HBA 1
Seorang wanita yang berpipi tembab tetapi bertubuh kurus itu tengah berdiri di depan cermin besar, sehingga memperlihatkan seluruh tubuhnya yang dibaluti gaun pengantin berwarna putih. Gaun yang ia gunakan terlihat mewah karena bagian bawahnya yang begitu lebar juga ada permata yang mengelilingi di bagian pinggangnya.
Sementara di bagian kepalanya, wanita itu menggunakan warna jilbab senada yang dibentuk menutupi dada, juga ada kain panjang transparan yang ditaruh di atas kepalanya dan diberikan mahkota sebagai pelengkapnya. Sangat sederhana, tetapi terlihat elegan.
Saat mendengar suara pintu diketuk dari luar, spontan wanita itu berbalik dan retinanya langsung bertemu dengan retina tajam pria yang juga menggunakan baju pengantin yang berwarna senada dengan gaunnya.
Dada wanita itu mulai berdetak cepat, saat matanya bersitatap dengan pria yang berperawakan tinggi yang masih berdiri di depan pintu yang masih terbuka. Dengan pelan pria itu melangkah menghampiri wanita yang jantungnya semakin berdetak cepat.
Gugup. Satu kata yang menggambarkan perasaan wanita itu saat ini. Bahkan wanita itu meremas kedua tangannya dengan kuat, saat pria yang kini sudah berstatus sebagai suaminya beberapa menit lalu berdiri tepat di hadapannya.
Rasanya wanita itu masih tidak percaya jika saat ini ia sudah sah menjadi istri dari seorang pria yang sejak lama ia cintai diam-diam. Ia berharap jika ini bukanlah mimpi.
Wanita itu kembali melihat sang suami yang kini mengulurkan tangannya. Dengan pelan tangannya bergerak untuk menggenggam tangan suaminya.
****
"Alfi. Al ... hei bangun!" Terlihat wanita setengah baya yang sedang berusaha membangunkan putrinya yang masih terlelap di dalam selimut dengan nyenyak.
"Al, bangun! Astagfirullah, kamu ngigo, ya?" tanya wanita setengah baya itu sambil menggapai tangan putrinya yang terangkat.
Karena putrinya belum juga membuka mata, membuat wanita itu berdecak. Lalu kedua tangannya terulur untuk menarik kelopak mata putrinya ke atas, dan cara itu berhasil. Terbukti kedua mata putrinya langsung terbuka sempurna, tetapi sedetik kemudian menyipit, karena silau mentari dari luar jendela tepat mengenai wajahnya.
"Umi?" Wanita itu bergumam, lalu mengucek kedua matanya. Berusaha memperjelas jika wanita yang sedang menggunakan gamis berwarna maroon yang dipadukan dengan jilbab instan lebar itu adalah Khadija—uminya.
"Iya ini Umi. Kenapa kamu kayak ragu gitu manggil Umi?" Spontan Alfi menggeleng.
"Ya sudah, sana mandi! Nggak inget, hari ini, hari pertama kamu kerja loh." Lagi, Alfi mengangguk lemah, tak bersemangat.
"Jangan lama, ya, Al. Umi sama Abi nunggu di meja makan." Setelah mendapat anggukan lagi dari Alfi, Khadija mulai beranjak dari kasur putri semata wayangnya itu, lalu berjalan keluar dari kamar.
Setelah Khadija keluar, Alfi mendudukkan tubuhnya, lalu menghela napas panjang. Mimpi. Ternyata ia hanya mimpi, tetapi mengapa ia merasa pernikahan itu seolah nyata? Ia masih bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat. Alfi kembali menghela napas, seolah kecewa karena pernikahan itu hanyalah mimpi.
Jika itu hanya mimpi, akankah pernikahan itu kelak akan terjadi? Semoga. Aku sangat berharap agar dialah yang nanti menjadi imamku.
****
Alfi terlihat berlari di pinggir jalan, dengan sesekali melirik arloji yang menempel indah di pergelangan tangan kirinya. Ia juga menghapus keringat yang jatuh di keningnya. Bahkan hijab yang ia gunakan sudah terlihat basah di bagian pelipis.
Alfi berhenti sejenak, lalu sedikit menunduk untuk mengatur napasnya yang memburu. Bagaimana tidak terengah-engah jika ia berlari sejauh kurang lebih dua meter dari tempat ban mobilnya yang bocor.
Namun, Alfi tidak mengeluh, justru ia berusaha menyemangati dirinya sendiri. Ia juga mengabaikan sakit di bagian betisnya karena berlari sejauh itu.
Jika saja, saat bangun tidur tadi pagi ia langsung mandi dan bersiap-siap, mungkin dia tidak akan telat seperti ini dan tidak berangkat sendiri mengendari mobil Uminya. Sudah lah, tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang sudah terjadi.
Wanita yang sedang mengenakan gamis polos berwarna soft pink yang dipasangkan dengan outer yang senada, juga jilbab syar'i yang berwarna senada itu, kembali menegakkan tubuhnya.
Ia tidak perlu berlari lagi seperti tadi, karena perusahaan tempatnya bekerja sudah terlihat di pelupuk matanya. Yang harus ia lakukan sekarang hanya berjalan cepat memasuki pelatarn gedung yang memiliki dua belas lantai itu.
Sepasang tungkainya mulai melangkah cepat memasuki pelatarn perusahaan yang bergerak di bidang material kontruksi. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan itu.
Tak lama kemudian Alfi telah tiba di gedung itu, baru saja kakinya akan melangkah memasuki pintu utama, terurungkan saat ia mendengar seseorang memanggilnya dari arah belakang.
"Alfi!" Alfi berbalik dan detik berikutnya kedua matanya membulat sempurna, senyuman kebahagiaan juga langsung tercipta di bibir tipisnya.
"Syabil!" Teriaknya, lalu berlari untuk menghampiri wanita yang bernama Syabil itu.
Bahkan, Alfi melupakan jika dia sedang berada di area kantor dan mengabaikan tatapan aneh beberapa orang yang lewat di sekitarnya. Yang jelas ia bahagia karena bertemu kembali dengan sahabatnya.
Alfi dan Syabil adalah dua orang bersahabat yang saling menyayangi satu sama lain, jika salah satu dari mereka sedang merasa sedih maka yang satunya juga akan ikut sedih. Mereka berdua itu saling melengkapi satu sama lain.
Syabil orangnya lemah lembut, kalem, pemalu, dan sedikit cerewet. Nah ... sementara Alfi kebalikan dari semua itu. Alfi itu orangnya cerewet, suka berlebihan, terlewat ramah dan sedikit jail. Namun, satu yang harus dibaggakan dari Alfi, ia adalah sosok wanita yang kebahagiaannya sangatlah sederhana. Semisal, si dia yang dicintai diam-diam memberikan perhatian sangat kecil pun, ia akan sangat merasa bahagia.
Syabil yang tadi mengembangkan senyumnya, langsung mendengkus saat mendengar teriakan Alfi, sehingga membuat beberapa mata melihat ke arahnya.
"Alfi, ih. Jangan teriak-teriak gitu! Kan aku udah pernah bilang kalau suara perempuan itu juga aurat, tahu!" Mendengar teguran Syabil, Alfi hanya memamerkan giginya, lalu berhambur memeluk Syabil dengan erat. Berusaha menyalurkan rasa rindunya setelah ditinggal pergi beberapa minggu keluar negeri.
"Kangen, Bil."
"Sama, aku juga kangen, kok," balas Syabil.
Alfi melepas pelukannya, lalu sedikit memanyunkan bibirnya. "Kamu, sih honeymoon-nya lama banget. Udah gitu pas aku telepon pun, nggak diangkat-angkat."
"Padahal, aku juga mau lihat gimana pemandangan instanbul, walaupun lewat vidio call." Syabil hanya meringis, mendengar protesan Alfi.
"Afwan, Al. Pas di sana, Mas Azam nggak ngebolehin aku megang ponsel. Jadi, nggak bisa angkat telepon dari kamu."
"Alah, alasan. Tapi, nggak papa. Suatu saat nanti aku juga akan pergi ke sana, liat aja nanti," ucap Alfi dengan sedikit nada kesombongan.
"Mau bareng saya, nggak?"
Tubuh Alfi refleks menegang, saat suara bariton itu masuk ke indra pendengarnya. Sementara Syabil hanya menahan tawanya melihat sang sahabat yang berdiri tegap tak bergerak bagai patung.
"Assalamualaikum, Bang." Syabil menyapa pria yang lebih tua tiga tahun di atasnya itu dengan ceria.
"Waalaikumsalam. Ngapain kamu di sini?" tanya pria yang memiliki tubuh tinggi dan berkulit putih itu dengan bingung. Kedua mata hitam legamnya menatap Syabil dan Alfi secara bergantian.
"Dan kamu, Al. Kenapa masih di luar?"
Alfi sedikit tersentak saat namanya disebut oleh pria yang berhasil membuat jantungnya memompa lebih cepat, sekaligus pria yang baru saja ia mimpikan tadi pagi. Alfi melihat ke arah pria itu, lalu detik berikutnya kembali menunduk.
"Tadi, aku ... eh maksudnya saya, mau masuk, tapi karena denger Syabil manggil saya, jadi langsung ke sini lagi."
"Ya sudah, ayo masuk! Bil, mau ikut masuk ke dalam?" tanya pria itu sambil memandang Syabil yang sedang menahan tawanya sambil menatap Alfi yang sedang melototinya.
"Bang Abid gimana, sih. Ya masuk, dong. Emang Abang tega ngebiarin adik kesayangannya panas-panasan di sini?" tanya Syabil dengan sedikit candaan.
"Ya, enggak lah. Mana tega Abang ngebiarin kamu kepanasan di sini. Udah ayo masuk!" ajak pria yang ternyata bernama Abid itu.
"Kok kalem, Al?" Syabil mencoba menggoda Alfi yang masih terdiam, tetapi atensinya masih memandangi punggung tegap Abid yang berjalan masuk ke gedung.
"Apaan, sih, Bil. Emang aku kalem, kok. Dahlah, ayo masuk!" putus Alfi lalu menarik tangan Syabil untuk ikut dengannya.
Muhammad Abidzar Yudhatama, seorang pria yang sudah menginjak usia 26 tahun dan menjadi direktur utama di perusahaan Yudhatama beberapa bulan belakangan. Pria yang memiliki tubuh tinggi dan berkulit putih itu banyak dikagumi oleh para kryawati. Bagaimana tidak, jika ia memiliki bentuk wajah yang nyaris sempurna, mata hitam yang tajam, hidung bangir, dan rahang tegas. Namun, sayang ia tidak terlalu ramah dengan semua orang, kecuali orang terdekatnya.
Salah satu karyawati yang mengagumi Abid bahkan memendam perasaan padanya adalah Alfi, sahabat dari adik kandungnya sendiri. Namun, Alfi mencintai pria itu bukan karena ketampanan atau apa saja yang ia miliki, melainkan karena kesolehan dan ketaatannya lah pada Allah sehingga membuat Alfi memendam perasaan padanya.
TBC.
Assalamualaikum, manteman. Hehehe maaf, ya cerita ini aku unpublish lagi, soalnya mau direvisi, hehehe.
Tapi, skrng udah boleh dimasukin ke perpusnya lagi, kok soalnya bakalan kuupdate kembali. Dan aku saranin mending kalian baca ulang lagi dari HBA 1, soalnya ada perubahan dikit. Nggak banyak kok, dikit aja.
Udahlah itu aja yang mau aku sampein, soo jangan lupa divote dan komen ya. Sekali lagi aku minta maaf, hehehe.
~Happy Reading~
🌼Ay🌼
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro