- Part Two
❝Setidaknya, aku dapat membahagiakannya sebelum dia pergi❞―Akaashi Keiji
.
.
.
Akaashi
Kalau begitu, kita ketemuan di depan penjualan tiket ya
ITU isi chat balasan dari Akaashi. Maka esoknya, hari Sabtu, (Name) sudah bersiap-siap di depan loket penjualan tiket. Dia sebenarnya lumayan kaget karena tiba-tiba lelaki itu mengajaknya jalan-jalan. Atau lebih tepatnya: kencan!
"Duh, poniku gak aneh, kan?" gumam (Name) sambil melihat refleksinya di layar ponsel.
Akhirnya hal-hal yang aku imajinasikan selama dua tahun ini bisa terwujudkan juga, begitu benak (Name). (Name) terkikih pelan, berpikiran bahwa dia itu bodoh sekali.
"(Name)-san! Maaf kalau aku kelamaan."
(Name) menoleh dan menangkap sosok Akaashi. Dia menggeleng. "Tidak, senpai gak lama-lama amat kok tadi."
"Baguslah," Akaashi menghelakan napas lega. "Kalau begitu, ayo."
"I-iya," balas gadis itu sedikit tergagap. (Name) begitu gugup karena kamu akhirnya dapat ber'kencan' dengan lelaki yang kamu sukai.
Akaashi berjalan di depan (Name), sedangkan gadis itu berjalan di belakang dengan kepala yang tertunduk dalam. (Name) bingung hendak melakukan apa, atau mengatakan apa. Lagian, kejadian ini begitu mendadak sehingga dia tidak mempersiapkan apapun dari semalam.
"(Name)-san?"
(Name) mendongak, dan sadar bahwa wajah Akaashi begitu dengan wajahnya.
"Kamu kenapa? Gak enak badan?" tanya Akaashi.
"Bukan, kok. Bukan!"
"Jadi?"
(Name) menunduk malu. "Aku hanya.... gimana ya?"
"Ini... memang sedikit mendadak ya? Aku tak begitu mengenalimu, lalu aku justru mengajakmu jalan seperti ini. Pasti kamu merasa aneh ya?" Akaashi menggaruk tengkuknya.
"Bukan seperti itu, senpai," ucap (Name). "Aku hanya merasa senang, itu saja."
Wajah Akaashi memerah. Padahal... padahal aku sudah menolakmu... tapi kenapa kamu bersikap baik seperti ini? begitu benak Akaashi.
"Senpai," cicit (Name). "Sebenarnya, apa tujuan senpai untuk mengajakku jalan-jalan seperti ini?"
"Aku hanya menyesali sesuatu," ucap Akaashi. "Begitulah." Akaashi membelakangi (Name). "Sudahlah, ayo jalan."
Wajah (Name) sempat memerah sejenak, tapi (Name) langsung kembali tersenyum.
Mata Akaashi melirik senyuman (Name), lalu dia pun tersenyum kecil. "Kalau begitu, kamu mau naik apa?"
"Bianglala!" seru (Name) tanpa berpikir panjang.
"Tapi sepertinya antriannya panjang banget," ucap Akaashi. "Apakah kamu mau coba wahana lain dulu?"
"Boleh," balas (Name). "Kalau rumah hantu gimana?"
Kalian lalu mengantri di rumah hantu. Setelah memasukki rumah hantu, (Name) mencengkram lengan pakaian Akaashi sembari melangkah pelan. Suara-suara mengerikan seperti tawa dan pekikan kelelawar memenuhi ruangan.
"Kamu takut?" tanya Akaashi.
(Name) mengangguk pelan.
"Pegang saja tanganku," ucap Akaashi.
"Iya..." balas (Name). Tubuhnya bergetar karena ketakutan. Dasar, padahal (Name) tahu takut tapi dia tetap saja memasukki rumah hantu.
Setelah keluar, (Name) dapat menghelakan napas lega dan menghirup udara segar. Soalnya, di dalam rumah hantu tadi tercium aroma-aroma memuakkan, seperti lilin, alkohol dan bunga mawar.
"Kamu tak apa kan, (Name)-san?" tanya Akaashi. Dia menyerahkan sebuah es krim kepada gadis itu.
"Aku tak apa, makasih senpai." (Name) menerima es krim tersebut.
Akaashi menegak minumannya. "Antrian di bianglala masih panjang, setelah ini mau kemana?"
***
MEREKA mengelilingi taman bermain sampai berjam-jam, hingga sore datang menyapa. Antrian bianglala sudah mulai sepi, dan akhirnya mereka dapat masuk ke dalam salah satu gondola-nya.
"Senpai, lihat!" seru (Name). "Langitnya cantik sekali."
Akaashi tersenyum. "Iya." Dia menatap langit sore, lalu teringat akan langit yang sama dua tahun lalu.
"Sama seperti dua tahun lalu ya, senpai."
Akaashi memalingkan wajahnya dari langit sore, dan melihat ke arah (Name) dengan wajah kaget.
Sebuah senyum kamu pasang di wajah (Name). "Dua tahun lalu, aku menembak senpai saat sore hari bukan? Itu hari.... dimana senpai menolakku..." Nadanya berubah menjadi sedih di akhir kalimat.
Akaashi merasa ditimpa oleh perasaan bersalah kala melihat senyuman tulus dari (Name), kala mendengar pernyataan tulus dari (Name).
"Aduh, apa yang aku katakan? Maaf ya senpai," ucap (Name) sedikit merasa tak enak.
"Aku yang harusnya minta maaf, (Name)-san!" Akaashi tiba-tiba berdiri dari tempat dia duduk.
"Senpai, bahaya! Jangan tiba-tiba berdi-"
Akaashi menarik tangan (Name) lalu mendekapkan tubuh gadis itu ke dalam pelukannya, hal itu membuat (Name) kaget dan tidak melanjutkan ucapannya. "Aku... aku sebenarnya menyesal telah menolakmu, (Name)-san. Maaf. Aku berpikir, bahwa ini mungkin satu-satunya hal yang dapat aku lakukan untuk menebuskan semua kesalahanku."
"S-senpai..."
Akaashi melepaskan pelukannya. "Aku suka samamu, (Name)-san. Mungkin aku terlambat mengatakannya. Tapi tolong, terimalah perasaanku."
(Name) merasakan air mata mulai membasahi pelupuk matamu. "Aku sangat senang, Akaashi-senpai."
"Apakah kamu bisa berhenti memanggilku 'Akaashi'?" ucap Akaashi. "Keiji saja, sudah cukup.... (Name)."
"Kalau itu yang kamu mau, ya sudah, Keiji-kun," ucap (Name).
Beberapa saat kemudian, mereka turun dari bianglala.
"Wah, sudah gelap, ya?" ucap (Name). Dia tersenyum. "Tapi ya, walau kita ketemu kembali kemarin, banyak hal yang telah berubah ya?"
"Begitulah," ucap Akaashi, menggenggam tangan (Name) dengan erat. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang, ya."
***
"AKAASHI?" ucap Bokuto kala melihat diri (Name) dan Akaashi pulang bareng. "Makasih sudah mengantar (Name), dia pasti sudah banyak merepotkanmu ya?"
"Sama sekali tidak," balas Akaashi. "Walau Bokuto-san dan (Name) bersaudara, (Name) sama sekali tak semerepotkan dirimu."
"Akaashi, dasar jahat," keluh Bokuto. "Sudahlah, kita kesampingkan hal itu dulu. Ayo, masuk."
Kalian berjalan masuk ke dalam rumah.
"Kou-nii-chan, Papa-Mama dimana?" tanya (Name).
"Lagi keluar bentar, katanya ada urusan," balas Bokuto. "Cepat ke kamar dan gantilah pakaianmu dulu."
"Hai'i," balas (Name). Kamu meninggalkan kekasih barunya dan kakak lelakinya.
Akaashi menarik napasnya dalam-dalam. "Ano, Bokuto-san. Sebenarnya... aku dan (Name) sudah resmi berpacaran."
Prang!
Bokuto menjatuhkan sebuah gelas mendengar ucapan Akaashi. "Jangan bercanda, Akaashi."
Akaashi memberikan tatapan datarnya kepada Bokuto.
Bokuto terdiam. Jika Akaashi memberi tatapan itu, artinya dia serius. "Kalau begitu.... jagalah adikku baik-baik walau hanya dalam waktu yang singkat ini, Akaashi."
"Iya," balas Akaashi.
"Maaf aku kelamaan, Kou-nii-chan, Keiji-kun," ucap (Name).
"Keiji?" Bokuto mengerutkan keningnya. "Belum apa-apa udah manggil nama kecil ya, manis banget kalian berdua."
Wajah (Name) merah padam. "K-Keiji-kun.... kamu..."
"Aku harus meminta peresetujuan, tahu," balas Akaashi.
Semburat di wajah gadis itu semakin menjadi-jadi. Dia menangkup tangannya di wajah. Memalukan, memalukan, memalukan, memalukan!! benak (Name) mengulang-ulangi kata-kata tersebut.
Bokuto mengelus puncak kepala adik perempuannya. "Gak usah khawatir, kan sudah nii-chan bilang kalau nii-chan akan mendukungmu, (Name)."
(Name) mendongak, lalu tersenyum. "Arigatou, nii-chan."
"Kalau begitu," Akaashi bangkit dari kursinya. "Aku harus segera pulang. Ini sudah malam."
"Aku akan mengantarmu ke depan," ucap (Name).
Mereka berjalan ke pintu keluar.
"A-no," ucap (Name) pelan. "Makasih untuk hari ini, Keiji-kun. Aku sangat senang."
"Aku juga," balas Akaashi.
"Dan... satu lagi." Tanpa mengecek apakah kakak lelakinya ada disana, (Name) menarik kerah Akaashi sehingga tubuh lelaki yang setinggi 184 cm itu tercondong sedikit. (Name) berjinjit untuk menambahkan tingginya yang hanya 164 cm. Lalu, bibirnya dia kecupkan pelan dengan bibir Akaashi.
"(Name)..." Akaashi terpaku atas perbuatan kekasih barunya.
(Name) menunduk malu. "Makasih untuk hari ini, Keiji-kun."
Wajah Akaashi juga ikut memerah malu. "Iya...." ucapnya. "Kalau begitu, sampai nanti."
"Ha-hati-hati ya, Keiji-kun," ucap (Name).
Akaashi hendak membuka pintu, tapi dia mengucapkan sesuatu. "Mulai besok, jangan panggil aku dengan akhiran '-kun', (Name)." Dan dia berjalan keluar dari kediaman keluarga Bokuto.
"Kalian berdua manis banget, ya,"
Tubuh (Name) menegak kala mendengar suara abang lelakinya.
"Nii-chan?" seru (Name).
Bokuto mengacak rambut (Name). "Yosh, dengan begini bukankah kamu semakin bahagia, (Name)?"
(Name) tersenyum. "Iya!"
***
A.N
Belum selesai ternyata
Kayaknya bakalan ada satu atau dua part lagi baru tamat
Maaf ya!
-Mochii
(edited: 14/02/2021)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro