V : Langkah Awal
“Jangan sekalipun kau hentikan langkahmu!” teriak Arga.
Arga berlari kecil mengikutiku di belakang. Sedari tadi dia terus meneriakkan hal-hal semacam itu.
“Ayo! Beberapa langkah lagi kita akan masuk desa!” teriaknya lagi.
Mendengar hal itu membuatku sedikit lega. Akhirnya aku akan bisa istirahat sejenak.
Napasku tepat akan benar-benar habis saat aku memasuki desa.
“Kerja bagus.” Arga menepuk-nepuk punggungku.
Yang kulakukan barusan adalah lari pagi. Dari desa menuju ke bukit, naik bukit, turun bukit, naik lagi, kemudian turun lagi lalu kembali ke desa. Ini adalah latihan yang diberikan Arga kepadaku untuk mempersiapkan diri menuju Seleksi Pasukan Kerajaan.
Mungkin semua ini terlalu tiba-tiba. Yah, itu karena waktu yang kumiliki hanya seminggu. Seminggu untuk melatih fisikku yang lemah ini.
Kemarin setelah aku mengutarakan niatanku untuk mengikuti seleksi kepada Arga, awalnya dia tampak keberatan. Tetapi, setelah aku memaksa dia pun dengan berat hati akhirnya setuju. Dia bilang dia lah yang menempelkan kertas pengumuman seleksi itu di penginapan jadi dia juga yang akan bertanggung jawab atas keinginanku.
Dari sanalah aku baru tahu kalau Arga ternyata adalah salah satu dari Pasukan Kerajaan. Dia mengatakan pula kalau Hana juga adalah salah satunya. Aku jadi tidak sabar melihat mereka dalam seragamnya.
Aku berjalan perlahan sambil mengatur pernapasanku. Berbeda dariku, Arga kelihatannya sama sekali tidak merasakan kelelahan apapun. Agaknya dia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Yah, lagipula sejak awal ide untuk berlatih di desa adalah gagasannya. Kupikir dia dulu juga berlatih di sini sebelumnya.
Kembalilah aku di halaman depan tempat awal pertemuanku dengan Arga dan Hana. Rumah kecil ini ternyata adalah milik kakek Arga yang telah meninggal bertahun-tahun lalu.
Kami meninggalkan penginapan Paman Fram tadi pagi dan berpindah ke sini. Tentunya aku telah berpamitan kepada Paman Fram yang baik itu terlebih dahulu. Beliau mengantarkan kami menemui temannya yang akan pergi dari kota yang kebetulan sekali searah dengan desa ini. Jadilah kami kembali ke desa ini dengan kereta iguana sambil memakan roti pemberian Paman Fram untuk menenangkan perut yang hanya diisi apel. Itu adalah pengalaman pertamaku naik kereta.
Arga yang terlebih dahulu masuk telah keluar membawa dua gelas kosong dan sebuah teko air yang semuanya terbuat dari tanah liat. Aku sedang duduk mengistirahatkan kakiku. Arga pun kemudian melakukan hal yang sama.
Dia menuangkan air ke salah satu gelas lalu memberikannya kepadaku. Gelasnya tidak terlalu besar jadi aku menghabiskan air di dalamnya hanya dengan satu tegukan. Namun, hanya dengan satu tegukan saja dahagaku rasanya libas. Airnya dingin dan begitu menyegarkan.
Arga menuangkan air ke gelas lain untuk dirinya sendiri. “Biar kukatakan sekali lagi, Pasukan Kerajaan adalah sebutan umum dan itu dibagi jadi beberapa bagian atau tim. Ada Pasukan Keamanan Kota, Pasukan Perdamaian, Tim Khusus, dan lainnya.” Arga meneguk minumannya.
“Saat seleksi esok, beberapa hal yang bahkan aku sendiri tidak mengetahuinya akan diujikan kepada para peserta. Tergantung penilaian juri lah yang menjadi penentu diterima atau tidaknya seseorang. Setelahnya ada sekali lagi seleksi untuk menentukan di bagian mana kau akan ditugaskan,” terang Arga.
“Untuk sekarang, mari kita fokus dalam melatih staminamu saja. Aku juga tidak yakin sejauh apa perkembanganmu hanya dengan waktu seminggu.” tambahnya.
Aku bangkit dari tempatku duduk. Kuayun-ayunkan kakiku untuk melemaskan otot-otot yang menegang. “Tentunya itu akan lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali,” ucapku. Arga tampak tersenyum mendengarnya. “Jadi, apa yang akan kulakukan setelah ini?” tanyaku kepadanya.
Arga menuangkan air ke dalam gelasnya lagi lalu menyodorkannya kepadaku. “Tidak perlu terburu-buru. Setelah ini kita akan berkeliling desa. Kau harus mengenal setiap orang dengan baik,” ucap Arga.
Kuterima gelas yang disodorkan Arga lalu kuminum habis dalam satu tegukan. “Oh ya, kau kan tergabung dalam Pasukan Kerajaan. Kenapa kau tidak tampak sibuk sama sekali?” tanyaku kepada Arga.
Arga kemudian berdiri lalu mengambil gelas yang sudah kosong di tanganku. “Pembahasan tentang itu lain kali saja.” Arga tersenyum tipis. Dia masuk ke dalam rumah untuk mengembalikan teko dan gelas.
Sekeluarnya Arga dari dalam rumah, kami pun mulai mengelilingi desa. Dari rumah satu ke rumah lainnya. Tak hanya berkenalan, Arga menyuruhku untuk membantu menjemur pakaian, mencangkul tanah, memotong kayu, mencari ikan, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan warga desa ini.
Hari sudah petang saat aku dan Arga tiba di halaman rumah. Hari yang sangat melelahkan untukku, tapi rasanya tidak untuk Arga.
Arga telah memutuskan untuk menemaniku selama seminggu ini jadi dia akan tidur serumah denganku. Perutku keroncongan. Apa yang akan kami makan malam ini? Apel?
Arga mendahuluiku masuk ke rumah. Baru saja sampai di ambang pintu, aku telah dikejutkan oleh suara teriakan Arga. Aku bergegas masuk untuk melihat apa yang terjadi.
Aku tiba di belakang Arga. Yang pertama kali kulakukan bukanlah menanyakan keadaannya, melainkan terpaku pada meja makan yang telah dipenuhi beragam hidangan. Kesemuanya dalam keadaan hangat, tengah menanti untuk disantap.
“Ayo, duduk dan makanlah.” Sebuah suara yang cukup familiar terdengar olehku. Saat kulihat rupa pemiliknya, barulah aku teringat. Beliau adalah Bibi Wilma, orang yang kubantu dengan urusan menjemur pakaiannya siang tadi.
“Bibi Wilma!” Arga berseru senang. Ia berlari ke arah Bibi Wilma lalu memeluknya. Arga kelihatan akrab sekali dengan beliau. Yah, sepertinya tidak hanya dengan Bibi Wilma. Arga begitu dekat dengan semua warga desa ini.
Arga duduk setelah puas berteriak kegirangan pun begitu dengan aku.
Meja makan di rumah ini tidak terlalu besar dengan sebuah kursi yang terletak tiap satu dari keempat sisinya. Aku duduk berhadapan dengan Arga, sedangkan Bibi Wilma duduk di sisi lainnya.
“Kata Arga kalian akan ada di desa ini selama seminggu, bukan? Rein juga sangat membantu kegiatan harian warga desa ini. Jadi, kami tak keberatan untuk memberikan kalian makanan tiap harinya selama seminggu sebagai ganti kerja keras kalian,” Bibi Wilma mengisi piring kosong di hadapan kami dengan nasi.
Arga sudah memulai makan malamnya. Ia mengambil dan meletakkan ke piringnya sepotong ikan bakar, sesendok penuh tumis sayuran hijau, dan tiga butir telur burung rebus. Tak lupa juga ia siramkan beberapa sendok sup jamur di piringnya yang tampak penuh itu. “Selamat makan!” Arga pun menyantap makanannya.
Aku pun berpikiran untuk segera memulai makan malamku. Kuisi piringku terlebih dahulu dengan sayuran dan siraman sup jamur barulah kuambil sepotong ikan bakar dan sebutir telur burung.
Kulihat Arga makan dengan sangat lahap. “Enak!” seru Arga.
Bibi Wilma tertawa kecil. “Mulai besok, kau juga harus ikut bekerja kalau masih ingin menikmati makanan seperti ini, Arga,” ucap Bibi Wilma. Arga hampir tersedak dibuatnya.
“Selamat makan.” Aku pun juga mulai menyendokkan makanan di hadapanku ini ke mulutku. Rasanya memang benar-benar enak. Makanan-makanan ini memang kelihatannya sederhana, tapi perpaduan bumbu di dalamnya benar-benar menggugah selera. Aku jadi tidak bisa menahan diri untuk cepat-cepat menghabiskan semua ini.
Dan begitulah, malam pertama di desa ini kami lewati dengan perut yang sakit karena kekenyangan. Aku berjanji tidak akan makan berlebihan lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro