05. Fear to Loose (ft. Sawamura, Daichi)
❝Aku takut, itu alasan mengapa aku tak pernah menceritakan 'perasaanku' kepadanya❞―Sawamura Daichi
.
.
.
SMA Karasuno akhir-akhir ini sedang sibuk. Kenapa? Tentunya karena pentas kesenian sekolah yang akan diadakan tak lama lagi.
"Daichi, kamu ambil bagian apa?" tanya (Name) kepada lelaki bersurai hitam itu, sahabatnya sejak kelas satu.
Daichi menoleh. "Hm? Aku ambil bagian teater. Kamu, (Surname)?"
"Paduan suara!" seru (Name) dengan senyum yang tampak begitu lebar dan bangga.
"Semangat, kalau begitu!" Daichi mengacak rambut (Name).
"Ih, apaan sih!" (Name) mengacak balik rambut Daichi.
Seketika, Daichi berhenti mengacak rambut (Name). Dia menurunkan tangannya. "Sepertinya aku akan menembaknya."
"Menembak?" gumam (Name). "Siapa? Michimiya?"
Wajah Daichi tampak sedikit memerah.
"Oh," senyum (Name). "Semangat! Aku dukung!" (Name) mencubiti pinggang Daichi dengan cengir lebar menghiasi wajah (Name). "Kapan?"
"Setelah selesai pensi nanti. Kamu jadi saksi mata, ya, (Surname)," ucap Daichi.
***
(NAME) melemparkan tasnya ke sudut ruangan. Dia menghempaskan tubuhnya ke kasur. (Name) tiba-tiba galau.
Entah kenapa. Saat mendengar bahwa Daichi akan menembak Michimiya, ada bagian dari dirinya yang tak terima.
"Ah, palingan karena aku takut kehilangan sosok 'abang lelaki' dari Daichi," gumam (Name). Yah, dia berpikiran seperti itu.
Soalnya, sejak dua teman lelaki (Name) yang lain―Asahi dan Sugawara―masing-masing memilikki kekasih, mereka tak lagi sibuk bersama (Name) terus. Padahal saat kelas satu, mereka bertiga adalah squad yang paling solid.
Tetapi... kini hanya ada (Name) dan Daichi. Bahkan, Daichi sendiri sebentar lagi pasti akan berpacaran dengan Michimiya.
Dan pasti... (Name) akan kehilangan sosok 'abang lelaki' di dalam hidupnya...
(Name) menghapus air mata yang entah bagaimana merebak dari pelupuk matanya.
***
HARI H
Hari dimana pentas seni sekolah mereka di gelar.
(Name) mengenakan gaun berwarna hitam yang tampak manis, dengan sebuah kalung menggantung di lehernya. Kaki (Name) sedari tadi berjalan kesana-kemari untuk mencari Daichi yang sampai sekarang tak lagi tampak.
Langkah (Name) berhenti, di koridor lantai kedua. Dia ingat, disana adalah tempat terakhir squad mereka berkumpul. Tepat tahun lalu, di hari yang sama, mereka menatap kembang api yang meletus dari lantai itu, dan mengucapkan sumpah untuk selalu bersama.
Ponsel (Name) bergetar, dan dia merogoh tasnya dan mengangkat.
"Halo?"
"(Surname)? Kamu dimana?" tanya Daichi.
"Koridor, lantai dua," balas (Name). "Tunggu, apa kamu jadi menembak Michimiya?"
"Jadi," balas Daichi. "Ini mau nembak, katanya mau jadi saksi mata. Ayo, di koridor lantai ketiga."
"OK, aku segera kesana." (Name) memasukkan ponselnya ke dalam tas.
(Name) hendak berlari menuju lantai ketiga. Tetapi, tiap langkahnya semakin berat mengingat bahwa sosok (Name) tak akan lagi berharga bagi seorang Daichi. (Name) akan kehilangannya.
Tadi saja, saat (Name) selesai tampil, (Name) tahu bahwa ada kesalahan besar pada saat dia tampil. Lalu, (Name) mendatangi tempat Daichi. Dan Daichi sama sekali tak memerdulikannya, dia menatap panggung dimana Michimiya sedang tampil.
(Name) menangis, dan dia tak lagi melihat air matanya. Dia tak lagi menghapus kesedihan (Name).
(Name) berhenti melangkah di anak tangga kesekian. Padahal, sebentar lagi dia sampai. (Name) melihat ke arah rembulan yang memancarkan cahayanya dari jenedela.
"Gomen, Daichi," gumam (Name). Dia melangkah turun dari tangga. Meninggalkan begitu banyak kejadian yang menurut (Name) tak lagi berguna. Dia meninggalkannya, seiring dengan kembang api yang meletus di langit malam.
***
SETELAH pentas seni, SMA Karasuno mengambil libur selama satu minggu penuh. Dan selama satu minggu itu, (Name) mengurung diri di kamar. Dia terus saja menangis, tanpa sebab. Semua pesan dan telpon yang dia terima, dia tolak.
Tapi beda dengan malam itu.
(Name) terbangun karena dering ponsel, lalu dia melihat nama penelpon: Asahi.
"Halo?" ucap (Name) dengan suara serak.
"(Surname)?" ucap Asahi. "Kamu kenapa? Suaramu serak."
"Flu, seperti biasa," balas (Name). "Ada apa? Sudah lama kamu gak menelponku."
"Begini," ucap Asahi. "Daichi.... dia sedikit khawatir dengan keadaanmu sejak pentas seni kemarin. Kamu tak bisa dihubungi olehnya, itu membuatnya khawatir."
(Name) mendecak. "Untuk apa dia peduli denganku? Dia kan sudah pacaran dengan Michimiya!"
"Hah?" Asahi menghelakan napas berat. "Dengar, (Surname). Datangi tempat kita biasa kumpul sekarang, OK? Oh, tunggu. Aku lupa. Sugawara ada di bawah jendelamu, menyelinap keluar dari jendela saja. Aku tahu kalau ibumu tak akan mengizinkanmu. Sampai nanti."
Tuut... tuut...
(Name) menatap layar ponselnya yang kini menampakkan lock screen dengan wallpaper sosok mereka berempat―(Name), Sugawara, Asahi dan Daichi.
(Name) mengambil sweater berwarna krim dari dalam lemari. Dia mengenakan helaian tipis itu diatas pakaian rumah-nya. (Name) mendongak keluar dari jendela, membawa sepasang sendal cadangan yang selalu tersimpan dibawah kasur.
"(Name)!" seru-bisik lelaki bersurai abu dari bawah. "Cepetan."
(Name) berjalan keluar jendela, menutupnya, dan berjalan hati-hati diatas atap.
"Ayo, lompat. Aku tangkap," ucap Sugawara.
Dengan penuh rasa percaya, (Name) melompat dan Sugawara berhasil menangkapnya. Sugawara lantas menarik tangan (Name).
"Daichi dan Asahi sudah menunggu," ucap Sugawara.
Pikiran (Name) saat itu kosong. Dia hanya menyusuli langkahan lebar Sugawara.
"Suga," bisik (Name). "Ngapain kita ke tempat kita biasa kumpul, kenapa sekarang kita kembali ke rumah pohon itu?"
Sugawara tak menoleh, dia hanya berlari dengan menarik tangan (Name). "Ada sesuatu yang membuat kami menyesal, (Name). Karena itu, kami mau memerbaikkinya."
(Name) tak lagi membalas ucapan Sugawara.
Mereka lantas sampai di sebuah rumah pohon, yang dekat dengan pendalaman gunung.
"Kamu naiklah," ucap Sugawara.
"Iya," balas (Name).
(Name) menaikki tangga tali menuju rumah pohon itu. Sesampainya diatas, angin malam meniupi rambutnya.
"(Surname)?"
Mata (Name) menangkap sosok Daichi yang berdiri tegap dihadapannya.
"Kenapa kamu memanggilku?" tanya (Name).
"Begini. Tentang saat di pentas seni itu. Aku-"
"Diterima Michimiya?" (Name) bertanya dengan nada seceria mungkin.
"Bu-bukan. Itu..."
(Name) mengenggam tangan Daichi. Dia melebarkan senyuman di wajahnya. "Selamat, Daichi. Aku pasti akan mendukungmu. Seperti aku mendukung hubungan Asahi dan hubungan Suga..."
"Kenapa kamu menangis kalau kamu mendukung kami?"
Disaat itulah, (Name) sadar bahwa buliran air mata di pelupuk matanya telah mengalir di pipinya. Walau... (Name) tersenyum dengan amat terpaksa. Tangis (Name) pecah, dia mencengkram jaket Daichi.
"Aku takut kehilangan kalian. Itu... itu saja. Selama ini, setelah kalian mendapatkan pasangan, pasti kalian akan melupakanku..." ucap (Name).
Daichi memeluk (Name), mengelus puncak kepalanya. "Sudahlah. Kami tak akan meninggalkanmu. Lagian, aku juga belum punya kekasih."
(Name) mendorong tubuh Daichi. "Hah? Ja-jadi, Michimiya?"
"Itu supaya kamu datang, supaya aku menembakmu," ucap Daichi.
"Oh." Kamu manggut-manggut.
Detik kedua, pikiran (Name) memroses ucapan Daichi.
Detik kelima, pikiran (Name) memberi jawaban.
Detik ketujuh, (Name) menoleh dengan wajah merah.
"HA~H?"
Daichi membuat cengiran. Dia mencondongkan tubuhnya kedepan, mendekatkan wajah mereka. "Aku suka samamu, (Surname)."
"D-Daichi..."
Daichi menegecupkan bibirnya dengan bibir (Name).
"Suga, jangan mengintip mereka!"
"Tak apa, bukan dosa, kok!"
"Tapi nanti Daichi marah!"
Bibir mereka lantas terlepas.
Aura hitam menggantung di sekitar Daichi, dia mendatangi Sugawara dan Asahi, dan memukul mereka di kepala sampai tinjunya berasap.
(Name) terkikih. "Dasar. Hatsyii!"
Pluk, pluk, pluk!
Tiba-tiba saja, tiga buah jaket telah memeluk bahu (Name) dengan erat.
"Hei, aku duluan tahu!" seru Sugawara. "(Name) memakai jaketku!"
"Bukan jaketku! Dia pacarku sekarang!" balas Daichi.
"Uhm... sebenarnya aku mau bilang kalau jaketku-"
"Asahi! Diam!"
(Name) memutarkan bola matanya. Bodoh, benak (Name).
***
A.N
Sedikit terinspirasi dari pengalamanku kemarin malam.
-Mochii
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro