Mengapa Hujan Membawa Kenangan?
"Mohon maaf, saudara Kirana didiagnosa menderita penyakit alzheimer."
"Dokter tidak perlu minta maaf. Jika ini jalan yang dikehendaki Tuhan maka kami harus siap menjalani semua cobaan. Kami pamit."
Waktu itu tanggal 1 Desember 2021, Farhan dan Kirana baru saja pulang dari rumah sakit. Farhan telah menduga sejak seminggu lalu bahwa sahabatnya itu menderita penyakit yang diasumsikan sebagai "sakit kepala biasa" dan "pikun" di mana Kirana sering kali kehilangan ingatan tentang kejadian kemarin.
"Apa kamu masih ingin menjaga sahabatku?"
"Tentu saja. Mengapa tidak?"
"Jelas-jelas aku menderita penyakit alzheimer-"
"Meskipun kamu menderita alzheimer tetapi hal itu bukan berarti menyingkirkan fakta bahwa hingga detik ini aku tetapakan menjadi sahabatmu."
"Aku takut, Farhan!"
"Apa yang kau takutkan, Ran?"
"Aku takut karena penyakit ini ... pelan-pelan aku melupakan dirimu dan segala cerita yang kita ukir bersama. Aku takut melupakanmu."
"Kamu boleh takut melupakan diriku tapi aku tidak akan takut kehilanganmu."
Desember tiba, membawa angin sejuk dan aroma tanah basah. Hujan turun rintik-rintik, membasahi bumi yang haus. Farhan duduk di beranda rumah, matanya menatap langit yang kelabu. Di dalam, Kirana, sahabatnya yang menderita Alzheimer, tertidur lelap. Hujan selalu mengingatkan Farhan pada kenangan mereka berdua, kenangan yang kini mulai pudar di benak Kirana.
Farhan ingat betul bagaimana Kirana dulu sangat mencintai hujan. Setiap kali hujan turun, Kirana akan berlari keluar rumah, berputar-putar di halaman sambil tertawa lepas. Dia akan menari-nari di bawah guyuran air, tanpa peduli basah kuyup. Farhan akan ikut tertawa, melihat kegembiraan Kirana yang menular.
"Hujan... hujan..." Kirana bergumam dalam tidurnya.
Farhan tersenyum mendengarnya. Dia tahu Kirana sedang bermimpi tentang hujan. Mimpi tentang masa-masa indah mereka berdua. Masa-masa sebelum penyakit Alzheimer merenggut kenangan Kirana.
Farhan ingat saat Kirana masih muda, mereka berdua adalah sahabat karib. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari. Mereka bermain bersama, belajar bersama, dan berbagi cerita bersama. Kirana adalah gadis yang ceria, penuh semangat, dan selalu optimis. Dia selalu punya cara untuk membuat Farhan tertawa.
Namun, semua itu berubah ketika Kirana mulai menderita Alzheimer. Penyakit itu perlahan-lahan menghancurkan ingatan Kirana. Dia mulai lupa nama-nama orang, tempat-tempat, dan kejadian-kejadian penting dalam hidupnya. Dia bahkan lupa siapa Farhan. Farhan merasa hancur melihat perubahan yang terjadi pada Kirana. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa sahabatnya yang dulu ceria dan penuh semangat kini menjadi seorang wanita tua yang linglung dan mudah lupa.
"Kirana... kau tahu siapa aku?" Farhan bertanya dengan suara lembut, saat Kirana terbangun dari tidurnya.
Kirana menatap Farhan dengan tatapan kosong. "Siapa kamu?" tanyanya.
Farhan menahan air matanya. "Aku Farhan, sahabatmu." Kirana mengerutkan keningnya. "Sahabat? Aku tidak ingat."
Farhan mencoba mengingat kembali kenangan mereka berdua. Dia mencoba menceritakan kisah-kisah lucu yang pernah mereka alami bersama. Dia mencoba menunjukkan foto-foto mereka berdua saat masih muda. Namun, semua itu tak membuahkan hasil. Kirana tetap tak mengenalnya.
"Kirana... kau masih ingat hujan?" tanya Farhan.
Kirana terdiam sejenak. Kemudian, dia tersenyum tipis. "Hujan... aku suka hujan."
Farhan lega mendengarnya. Setidaknya, Kirana masih ingat satu hal tentang dirinya.
"Kita dulu sering bermain hujan bersama, ingat?" kata Farhan.
Kirana menggeleng. "Aku tidak ingat."
Farhan mencoba untuk tidak putus asa. Dia tahu Kirana masih menyimpan banyak kenangan tentang dirinya, hanya saja kenangan itu terkubur dalam lautan lupa.
"Tidak apa-apa, Kirana. Kita bisa membuat kenangan baru bersama," kata Farhan.
Farhan mulai mengajak Kirana berjalan-jalan di taman. Dia mengajak Kirana melihat bunga-bunga yang sedang mekar. Dia mengajak Kirana mendengarkan kicauan burung. Dia mencoba untuk membuat Kirana merasa bahagia. Farhan juga mengajak Kirana ke tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama. Dia berharap dengan mengunjungi tempat-tempat itu, Kirana bisa mengingat kembali kenangan mereka berdua. Namun, semua itu tak membuahkan hasil. Kirana tetap tak mengingat Farhan. Dia tetap tak mengingat masa-masa indah mereka berdua.
"Kirana... kau masih ingat namaku?" tanya Farhan.
Kirana menggeleng. "Aku tidak ingat."
Farhan merasa putus asa. Dia merasa dirinya seperti sedang berjuang melawan arus. Seolah-olah dia sedang mencoba untuk menyelamatkan sesuatu yang sudah hancur.
"Kirana... aku mencintaimu," kata Farhan.
Kirana menatap Farhan dengan tatapan kosong. "Siapa kamu?" tanyanya.
Farhan terdiam. Dia tak tahu harus berkata apa lagi. Dia merasa dirinya seperti sedang berbicara dengan seorang asing.
Hujan semakin deras. Angin bertiup kencang, menggoyang pohon-pohon di sekitar rumah. Farhan memeluk Kirana erat-erat. Dia merasa dirinya seperti sedang memeluk sebuah kenangan yang sudah pudar.
"Kirana... aku akan selalu mencintaimu," kata Farhan.
Kirana tertidur di pelukan Farhan. Farhan terdiam, menatap wajah Kirana yang tenang. Dia tahu bahwa Kirana tak akan pernah mengingat dirinya lagi. Namun, dia tetap mencintai Kirana. Dia mencintai Kirana yang dulu, yang ceria dan penuh semangat. Dia mencintai Kirana yang sekarang, yang linglung dan mudah lupa. Farhan tahu bahwa penyakit Alzheimer tak bisa disembuhkan. Namun, dia tetap berharap bahwa Kirana bisa mengingat dirinya lagi. Dia berharap bahwa Kirana bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang selama ini dia berikan.
Hujan terus turun, membasahi bumi dan menyirami kenangan-kenangan yang telah pudar. Farhan tetap duduk di beranda, memeluk Kirana erat-erat. Dia berharap bahwa hujan bisa membasuh semua kesedihan dan kepedihan yang selama ini dia rasakan. Dia berharap bahwa hujan bisa membawa kembali Kirana ke masa-masa indah mereka berdua.
Sejak saat itu keduanya lebih sering bertemu di bangku sekolah SMA yang sebelumnya disibukkan dengan kegiatan ujian sekolah. Di bulan Desember yang dingin bersama dengan cuaca hujan menjadi saksi bisu kedekatan mereka berdua.
Momen ketika area gedung sekolah mengalami kebocoran parah akibat pipa-pipa penampung air hujan tidak pernah dilakukan perawatan intensif, seluruh siswa berhamburan keluar dan bermain air di lapangan basket sekolah, kembali membawa mereka pada ingatan dan kenangan masa kecil.
"Kirana! Ayo kita ke lapangan basket!"
"Huh? Kamu mau bermain air? Ayo!"
Mereka bermain dan tertawa bersama, kenangan yang sangat indah. Farhan sering kali mendapatkan komentar dari teman-temannya yang tetap ingin berteman dengan orang aneh seperti Kirana yang dengan mudah melupakan nama-nama teman.
"Far, kau masih berhubungan dengan orang pikun itu?" tanya salah satu temannya.
"Ya, kenapa?"
"Kamu yakin masih mau berteman dengannya? Sikap dia semakin aneh seperti orang linglung dan mudah lupa. Dia juga tidak ingat nama-nama teman bahkan keluarganya sekalipun."
"Aku tidak peduli kau ingin berkomentar apa pun itu tentang Kirana. Tetap saja dia adalah sahabatku dan aku tak ingin kehilangannya."
Juni 2023, bulan yang seharusnya dipenuhi dengan keceriaan dan harapan, berubah menjadi mimpi buruk bagi Farhan dan Kirana. Suatu pagi yang cerah, Kirana, yang sudah menderita Alzheimer, berjalan sendirian di tepi jalan. Dalam keadaan linglung, dia tidak menyadari bahaya yang mengintai. Tiba-tiba, sebuah mobil melaju kencang dan menabraknya. Suara benturan
yang keras menggema, dan dunia seakan berhenti sejenak.
Kirana dilarikan ke rumah sakit. Farhan, yang mendengar kabar tersebut, bergegas menuju rumah sakit dengan hati yang penuh kecemasan. Setibanya di sana, dia melihat Kirana terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat dan matanya terpejam. Air mata Farhan mengalir, merasakan betapa rapuhnya keadaan sahabatnya.
Di ruang tunggu, teman-teman SMA mereka berkumpul. Namun, alih-alih memberikan dukungan, mereka mulai berbisik-bisik. "Dia sudah tidak waras, tidak perlu dikasihani," salah seorang dari mereka berkata. "Mungkin dia perlu dirukyah," tambah yang lain. Farhan merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. Baginya, Kirana adalah sahabat yang berharga, bukan sekadar objek untuk dikasihani atau dijadikan bahan perbincangan.
Dengan tekad yang kuat, Farhan tidak peduli dengan pendapat orang lain. Dia tahu bahwa Kirana masih memiliki jiwa yang indah di dalam dirinya. Setelah beberapa jam menunggu, dokter akhirnya mengizinkan Farhan untuk membawa Kirana keluar dari rumah sakit.
Ketika mereka melangkah keluar, hujan mulai turun dengan deras. Farhan menggenggam tangan Kirana, membawanya ke luar. Genangan air hujan membentuk cermin yang memantulkan langit kelabu. Kirana, yang masih dalam keadaan bingung, tiba-tiba memeluk Farhan erat-erat. Dalam pelukan itu, seolah ada sesuatu yang terbangun dalam dirinya.
"Hujan...," Kirana berbisik, matanya mulai berbinar. "Farhan, kita pernah bermain saat hujan, kan?"
Farhan terkejut dan merasa harapan kembali menyala. "Ya, kita sering bermain hujan. Ingatkah kau saat kita berlari-lari dan tertawa?" tanyanya dengan penuh semangat.
Kirana mengangguk, meskipun masih ada keraguan di wajahnya. "Aku ingat... sedikit."
Mendengar itu, Farhan merasa seolah beban di hatinya sedikit terangkat. Dia mengajak Kirana menapaki genangan air, merasakan dinginnya air hujan yang membasahi kaki mereka. Dalam momen itu, Farhan berjanji untuk selalu ada untuk Kirana, tidak peduli seberapa sulit perjalanan yang harus mereka lalui.
Hujan terus turun, membasahi bumi dan menghapus jejak-jejak kesedihan. Farhan dan Kirana berdiri di tengah hujan, saling memeluk, merasakan kehangatan cinta yang tak akan pernah pudar. Dalam pelukan itu, Kirana mulai mengingat kembali kenangan-kenangan indah mereka, dan Farhan tahu bahwa cinta mereka akan selalu menjadi cahaya di tengah kegelapan.
RUMAH ORANG TUA KIRANA
"Nak Farhan, apa kamu tahu tentang legenda manusia hujan?"
"Apa itu, Om?"
"Legenda manusia hujan berasal dari Jepang di mana menurut kepercayaan masyarakat, manusia yang memiliki kemampuan mendatangkan hujan di mana pun ia berada yang akan memberikan kebahagiaan dan kenyamanan bagi orang-orang. Terkadang ia dikatakan sebagai pembawa sial sebab mengacaukan kegiatan-kegiatan penting yang dilaksanakan di luar halaman. Terima kasih kamu mau menjadi sahabat untuk Kirana. Semenjak hadirnya kamu telah mengobati luka hatinya dan ia tidak pernah merasakan kesepian lagi. "
"Sama-sama, Om. Saya takjub ketika Anda menganggap saya adalah manusia hujan."
"Om sadar betul bahwa kehadiranmu sangat dibutuhkan untuk Kirana. Jadi, Om ingin hubunganmu dengan Kirana lebih dari sekadar sahabat."
"Maksud Om?"
"Kapan kamu mau melamar anak saya, Nak Farhan?"
Mendengar itu seketika Farhan syok dan tak dapat berkata-kata. Ia kembali flashback akan masa lalu.
Kabar tentang kecelakaan Kirana dan kesembuhannya yang ajaib tersebar luas. Orang tua Kirana, yang selama ini merasa putus asa, kembali menemukan secercah harapan. Mereka
berterima kasih kepada Farhan yang telah dengan setia menemani Kirana. Suatu hari, ibu Kirana menemukan sebuah buku tua di lemari Kirana. Buku itu berjudul "Make A Wish". Di dalamnya, terdapat catatan-catatan tentang mimpi dan harapan Kirana. Di salah satu halaman, terdapat sebuah kalimat yang ditulis dengan tinta biru tua: "Aku ingin menikah dengan Farhan dan hidup bahagia selamanya."
Air mata haru menetes dari pipi ibu Kirana. Ia menyadari betapa besar cinta Kirana kepada Farhan. Ia pun menceritakan isi buku itu kepada suaminya.
"Farhan adalah pemuda yang baik hati dan bertanggung jawab," kata ayah Kirana. "Dia telah merawat Kirana dengan penuh kasih sayang. Kita harus memberinya kesempatan untuk membahagiakan Kirana."
Tanpa membuang waktu, orang tua Kirana memanggil Farhan dan menyampaikan keinginan mereka. Mereka meminta Farhan untuk menikahi Kirana. Farhan terkejut, namun hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan. Ia langsung menerima lamaran tersebut.
Pernikahan Farhan dan Kirana akhirnya terlaksana. Hari itu, langit cerah, seolah ikut bersukacita. Namun, saat Farhan dan Kirana mengucapkan janji suci, hujan mulai turun. Rintik-rintik hujan yang lembut seolah menjadi berkah bagi mereka.
"Hujan...," Kirana berbisik, matanya berkaca-kaca. "Hujan selalu menemani kita, Farhan."
Farhan tersenyum dan menggenggam tangan Kirana. "Ya Kirana. Hujan selalu menemani kita, dan akan selalu menjadi saksi cinta kita."
Mereka berdua berjalan menuju pelaminan, diiringi oleh tawa dan tepuk tangan para tamu undangan. Hujan terus turun, membasahi bumi dan menyirami cinta mereka.
Farhan dan Kirana hidup bahagia bersama. Kirana, meskipun masih menderita Alzheimer, selalu merasa tenang dan bahagia di samping Farhan. Farhan selalu sabar dan penuh kasih sayang dalam merawat Kirana.
Hujan selalu menjadi saksi perjalanan cinta mereka. Setiap kali hujan turun, Farhan dan Kirana akan duduk di beranda, menikmati secangkir teh hangat sambil bercerita tentang masa lalu. Kirana, meskipun tidak selalu mengingat semuanya, selalu merasakan kehangatan cinta Farhan.
Dan di setiap tetesan hujan, terukir sebuah pesan: "Cinta sejati tak mengenal batas, bahkan dalam ingatan yang pudar."
The End
"Mengapa hujan membawa kenangan?Sejatinya pertanyaan ini adalah tanda bahwa hujan akan turun bersama ribuan kenangan yang akan mengobati dan mengingatkan kita atas segala memori yang pernah terjadi. Berbahagialah hari ini, kawan!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro