02. Too Late (ft. Akaasi, Keiji) - Part One
❝ Andai saja di hari itu aku menerima perasaannyan, pasti tidak akan berakhir seperti ini❞―Akaashi Keiji
.
.
.
SEMILIR angin musim gugur menerpa poni (Name) kala dia membuka pintu menuju atap, membuat pandangannya sedikit tertutup dan terganggu. Lantas, (Name) menyibak poninya dari pandangan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menetralkan detak jantungnya
(Name) melangkah ke atap sekolah―tempat dimana banyak orang telah menanam kenangan. Tempat, dimana biasanya kata-kata penuh perasaan dilontarkan.
(Name) takut-takut kala menunggu sosok lelaki dengan surai hitam dan berwajah datar itu. Sebab, (Name) memintanya untuk menemuinya disini sepulang sekolah. Sudah jelas mengapa (Name) begitu takut sehingga dia memainkan jemarinya gelisah, mengaitkannya satu sama lain.
Akhirnya, pintu tersebut terbuka, dan membuat (Name) memekik kaget. Dia menoleh dan menangkap sosok kakak kelasnya itu―sosok lelaki bersurai hitam dan wajah datar.
"Kamu yang tadi memanggilku ke sini, kan?" ucap lelaki itu.
"Iya!" balas (Name) dengan suara bergetar. (Name) mengepalkan tanganmu hingga membuat sebuah tinju. "A-ano... Akaashi-senpai. Namaku Bokuto (Name). Maaf kalau aku menganggu senpai."
"Trus?" ucap Akaashi. "Kamu mau bicara apa, Bokuto-san?"
(Name) menggigiti bibirnya, lalu dia membungkukkkan tubuhnya itu. "Aku, suka sama senpai. Kalau tak menganggu, apakah senpai mau menjadi pacarku?"
Akaashi menatap (Name) dengan mata datarnya selama beberapa saat, sebelum dia mengalihkan pandangannya. "Gomen, aku sedang tidak mau pacaran sama siapa-siapa saat ini."
Di saat (Name) berniat untuk menegakkan tubuhnya, air mata hendak keluar dari pelupuk. Tetapi, angin mendukung diri (Name). Sehingga, wajahnya nyaris tertutupi oleh rambut (Name).
"Begitu ya....."
Saat angin mereda, (Name) membalikkan tubuhnya supaya tidak menghadap ke arah Akaashi. Dia tak mau menunjukkan kesedihan yang terlukis di wajahnya di depan orang lain.
"Makasih telah meluangkan waktu, senpai," ucap (Name) dengan pelan.
"Iya," balas Akaashi. "Aku pergi, ya." Lantas, Akaashi berjalan menuju pintu dan berjalan pergi.
(Name)? Dia sedari tadi menahan tubuhnya supaya tidak jatuh. Lututnya lemas, dan dia nyaris tak dapat bernapas. Ini bukan karena penolakan Akaashi terhadapnya, tetapi karena penyakit yang (Name) idapi sedang kambuh.
"Uhuk! Uhuk!" batuknya begitu kencang. "P-ponselku-uhuk!" (Name) mengeluarkan ponselnya, dan menekan nomor telpon seseorang.
Dalam sekali dering, seseorang mengangkat telpon dari seberang.
"Moshi moshi? Ada apa, (Name)?" tanya orang dari sebelah sana.
"Uhuk! Uhuk! Nii-chan-Uhuk! Uhuk!" Dada (Name) kian menyesak dan tenggorokannya tercekat.
"(Name)? Kamu dimana?" tanya lelaki yang merupakan kakak lelakinya, kala mendengar (Name) yang terbatuk-batuk.
"Atap sekolah-uhuk!"
"Sabar ya, Nii-chan segera ke sana!"
"C-cepat-uhuk!" Lalu, tubuh mungil gadis itu terhempas dan ponsel (Name) terjatuh. Dia terbujur di sana sambil terbatuk-batuk. Pandangannya mengabur, lantas (Name) kehilangan kesadaran.
Salah sendiri mengabaikan pemeriksaan hari ini.
***
DUA tahun kemudian...
"Akaashi!" Seru Bokuto. "Pulang bareng, yuk."
"Hm," balas Akaashi seadanya.
Bokuto dan Akaashi lantas berjalan keluar sekolah, saat menemukan sosok seorang gadis yang sedang menatap layar ponsel. Akaashi mengerutkan keningnya, dia merasa familir kepada sosok gadis itu.
"(Name)!"
Gadis itu menoleh dan melihat kakak lelakinya itu, Bokuto Koutarou. "Hai, Kou-nii-chan," ucapmu.
"Akaashi, ini adikku, (Name). Dia baru masuk kelas satu disini," ucap Bokuto.
Sejenak, Akaashi menatap sosok (Name). Dia mengepalkan tangannya membentuk tinju kala akhirnya mengingat siapa dirinya.
"(Name), ini Akaashi Keiji," ucap Bokuto.
Sejenak, (Name) menatap sosok itu. Ingatan terhadap kejadian itu masih terekam jelas di dalam pikiranmu. Tetapi, (Name) membuang ingatan itu jauh-jauh dan bertingkah seolah dia tak mengenal Akaashi.
"Yoroshiku, Akaashi-sanpai," ucap (Name) dengan sebuah senyum.
"Eh, tunggu," Bokuto merogoh saku celananya. "Aduh, sepertinya ponselku ketinggalan. Bentar, kalian tungguin aku, ya."
Udara dingin yang dibawa oleh malam hari, meniupi rambut (Name) yang setengkuk.
"Bertemu lagi kita, ya... Akaashi-senpai."
Akaashi melihat ke arah (Name).
"Senpai ingat aku kan?"
Akaashi memalingkan pandangannya. "Hm."
"Senpai... masih ingat ucapanku pada hari itu kan?" tanya (Name) lagi.
"Begitulah," balas lelaki bersurai hitam itu seadanya.
(Name) memerengkan kepalanya sedikit kala mendengar jawaban yang sedikit menjanggal itu. "Nee, sen―" Dia menjatuhkan tas jinjingnya. (Name) memegang dadanya.
"(N-Name)-san?" ucap Akaashi, sedikit terkejut dengan tindakannya.
"P-panggil... Kou-nii-chan... uhuk! Uhuk!" (Name) terbatuk dengan kencang hingga tenggorokannya terasa sakit.
Akaashi sedikit berat untuk meninggalkan (Name), tetapi dia segera berlari untuk memanggil kakak lelakinya. "Bokutou-san!"
Bokuto, yang baru saja berjalan keluar dari gedung voli, mengerutkan dahinya melihat Akaashi yang berteriak seperti itu. "Ke-"
"Adikmu... entahlah... pokoknya dia menyuruhku untuk memanggilmu!"
Mengerti apa yang dimaksud, Bokuto langsung berlari dengan kencang. Akaashi berlari di belakang Bokuto.
"(Name)!" teriak Bokuto kala mendapatkan adik perempuannya yang sudah terkapar sambil terbatuk-batuk. Bokuto mendekati tubuhnya, lalu mengangkatnya. "Akaashi, dimana klinik terdekat?"
"Belok kanan di perempatan di depan, gak jauh kok," balas Akaashi.
"(Name)? Nii-chan akan berlari sedikit kencang. OK?" ucap Bokuto.
(Name) menganggukkan kepalanya dengan lemah sembari terbatuk dengan kencang.
Bokuto lantas tancap gas. Kakinya berlari menuju klinik yang dimaksud oleh Akaashi, sedangkan Akaashi berlari di belakang Bokuto. Kepala Akaashi dipenuhi pertanyaan, dan hatinya penuh oleh rasa cemas. Tetapi dia tahu, bahwa (Name) mengidapi penyakit parah.
***
SETELAH kondisi (Name) sudah mulai sedikit membaik, dia terkapar diatas kasur klinik umum. Sedangkan Akaashi dan Bokuto, mereka berdiri di luar ruangan, menunggu (Name) yang masih terlelap.
"Ceritakan." Tegas Akaashi. "Kenapa (Name)-san sampai seperti itu?"
"Ini... terjadi saat dia kelas dua SMP," jawab Bokuto.
Mendengar kata 'kelas dua SMP', Akaashi memasang telinganya lebih tajam untuk mendengar.
"Saat itu... kami baru tahu bahwa (Name) mengidap penyakit yang sangat langka," ucap Bokuto. "Kata dokter, dia divonis hanya akan hidup satu tahun lagi. Tetapi, Tuhan berkehendak lain dan memperbolehkan (Name) hidup lebih lama. Tapi... kami tak tahu sampai kapan (Name) akan bertahan."
Akaashi menggigiti bibirnya. Kelas dua SMP.... artinya itu saat dia masih kelas tiga SMP. Artinya itu tak jauh dari hari itu, hari dimana kamu menembak Akaashi.
"Maaf," seorang perawat menyela pembicaraan. "Apakah anda keluarga dari Bokuto (Name)-san?"
"Iya," balas Bokuto. "Bentar ya, Akaashi. Aku akan mengurusi beberapa hal. Kalau mau, kamu bisa masuk ke dalam ruang (Name). Tapi, jangan sampai membangunkannya, ya."
Akaashi menganggukkan pelan kepalanya.
Setelah Bokuto berjalan pergi, Akaashi mengetuk pelan pintunya. Lalu, dia masuk ke dalam kamar tersebut.
Saat dia membuka pintu, dia melihat diri (Name) yang telah mengambil posisi duduk di atas kasur.
"(Name)-san?"
(Name) menoleh ke arah Akaashi.
Akaashi melihat air mata yang bersarang di pelupuk mata gadis itu. "Kamu... tadi menangis?"
Buru-buru, (Name) menghapus air matanya dengan lengan sweater yang membalut pergelangan tangannya. "Bukan, aku hanya kelilipan."
Akaashi berjalan mendekati (Name), lalu memegang dagunya. "Beneran?"
Entah apa yang terjadi, tetapi air mata mulai mengalir keluar dari pelupuk matanya. Tubuh (Name) bergetar hebat. "Aku... aku takut... senpai."
"Kenapa? Apakah aku harus panggil perawatnya?" tanya Akaashi, khawatir.
(Name) menggeleng. "Hanya saja... aku takut kalau aku pergi dari dunia ini dengan begitu banyak penyesalan. Aku sebenarnya sudah sangat senang bahwa aku bisa hidup lebih lama daripada yang divonis dokter. Tapi... aku takut bahwa waktuku tak lama lagi."
Akaashi menarik tangan gadis mungil itu, lalu mendekap (Name) di dadanya. "Jangan takut. Aku... aku ada disini."
(Name) mencengkram baju Akaashi. Tangisannya semakin kencang, dan Akaashi membiarkan pakaiannya menjadi basah oleh tangis (Name).
"Hei, hei, hei! Kalian ngapain, hm?"
Pelukan mereka terlepas seketika saat mendengar seruan Bokuto.
"Kou-nii-chan! I-itu... uhm..." (Name) sedikit tergagap.
"Gomen, Bokuto-san," ucap Akaashi. "Aku tadi hanya sekedar menangkannya."
Bokuto mengangkat alisnya. "Ya, sudah. Terserah-mulah. Dan, ngomong-ngomong, ayo kita pulang. Sudah malam. (Name) juga harus istirahat."
"Iya."
***
BOKUTO bersaudara telah berpisah jalan dengan Akaashi, (Name) berjalan berdampingan dengan kakak lelakinya itu.
"Ngomong-ngomong, (Name), apakah kamu masih suka Akaashi?" tanya Bokuto.
(Name) terdiam sejenak. "Masih."
"Kalau contohnya, nii-chan mendukungmu, boleh, kan?" ucap Bokuto. "Soalnya, kata dokter karena kebahagiaan makanya kamu bisa bertahan lebih lama, kan?"
(Name) mendongak ke langit malam untuk melihat sang rembulan. "Mungkin. Tapi... Nii-chan kan tahu kalau (Name) ditolak."
"Tapi itu dua tahun lalu," ucap Bokuto. "Siapa tahu perasaannya sudah berubah, kan?"
"Mungkin..." (Name) berhenti berjalan saat menyadari ponselnya bergetar di dalam saku rok. Lalu, kamu melihat notifikasi yang terpampang di layar ponselmu. "Nii-chan... tadi nii-chan kasih alamat ID LINE Mirai ya?"
"Kan sudah nii-chan bilang kalau nii-chan akan mendukungmu," senyum Bokuto.
(Name) membaca chat yang dikirim oleh Akaashi.
Akaashi
(Name)-san, ini Akaashi Keiji
Kalau mau, besok kita ke taman bermain. Mau gak?
-
A.N
Okay, jadi ini bakalan panjaaaaaaaaaang banget. Jadi, aku break menjadi dua part. Sabar ya minna-san!
-Mochii
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro