Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hidup Harus Tetap Berjalan Sebagaimana Mestinya

Aku ingat saat Ibu meminta pisah dengan Ayah empat tahun yang lalu. Sejak saat itu, mereka tidak lagi tinggal serumah.

Aku kesulitan untuk mengetahui kondisi mereka berdua. Karena terpisah, mereka masing-masing mengabari bahwa diri mereka sehat. Saat aku bertanya, "Ibu gimana?" atau "Ayah 'nggak apa-apa, 'kan?", mereka tidak menjawab dan memilih untuk mengalihkan topik.

Untuk sesaat, aku rasa mereka memang baik-baik saja, secara fisik dan mental terlebih setelah berpisah. Mungkin aku yang suka khawatir ini yang terlalu over-thinking akan mereka.

Hingga dua tahun berlalu, saat aku sudah di semester empat dan aku mau tidak mau mengulang satu semester lagi, aku mendapat kabar kalau Ibu sudah meninggal.

Mendadak. Sangat tiba-tiba dan kebetulan. Di sini aku mengulang semester, di sana Ibu meninggal karena faktor usia.

Akhirnya aku mudik ke kampung halaman untuk pamit dengannya sekaligus mengantarkannya ke liang lahat.

Menangis? Tentu saja! Orang yang kusayangi itu tiba-tiba pergi setelah jatuh di kamar mandi. Dadaku sesak membayangkan dirinya yang berada di ujung hidup tanpa aku di sisinya.

Sekelibat penyesalan sempat berputar-putar dalam angan tentang aku yang dulu marah-marah padanya kenapa meminta pisah dengan Ayah. Kekesalan ini membuatku sanggup untuk memutus kontak kurang lebih enam bulan setelah berhasil kuliah di Jawa. Lambat laun aku memaafkannya dan kami menyambung lagi hubungan ibu-anak yang sempat terputus.

Ayah hadir di pemakaman. Ia berusaha menenangkanku yang memeluk nisan kayu Ibu. Harum melati dan daun pandan yang wangi sama sekali tidak memperbaiki suasana.

"Jadi, nanti aku wisuda, aku 'nggak ada Ibu, dong?" Kekehan hambar lepas dari mulut. Tersirat kata 'piatu' dalam perkataanku. Ayah hanya mengelus kepalaku dan menyahut, "Ayah tahu ini sakit, tapi inilah kenyataannya."

Ya, benar. Inilah kenyataannya.

Aku sempat sakit hati karena Ayah mengatakan itu seakan tanpa nada kasihan melihat putri tunggalnya ini berusaha mati-matian menepis bahwa wanita baik kesayangannya itu pergi menghadap Ilahi dan tidak akan kembali lagi. Ayah tidak tahu bagaimana caranya menenangkanku.

Namun, sakit hatinya hanya bertahan beberapa bulan sampai aku benar-benar menerima kenyataan yang ada. Aku memutuskan meneruskan hidup apapun yang terjadi.

Fokusku sempat buyar di kelas mengingat bahwa aku sudah piatu, menyebabkan beberapa nilai ujian menjadi rendah dan aku harus mengejar agar tidak ketinggalan semester lagi. Syukurlah masih kekejar dan aku bisa lanjut ke semester berikutnya. Mulai saat itu, aku berjanji untuk tidak ketinggalan semester lagi agar bisa wisuda tepat waktu.

Tidak, jangan tepat waktu. Aku harus wisuda, kalau bisa lebih cepat dari teman-teman angkatanku.

Maka dari itu, setelah semua SKS selesai, aku langsung menggarap proposalku, mengajukannya untuk dinilai, mengadakan seminar proposal dengan kakak tingkat, mendahului teman-teman angkatan, revisi, bimbingan, revisi, bimbingan, sampai aku dinyatakan lolos dan bisa mulai membuat skripsiku. Aku langsung mengerjakannya dengan target tahun depan selesai sehingga aku bisa wisuda.

"Kamu sudah lama tidak menghubungi Ayah." Itu pesan yang aku dapatkan setelah seminar proposalku disetujui oleh para penilai. "Kamu marah sama Ayah?"

Aku berhenti mengedit foto-foto seminar proposal yang ingin kuposting ke Cerita Instagram dan membalas pesannya, "'Nggak."

Aku dan Ayah tidak sedekat itu. Ayah dari dulu sibuk bekerja untukku dan Ibu, jadi ia jarang meluangkan waktu dengan kami.

Saat aku menorehkan prestasi di sekolah, hanya Ibu yang mengapresiasiku. Makanya untuk urusan seminar proposal ini, aku tidak mau memberitahunya. Ia tidak akan memberikan penghargaan meskipun lisan seperti apa yang Ibu berikan padaku.

Waktu berjalan cepat. Skripsi kuselesaikan dengan analisis, terjun langsung ke lapangan, membaca buku-buku dengan tema serupa, tak lupa meminta saran dan kritik kepada pembimbing agar skripsiku tercipta dengan baik. Waktu demi waktu, hari demi hari, kadang tidur kadang tidak. Hingga sampai di mana aku bisa menyelesaikannya dan mengajukan sidang.

Saat inilah aku mengirim teks yang tidak singkat kepada Ayah. "Ayah, besok aku sidang skripsi. Doakan semoga lancar ya. Aku mau wisuda supaya bisa bantu Ayah kerja."

Pesan itu langsung dibaca dan dibalas. "Ayah selalu mendoakanmu di sini, Nak. Oh, ya, Ayah tidak menuntutmu untuk bisa bantu Ayah. Sekolahlah setinggi apa yang kamu mau, jangan kerja hanya untuk Ayah."

Ah, malas. Aku mau cepat kerja agar bisa dapat uang sendiri dan untuk bantu Ayah, titik.

Waktu sidang, aku memang mendapatkan cukup banyak kritikan karena skripsiku yang ... entahlah salah di mana. Mata dosen penilainya yang bermasalah.

Namun, mereka mengapresiasi kegigihanku dalam mengerjakan skripsiku itu. Mereka juga mengapresiasi sumber-sumber konkrit dan analisis yang kuberikan. Ya, memang mata dosen penilainya yang salah. Setelah membaca dan menginterogasiku, mereka memahami kualitas yang ingin kuperlihatkan.

Akhirnya, aku lulus sidang skripsi. Puji Tuhan.

Aku langsung mengabari Ayah mengenai hal ini. Ayah benar-benar senang dan meneleponku. Kami berdua sama-sama bersyukur.

"Ibumu pasti bangga," kata Ayah. Aku terdiam. "Ia akan sangat bangga putri kecilnya, anak tunggalnya, akhirnya bisa wisuda."

Aku merasakan mataku panas dan pandangan kabur. Air mata jatuh ke pipi dan bibirku gemetar menahan isak.

"Kalau begitu, kalau kamu senggang, kita kunjungi Ibu. Kamu ceritakan perjuanganmu."

Ide bagus! Aku langsung menyetujuinya. Namun, bagian inilah yang menyakiti hatiku saat aku wisuda nanti. Saat di mana aku berjalan sendiri di tengah-tengah mahasiswa lain yang berfoto ria dengan keluarga mereka. Mereka tampak gembira dengan ayah dan ibunya.

***

"Ayahmu masuk rumah sakit."

Salah satu kerabat jauh Ayah menelepon tiba-tiba ke ponsel. Ponsel rasanya mau jatuh saat aku mendengar kabar itu. "Ayah kenapa? Kok bisa masuk rumah sakit?"

"Asma."

Aku diam. Asma? Pria sesehat itu dikatakan asma? Ia dapat asma dari mana!?

"Bibi minta maaf sekali, tapi tolong segera pulang, Nak. Dia membutuhkanmu."

Bahkan tanpa disuruh pun aku akan segera pulang. Aku langsung mencari tiket pesawat dan mengemasi barang-barangku. Besok pagi aku harus berangkat. "Iya, Bi. Besok aku berangkat ke sana."

Perasaan campur-aduk ini masih terasa sampai aku turun ke bandara daerah asalku. Aku langsung ke rumah sakit dengan barang-barang yang kubawa. Bibi sudah menungguku di lobi. Ia langsung menghampiriku, "Ayo, Nak. Kondisinya memburuk, dia ingin segera bertemu denganmu."

Bibi yang satu ini tidak tahu bagaimana menenangkan keponakannya.

Sesampainya di ruangan Ayah, kakiku lemas, tetapi aku tetap berusaha untuk berdiri. Ayah terbaring lemah dengan masker napas di hidung. Kantong infus menetes ritmis di tiang gantung. Ada monitor yang menampilkan denyut jantung Ayah di samping kasur.

Aku berdiri di sampingnya. Ia menatapku, teduh dan tersenyum. Aku mengelus tangannya dan duduk. "Ayah kenapa? Kok bisa tiba-tiba asma?"

Ayah hanya diam. Sepertinya masker napas membuatnya tidak leluasa untuk bicara. Aku menghembuskan napas panjang dan menoleh pada Bibi. "Bibi, bisa ceritakan kenapa?"

Bibi mengangguk. Aku dan dia duduk di kursi sofa yang sudah disediakan.

***

Ayah dipecat. Ia stres karena bingung mau membiayaiku dengan cara apa. Dia marah karena pemecatannya hanya untuk memasukkan anak pemimpin perusahaan yang mengemis untuk kerja di sana. Ayah sempat mengamuk sampai dirinya nyaris dipidana. Ayah akhirnya melampiaskan semuanya ke minum minuman keras dan rokok yang baru pertama kali ia rasakan.

Di titik itu, Ayah tidak mau membicarakan itu padaku, entah kenapa. Bibi saja bertanya-tanya kenapa aku tidak tahu dengan penyebab asma Ayah. "Dia ... menutupinya darimu."

Karena tidak mempunyai pemasukan, Ayah memutuskan berutang dan menjual beberapa perabotan. Sebagian ia berikan padaku dan sebagian dihabiskannya untuk teler.

Bodoh! Pria tua bodoh yang malah melampiaskannya pada minuman itu! Aku mengepalkan tanganku di atas paha.

"Sepertinya karena keseringan, paru-parunya mulai terganggu dan saluran pernapasannya bermasalah," ujar Bibi. "Bibi sudah ingatkan dia untuk berhenti, tetapi dia sudah kecanduan."

"Terus Bibi diam saja gitu akan apa yang Ayah lakukan?" Aku langsung menyahut. Bibir Bibi terkatup rapat. "Ayah dapat uang dari mana untuk beli minum? Tidak mungkin uang utang dan jual perabotan cukup."

Bibi menunduk manyun. Dengan hati-hati dia menjawab, "Uang Bibi."

Air mata turun ke pipi. "Sialan, Ayah," gumamku, sebal sekaligus sedih. Saat aku berusaha mengejar pendidikanku, Ayah di sini malah melawan kebiasaan buruknya. Demi aku, dia menjual perabotan rumah dan berutang, tetapi naasnya karena sudah ketagihan, ia juga memerlukan minuman keras.

"Sekarang dia tidak lagi meminta minuman keras," kata Bibi. "Dia hanya meminta agar kamu ke sini."

Aku menghela napas. Syukurlah akhirnya dia tidak mau menenggak minuman itu lagi.

Setelah bercakap satu-dua topik, Bibi pamit pulang dan akan kembali jam 8 malam bersama anggota keluarga yang lain. Aku hanya mengangguk.

Ia pergi, meninggalkan aku dan Ayah berdua. Ayah memejamkan mata, terbatuk samar. Aku memutuskan untuk mandi di kamar mandi yang sudah disediakan.

***

"Kenapa Ayah 'ngelakuin semuanya?"

Ayah sudah bangun dari tidurnya. Satu jam lagi Bibi dan anggota keluarga yang lain datang. Aku duduk bersandar ke ranjang. "Demi aku, kenapa semua ditutupi? 'Kan aku bisa bantu?"

Ada kesal dan sedih dalam pertanyaan-pertanyaan itu. Ayah rela menyembunyikan semuanya agar aku bisa berkuliah. Namun, kenapa juga harus dilampiaskan ke hal lain yang tidak baik? Tidak cukupkah membiayaiku sampai-sampai tidak memedulikan dirinya sendiri?

Itu cukup, karena Ayah juga selama ini berpikir kalau aku hanya butuh uang darinya. Setidaknya itu yang kurasakan. Jika aku membutuhkan kasih sayang, ada Ibu yang bersedia memberikan pelukannya.

"Ayah ... cukup kewalahan karena tidak ada Ibu," lirih Ayah, menyahut setelah sekian lama. Aku menoleh sebentar, lalu bersandar lagi. "Ayah merindukannya. Tidak ada yang bisa menghentikan Ayah dari semua itu kecuali Ibu."

"Aku juga tidak?" tanyaku lagi. "Kenapa Ayah tidak menyayangi diri Ayah sendiri?"

Ayah diam agak lama. Aku melirik dari ekor mata. Ia tampak memikirkan jawabannya, matanya mengarah ke plafon dengan wajah sendo.

"Karena Ayah tidak bisa menyayangi diri Ayah jika tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu lagi." Ayah langsung terbatuk. Aku menoleh dengan tatap tak percaya. Meskipun Ayah cuek, aku baru tahu dia merindukannya. Ayah dulu berusaha rujuk dengan Ibu, tetapi Ibu tetap tidak mau. Kukira penolakan ini tidak akan membuatnya seberkabung itu, tetapi hari ini, aku mendengar ratapannya.

Ayah memendam sakit hati dan sesak sebagai suami yang dimintai pisah. Lelaki tidak bercerita, Ayah adalah itu. Ia tidak cerita kalau dia butuh kasih sayang istrinya, ia tidak cerita kalau dirinya mau tidak mau terjun ke kegelapan perilaku setidaknya untuk melupakan semua hal buruk yang sudah terjadi. Aku tidak cukup untuk membuatnya berhenti dan menimbang keputusan.

Namun, Ayah tetap tidak logis. Ini tetap salah Ayah. Kenapa lelaki sepertinya tidak berpikir jangka panjang? Bagaimana nanti kalau keputusannya malah mengantarkannya pada ... kematian?

Mati. Dokter bilang asma Ayah sudah memburuk. Peluang sembuh sangat sedikit karena saluran napasnya nyaris terblokir. Dokter sudah menyarankan operasi, tetapi Ayah tidak mau. Ia seakan-akan ingin membunuh dirinya sendiri. Pihak keluarga berusaha untuk menyakinkannya, tetapi dia malah meminta untuk mengabariku agar segera pulang.

Sekali lagi. Kenapa? Tidak mungkin Ayah mau mengucapkan kata perpisahan. Air mataku berkumpul lagi di pelupuk mata.

Ia tahu operasi tidak akan memperbaiki semuanya. Dia yakin dirinya akan mempersusah--yang bagiku tidak akan merasa dipersusah.

"Aku lho sayang Ayah," ucapku, berusaha untuk tidak terdengar menangis. Aku sengaja membelakanginya. "Apa itu tidak cukup?"

Ayah terbatuk lagi. "Sangat cukup, tapi aku saja yang tidak memanfaatkannya dengan baik." Tersirat nada penyesalan pada kata-katanya. Ayah mengakui kesalahannya. "Ayah minta maaf akan semuanya."

Air mata jatuh ke pipi. Semuanya. Ayah minta maaf untuk semuanya.

"Ayah sangat sayang padamu dan Ibu. Seharusnya Ayah bisa lebih menyayangi kalian." Ayah terbatuk keras. Ia terlalu banyak bicara.

Aku meraih tangan Ayah dengan posisi masih membelakangi, "Ayah sudah sangat sayang pada kami," ucapku dengan dada sesak. "Terima kasih untuk semuanya."

Setelah itu, kami hening dan membiarkan pikiran bergelayut riang di benak. Semua ini membuatku merasa bersalah pada Ayah. Meskipun aku punya kesalahan minim, aku sudah bersalah karena tidak menyayanginya dengan cukup.

Sekarang aku tidak ingin dia pergi. Namun, ia sepertinya memilih untuk pergi.

Ini saatnya mengikhlaskan. Mau tidak mau. Ayah sengaja memintaku pulang agar aku bisa ada di detik-detik terakhirnya.

"Kalau Ayah mau pergi," kataku, sudah terisak. "silakan dan hati-hati."

Sekian lama, akhirnya pria itu terkekeh serak, tetapi ia tidak memberikan kata-kata penenang. Aku menangis deras dan memegang tangannya erat-erat. Ini waktu terakhir bersamanya dan kuhabiskan untuk memegang tangannya yang rapuh. Aku duduk dengan kepala menunduk lemas.

Kurang dari 24 jam setelah itu, Ayah pergi. Ia tidak melawan, tidak juga menginginkan solusi. Kematiannya tenang dan aku ada di sisinya.

Setidaknya Ayah memperbaiki satu kesalahannya: tidak membiarkanku tidak ada di sisinya seperti aku tidak ada di sisi Ibu dulu.

Akhirnya, aku wisuda tanpa mereka berdua. Sakit? Tentu saja sakit! Namun, hidup harus tegak berjalan sebagaimana mestinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro