Torch untuk Gurun
“Lemparanmu semakin tidak terarah. Kamu lelah? Ada yang salah denganmu, Gure? Kamu bosan menjadi seorang pitcher terhebat? Kamu ke mana, Gure?”
Jujur, itu menyakitkan.
Hari ini aku harus kembali ke rumah sakit untuk melakukan prosedur mengambilkan sampel darah. Sudah hampir satu tahun delapan bulan aku berhenti menjadi seorang atlet. Aku meninggalkan Bantarious 1997 kesayanganku.
Menyesal? Sedikit, meski setiap detiknya berbuah jadi banyak.
Setahun delapan bulan lalu, tepatnya di pertengahan bulan Juni. Hari itu aku merasakan kepalaku sakit bukan main. Semua berpusat di sebelah kiri tubuhku. Aku tumbang, tentu. Rasa sakitnya lebih parah dari sekadar migran atau vertigo. Ini lebih sakit bahkan sampai membuat mata tak sanggup terbuka. Di dalam sana, tepat di dalam kepala bagian belakangku, juga bagian dalam mata kiriku, semua terasa berdenyut-denyut. Seperti dicabik capit king crab yang super kuat. Mengoyak seluruh warasku, pasalnya aku masih ada di tengah lapangan dan belum melakukan lemparan. Bahkan untuk bergerak saja sulit.
Kabur.
Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah aku tak sadarkan diri sebab penglihatanku yang tiba-tiba memudar, putih dan begitu silau. Menusuk-nusuk rasanya, seperti sehelai bulu mata masuk dan terjebak dalam pupil. Saat aku terbangun, aku disuguhkan sebuah senyum yang disertai embusan napas putus asa, masgyul sorot matanya. Ayah duduk di depan ranjangku, sedangkan Bunda berdiri di balik punggung Ayah sambil menatap teduh.
“Bagaimana kepalamu, Gure?”
“Aku … baik-baik aja, memangnya kenapa?” tanyaku pada Ayah yang diselubungi roman tidak biasa.
“Penglihatanmu?”
“Baik-baik aja.” Aku mengucek kelopak mata kananku. Namun, ada sesuatu yang tiba-tiba membuat aku menangis. Putih dan bersinar. Kubuka kelopak mataku, semua kembali berwarna. Kuulangi lagi hal yang sama dan semua kembali memutih dan bersinar.
“Kega akan bicara padamu, ya? Bunda dapat telepon darinya, kalau dia akan segera pulang dari rumah sakit. Untuk Gure adik kesayangannya.” Bunda berucap dengan semangat meski suaranya bergetar hebat. Kenari Ganih, seorang dokter muda kebanggaan keluarga. Nama itu membuat aku termenung beberapa jenak.
“Kakak, nggak perlu datang.”
Mendengar itu, tanpa diperintah atau dikomandoi, Ayah dan Bunda meninggalkan diriku. Mengurung diri dalam kamar yang mendadak seperti kotak kecil rasanya. Sesak nan pengap.
***
Satu minggu aku habiskan berdiam diri sejak hari itu sampai akhirnya aku berani menatap wajah kakakku yang cantik hari ini meksi tanpa jubah dokternya. Aku mendapatkan belaian dan pelukan hangat darinya. Kega menangis? Ia tampak bodoh di depanku.
“Maaf tapi aku harus mengatakannya. Penglihatanmu … katarak. Peradangan itu menyebabkan penglihatanmu buram, lebih sensitif terhadap cahaya terutama matahari dan panas, timbulnya ledakan cairan dan protein yang membuat lapisan lamat bening. Keadaan di mana daya lihatmu berkurang bahkan buram dan silau. Sarkoidosis—peradangan pada bagian tertentu tubuh; mata, dan indikator torch juga.”
“Lalu?”
“Ada bahan pertimbangan lainnnya jika dari torch yang aku sebutkan nggak membuahkan hasil baik mengapa peradangan itu menjadi semakin brutal adanya, aku akan mengambil tindakkan bedah syaraf untuk memastikan. Maaf jika perkataan aku melukaimu, Gure.”
Aku berdeham.
“Emm, sebetulnya aku udah tau sejak lama kalau aku punya katarak di mata sebelah kiri yang mana ketebalannya lebih tebal dari yang kanan. Aku pikir, jika masih bisa memakai kedua mataku kenapa aku harus khawatir. Hari itu, bahkan aku mendapat jadwal untuk operasi pertama. Sayangnya, peradangan itu kembali datang. Riskan jikalau dipaksa. Sebenarnya aku tau, Kak. Aku tau, bukan hanya satu, ada beberapa nama virus yang menerjang diriku. Tapi, aku abaikan. Aku pikir, hanya virus mereka nggak akan benar-benar mematikan aku. Mereka akan jadi hal wajar seperti influenza. Nyatanya, aku terlalu angkuh. Mereka nggak sama. Mereka jauh lebih ganas meski nggak terlihat.”
“Kenapa kamu nggak kasih tau aku, atau Ayah dan Bunda?”
Aku terdiam.
“Kenapa Gurun?”
Sampai hari ini, kenangan di masa lalu belum bisa aku jawab. Aku masih bungkam. Aku melupakan keinginan dua tahun ke belakang saat berkata ingin mengatakan cinta. Dan, kenangan di satu tahun delapan bulan lalu saat aku berbicara dengan Kega pun, aku bimbang.
Aku masih membeku. Rasanya, ketika aku memutuskan untuk melepaskan karirku semua akan baik-baik saja. Nyatanya, aku hanya membuat Bunda repot. Setiap hari aku akan melakukan tetes mata sebanyak enam kali satu obat dengan kekentalan super berwarna putih. Empat kali untuk obat tetes bening yang rasanya lebih pedih dengan sensasi gatal. Minum obat tablet sebanyak tujuh butir yang perminggunya turun setengah dosis. Melakukan terapi pengecekkan mata kanan-kiri secara bergantian, pengambilan darah untuk memastikan apa virusnya tidur, bangun, mati suri, atau benar-benar mati sampai rontgen untuk memastikan tubuh ini kokoh.
Rasanya aku gagal.
Jika saat itu aku memilih melepaskan kesehatanku sebagai hal yang paling berharga. Mungkin aku tak akan merasa sedikit menyesal. Setidaknya, aku tidak perlu melihat Bunda mondar-mandir ke rumah sakit memastikan aku baik-baik saja atau tidak. Jika saja hari itu aku memaksakan diri, mungkin aku akan tetap bersama Bantarious 1997 kesayanganku. Jika saja aku memilih untuk melepaskan kesehatanku, mungkin aku tak akan membuat Ayah bekerja lebih keras. Kini, aku bahkan tak bisa memberikan senyuman untuk keduanya termasuk Kega.
“Aku merasa telah menjadi pribadi yang buruk. Aku menyesal dilahirkan hanya untuk menjadi beban kalian. Sejak aku lahir, aku udah ditakdirkan jadi makhluk penuh kesakitan. Menderita penyakit kuning, aku nggak bisa mandi air dingin atau lututku akan sakit, aku juga kerap kali memuntahkan berbagai makanan hanya karena merasa perut ini terlalu penuh meski hanya makan sedikit, aku yang nggak bisa terkena matahari, aku yang menjelma orang buta di malam hari. Aku gagal melaksanakan resolusiku menjadi orang yang lebih sehat. Aku juga gagal mengatakan cinta pada kalian. Aku—”
“Kamu nggak pernah merepotkan kita, Gure sayang. Bunda bangga karena bisa melihatmu tumbuh, berjuang dengan caramu, meski harus terluka. Bunda sayang Gure.”
“Kamu tau, Gure, apa itu resolusi?”
Aku menoleh pada Ayah.
“Resolusi hanya putusan. Kamu bebas memutuskan, entah akan menyelesaikan itu sekarang, nanti, lain waktu bahkan menundanya. Itu bukan masalah. Lagi pula, siapa manusia yang ingin 'sakit'? Sekelas dokter seperti Kega aja bisa demam. Lantas, kenapa kita nggak? Kamu anak yang kami cintai, dan Tuhan pun mencintaimu dengan cara yang mungkin sedikit nggak adil. Tapi, percayalah, sakit yang ada akan selalu berdampingan dengan obatnya. Kamu hanya perlu semangat, berjalan sepanjang waktu, dan istirahat jika kamu mau, Gure.”
Aku menangis. Berteriak gila, aku tidak waras? Bukan, aku hanya merasa jika mereka benar-benar menghiburku dengan segala hal yang ada. Aku merasa menjadi seseuatu yang lebih berharga meski aku kehilangan karirku demi kesehatan ini yang entah kapan akan Tuhan kembalikan.
Jika memang tahun ini aku belum bisa bangkit. Mungkin akan kubuat hal baru. Aku ingin ketika usiaku beranjak ke-24 atau ke-25 aku akan menjadi anak yang lepas dari orang tuanya sebagai anak yang sehat; yang akan menjadi kepala keluarga, suami, dan ayah bagi keluargaku seperti Ayah dan Bunda. Aku ingin menjadi pohon yang bisa menaungi akar di bawahnya, lumut atau rumput yang mengeruminya. Aku ingin menjadi seseorang yang merasa menerima segala rasa sakit.
Jika resolusi menjadi orang yang sembuh memakan waktu sebab prosedur medis yang panjang. Minimal, resolusi tahun ini adalah mengatakan, “Terima kasih, Ayah, Bunda, Kega, aku akan berjuang lagi. Aku akan tersenyum lebih lebar untuk kalian dan rasa sakit ini agar mereka lekas pergi. Dan Qael, aku mencintamu.”
Note : 1163
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro