10. nginep
Supra menatap salah satu murid laki-lakinya yang sering alpa. Iwan namanya. Kemarin siang dia mengirim pesan pada Supra tentang permintaan anehnya itu. Membuat Supra bertanya-tanya karena kebingungan.
"Mendadak banget."
"Hehehe, sekali-kali, Pak. Memangnya Bapak gamau punya anak kayak saya?"
"G."
"Maunya punya mantu kayak saya, ya?"
"Amit-amit."
Yah, Iwan kecewa. Sama Supra tidak diterima menjadi anaknya ataupun mantunya.
"Padahal kita cocok, Pak."
"Geli."
Mendengar jawaban Supra yang sedari tadi hanya mengeluarkan satu sampai dua kata saja membuat Iwan sebal. Jawab panjang, kek. Marahin juga gapapa. Biasanya gitu.
"Bapak sok dingin, sok keren."
Supra mengerutkan keningnya, matanya ia putar dengan malas. "Emang keren, bukan sok keren. Ke mana aja kamu?"
Oke, Iwan menyesal.
"Dua minggu saya bertapa, Pak."
"O."
Tuh, kan. Kalau bukan guru pasti sudah Iwan jambak, pukul-pukul kepalanya. Tendang sekalian kalau berani, sih.
"Yaudah, kalo gitu saya nginep di rumah Bapak buat semingguan gitu, boleh gak?"
"Enggak!"
"Bapak kenapa, sih? Seminggu doang, Pak."
"Kamu yang kenapa. Tiba-tiba mau nginep di rumah saya tanpa alasan yang jelas."
"Gak ada apa-apa, bosen aja."
Jawaban Iwan membuat Supra curiga. Curiga kalau Iwan ingin menggoda istrinya dan mengambil celah untuk menikung.
"Kalau saya bilang enggak ya engga―"
"―kata Bu [Name] boleh!"
Belum juga Supra menyelesaikan kalimatnya, anak muridnya itu entah sejak kapan sudah menelpon istrinya dan meminta izin padanya, yang langsung disetujui seratus persen dengan senang hati oleh istrinya.
"...."
"Gimana, Pak? Hehehe. Saya butuh hilink."
"Sini handphone-mu."
Iwan memberikan ponsel genggamnya yang masih berada di dalam panggilan bersama [Name]. Ia tahu jika Supra ingin berbicara dengan [Name] yang memberi izin.
Supra beranjak dari kursinya, menuju tempat sepi agar Iwan tak bisa mendengar apa yang dia dan istrinya bicarakan.
"[Name], kamu yakin?"
"Emang kenapa? Iwan anak baik, kok."
"Mukanya nyebelin."
[Name] kebingungan di sana. Hanya karena wajah saja, Supra menolak? Ah, enggak. Dia tahu, pasti alasan Supra menolak karena hal lain. Seperti takut ditikung misalnya.
"Enggak apa. Cuma seminggu, atau mau ganti jadi lima hari?"
"Tiga."
Walah, si bapak.
Dari telepon, Supra bisa mendengar tawa kecil istrinya itu. Dia dengan sabar menunggu jawaban dari sang istri yang masih tertawa kecil itu.
"Ya sudah. Tiga hari aja. Gapapa, kan?"
Dengan berat hati dan mendadak rasa mual datang―Supra akhirnya menerima. Dia cepat-cepat memutus panggilan, menaruh ponsel itu di meja dan segera pergi ke toilet.
"Y. Tiga hari aja."
"Seriusan, Pak?"
"Kamu gak mau? Oke―"
"―MAU PAK!"
―――GURU; B. SUPRA―――
"Ayaaaah~"
"Geli."
Supra memeluk tubuhnya sendiri ketika Iwan tiba-tiba datang dan memanggil dirinya 'Ayah' dengan nada dibuat-buat. Rasanya mau Supra buang keluar aja.
"Jangan gitu dong, Pak. Anggap aja ini latihan. Bentar lagi Bapak punya anak, pasti bakal dipanggil Papa atau Ayah gitu."
"... Ya tapi, kamu gausah."
"Oh, Bapak mau dipanggil Babeh?"
"...."
"Kan biasanya anak kecil kesusahan gitu nyebut Ayah. Paling bisanya Papa. Nah, gimana kalo Babeh? Papa udah sering."
"Saya yang bakal jadi Ayah, kok kamu yang ribet. Belajar yang bener sana!"
[Name] yang mendengarkan percakapan mereka dari dapur diam-diam tertawa. Interaksi antara suaminya dan muridnya yang satu ini selalu berhasil membuat dirinya tertawa. Padahal tak ada yang lucu.
Ini hari kedua Iwan menginap di sini. Dia jarang keluar kamar kecuali pas jam makan. Di sini juga dia bebas mau apa aja asal jaga jarak dari [Name] sedikit. Kan jadinya Iwan berasa ngekos.
"Bisa tolong siapin piring? Sebentar lagi ini selesai, tinggal disajiin aja. Tolong ya, Mas, Iwan."
Iwan langsung berdiri tegak dan hormat pada [Name] yang masih sibuk menyiapkan makan malam, "siap Bunda!" dan selamat, Iwan kembali berhasil membuat Supra geli dan merinding setengah mati.
"Makasih, Nak!"
Jawaban [Name] pula, membuat Supra melongo tak percaya.
"[Name]???"
"Apa? Sini, duduk atau bantu Iwan siapin piring. Jangan duduk di depan TV terus."
Heran Supra tuh. Mana kalau diperhatiin lagi, lama-lama sifat [Name] makin mirip sama Iwan. Aduh, pasti ini karena kebanyakan gaul sama Iwan.
Supra bangun dari duduknya. Dia pergi ke arah meja makan untuk melihat menu makan malam yang saat ini sedang dihidangkan oleh [Name] di atas meja. Ah, ada menu kesukaan Iwan dan dirinya.
Paham dengan pandangan Supra yang terlihat bertanya-tanya, segera [Name] menjelaskan. "Ah, kebetulan masih ada ayam di kulkas, aku inget Iwan itu suka ayam, terutama katsu. Makanya aku bikin ayam katsu."
"Emang Bunda yang paling top, deh!"
"Hahaha, iya dong!"
Mau join candaan mereka, tapi bagi Supra ini ancaman.
"Stop panggil Ayah-Bunda."
[Name] dan Iwan saling lirik, sebelum kembali melihat Supra yang sudah siap dan duduk di depan meja makan.
"Kalo gitu Papa-Mama?"
"Kamu―hish!"
Oke, tahan Supra tahaaan. Enggak boleh emosi sama bocah ingusan kayak Iwan.
"Udah-udah. Makan dulu, aku udah laper. Iwan lauknya tambah lagi juga gapapa. Malam ini aku masak banyak soalnya."
"Makasiih."
Bagi Iwan, menginap di rumah Supra terasa seru. Serasa lagi main drama keluarga gitu. Keliatan dari mukanya yang bikin senyum manis terus.
"Nanti kalau anak Pak Supra sama Bu [Name] sudah lahir, saya boleh namain nama tengah nya, enggak?"
"Gak/boleh!"
Dalam waktu yang bersamaan, [Name] dan Supra memberi jawaban yang sangat berbeda. Dengan aura bunga-bunga [Name] memberi izin pada Iwan, dan Supra―dengan aura suram, dia tak mengizinkan Iwan.
"Bapak, kata Ayah saya dulu―suami harus ikut apa kata istri."
"Terbalik...."
________
Haloo 👀 harusnya hari ini aku gak update, tapi ganti yang hari rabu kemarin.
Kayaknya nanti malem aku up lagi, deh. Mau belajar dulu buat lomba
Sebenarnya aku labil siee, mau jadiin iwan anak angkat supnem tp nanti bakal ribet lagi karena keluarga iwan yang begitue trus aku juga kepikiran sesuatu tentang iwan sama **** di ending nanti. Makanya, iwan jadi itu aja 👀
See u nanti malem atau besok!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro