Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Maria

(warning: cerita ini mengandung unsur LGBT)


***


Mama ingin aku bertingkah lebih normal. Sewajarnya remaja berusia tujuh belas tahun. Persisnya yang dia maksud adalah berkawan, berjalan-jalan tiap akhir pekan, hingga berkencan dengan laki-laki seumuran. Namun aku tak bisa merasakan kesenangan dari semua itu, meskipun aku belum sampai coba-coba punya pacar. Lebih tepatnya, aku tidak berminat melakukan hal-hal tersebut karena sulit sekali bagiku untuk merasakan emosi apa-apa. Senang, sedih, marah, tersinggung, berdebar-debar—semua itu nyaris tidak pernah kurasakan beberapa tahun belakangan. Aku pun tidak tahu pasti sebabnya. Satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa 'agak baik' adalah ketika aku mendengarkan lagu Maria yang dinyanyikan oleh band Blondie sendirian di dalam kamar.

Mama tampak khawatir saking jarangnya aku keluar kamar, kerap membandingkanku dengan kakakku, Sekar, yang pandai bergaul dan sesekali berganti pacar. Apalagi ketika Mama bertanya jurusan apa yang ingin kupilih untuk kuliah nanti? Ketika kujawab belum tahu, makin pusing saja Mama sebab aku sudah kelas dua belas. Akhirnya, dia menelepon guru Bimbingan Konseling di sekolahku dan menyuruhku berkonsultasi dengan beliau. Aku tahu itu takkan membantu, tetapi kuturuti saja keinginan Mama. Sejak menikah dengan ayahku dua tahun lalu (ibu kandungku sudah kabur lima tahun silam), Mama berusaha keras menggantikan peran ibuku sehingga kadang-kadang aku kasihan padanya.

Maka, hari Jumat sepulang sekolah, kutemui guru BK yang dihubungi Mama. Pertama, guru itu menanyakan minat dan bakatku. Kubilang tak punya. Lalu, setelah dia bertanya, "Bagaimana bila kaucari tahu sekarang?" kujawab bahwa aku ini biasa-biasa saja, takkan bisa mencapai prestasi apa-apa, dan oleh sebab itu aku tak perlu berusaha banyak-banyak. Akan kupilih jurusan dengan nilai kelulusan paling realistis saja menjelang ujian masuk universitas nanti, itu juga bila dapat beasiswa. Lagi pula aku sudah bisa menebak masa depanku. Dewasa nanti aku akan duduk selama 8 sampai 9 jam di kantor setiap harinya dan mempertanyakan mengapa hidup begitu monoton? Orang-orang biasanya menjadikan keluarga dan harta sebagai alasan, tetapi aku melakukannya demi mampu makan sehari-hari saja.

Si guru BK menghela napas panjang, lantas mulai menceramahiku soal pentingnya 'punya mimpi' dan menentukan masa depanku. Mengiming-imingiku tentang keindahan mencapai karier impian sambil membangun keluarga bahagia, bahkan menambahkan embel-embel ayat suci tentang pentingnya kebermanfaatan hidup di dunia berdasarkan sudut pandang agama. Cerewet sekali, sedangkan aku sudah ingin jajan bakso di depan gerbang sekolah. Karena itu, kukatakan pada guru tersebut bahwa aku kemari bukan untuk didongengi. Kubilang bahwa aku tak berminat dengan tujuh puluh dua bidadari di surga. Aku juga bertanya mengapa dia mau-mau saja 'punya mimpi' menjadi guru bergaji kecil? Tentu saja dia berakhir membentakku, menyuruhku keluar kantor, lalu berkata akan melaporkanku pada Mama.

Aku keluar dengan langkah ringan. Tak penting, semua obrolan tentang masa depan itu. Mau bagaimana lagi, aku sudah mencapai fase di mana aku mulai meragukan semuanya: omongan orang-orang, isu-isu sosial dan politik, agama dan kepercayaan, eksistensi diri sendiri, hingga kucapai kesimpulan bahwa hidup tak perlu bermakna. Yang kupercayai sekarang adalah bahwa aku lapar dan ingin makan bakso. Itu saja sudah cukup.

Dalam perjalanan menuju gerbang sekolah, aku mampir sebentar ke toilet. Di sana, semua pintu bilik terbuka, kecuali satu yang tertutup rapat di paling ujung. Selagi aku pipis di dalam salah satu bilik, samar-samar kudengar suara tangis dari bilik terujung. Ini memang masih pukul empat sore, tetapi sebagian besar murid sudah pulang jam segini. Dengan nekat, kutanya keras-keras, "Oi, kamu bukan setan, kan?"

Kukira takkan ada jawaban, tetapi kemudian kudengar balasan: "Bukan, h-hiks."

Yang mencengangkan dan lebih menakutkan dari setan, balasan itu adalah suara laki-laki.

Aku cepat-cepat membanjur jamban lalu keluar dari bilikku, berniat kabur secepatnya. Pada saat bersamaan, pintu bilik toilet di paling ujung itu terbuka perlahan. Seorang murid laki-laki menampakkan diri. Wajahnya agak tertunduk, merah dan basah oleh air mata, tetapi melirikku malu-malu. "M-maaf," ujarnya lirih.  Suaranya lembut dan manis. "Aku enggak bermaksud ngintip. T-terpaksa ke sini, enggak punya tempat lain."

Semula aku hendak mengabaikannya saja. Namun, perawakan laki-laki itu membuatku penasaran sekaligus iba: parasnya rupawan seperti perempuan, bahunya kecil dan meringkuk alih-alih lebar dan bidang, dan tatapannya nanar. Maka kutanya dia, "Kenapa?"

Masih sambil tertunduk, dia mengaku bahwa para kakak tingkat lagi-lagi mengganggunya. Mengatainya 'bencong,' 'kemayu,' 'banci,' 'ngondek,' dan sebutan-sebutan lain yang sejenis. Mereka mengejarnya sepanjang lapangan, hendak menyumpali dadanya dengan bola tenis serta bola pingpong, sebelum akhirnya dia berhasil kabur ke toilet perempuan. Karena para kakak tingkat itu lelaki dan sungkan masuk ke toilet yang sejam silam masih terisi oleh murid-murid perempuan, mereka pun membubarkan diri.

Usai penuturan tersebut, kurespons, "Jadi kamu udah sembunyi di sini selama satu jam?"

Si anak laki-laki—yang kuketahui melalui label di seragamnya bernama Ragil—mengangguk malu. Gestur tubuhnya memang tampak gemulai, tak heran murid laki-laki lain mengejeknya dengan sebutan-sebutan tersebut.

Ketika kutanya, "Sekarang udah baikan?" 

Dia hanya menjawab, "Enggak ada orang yang benar-benar baik-baik aja," dengan muram.

Aku tak mengharapkan jawaban sedalam itu. Sungguh, tadi itu aku cuma basa-basi. Sedetik kemudian aku nyaris meninggalkannya sebelum tiba-tiba murid bernama Ragil itu menangis lagi. Tak tega, aku pun menawarinya jajan bakso di depan gerbang bersamaku. Langsung saja wajah Ragil berubah semringah.  Dia lantas mengikutiku ke destinasiku semula.

Dari percakapan kami di bawah tenda bakso, kuketahui bahwa Ragil masih kelas sepuluh dan dia sudah dirisak oleh para senior sejak masa orientasi siswa baru. Dia pun mengaku tidak punya teman dekat, sebab teman-teman sekelasnya khawatir akan turut dirisak bila berkawan dengannya. Bukan aku yang memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan, melainkan Ragil yang langsung saja meluapkan semua unek-uneknya padaku. Aku tak masalah sebab bakso yang kini kumakan adalah traktirannya.

Di akhir penuturannya, barulah dia berkata, "M-makasih udah dengerin aku. Oh ya, namamu siapa?"

Kuberitahu namaku padanya dan, ketika kubilang bahwa aku sudah kelas dua belas, Ragil langsung minta maaf karena semula mengira aku sepantar dengannya. Dia bahkan mulai memanggilku, "Kak," yang lekas kularang dengan tegas.

Sisanya adalah sejarah. Sejak itu, aku dan Ragil jadi sering menghabiskan waktu bersama. Lebih persisnya, aku sering menemani dia bersembunyi di dalam bilik toilet perempuan sampai para kakak tingkat bosan menungguinya keluar. Sempat aku terpikir untuk mengadukan perisakan tersebut pada para guru, tetapi Ragil melarangku—beralasan bahwa para kakak tingkat justru akan lebih mengusiknya. Lagi pula, reputasiku sudah jelek di kalangan guru sehingga aku ragu mereka mau meladeniku, terutama si guru BK yang tempo hari kubantah. Alhasil, kami sepakat membiarkannya, terlebih karena Ragil bilang dia sudah tenang semata ditemani olehku.

Usai cukup sering nongkrong berdua sepulang sekolah, suatu hari Ragil mengajakku jalan-jalan di akhir pekan. Menonton film, sebab katanya dia tak pernah punya teman untuk diajak nonton bersama. Aku mengiyakan saja, sebab lagi-lagi dia bilang akan mentraktirku, sedangkan aku tak pernah punya cukup uang saku untuk dihamburkan. Kami pun sepakat untuk bertemu di suatu mal dekat sekolah hari Minggu nanti.

Ketika aku nyaris berangkat hari Minggu siang itu, Mama menanyaiku dari dalam ruang jahit. Di hari libur seperti ini pun, dia tak pernah berhenti bekerja; katanya demi membiayai uang kuliahku kelak. Namun, masih sempat-sempatnya wanita itu penasaran tujuanku pergi. Aku pun berkata akan menemui teman di mal. Mendengar agendaku bersosialisasi dengan teman di luar sekolah saja Mama sudah senang. Kemudian, ketika dia menanyakan jenis kelamin temanku dan kubilang bahwa temanku ini lelaki, makin saja Mama kegirangan. Berbeda dengan pada Sekar, Mama mungkin khawatir aku akan berakhir menjadi perawan tua yang baru menikah di usia empat puluhan tahun sepertinya. Wanita itu lantas beranjak dari meja jahitnya, memilah barisan pakaian hasil jahit yang dia gantung di sudut ruangan, lalu menyodorkanku salah satu gaun bikinannya.  "Masa ketemu cowok pakaianmu begitu? Pakai ini, Ning!"

Kuakui pakaian buatan Mama memang bagus, tetapi dress biru muda yang dia sodorkan sama sekali bukan seleraku. Sekar yang hanya lebih tua tiga tahun dariku mungkin akan senang memakainya, tetapi tidak bagiku. Namun, tidak mau membuat Mama sedih lagi seperti saat dia ditelepon guru BK atas ulahku, kuganti kaus dan celana jins belelku dengan gaun dari Mama. Wanita itu kentara semringah melepasku pergi dari rumah.

Tak hanya Mama, Ragil pun demikian. Raut wajahnya tampak kagum ketika aku menghampirinya di pintu utama mal. Jenis kekaguman yang lain, lebih tepatnya. Kudapati dia memerhatikan detail gaunku dari ujung atas sampai bawah, seperti ingin berkomentar tetapi ditahannya dalam-dalam. Aku tak memusingkannya dulu, langsung mengajak Ragil untuk menuju studio bioskop sebab film incaran kami sudah hampir dimulai.

Begitu film selesai, laki-laki itu mengajakku minum es kopi di sebuah kafe di dalam mal. Di sana, kami duduk berhadapan. Lagi, dia menatapku—persisnya, gaunku—dengan malu-malu. Tanpa membicarakan film barusan, usai jeda beberapa sedotan kopi dari mulutnya, Ragil berucap, "Bajumu bagus." 

"Bikinan ibuku," ujarku datar. Masih asing rasanya, menyebut Mama sebagai 'ibuku'.

"Iya kah? Jago banget... Mirip bikinan salah satu desainer favoritku."

Mendengar itu dari mulut Ragil, aku tak terkejut. Dia memang tertarik pada fesyen terkini, acap kali menguraikannya padaku selagi kami nongkrong di toilet sekolah. Bisa kurasakan Ragil terus memerhatikan gaunku, bahkan sesekali di dalam studio bioskop. Lalu tiba-tiba ide itu terpikir olehku. Bila kutaksir, ukuran tubuh kami kurang-lebih sama; Ragil hanya lebih tinggi lima sampai enam sentimeter dariku. Aku pun mengusul, "Kamu mau coba pakai?"

"E-eh?" Ragil sontak gelagapan, tetapi rona merah menjalari pipinya dan ketertarikan terpancar pada matanya. 

"Gimana? Kita tukeran baju di toilet," lanjutku.

Ragil menoleh ke kiri dan kanan, khawatir ada yang mendengar percakapan mereka. "A-apa enggak aneh?"

"Enggak bakal ada yang kenal. Ayo."

Meskipun tampak ragu sejenak, Ragil beranjak menyusulku yang sudah meninggalkan cafe menuju toilet terdekat. Aku masuk duluan, meninjau kondisi hingga dua perempuan yang semula berada di dalam toilet keluar, lantas memanggil Ragil untuk menyusul masuk. Kami berdua pun memasuki dua bilik yang bersebelahan, melepas baju masing-masing, lalu menukarnya melalui celah di atas sekat yang membatasi bilik toilet.

Begitu aku beres mengenakan kaos dan celana jins Ragil, kutanya, "Udah?"

Ragil menjawab ragu, "U-udah sih, tapi..."

"Sini kulihat," ucapku, membuka pintu bilik. Di saat bersamaan, Ragil juga keluar dari dalam bilk toilet. 

Langsung saja aku terkesiap. Ragil tampak tak ada bedanya dengan perempuan biasa. Gaun buatan Mama sangat cocok membungkus tubuh ramping laki-laki itu, yang kentara malu-malu dengan kepala tertunduk di hadapanku. Lantas aku meraih bahu laki-laki itu dan mendorongnya untuk menghadap cermin besar di samping kami. Ragil pun terperangah melihat penampilannya sendiri, disusul ulasan senyum cerah pada bibirnya. Hanya satu yang perlu diatasi, yakni rambut pendeknya.

"Punya uang?" tanyaku. "Tadi kulihat ada toko wig di lantai dua."

Ragil terkesiap tetapi mengerti maksudku. Dia lantas mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dalam dompet di ranselnya.

"Tunggu di dalam bilik sampai aku kembali," sergahku. 

Kugunakan uang dari Ragil untuk membeli sebuah wig hitam sepanjang punggung. Lurus di atas, dengan keriting gantung di bagian bawah. Kurasa Ragil akan menyukainya. Cepat-cepat aku kembali ke toilet. Di dalam sana, ada seorang perempuan yang sedang mencuci tangan di wastafel. Setelah perempuan itu keluar, barulah aku mengoper wig melalui sekat di atas bilik tempat Ragil menungguku. Selang beberapa waktu, pintu bilik dibuka olehnya. Aku seakan tak lagi melihat Ragil, melainkan sosok perempuan cantik nan anggun.

Ragil pun tampak menyadari hal itu. Dia tersenyum lembut pada pantulan dirinya di cermin toilet, lalu menoleh padaku dengan mata berbinar. Jarang sekali kulakukan, tetapi aku membalasnya dengan senyuman. 

"Mau lanjut ke toko aksesoris?" tanyaku, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk merias manifestasi boneka jelita di hadapanku.

Ragil masih tak percaya diri. "Takut dilihatin dan diomongin orang-orang."

Memang masih ada sisa persona laki-laki pada tampilan Ragil kini, terutama pada bagian jakunnya yang tak tertutupi. Namun, aku meyakinkannya, dengan sejujur-jujurnya. "Persetan orang lain. Kamu sempurna."

Ucapanku penaka suntikan percaya diri bagi Ragil. Kepalanya kini terangkat dengan senyum bangga. Kami berdua lantas meninggalkan toilet, lanjut menyusuri mal seraya mengunjungi toko-toko pakaian wanita dan aksesoris. Beberapa orang menatap Ragil dengan curiga, tetapi aku berusaha mengalihkan perhatian laki-laki itu dengan menyodorkan perhiasan-perhiasan yang kurasa akan cocok untuknya. Pada titik ini, kurasa tidak lagi tepat menyebut Ragil sebagai 'laki-laki itu'. Ragil adalah 'dia', yang menikmati sisa hari sebagai seorang perempuan, hingga akhirnya kami bertukar baju lagi sebelum pulang ke rumah masing-masing. Wig yang kami beli barusan kubawa bersamaku.

Kejadian seperti tadi nyatanya bukanlah yang terakhir. Nyaris tiap akhir pekan, aku dan Ragil akan 'bertukar pakaian' sebelum menghabiskan waktu bersama seharian. Sisi positifnya, Mama selalu senang tiap kali aku mengenakan baju buatannya—yang sebenarnya akan kutukar untuk dipakai Ragil hari itu—karena mengira aku sedang berkencan. Pada satu kesempatan, Mama bahkan sampai diam-diam meminjamkan gaun pesanan pelanggannya untuk kupakai. Aku tak berkomentar apa-apa dan terima-terima saja. Kurasa ini satu-satunya cara agar aku bisa menyenangkan Mama. Paling tidak, Mama jadi tidak terlalu sedih acap kali Papa pulang marah-marah sambil mengeluh upahnya menjadi mandor kuli bangunan takkan pernah cukup bahkan bila bekerja sampai subuh.

Di sisi lain, Ragil tampak lebih ceria. Memang dia masih sering dirisak oleh para kakak tingkat, tetapi penantian untuk mengenakan wig dan baju-baju lucu dariku di akhir pekan membuatnya lebih tahan menghadapi perisakan demi perisakan. Karena ada yang dinanti, katanya. Karena tiap akhir pekan aku bisa mendapat kebebasan, tambahnya.

Pada pertemuan akhir pekan kami yang kesekian, tatkala kami berdua sedang duduk-duduk di bangku taman kota sambil makan es krim, kutanyai Ragil, "Kamu ingin jadi perempuan? Maksudku, bukan sementara kayak sekarang, tapi seterusnya."

Ragil tersenyum kecut. Ditatapnya renda pada tepi dress merah muda yang dia kenakan sekarang. "Aku ... belum tahu. Aku bahkan belum pernah kepikiran sebelum kita mulai tukar baju waktu itu. Tapi, begini rasanya nyaman, kayak jadi orang lain. Orang yang benar-benar baru. Bukan lagi Ragil yang lama, Ragil yang kubenci."

"Kalau begitu, kamu perlu nama baru," balasku.

"Eh?"

Kujilat es krim traktiran Ragil dulu sebelum meneruskan, "Identitas lain. Nama yang kamu pakai selama berpenampilan seperti ini."

Ragil langsung menimpali dengan antusias. "Iya juga! Tapi apa, ya?"

"Maria." Nama itu langsung tercetus dari mulutku.

"Kenapa Maria?" tanya Ragil.

"Judul lagu favoritku," ujarku. "Maria. Dari band Blondie. Coba dengar deh nanti."

Ragil mengangguk; menyanggupi sekaligus setuju. Dia pun tersenyum seraya memanggil dirinya sendiri, "Maria."

Sebetulnya ada alasan lain. Soal Maria yang lain. Maria Pertama. Namun, tentu saja aku takkan sebut-sebut soal itu pada Ragil, Maria keduaku. Kendati demikian, aku jadi memikirkan soal Maria Pertama padahal sebelum-sebelumnya jarang sekali. Saat Ragil tiba-tiba memegang tanganku di bangku, tersenyum sambil berkata bahwa ini adalah hari terbaiknya, aku masih tak merasakan apa-apa selain memikirkan soal Maria Pertama.

Benakku masih dipenuhi Maria Pertama bahkan setelah aku pulang ke rumah. Mama menyambutku dengan semringah, menanyakan apakah lelaki yang kencan bersamaku suka dengan dress merah muda yang kukenakan? Kubilang, "Iya," saja dengan senyum palsu sebelum izin memasuki kamarku dengan dalih lelah. Sepanjang malam itu aku tak keluar, hanya mendengarkan lagu Maria oleh Blondie berulang kali, dan baru mampir ke dapur untuk mengambil minum pada pukul tiga pagi.

Di jalan menuju dapur, kulihat motor butut Papa belum ada di garasi. Sekar pun tampaknya belum pulang, entah keluyuran ke mana. Melewati ruang jahit Mama, kudapati pintunya sedikit terbuka. Di baliknya, Mama sedang sembahyang. Memang sering kupergoki Mama beribadah dan membaca kitab suci di penghujung malam begini. Di rumah kami, tak ada yang beribadah selain dirinya. 

Usai menjemput gelas berisi air putih, benakku masih berlarian. Kupikir-pikir lagi, bila aku dulu rajin beribadah, mungkin saja Maria Pertama takkan pergi. Namun, kami memuja Tuhan yang berbeda. Aku diajari Papa untuk memuja Tuhannya, kendati dia sendiri bukan penganut yang taat. Tuhan yang disembah Maria Pertama sepertinya takkan mendengarku. Karena itu, mungkin percuma saja aku beribadah. Lagi pula, sejak Maria Pertama pergi, dia tak pernah menghubungiku. Aku pun tak tahu cara mencapainya.

Pikiran soal Maria Pertama lama-lama terkikis seiring pertemuan-pertemuanku berikutnya dengan Maria Kedua. Sudah setengah tahun rutinitas kami berjalan. Khusus hari ini, kami ingin menghabiskan waktu lebih lama. Ada taman kecil di pinggir sungai yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Kami duduk di tanah landai pada taman tersebut yang menghadap sungai. Meskipun sungainya tak terlalu bersih, pemandangan matahari terbenamnya cukup indah, terpantul pada hamparan air keruh. Kebetulan, hari ini adalah hari ulang tahun Maria Kedua. Selagi kami duduk, kuberikan dress biru muda—yang pertama kali dia kenakan pada sesi 'tukar baju' kami—sebagai hadiah.

Belum pernah kulihat wajah Maria sebahagia itu ketika dia menguak isi kadoku. Usai mengucapkan terima kasih bertubi, dia bertanya, "Kamu mau apa buat ulangtahunmu dua bulan lagi?"

Kubilang aku tak ingin apa-apa. Satu-satunya keinginanku adalah sebuah ketidakinginan. Tetap, Maria mendesakku untuk mengungkapkannya. "Apa itu?"

"Aku enggak mau jadi dewasa," kataku.

"Kenapa?" tanya Maria.

"Yang orang dewasa pikirkan hanya uang dan seks, sedangkan mungkin aku enggak ingin keduanya."

"Terlalu dini buat memikirkan hal itu," ujar Maria, tersenyum lembut. Dia lantas memeluk lenganku dan menyandarkan kepalanya pada bahuku. Aku tak mengelak. Tak terduga, justru terasa nyaman. Aku pun membiarkan Maria demikian seiring kami menyaksikan matahari terbenam dari pinggir sungai.

Beberapa minggu berikutnya, aku mulai merasakan sesuatu. Senang, bila harus didefinisikan; terlebih ketika aku sedang bersama Maria. Sensasi yang aneh, kendati demikian aku menikmatinya. Sekali itu, aku tak sabar untuk menemui Maria di akhir pekan. Malam sebelum kami bertemu, aku sampai bingung memilah-milah gaun mana yang akan kubawakan untuknya.

Namun, di tengah kebingunganku, tiba-tiba ponselku berdering pendek. Sebuah pesan. Begitu aku membacanya, senang yang sempat kurasakan serta-merta lenyap. Maria baru saja mengirim pesan bahwa hadiah dress yang kuberikan tak sengaja ditemukan oleh orangtuanya di dalam lemari. Ayah Maria marah besar, berkata tak mau anaknya jadi banci, dan akan memindahkan Maria ke sekolah semi-militer mulai bulan depan. 

Sontak tubuhku lemas.

Bersamaan itu, suara-suara gaduh terdengar dari luar kamarku. Kubuka pintu untuk mengintip dan mencuri dengar perdebatan yang sedang berlangsung di ruang tengah. Sekar baru saja mengaku dihamili pacarnya yang ternyata tak mau bertanggung jawab. Mama menangis. Papa mengamuk sambil melempar piring hingga bunyi pecah berhamburan. Sekar balas menjerit-jerit. Papa membentak semakin keras, mengeluarkan berbagai macam nama hewan, menyumpahi kakakku sebagai sundal, lalu mengatai Mama tak becus mengurus anak. Dia bahkan mengungkit-ngungkit Maria Pertama, yang dikatainya tak pernah memberi apa-apa selain dua anak perempuan sebagai beban.

Kututup pintu dan duduk diam di kamarku. Di luar terlalu berisik. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya para tetangga mengintip dari balik jendela rumah masing-masing. Di gang kecil ini, tidak banyak hiburan selain drama rumah tangga orang lain. Kucoba membayangkan ketenangan, menyebut-nyebut nama Tuhanku dan Tuhan Maria Pertama, hingga tiba-tiba wajah Maria Kedua muncul di benakku. Kubayangkan aku takkan bisa melihat wajahnya, memuja keanggunannya, dan mendengar tawa lembutnya lagi mulai sekarang. Aku telah kehilangan Maria lagi. Seharusnya, belajar dari kasus Maria Pertama, aku berusaha lebih keras agar mereka tidak pergi.

Perasaanku mulai tak keruan. Untuk pertama kali, rasanya seperti ada ribuan gendang yang bertalu-talu di dadaku. Perlahan mataku mulai berair. Kuraih  gaun bekas Maria—yang dia kenakan minggu lalu dan belum kucuci—dari dalam ranselku. Aku pun memeluk gaun itu dengan erat. Menghisap aroma peluh tubuh Maria Kedua yang masih teresap di sana. 

Entahlah. Mungkin bersama Maria adalah hal terdekat menuju cinta yang pernah kurasakan. []



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro