Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 26🍭


Aurel bergerak gelisah di balik selimutnya. Matanya mengerjap perlahan sebelum terbuka sepenuhnya. Menatap langit-langit kamar sembari mengumpulkan nyawa. Kepalanya kini bergerak ke kiri dan kanan mencari-cari ponsel. Sampai matanya menangkap benda itu tergeletak di atas nakas samping tempat tidur.

Gadis itu meraih ponsel dan baru menyadari kalau ponselnya itu masih ia nonaktifkan. Ia menekan lama tombol di samping ponsel selama beberapa detik hingga benda itu bergetar dan mulai menyala. Matanya langsung tertuju pada angka yang tertera di layar kuncinya. 23.03.

Aurel meregangkan tangannya sambil menguap lebar. Sepertinya belum sepenuhnya sadar karena ia kemudian kembali menatap langit-langit kamar memikirkan sesuatu.

Seperkesekian detik berikutnya barulah ia membuka aplikasi hijau di ponselnya dan menemukan banyaknya pesan yang baru masuk. Yang paling banyak dari grup kelasnya yang seringkali sangat rusuh dan selalu ia abaikan, dari grup alumni SMP-nya, lalu ada juga dari grupnya dengan Syabila dan Dion, tiga orang teman kelas yang menanyakan tugas, dua pesan dari Syabila dan satu pesan dari orang tak dikenal.

Aurel menscroll layarnya kemudian membuka ruang obrolan dengan Alfi. Pesannya masih belum dibaca. Gadis itu menarik napas, menggeleng cepat dan memutuskan untuk mengetik pesan seadanya kepada mereka yang memang pesannya harus dibalas.

Setelah itu membuang ponsel ke sampingnya dan menutup mata. Mencoba untuk merasa bodoh amat. Tetapi kemudian Aurel membuka kembali meatanya, meraih ponsel dan lagi-lagi membuka ruang obrolannya dengan Alfi. Memastikan kalau mungkin saja tadi matanya terganggu sebentar karena mengantuk. Sayang, harapannya itu tidak tercapai. Karena kini tampilan di layar masih sama seperti tadi. Pesannya belum dibalas—bahkan dibaca—Alfi.

Aurel menarik napas lagi. Kali ini benar-benar berniat untuk tidur. Walaupun sempat membolak-balikkan badan beberapa saat, akhirnya ia terlelap juga.

🐛🐛🐛

Aurel berjalan dengan lesu keluar gedung sekolah bersama Syabila juga Dion. Walaupun jadwal pelajaran hari ini tidak berat, Aurel tetap saja kelelahan. Mengingat ia harus menguras pikirannya dengan extra saat mengerjakan post test dadakan karena tidak bisa fokus, terus direcoki dengan ingatan soal Alfi yamg belum juga ada kabar. Ditambah ia harus ditegur beberapa kali di dua mata pelajaran berbeda karena melamun, ditambah omelan guru yang membuat kepalanya pening.

Aurel tidak pernah menyangka intensitas Alfi bisa menarik seluruh perhatiannya sampai seperti ini. Apakah cewek-cewek di luar sana yang sedang kasmaran sepertinya juga akan berlaku sama jika pacar mereka sama sekali tidak ada kabar? Atau Aurel saja yang rasanya terlalu berlebihan?

"Rel, lo ok kan?" Syabila menghentikan langkahnya yang sontak membuat Dion dan juga Aurel berhenti. Ia memegang lengan Aurel dan menatapnya dengan tatapan cemas, pasalnya Aurel kini kembali melamun sama seperti waktu di kelas tadi.

Aurel memaksakan senyum dan mengangguk. Mereka pun kembali berjalan.

Dalam pikirannya Aurel menghitung hari sejak pertemuan terakhirnya dengan Alfi. Malam saat mereka berdebat, tidak bisa dibilang berdebat juga sebenarnya. Setelah itu keesokannya ia belum mendapat kabar dari Alfi walaupun sudah mengirim pesan dan sempat melihat Alfi di sekolah. Panggilannya juga tidak diangkat. Lalu kemudian sudah dua hari ini ia malah sama sekali tidak melihat pria itu, kabarnya juga ia sendiri belum tahu.

Syabila tampak membuka ponselnya, mengetik sesuatu di sana lalu beralih pada dua temannya itu. "Bokap gue udah di depan, gue duluan," katanya dan bergegas pergi setelah menerima anggukan dari Dion dan Aurel.

"Rel, lo seriusan nggak papa?" tanya Dion.

"Lebay banget sih lo berdua."

"Nyadar dong, sikap lo yang buat kita kayak gitu!" tukas Dion. Aurel terkekeh, merasa senang karena dua sahabatnya sangat lucu jika sedang khawatir seperti ini.

"Emang kenapa lagi, sih? Alfi belum chat lo?"

Pertanyaan Dion kali ini membuat Aurel menghela napas. Dion menarik sebelah alisnya, merasa ia menanyakan hal yang tidak seharusnya. "Seriusan?" tanyanya hati-hati.

Aurel mengangguk. Mendudukkan diri di salah satu bangku yang kemudian diikuti Dion. Kedua remaja itu sekarang sudah berada di luar sekolah.

"Lo udah coba chat lagi? Telpon?"

"Tadi pagi, sebelum berangkat ... tapi sama aja. Jadi gue mutusin buat nggak hubungin dia lagi."

Dion mendesah di tempatnya. Ikut bingung dengan hubungan Aurel dan kakak kelasnya itu. "Setahu gue kemarin sama hari ini dia nggak dateng, deh."

"Tahu dari mana?"

"Kan tiap istirahat kedua, anak basket pada ngumpul. Nah, kemarin sama tadi Alfi nggak ada. Nggak masuk, katanya."

"Kok, lo baru ngasih tahu sekarang, sih?" gerutu Aurel.

"Ya, lo baru nanya," balas Dion membela diri.

Aurel berdecih sambil melemparkan tatapan sinisnya pada Dion yang saat menyadari itu langsung meringis.

"Sorry, Rel. Habisnya gue nggak ada kepikiran sampe ke situ."

Aurel mengabaikan ucapan Dion. Ia sekarang sibuk dengan ponselnya. Sampai beberapa saat kemudian ia menunjukkan layar ponsel ke depan muka Dion, yang menampakkan pesan Ayahnya yang minta maaf karena tidak bisa menjemputnya.

"Yaudah, kuy!" tukas Dion. Ia bangkit dari duduknya dan diikuti Aurel dari belakang. Mereka berdua berjalan ke lapangan parkir, tempat di mana Dion memarkirkan motor sportnya.

Tidak sampai setengah jam dan mereka sudah sampai di depan rumah Aurel. Gadis itu turun dari motor dan melepaskan helm.

"Untung gue selalu bawa helm lebih," ucap Dion, menerima helm dari tangan Aurel. "Gue langsung, ya."

"Oke. Makasih, ya. Hati-hati."

Dion mengangguk lalu mulai menjalankan motornya. Aurel menatap Dion sampai cowok itu hilang di belokan kompleks sebelum memasuki pagar rumah. Tetapi ia kembali memundurkan langkah karena menyadari ada mobil yang tampak familiar terparkir tidak jauh dari rumahnya.

"Kayak kenal," gumamnya. Namun ia menggeleng dan mengabaikan itu. Kembali memasuki rumah.

Raut terkejut sama sekali tidak bisa disembunyikan Aurel begitu mendapati seseorang yang sangat ia tunggu kabarnya dari tiga hari lalu, kini tengah duduk manis di sofa rumahnya. Terlihat baru saja meneguk minuman dari gelas kaca. Cowok itu tersenyum kikuk sebelum menaruh gelas di atas meja.

Vania muncul dari arah ruang tengah dengan membawa sepiring roti yang masih mengepulkan asap. Wanita itu tersenyum lebar saat menatap Aurel.

"Loh, udah pulang? Papa mana?" tanya Vania sembari meletakkan piring kaca di atas meja, lantas mempersilahkan cowok itu untuk mencicipinya.

"Papa nggak bisa jemput."

"Terus kamu pulangnya gimana?"

"Sama temen."

"Yaudah, sana ganti baju dulu. Kasihan temen kamu dari tadi nunggu," kata Vania, sekilas tersenyum pada lelaki di sampingnya.

Aurel menurut. Berjalan ke kamarnya tanpa bersuara. Sampai di kamar ia langsung menaruh tas dan segera mengganti pakaian. Sepenuhnya belum bisa mencerna apa yang terjadi. Apa cowok yang duduk di samping Mamanya tadi benar-benar Alfi?

Aurel menggeleng cepat. Mendesah dan membuka matanya lebar-lebar seolah meyakinkan diri bahwa ia sudah mengerti dengan keadaan ini. Ia kembali ke ruang tamu tak lupa dengan membawa ponselnya.

Aurel duduk menggantikan Vania yang kemudian berpamitan untuk ke dalam pada Alfi. Sementara Aurel tetap diam dengan jemari yang memainkan ponsel dengan gelisah. Padahal ada banyak sekali pertanyaan dalam kepala. Tetapi saat Alfi sudah berada di depan matanya, ia seketika hanya bisa terdiam.

Hening tercipta beberapa saat hingga akhirnya Alfi berdeham sebelum membuka suara. "Aurel, maaf."

Aurel mendongak dan memandang Alfi dengan napas memburu. Gejolak amarah rasanya ingin ia luapkan. Lagi-lagi pria itu meminta maaf. Dan sesuai dugaan Aurel sebelumnya, ia benar-benar kembali merasa bersalah saat menatap wajah Alfi. Gadis itu meremas ponselnya kuat mencoba meredam amarah sembari mengalihkan pandangannya.

Menutup mata sebentar dan menetralkan jantungnya. Aurel memaksakan senyum. "Kenapa nggak ada kabar?" tanyanya pelan, berusaha menjaga nada suaranya. Menghitung detik demi detik sampai lelaki di sampingnya ini menjawab.

"Maaf. "

Aurel mendengus pelan. Ia pikir pria itu sedang menyusun kalimat tapi yang keluar dari mulutnya hanya satu kata yang malah membuat telinga Aurel panas. 
"Aku nggak minta Kak Alfi buat minta maaf. Aku cuman nanya kenapa nggak ada kabar." Masih mencoba agar emosi tidak menyertai ucapannya. "Kak Alfi tinggal jawab aja."

Alfi masih diam.

"Kak Alfi nggak bales chat aku padahal aku sempet liat Kakak di sekolah. Pas ditelpon pun nggak diangkat." Aurel berbicara sambil melihat Alfi sementara arah pandang pria itu terfokus pada gelas di depannya. Seperti tidak berani menatap wajah Aurel. "Dan dua hari berikutnya aku sama sekali nggak liat Kakak di sekolah. Katanya nggak masuk. Bener?"

Alfi mengangguk. Masih belum mengeluarkan suara.

Aurel menarik napas. "Kak Alfi mau diem terus?"

"Aku nggak dibolehin pegang hp."

"Hah?" Alis sebelah Aurel terangkat dengan wajah yang menampakkan raut tidak mengerti.

"Aku diopname."

Kini Aurel membuka tutup mulut hendak bebicara, tetapi terhenti karena Alfi yang mengangkat wajah untuk memandangnya dan mulai membuka suara.

"Beberapa hari lalu aku drop lagi. Mau nggak mau harus diopname. Dan aku nggak dibolehin megang hp. Maaf."

Aurel menggigit bibirnya. Entah kenapa hari ini ia sangat emosional. Bukan lagi perasaan sedih atau pun marah yang menguasainya sekarang, tetapi cemas dan juga khawatir.

"Drop? Kok bisa? Eh, bentar, lagi? Maksudnya? Kakak sakit? Sakit apa?" tanya Aurel dengan posisi duduk yang sedikit mendekat ke arah Alfi, rautnya berubah-ubah di setiap pertanyaannya. Gadis itu melirik sebelah tangan Alfi yang masih diplester karena bekas infus dan tanpa sadar meringis. Sedangkan Alfi tersenyum kecil karena pertanyaan-pertanyaan Aurel dan ekspresi wajahnya.

"Cuman kecapekan aja 'kok. Nggak usah khawatir, aku nggak papa, Dek."

"Beneran?" Alfi mengangguk, masih dengan senyumannya. "Terus sekarang keadaannya gimana? Masih sakit?"

Aurel tanpa sadar menempelkan telapak tangannya pada kening Alfi, menyebabkan tubuh mereka semakin bertambah dekat dan sekarang mata kedua remaja itu bertemu. Sama-sama saling mengagumi manik satu sama lain dalam diam. Butuh lima detik sampai Aurel akhirnya menurunkan tangan. Hal ini menyebabkan terjadinya kecanggungan di antara pasangan itu.

Aurel berdeham. "Maaf, Kak. Aku refleks."

"Aku udah baikan 'kok sekarang. Makanya langsung ke sini." Jeda sebentar sebelum Alfi melanjutkan. "Rel, maafin aku, ya," katanya dengan nada serius.

"Lain kali kalo kayak gini lagi bilang, ya. Seenggaknya aku tahu gimana keadaan Kakak. Jujur, aku khawatir ..., dan takut." Aurel memelankan suaranya pada dua kalimat terakhir.

Alfi tersenyum lembut. Tangannya ia ulurkan untuk mengelus pelan rambut pacarnya itu.

Tanpa diketahui Aurel kembali merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia begitu lemah terhadap Alfi?

🐛🐛🐛


Annyeong!
Masih beberapa menit sebelum bulan ini berganti wkwk.
Keep vomment!
Tencuu :*

30 Juni 2020
~zypherdust💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro