memulai hidup baru dengan Almira karena memang dirinya jugalah pernah merasakan posisi itu.
"Tapi komunikasi yang baik, saling memahami, dan memaklumi, ini buat semuanya lebih mudah, Nak," imbuh beliau seraya menengok menatap anak perempuan satu-satunya itu.
Almira menimpali tatapan netra Mama Lestari. Mendengar itu menjadikan kedua matanya memanas.
"Tapi masa lalu Mama sama Appa kan udah selesai saat Mama memutuskan menikah sama Papa Kinan. Beda cerita sama aku. Dan kami juga kurang memiliki komunikasi yang baik selama menikah, Mas Emil masih banyak menutup diri dari aku, Ma," ujar Almira, air matanya melesat jatuh.
Atas nelangsa Almira itu, sepasang mata Mama Lestari berkaca-kaca. Beliau bisa merasakan bagaimana sulitnya menjadi Almira, ditambah beliau paham betul watak Almira yang manja dan kadang bisa sangat kekanakan.
Diawali hela napas, Mama Lestari beringsut membawa Almira dalam hangat pelukannya.
"Kamu kuat, kamu hebat, Nak. Mama yakin kok, kalau saat ini Mas-mu pasti lagi kangen ke kamu. Sebenarnya Mas-mu udah nyaman hidup sama kamu, hanya saja dia belum begitu sadar. Nanti setelah ini, Mas-mu bakalan bisa lebih membuka diri ke kamu." Beliau mencoba membesarkan hati Almira.
Tidak menyahut dengan kata-kata, Almira memilih menimpali pelukan yang ada dengan erat. Membiarkan air matanya kian menganak liar.
Sebelah tangan Mama Lestari menepuk-nepuk halus punggung Almira untuk lebih menenangkan anak perempuannya itu.
"Setelah ini, semuanya akan jadi lebih baik, Nak. Percaya sama Mama," bisik beliau seraya menahan air matanya agar tidak tumpah, tapi nyatanya gagal.
"Aamiin. Makasih doanya, Ma," sahut Almira dengan kedua mata sembabnya dirinya pejam, mencari ketenangan dalam ruang kosong nan kelam di sana.
Beberapa sekon ke depan, suasana ruang keluarga penuh oleh heningnya tangis tanpa suara Almira dan Mama Lestari. Saling mengeratkan pelukan dengan tepukan halus Mama Lestari di punggung Almira yang nyaris tanpa jeda.
"Kamu udah coba tes kehamilannya belum, Nak?" Hingga ke depannya Almira sudah cukup tenang, dengan basahan air mata yang kentara jelas di kedua pipi, Mama Lestari mencoba mengalihkan topik.
"Udah, Ma," jujur Almira tanpa mengurai pelukan yang ada. Beberapa saat lalu, dia sudah melakukan tes kehamilan mandiri menggunakan testpack yang dirinya titip beli di apotek pada Mbak Nur, saat asisten rumah tangga Mama Lestari itu pergi ke pasar membeli persediaan bahan-bahan dapur yang sudah habis.
Mama Lestari mengurai pelukan usai mengelap basahan air mata di pipinya dengan punggung tangan. "Hasilnya apa, Sayang?"
Pun sama. Almira mengelap basahan air mata yang ada sebelum bersaksi, "Positif." Dengan ukiran senyum bahagia di bibir.
Hati Mama Lestari menghangat, dia sama bahagianya seperti Almira akan kata positif tersebut.
"Selamat ya, Nak. Sebentar lagi kamu mau jadi ibu," ucapnya kemudian setelah sempurna kembali memeluk Almira.
"Mama juga selamat. Sebentar lagi bakalan jadi nenek," sahut Almira, diekori hehe ringan.
Di sela saling berpelukan hangat, melupakan kesedihan yang sebelumnya merasuk, terdengar seruan Asraf. Adik laki-laki Almira yang kelas 4 SD itu tiba-tiba mengomel-ngomel karena pulang sekolahnya tidak dijemput, terpaksa jalan kaki, padahal lumayan jauh.
Ibu-anak ini melerai pelukan. Almira menepuk jidat karena lupa menjemput Asraf sebab keasyikan curhat dengan Sang Mama.
Wajah Asraf marah besar. Dari belakang, dia menjitak Almira dengan keras.
Almira mengaduh sakit. Mengelus jidatnya yang terkena jitakan Asraf. Hendak membalas menjitak, tetapi Asraf sudah gencar lari menuju kamarnya.
Seketika rumah Mama Lestari rusuh. Wanita paruh baya ini puyeng menonton kericuhan tersebut. Sudah hal sangat biasa, ketika kedua anaknya ini berkumpul, bakalan terjadi peperangan di rumahnya.
Asraf berhasil masuk ke kamar sebelum Almira membalas menjitak, mengunci pintu, aman sudah dengan santainya mengganti seragam putih merahnya dengan kaos hitam.
Malas berdebat, enggan memperpanjang hal rusuh yang sempat terjadi, Almira memilih beralih melakukan kesibukan lain yang menyenangkan.
"Mama, ayok, buruan ajarin Al buat korean chicken," ajaknya begitu kembali mendekati Mama Lestari yang sedang menyesap teh lemon di ruang keluarga. Almira sudah semangat nian hendak belajar membuat korean chicken untuk nanti saat pulang ke ndalem, dia bisa memasakkannya untuk Emil.
***
Emil pulang lebih awal karena dia tidak memiliki jadwal mengajar Madrasah Diniyah di jam terakhir. Dia bergegas mengganti seragam batik diniyah Al-Anwar dengan kaos santai merah maroon.
Saat dia baru saja memasukkan kepalanya ke lubang kerah kaos, edaran matanya melirik ke arah ponselnya di atas nakas yang berkedip, memunculkan bar notifikasi baru. Tergesa dia merampungkan sesi memakai kaos, beringsut mengambil ponsel, menilik bar notifikasi barusan.
Ah, dia kira pesan dari Almira, nyatanya justru pesan operator nomor selulernya. Bukan hanya satu, melainkan di detik kemudian masuk beberapa pesan sekaligus, ini cukup membuat Emil kesal.
"Ayolah, jangan sms aku terus, aku nggak kangen kamu," omong Emil dengan menahan sebal melihat bar notifikasi dari pesan operator.
"Aku kangennya ke istriku." Dia malah curhat. Jempol tangannya berselancar membuka WhatsApp, barangkali terselip pesan masuk dari Almira, tetapi setelah scroll dari atas hingga paling bawah, tidak ada satupun pesan masuk dari istrinya satu itu yang tengah amat dirinya rindukan.
Iya, amat dirinya rindukan. Dia sedang menanggung rindu maksimal pada Almira. Dia kangen semua sikap hangat Almira. Bukan hanya ketiadaan Almira di sisinya, sikap Almira yang sekarang kaku terhadapnya jugalah menjadikan dia sedemikian kesepian dan galau.
Membahas perkara galau. Pemicu dirinya galau adalah diri sendiri. Dialah yang memulai semua ini menjadi rumit. Jika saja kala dia marah di ruang baca itu bisa mengatasinya dengan lebih bijak; bertanya alasan Almira bertelepon dengan Junho secara baik-baik, tidak melakukan perbandingan dengan begitu jahatnya, Almira tidak akan diam-diam pulang ke rumah Mama Lestari. Dan andai saja Almira tidak mendengar monolognya beserta igauannya akan Asma, lantas dirinya bersikap hangat dengan Almira dari awal pernikahan, belajar mencintai Almira dengan serius sejak dini, Almira pastilah tak akan setersakiti itu.
Emil meneguk ludahnya, getir. Rupanya, dirinya selama menikah dengan Almira sangatlah bersikap kekanakan, egois, dan terlampau ceroboh.
Seharusnya, begitu menemukan Almira dalam mimpi jawaban istikharahnya, dia haruslah mengikhlaskan kepergian Asma secara sempurna, yakin memulai hidup baru dengan segala perubahan yang ada di rumah tangganya nanti. Namun, apa yang dirinya lakukan? Dia justru hampir menyia-nyiakan Almira yang secara tak sadar, dia juga hampir mengabaikan petunjuk Allah itu bahwa Almira adalah pilihan terbaik Sang Pencipta untuknya--setelah kepergian Asma.
Lagi. Emil meneguk saliva. Batinnya berulangkali melafalkan kalimat istighfar.
Terlalu mencintai seseorang--yang telah tiada dan kurang mengikhlaskan kepergiannya--menjadikan hilang arah sebegitu dalam, hingga berani mengabaikan kewajibannya untuk memuliakan Almira sebagai istri yang membersamainya kini. Emil terhanyut atas rasa bersalah dan penyesalan. Dia sudah tidak sabar untuk segera memperbaikinya pelan-pelan.
Bar notifikasi baru kembali muncul. Pesan WhatsApp dari Almira.
Takut salah lihat, Emil mengucek kedua netranya sejenak. Meraih kaca mata kotaknya di nakas untuk dipakainya, lalu duduk di tepi ranjang. Kembali membaca bar notifikasi dalam hati.
Benar. Itu pesan WhatsApp dari Almira.
Tergesa Emil membuka pesan dengan jantungnya berpacu abnormal.
Mas, aku izin ikut ziarah ke Jogja bareng temen-temenku, ya?
Almira masih online, Emil membalasnya dengan melakukan panggilan video.
Di rumah Mama Lestari, kedua mata Almira melebar mendapati panggilan video tersebut. Dia membenahi letak dudunya di sofa yang ada di kamar. Mematikan acara kuliner di televisi.
"Assalamualaikum, Mas," salam Almira dengan gugup. Entahlah, apa yang sebenarnya membuat dia segugup itu, barangkali karena persitegangan kemarin.
"Wa'alaikum salam, Al," balas Emil, dia juga sama gugupnya dengan Almira, "Kapan rencana ziarah ke Jogja-nya?"
"Nanti sore, Mas."
"Nanti sore? Mendadak, ya? Bareng siapa aja, Al?"
"Iya, nanti sore, Mas. Ba'da ashar rencana berangkatnya. Mendadak karena aku baru tahu infonya. Sebenarnya mereka bertiga udah rencana dari lama, tapi baru rasan-rasan sama aku, terus aku tertarik ikut. Bareng Shanum, Vivi, Hesti, dan Shizuka, Mas," jujur Almira, dia memang baru diberi tahu perihal ziarah ke Jogja tersebut oleh Shizuka, sahabat dekatnya di pesantren.
Kening Emil melipat samar. "Namanya Shizuka? Mas, nggak salah denger, Al? Shizuka kan yang di kartun Doraemon, temen ceweknya Nobita? Atau ... dia masih keturunan Jepang?" selidiknya, dia justru berpikir bahwa dia salah dengar perkara nama sahabat Almira yang namanya Shizuka.
Bukan menjawab, Almira malah tersenyum geli. Menjadikan Emil salah tingkah dengan menggaruk tengkuknya yang tidaklah gatal. Namun, perasaan bahagia memenuhi rongga dada Emil melihat Almira bisa tersenyum seperti itu di hadapannya--walau secara virtual.
"Nama aslinya Siti Zulaekha, Mas. Tapi asma laqob-nya Shizuka. Yaitu kepanjangan dari Shi berarti Siti, Zuka berarti Zulaekha, jadinya Shizuka ya ... Siti Zulaekha," jelas Almira secara detail mengenai asma laqob, alias nama julukan, milik Siti Zulaekha.
Saat Almira mesantren, umum sekali bagi santri-santriwati memiliki asma laqob, baik itu dibuat oleh orang lain atau dirinya sendiri yang mengikrarkan. Seperti contoh kecil Shizuka ini, itu contoh asma laqob yang mengikrarkan sendiri, kalau yang dibuat orang lain justru dengan sebutan Eho. Almira pun memiliki asma laqob, tapi dibuat orang lain, oleh bestie-nya sendiri, alias Shizuka. Mau tahu apa? Sebutannya Mimir. Awalnya Almira kesal disebut itu, tapi walau dirinya ngambek dipanggil Mimir, Shizuka tetap saja memanggilnya dengan Mimir, akhirnya pasrah, untung saja teman lainnya tidak ikut-ikutan memanggilnya dengan Mimir. Teman-teman yang lain lebih suka memanggilnya Al atau Aal--dengan penyebutan dua huruf A.
Almira tersenyum geli lagi begitu selesai menjabarkan perihal Shizuka. Emil justru tak begitu mendengarkan penjelasan yang ada, atensinya lebih dominan pada senyuman Almira yang membuatnya kian dilanda rindu.
Tampak di layar ponsel Emil, Almira merapikan letak poni rambutnya. Istrinya itu terbatuk-batuk, mengalihkan sejenak wajah semringah itu perkara Shizuka dari layar ponsel. Menuntaskan batuk sesaat untuk kemudian kembali nongol dengan rambut cepol dua berponi belah duanya berantakan.
Almira mencoba menenangkan diri. Menghela napasnya perlahan. Kembali menatap Emil yang justru bergeming menontonnya hingga sekon ke depan. Ini menjadikannya kembali salah tingkah. Dia mencerna cepat perkara apakah ada yang salah dengan dirinya? Berakhir dia mendapatkan kesimpulan kalau Emil sedang mengoreksi rambut cepol duanya itu.
"Mas, pasti kamu nggak suka lihat aku kayak gini, ya?" kata Almira dengan wajahnya berubah tertekuk, sebelah tangannya mencoba melepas cepolan rambutnya yang sisi kanan dengan tergesa.
Dalam hati, Almira merutuki diri karena telah ceroboh mengangkat video call Emil dengan tampilan seperti itu. Dia beranggapan bahwa sekarang Emil pastilah sedang melihatnya dengan kesan lenjeh dan kekanakan. Sungguh, mulai hari ini, dia ingin terlihat lebih dewasa di mata Emil agar lelaki itu bisa mudah menerimanya. Dia ingin terlihat kalem seperti Asma, walau aslinya dia ragu, apakah dia bisa menjadi kalem. Dia juga ingin tampak tidak banyak tingkah dan lenjeh di hadapan Emil, barangkali hal tersebut bisa membuat Emil jatuh hati padanya.
"Al," panggil Emil seraya bingung atas sikap Almira yang tergesa melepas rambutnya yang dicepol dua.
"Sebentar, Mas. Aku lepas cepolanku dulu," sahut Almira, menaruh ponselnya ke meja di depan sofa untuk dirinya leluasa melepas dua cepolan itu yang sudah terurai satu.
Niatnya Almira mencepol ala-ala member girlband Korea adalah untuk menyenangkan diri. Jika sedang jenuh, dia memang suka bermain-main dengan rambutnya. Tepatnya, kebiasaan itu sudah dilakukannya dari kecil. Dia suka mencoba banyak gaya rambut. Tapi begitu mesantren dan sempurna berhijab, dia melakukan itu jika hanya sedang jenuh, biasanya Shizuka yang bakalan membantunya memodelkan rambut di kamar asrama, biasanya juga dilakukan sebelum tidur malam. Pun kini, dia murni ingin membuat dirinya senang, tapi akhirnya dia justru menyesal karena ketahuan Emil.
"Kamu kenapa, Al? Kenapa mendadak dilepas?" selidik Emil setelah Almira kembali terlihat di layar ponselnya dengan rambut panjangnya sempurna terurai.
Bukan menjawab, kedua mata sipit Almira perlahan berkaca-kaca, menjadikan Emil bertambah bingung.
"Barusan kan aku kelihat kekanakan, Mas. Mas kan nggak suka kalo aku kekanakan, makanya aku tergesa lepas cepolan duaku. Aku janji, mulai saat ini, aku akan berusaha bersikap nggak kekanakan lagi. Aku akan coba kayak Mbak Asma buat jadi pribadi yang kalem, nggak suka caper, dan nggak suka jail ke Mas Emil, pokoknya nggak banyak tingkah. Aku ...." Mendadak kebendaharaan kata selanjutnya hilang begitu saja di pikiran Almira. Air matanya jatuh. Pikirannya mendadak berantakan sebab dia sadar, sulit sekali untuk dirinya menjadi sosok seperti Asma yang Emil cintai dan sebegitu dibanggakan.
"Al ...," sebut Emil dengan nelangsa, dia mulai paham arah maksud Almira.
Almira menunduk sebentar untuk dirinya leluasa mengusap basahan air mata di pipi.
"Aku pengin dicintai sama kamu, Mas. Apakah aku harus jadi seperti Mbak Asma dulu agar bisa dapet cintanya kamu?" ungkap Almira kemudian dengan kembali menatap Emil yang terlihat iba atasnya.
Dada Emil berdenyut ngilu. Ungkapan Almira barusan amatlah menyakitkan untuk didengar. Seketika dia menyalahkan diri, perlakuan banyak abainya akan Almira-lah yang menjadikan Almira putus asa berpikiran mengubah sikap seperti Asma agar dirinya bisa jatuh cinta pada Almira.
Kedua mata kelam Emil memanas.
"Al, kamu nggak perlu bersusah payah jadi seperti Asma," jujurnya, berbalik menjadikan Almira bingung.
"Kenapa nggak perlu, Mas? Apa selamanya aku nggak pantes dapet cintanya kamu? Lalu aku harus gimana, Mas? Harus gimana lagi buat aku ngemis cintanya kamu?" sahut Almira dengan kemudian sedikit menengadahkan wajah agar air matanya tidak kembali jatuh.
Harus gimana lagi buat aku ngemis cintanya kamu? Pemilihan aksara itu terlampau mengiris hati Emil. Kepala Emil menggeleng cepat. Pipinya basah sudah oleh cairan bening yang tak lagi mampu ditampung kelopak mata.
"Al, dengerin aku ...," pinta Emil dengan penuh kehati-hatian.
Perlahan, sorot mata sembab Almira kembali menatap Emil.
"Kamu sungguh nggak perlu jadi Asma atau siapapun. Tetaplah jadi Almira yang selama ini aku kenal. Tetaplah jadi Almira yang selama ini membersamai hidupku. Kamu nggak perlu mengemis cintanya aku karena ... aku udah cinta kamu, Al," saksi Emil, akhirnya dia memutuskan mengungkapkan kata cintanya secara virtual, dia sudah tak bisa menundanya lagi.
Atas kesaksian barusan, Almira mendadak bak orang linglung. Dia bergeming mencerna maksud Emil penuh susah payah.
"Aku udah jatuh cinta ke kamu, Al. Maaf, aku telat menyadarinya," ulang Emil dengan lebih jelas, "Aku cinta kamu. Aku cinta kamu, Almira-ku."
Mendadak, Almira lupa bernapas sebelum akhirnya jantungnya berpacu abnormal. Dia sulit percaya akan ungkapan Emil yang seperti bunga tidur yang indah di malam-malam panjangnya yang menyesakkan.
"Apa lagi buktinya kalo sekarang cintaku udah nggak bertepuk sebelah tangan, Mas? Ungkapan cinta, sepertinya jugalah tak cukup untukku bisa yakin." Masih sama putus asa, Almira perlu pembuktian yang lebih gamblang.
_______________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro