Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HBA 3

Sudah genap seminggu Alfi bekerja di kantor Abid, ia juga sudah memiliki banyak kenalan dari divisi lain. Karena ia memiliki sifat ramah, tidak sulit baginya untuk mendapatkan banyak teman.

Perihal penawaran Abid beberapa hari yang lalu, sudah tidak terlalu dipikirkan olehnya. Karena kesibukannya, ia tidak memiliki waktu untuk memikirkan semua itu, karena ia juga sudah mengatakan pada Abid jika dirinya belum ada keinginan untuk kenalan dengan siapa pun itu dari kaum adam.

"Alfi."

Alfi yang semula fokus pada komputer di hadapannya, kini beralih menatap Fania yang sudah berdiri menyandar di kubikelnya.

"Iya, Mbak Fan. Ada apa?"

Fania menyodorkan sebuah dokumen pada Alfi. Sementara Alfi menatap dokumen yang tepat berada di hadapannya dan menatap Fania secara bergantian.

Melihat kebingungan Alfi langsung saja Fania mengatakan apa maksudnya. "Tolong kasih ini ke Bu Bella, ya."

"Kenapa nggak Mbak Fina aja?"

"Saya mau ke toilet, tapi dokumen ini harus diserahkan ke dia sekarang." Alfi mengangguk, kemudian mengambil dokumen itu.

"Maaf, ya ngerepotin," ucap Fania dengan wajah memelas.

"Iya, nggak papa, kok. Santai aja lagi."

"Oh, iya kalau saya lama di toilet, kalian langsung ke kantin saja, nanti saya menyusul." Alfi, Sisil, Silvi, dan David mengangguk serentak, kemudian kembali fokus pada komputer masing-masing kecuali Alfi.

"Alfi." Alfi yang baru saja berjalan tiga langkah menoleh ke belakang karena mendengar Sisil memanggilnya.

"Ada apa, Mbak?"

"Kamu beneran mau serahin kerjaan Fania ke Bu Bella?" Alfi mengangguk.

"Nggak takut disemprot sama mulut pedasnya," ucap Sisil dengan nada rendah, tetapi masih bisa didengar oleh Alfi.

Tidak heran jika Sisil berkata seperti itu. Karena memang Bella terkenal pemarah dan tegas. Sedikit saja kesalahan yang dilakukan anak buahnya, maka siap-siap saja mendapati kata-kata pedasnya.

"Memangnya mulut Bu Bella cabe, ya?" Alfi terkekeh setelah mengucapkan kalimat itu.

"Kayaknya iya deh, Al. Soalnya kalau dia ngomong pedesnya ngalahin cabe yang level paling tinggi," celetuk David, kemudian tertawa juga.

"Udah lah, aku mau ke ruangannya Bu Bella dulu. Mungkin saja hari ini dia baik hati."

Setelah itu Alfi berjalan menuju ruangan Bella yang tidak jauh dari kubikelnya. Saat tiba di depan pintu kaca itu, Alfi langsung mengetuknya.

"Masuk!"

Dengan perlahan tangan Alfi mendorong pintu, dan pandangannya langsung tertuju pada Bella yang terlihat sibuk dengan beberapa dokumen di atas mejanya.

"Assalamualaikum, Bu. Ini, dokumen yang Ibu minta pada Fania." Alfi menaruh dokumen yang tadi dibawanya di meja, tepat di depan Bella.

"Kenapa bukan Fania yang mengantarnya?" tanya Bella dengan suara yang sedikit menakutkan bagi Alfi.

"Dia ke toilet, Bu." Alfi masih berdiri di depan meja Bella. Dalam hati Alfi bertanya-tanya mengapa ia tak disuruh duduk?

"Kalau begitu saya permisi keluar ya, Bu." Setelah mendapat anggukan dari Bella, Alfi berbalik dan mulai melangkah.

"Alfi, tunggu!" Dengan spontan Alfi berbalik dan kembali mendekat.

"Ada apa, Bu?" Alfi menatap perempuan yang ia taksir berumur 28 tahun itu dengan kedua alis yang tertaut.

"Kamu ... sama Pak Abid ada hubungan apa?"

Pertanyaan itu membuat Alfi bertambah bingung. Namun, langsung menjawab pertanyaan Bu Bella.

"Tidak ada hubungan apa-apa, kok, Bu."

Mata Bella memicing menatap Alfi. "Benarkah?" tanyanya lagi.

Alfi mengangguk. "Benar, Bu."

"Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" tanya Alfi penasaran.

"Waktu itu saya pernah lihat kamu datang ke kantor bersama Pak Abid, dan waktu itu kalian terlihat sangat akrab. Makanya saya bertanya."

Alfi terlihat berpikir setelah mendengar pertanyaan Bella. Seingatnya ia tidak pernah berangkat ke kantor bersama Abid, tetapi mengapa Bella bisa berkata seperti itu.

"Mungkin Ibu salah lihat kali. Soalnya semenjak kerja di sini, saya tidak pernah berangkat kerja bareng Pak Abid."

"Saya yakin itu, kamu. Karena waktu itu saya berdiri tidak jauh dari tempat kamu dan Pak Abid. Waktu Pak Abid pergi, Sisil datang menghampiri kamu waktu itu."

"Oh, saya ingat, Bu." Alfi tersenyum setelah mengingat kejadian itu. Kejadian di mana untuk yang pertama kalinya Abid mengucapkan kata semangat untuknya.

"Itu nggak seperti apa yang Ibu pikirkan. Waktu itu saya berangkat diantar sama Abi, dan waktu mau masuk ke gedung, Pak Abid manggil saya dan mengajak saya ngobrol, Bu."

Kening Bella mengernyit, setahunya Abid tidak mudah akrab dan suka berbasa-basi pada lawan jenis. Namun, mengapa pada Alfi pria itu tidak sedingin seperti biasanya pada lawan jenisnya.

"Kenapa, Bu?" Alfi bertanya saat melihat wajah Bella yang terlihat berpikir.

Bella menggeleng, kemudian menyuruh Alfi keluar. Karena jam makan siang telah tiba.

****

Abid berjalan keluar dari ruangannya, sesekali memijit keningnya yang terasa berdenyut. Sekretarisnya—Denis mengundurkan diri secara tiba-tiba karena alasan yang sangat genting. Abid tidak bisa menahan Denis, karena alasannya menyangkut kelangsungan hidup keluarganya.

"Bapak tidak apa-apa?" tanya Denis saat melihat Abid keluar dari ruangannya. Karena memang meja kerja Denis berada tepat di depan ruangan Abid.

Abid melihat ke arah Denis, kemudian tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Denis."

"Tapi, wajah Bapak sedikit pucat."

Abid kembali tersenyum, kemudian menggeleng. "Tidak apa-apa, hanya sedikit pusing. Bukannya hari ini kamu sudah harus pergi?"

"Memang, Pak. Tapi setelah saya mengantar Bapak pulang."

"Tidak perlu. Kamu boleh pergi. Saya akan pulang sendiri."

"Kalau begitu, saya duluan ya, Pak dan terima kasih." Denis menjabat tangan Abid kemudian memberikan senyuman terbaiknya.

"Saya yang harusnya berterima kasih. Terima kasih, ya karena sudah membantu saya dalam banyak hal. Semoga di sana perusahaan ayahmu kembali stabil." Denis mengangguk kemudian mengambil tas kerjanya di atas meja, lalu berjalan meninggalkan Abid, setelah sebelumnya memberikan senyuman dan anggukan, lagi.

Abid kembali memijit keningnya yang tak kunjung berhenti berdenyut. Mungkin, nanti malam saja ia memikirkan siapa yang cocok untuk menggantikan posisi Denis secepatnya. Pasalnya seminggu kedepan kegiatannya begitu padat dan tidak mungkin ia yang akan meng-handle semuanya.

Abid kembali melanjutkan langkahnya, hari ini ia akan pulang lebih awal keadaannya tidak memungkinkan untuk tetap melanjutkan pekerjaannya. Masalahnya, Abid sendiri tidak kuat untuk menyetiri mobilnya sendiri, tetapi pada siapa ia akan meminta tolong?

Saat tiba di dalam lift Abid merogoh saku jasnya dan mengambil bendah pipih itu. Setelah menemukan kontak seseorang ia langsung men-deal nomor itu.

"Halo, assalamualaikum." Suara perempuan langsung menyapa indra pendengar Abid, begitu teleponnya diangkat oleh seseorang yang berada di seberang telepon.

"Waalaikumsalam. Al, bisa tolong antar saya pulang ke rumah? Kepala saya pusing dan tidak kuat untuk menyetir mobil sendiri."

"Bapak sakit? Sekarang Bapak di mana?" Terdengar nada khawatir dari seberang sana.

"Saya di dalam lift menuju loby."

"Oh baik, Pak. Saya segera menyusul, Bapak. Assalamualaikum."

Setelah sambungan telepon mati Abid kembali menaruh ponselnya di saku jas, dan setelah itu lift berdenting dan terbuka.

****

Dengan sedikit tergesa-gesa Alfi keluar dari lift dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling loby. Hingga matanya berhenti saat melihat Abid yang duduk di sofa yang tidak jauh berada di depan meja resepsionis.

Langsung saja Alfi berjalan cepat menghampiri Abid. Benar, yang tadi Abid telepon adalah Alfi. Ia sendiri bingung, kenapa harus Alfi yang dia hubungi tetapi memikirkan alasan itu saat ini begitu tidak memungkinkan untuknya.

"Pak." Alfi memanggil Abid setelah tiba di hadapan pria itu.

"Maaf, ya saya ngerepotin kamu." Alfi mengangguk, raut khawatirnya tidak bisa ia sembunyikan saat melihat wajah Abid yang pucat, walaupun ia melihatnya dengan sekilas.

"Kita pulang sekarang, ya, Pak." Abid mengangguk, kemudian berdiri dan berjalan lebih dulu.

Tanpa disadari, mereka berdua kembali menjadi pusat perhatian para karyawati maupun karyawan. Seorang perempuan dengan rambut yang diikat ekor kuda juga memperhatikan interaksi keduanya dengan sorot mata tajam.

****

Tidak membutuhkan waktu lama Abid dan Alfi tiba di kediam keluarga Abid, Alfi yang duduk di balik kemudi membunyikan klakson. Tidak lama kemudian pagar dibuka oleh Pak Somad. Alfi kembali menjalankan mobilnya memasuki pelataran rumah Abid.

"Pak, sudah sampai." Alfi berbalik melihat Abid setelah mematikan mesin mobilnya.

"Pak." Alfi kembali memanggil nama Abid.

Alfi mulai panik saat melihat Abid tidak merespons panggilannya, bahkan pria itu memejamkan matanya. Dengan cepat Alfi keluar dari mobil dan memanggil Pak Somad untuk membantunya membawa Abid masuk.

"Pak, tolong bantuin Pak Abid masuk, ya. Kayaknya, dia pingsan deh." Alfi berucap dengan nada khawatir yang begitu kentara.

Pak somad mengangguk. Kemudian, mulai membuka pintu bagian penumpang, lalu membantu memapah Abid.

"Pak Abid." Abid membuka matanya walau sangat terasa berat, pandangannya juga seperti berputar, sehingga ia kembali menutup matanya.

"Aduh, ayo cepat, Pak!" Alfi berjalan lebih dulu, lalu mengetuk pintu utama yang bercat putih di depannya.

"Loh, Alfi." Masyara terkejut saat mendapati keberadaan Alfi, terlebih wajah Alfi begitu terlihat khawatir.

"Assalamualaikum, Tante." Alfi menyalimi tangan Maysarah kemudian menunjuk Abid dan Pak Somad yang berjalan menghampiri mereka.

"Pak Abid sakit."

Maysarah terkejut setelah Abid dan Pak Somad tiba di hadapannya.

"Astagfirullah, kamu kenapa, Nak?" Raut wajah Maysarah juga tidak berbeda jauh dengan Alfi. Kedua wanita berbeda umur itu mengkhawatirkan lelaki yang sangat berarti di hati mereka.

"Ayo, cepat dibawa masuk, Pak!" titah Maysarah dan mendapat anggukan dari Pak Somad.

"Ayo masuk, Al!" Alfi menggeleng.

"Nggak usah, Tante. Aku masih ada kerjaan di kantor." Walaupun rasanya Alfi ingin masuk, tetapi ia tetap harus profesional, pekerjaannya masih banyak dan tidak enak juga rasanya bolos kerja, padahal ia masih terbilang baru di kantor.

"Ya sudah, kamu hati-hati ya di jalan. Tapi, kamu pulangnya naik apa? Bukannya ke sini kamu sama Abid?" tanya Maysarah, karena ia tidak melihat mobil lain selain mobil putranya.

"Naik taksi, Tan."

"Eh, jangan! Mending kamu bawa lagi saja mobilnya Abid. Kasian kamunya kalau nunggu taksi lagi."

"Eh nggak usah, Tan. Aku ...." Maysarah langsung memotong ucapan Alfi.

"Jangan menolak, Al. Kamu bawa saja mobilnya, Abid. Biar nanti Tante yang kasih tahu Abid, kalau mobilnya dibawa sama kamu." Dengan berat hati Alfi menngangguk.

Lagian, ia ke kantor tadi pagi diantar sama Arman, jadi Alfi tidak perlu khawatir memikirkan bagaimana ia pulang jika ke kantor saja membawa dua mobil.

Setelah menyalimi tangan dan berpamitan pada Maysarah, Alfi kembali ke mobil Abid, lalu menjalankannya meninggalkan pelatarn rumah Abid, dengan kekhawatiran yang masih ada di hatinya.

TBC.

Yapss, selesai lagi. Yeyy. Alhamdulillah. Beda, kan sama cerita sebelum direvisi, hehehe.

Dahlah, aku cuma mau bilang jangan lupa vote dan komen oke;)

Sampai jumpa di part selanjutnya, wassalamualaikum.

🌼Ay🌼

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro