Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HBA 2

"Jika dia tahu perasaanku yang sesungguhnya, akan kah dia tetap menawarkan pria lain kepadaku?"

~Alfi Maghfira~

🌼🌼🌼

Saat ini Alfi sedang menyantap sarapannya dengan Khadija dan Arman. Setelah salat subuh, Alfi tidak kembali tidur seperti kemarin. Ia tidak ingin terlambat lagi ke kantor dan juga ia tidak ingin menggunakan kendaraan sendiri lagi. Alfi akan berangkat bersama abinya yang memang kampus tempat Arman mengajar searah dengan kantor tempatnya bekerja.

"Oh iya, Al. Mobil Umi udah selesai dibengkel kah?" tanya Khadija setelah menghabiskan sarapannya.

Alfi tidak langsung menjawab pertanyaan Khadija, ia lebih dulu menghabiskan sarapannya sebelum menjawab pertanyaan uminya.

"Kayaknya udah deh, Mi. Nanti deh habis pulang dari kantor aku jemput mobilnya," jawab Alfi, lalu meletakkan kembali gelas yang sudah kosong di atas meja.

"Jadi, mau berangkat sama Abi?" tanya Arman.

"Iya dong, Abi. Kalau nunggu taksi entar kelamaan lagi."

"Ya udah, berangkat sekarang aja, ya." Alfi mengangguk, lalu mengambil tasnya di kursi yang kosong di sebelahnya, begitupun dengan Arman.

"Umi, kalau gitu Alfi sama Abi, berangkat dulu, ya. Assalamualaikum." Setelah itu Alfi menyalimi tangan Khadija.

"Iya, kalian hati-hati di jalan ya." Kali ini Khadija ysng menyalimi tangan Arman, setelah itu Arman mengecup kening istrinya.

Alfi yang sudah biasa melihat adegan itu setiap paginya, tentu tidak pernah merasa bosan. Justru dia bersyukur, karena dari dulu sampai sekarang umi dan abinya selalu akur, walau tak jarang ada pertengkaran kecil yang mereka alami, tetapi hal itu tidak sampai membuat hubungan keduanya renggang.

****

Mobil Marcedes Benz itu berhenti tepat di depan gerbang tempat Alfi bekerja.

"Aku turun ya, Bi. Nanti di jalan, jangan ngebut-negbut loh, ya." Alfi memperingati Abinya dengan mata yang memicing.

"Matanya nggak usah digituin kali, Al. Entar nggak bisa kembali gimana." Mendengar ucapan abinya membuat Alfi memberenggut.

"Aih, Abi mah. Jangan bilang gitu, ih. Buat aku takut aja," ucap Alfi sambil memanyunkan bibirnya.

Melihat tingkah manja sang anak membuat Arman tertawa, lalu mengelus pelan puncak kepala anaknya.

"Abi becanda, kok. Udah, sana turun!" ucap Arman setelah berhenti tertawa.

Sebelum turun, Alfi menyalimi tangan dan kemudian mengecup pipi abinya.

"Semangat ngajarnya, Bi. Jadi dosen jangan galak-galak ya, Bi." Alfi terkekeh setelah melihat perubahan wajah abinya.

"Assalamualaikum. Fii amanillah, Bi." Setelah itu Alfi pun turun dari mobil Arman. Ia tidak langsung masuk, melainkan menunggu abinya kembali menjalankan mobilnya. Setelah mobil Arman tidak terlihat lagi, barulah Alfi berjalan memasuki pelataran kantor.

Alfi mengangguk lalu memberikan senyuman pada Pak Satpam yang berjaga di pos. Setelah itu ia kembali melihat ke arah depan.

"Alfi!" Mendengar seseorang memanggilnya, membuat Alfi menghentikan langkahnya.

Alfi berbalik kemudian matanya langsung menagkap sosok Abid yang berjalan menghampirinya. Lagi, jantung Alfi berdetak cepat. Terkadang ia bingung dengan jantungnya sendiri, kenapa harus seheboh itu detakannya saat bertemu dengan Abid.

"Ada apa, Pak?" tanya Alfi, tanpa melihat ke arah Abid.

"Nggak ada apa-apa, sih. Cuma sekedar nyapa aja."

Allahuakbar!

Alfi hanya mengangguk kemudian kembali melangkahkan kakinya, sementara Abid tepat berada di sampinganya dengan jarak yang sedikit jauh, tetapi tidak membuat keduanya sulit mendengar suara masing-masing.

"Gimana rasanya kerja di kantoran?" tanya Abid.

Alfi tidak langsung menjawab pertanyaan Abid, karena ia sedang berpikir.

"Hm, nggak gimana-gimana, sih." Alfi tidak tahu jawaban seperti apa yang akan ia ungkapkan pada Abid, karena dia sendiri merasa biasa saja dan belum ada hal istimewa yang dia dapatkan setelah bekerja di kantor.

Saat mereka sampai di lobby, banyak pasang mata yang memandang mereka dengan berbagai ekspresi. Ada yang memandang bingung dan tidak suka saat melihat Alfi begitu akrab dengan direktur kantor ini.

"Ya sudah, kalau gitu saya ke ruangan saya dulu. Semangat kerjanya." Alfi rasanya ingin terbang saja jika ia mempunyai sayap. Pasalnya untuk pertama kalinya Abid mengucapkannya semangat.

Aish, gimana nggak makin jatuh cinta kalau dianya aja makin manis gini.

"Alfi!" Alfi tersentak saat merasakan tepukan di punggung kanannya.

"Eh, Mbak Sisil. Assalamualaikum, Mbak." Alfi langsung memberikan senyum terbaiknya pada seorang wanita yang lebih tua dua tahun diatasnya.

"Waalaikumsalam, Al. Ngapain kamu bengong di sini? Nggak lihat, hampir semua orang lihatin kamu berdiri di sini sendirian."

Alfi mengedarkan pandangannya dan benar saja hampir semua orang menatap ke arahnya. Lalu, atensi Alfi kembali tertuju pada Sisil yang saat itu tengah menggunakan kemeja putih yang dipasangkan dengan rok pencil skirt di atas lutut.

"Astagfirullah, aku nggak sadar, Mbak." Sisil hanya tersenyum kemudian mengajak Alfi untuk ke lantai empat, tempat meja kerja mereka berada.

Perlu diketahui jika Sisil dan Alfi sama-sama bekerja di bagian Divisi Pemasaran yang dipimpin oleh Ibu Bella, selaku Manajer Pemasaran.

****

Jam sudah menunjukkan pukul 11:30 siang, itu tandanya waktu ini akan dipergunakan dengan baik oleh para karyawan dan karyawati untuk mengisi perut mereka yang sudah mendemo minta makanan.

"Yang mau ke kantin coba angkat tangan." Seorang pria dewasa yang seumuran dengan Sisil berdiri dari duduknya, lalu menatap satu per satu temannya yang masih sibuk dengan komputer masing-masing.

"Nggak ada yang mau ke kantin, nih?" tanya pria itu lagi dengan suara yang dinaikkan beberapa oktaf, saat pertanyaan pertamanya tidak direspons sama sekali.

Alfi yang sudah mematikan komputernya, melihat ke arah pria yang memiliki bentuk wajah panjang, hidung bangir, mata hitam, juga ada berewok yang menghiasi kedua rahang hingga dagunya, lalu detik berikutnya mengalihkan pandangannya.

"Pak Dav, berisik deh. Nggak usah pake teriak-teriak juga kali, Pak. Orang kita cuman dipisahin sama dinding kecil kayak gini, ya pasti denger lah."

Apa yang Alfi ketakan memang benar, mereka hanya dipisahkan oleh dinding kecil yang tidak terlalu tinggi. Dengan meja besar yang dibuat lima bilik, atau biasa orang-orang menyebutnya dengan kubikel.

"Bener banget kata Alfi, Pak David terlalu berlebihan, sih." Alfi melirik wanita berhijab di sampinganya-Fania, sedevisinya.

"Kenapa pada nyalahin saya, sih?" tanya pria itu tidak terima.

"Ya, karena kamu berisik." Kini giliran Sisil yang menyahut.

Mata David langsung tertuju pada wanita yang seumuran dengan Fania di sampingnya.

"Kenapa, lihatin saya kayak gitu, Pak?" tanya wanita itu.

"Kamu, nggak ada niatan ngejek saya juga?" tanyanya pada wanita di sampingnya-Silvi.

"Jangan suuzan, Pak." Kemudin Silvi beranjak dari duduknya, meninggalkan Alfi, Fania dan Sisil yang menahan tawa.

****

Saat ini Alfi sedang berada di halte yang jaraknya tidak jauh dari pagar tempatnya bekerja. Seperti janjinya tadi pagi pada Khadija, kalau pulang kerja nanti dia akan menjemput mobil uminya di bengkel.

Namun, sudah lima belas menit lamanya Alfi menunggu, masih belum ada tanda-tanda taksi yang akan lewat, padahal biasanya jika jam pulang kantor seperti ini ada banyak taksi yang lewat.

"Aihh, kenapa masih belum ada taksi, sih?" Alfi mengeluh sambil menghentakkan kakinya.

Karena asyik melihat ke kanan dan ke kiri, ia tidak menyadari jika ada sebuah mobil audi hitam yang singgah tepat di depannya. Saat seseorang di dalam mobil itu menyalakan klaksonnya, barulah Alfi menengok ke arah mobil itu.

Alfi yang tadinya bingung melihat mobil itu, kini tidak lagi, saat kaca mobil di hadapannya diturunkan. Sehingga menampilkan wajah Abid.

"Ayo, naik! Saya antar pulang," ajak Abid tanpa keluar dari mobilnya.

Alfi nampak berpikir dan Abid yang seolah tahu ke khawatiran wanita itu kembali bersuara. "Kamu duduknya di belakang dan saya akan membuka semua kaca jendelanya."

Sedetik kemudian Alfi mengangguk, lalu mulai berjalan untuk masuk ke mobil Abid. Setelah itu, Abid kembali menjalankan mobilnya.

"Hm, Pak nanti singgah di bengkel yang di samping supermarket di depan, ya. Soalnya aku mau ngambil mobil Umi di sana." Alfi bisa melihat jika Abid sempat meliriknya melalu kaca yang ada di depannya.

"Oh, oke."

"Al." Sontak, Alfi kembali melihat Abid.

"Iya, Pak?"

"Kamu jomblo, kan?" Mendengar itu seketika membuat tubuh Alfi menegang. Atas dasar apa Abid bertanya seperti itu.

"Lebih tepatnya singel, Pak." Alfi menjawab tanpa melihat ke depan.

"Sama saja, kan? Sama-sama nggak ada pasangan." Alfi mengangguk membenarkan ucapan Abid.

"Emang kenapa, Pak?"

"Mau saya kenalin nggak sama temen saya? Dia mapan, masih muda juga karena seumuran dengan saya, dan soal agamanya insya Allah baik, Al."

Alfi merasa hatinya sedikit terluka mendengar penawaran Abid. Sama sekali tidak merasa senang akan penawaran itu. Bagaimana bisa Alfi mau sama temannya Abid, jika Alfi sendiri hanya ingin jika Abid yang menjadi imamnya.

Kenapa bukan, Kakak saja yang nawarin diri untuk jadi imamku?

TBC

Alhamdulillah, HBA dua selesai lagi. Aku nggak tau mau bilang apa lagi, heheh. Yang pasti jangan lupa vote dan coment ya.

Dan sampai jumpa di part selanjutnya.

🌼Ay🌼

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro