🫦1C. Sialan Rikas!
Beberapa jam sebelumnya
"Sorry, ada sesuatu yang salah dengan saya?" tanya Inggit pada laki-laki yang entah berasal dari planet mana tiba-tiba duduk di sebelahnya.
"Nggak ada yang salah." Laki-laki itu tersenyum. "Hanya heran aja kenapa kamu duduk sendirian di sini."
Suara lelaki itu sangat nyaman untuk didengar. Jenis suara yang membuat orang betah berlama-lama mendengar dia berbicara. Ditambah dengan wajah tampan serta penampilan casual-nya yang akan sulit bagi para wanita mengalihkan pandangannya dari dia. Termasuk Inggit yang beberapa saat agak grogi, karena pesona laki-laki itu.
"Di dalam sumpek." Inggit menjawab sekenanya.
"Kamu nggak suka sama acaranya?"
Inggit mengangguk. "Seharusnya dari awal saya memang nggak usah datang ke sini."
"Kenapa?"
"Orang-orangnya nggak asyik."
Lelaki itu tersenyum mendengar jawaban Inggit. Senyuman itu entah kenapa membuat Inggit yang melihatnya merasa nyaman.
"Terus kamu mau di luar aja gini?" tanyanya lagi.
"Mau pulang, kok. Ini lagi nunggu Grab." Inggit menunjukkan layar ponselnya. "Tapi tadi udah dua driver yang cancel."
"Kalau saya nggak akan cancel kamu."
"Oh, kamu driver ojol juga?" canda Inggit. Bukan berarti driver online tidak ada yang ganteng, tapi untuk laki-laki bergaya rambut comb over ini kemungkinan besar profesinya jauh dari urusan antar jemput customer.
Sebelah matanya mengedip. "Khusus untuk anter kamu aja."
Alarm Inggit menyala. Dia hafal tipe-tipe laki-laki buaya darat, buaya jadi-jadian, sampai buaya buntung. Mereka tipe buaya yang pasti ujung-ujungnya ada maunya. Dan Inggit punya kriterianya sendiri dalam memilih buaya mana yang bisa dia terima ajakannya.
"Tapi gimana sebelum saya antar kamu pulang, kita lanjut ngobrol dulu?"
Dugaannya tepat.
"Kita bisa santai dulu aja di hotel tempat saya menginap," ajaknya lalu menyebut nama hotel bintang lima yang jaraknya lumayan dekat.
Alarm dalam diri Inggit semakin berbunyi nyaring. Orang asing ini, yang bahkan dia tidak tahu namanya bisa begitu cepat mengajaknya ke hotel.
"Bukannya kamu harusnya di dalam, ya? Nanti teman-teman kamu nyariin, lho."
"Kalau boleh jujur, saya lebih suka lanjut nemenin kamu daripada balik lagi ke dalam."
Inggit sedang mempertimbangkan untuk menolak. Namun, Inggit juga ingin bersama dia. Selain tampan, ada sesuatu tak terdefinisikan yang membuat Inggit penasaran. Dia memutuskan untuk menerima ajakan itu. Masih belum terlalu malam untuk mereka lanjut mengobrol.
Atau ada hal lain yang bisa mereka lakukan.
🌷🌷🌷
Mereka berdua duduk bersebelahan di sofa sambil sesekali melihat ke arah pemandangan di luar kaca jendela yang sengaja dibuka tirainya. Disuguhi kerlap-kerlip cahaya dari gedung-gedung di sekitar hotel.
"Memangnya kamu nggak tinggal di Jakarta, ya?" tanya Inggit setelah selesai memindai kamar hotel tipe suite room yang ditempati laki-laki itu.
"Agak rumit untuk dijelasin."
"Rumit banget?"
"Bukan begitu." Dia tersenyum lalu seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Ya udah. Nggak usah dijelasin kalau gitu."
"Saya tinggal di Setiabudi."
"Deket, dong." Inggit tampak heran. "Terus kenapa sampai harus banget menginap di hotel?"
"Kepikiran capek aja kalau dari acara reuni terus pulang."
"Kayaknya Setiabudi ke Kalibata nggak jauh-jauh amat, deh."
Laki-laki itu menggaruk pelipisnya dan hanya tersenyum.
Satu petunjuk bagi Inggit tentang orang ini adalah pendapatannya pasti di atas rata-rata pekerja biasa. Dia tahu kalau harga per malam di kamar ini kurang lebih sekitar lima jutaan.
"Saya boleh tahu nggak, apa ada orang yang bikin kamu nggak nyaman di reuni tadi?" tanya laki-laki itu. Posisi duduknya mengarah pada Inggit sambil menumpukan sebelah siku ke punggung sofa.
"Biasalah ... selalu aja ada bahan buat memojokkan orang yang masih single," terang Inggit, lalu menelengkan kepalanya. "Kenapa orang kalau udah married jadi nyebelin, ya?"
"Nyebelin gimana?"
"Memandang rendah orang yang belum menikah."
"Kamu pikir begitu?"
"Bukan yang aku pikir. Tapi lebih tepatnya ke yang aku rasain waktu dijadiin bahan buat diperolok."
Lelaki itu terdiam sejenak. Tatapannya tetap fokus pada lawan bicara, lalu dia berkata, "Kalau gitu apa yang kamu lakukan dengan nggak berlama-lama di sana sudah tepat."
Inggit mengangguk sambil tangannya memutar-mutar sekaleng soda yang belum juga dia buka dari tadi.
"Saya juga mau tanya sama kamu." Inggit mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai. "Kamu masih single atau udah married?"
"Kamu bisa lihat sendiri, di jari saya nggak ada cincin."
"Saya nggak bisa seratus persen percaya. Bisa aja kamu copot cincinnya. Terus pas pulang ke rumah baru kamu pakai lagi."
"Saya bukan orang yang suka selingkuh kalau sudah punya ikatan."
"Nggak punya pacar?"
Lelaki itu menggeleng.
"Kamu mungkin nggak punya pacar, tapi perempuan yang bisa kamu pakai nggak mungkin kalau nggak ada."
"Pakai? Maksudnya?"
"Having sex."
"Nggak."
"Nggak mungkin."
"Ya memang saya nggak pernah se-random itu berhubungan badan sama orang."
"Tapi sama pacar pernah, kan? Nggak mungkin nggak."
"Kalau saya bilang nggak juga, apa kamu percaya?"
Inggit menggeleng. Sepertinya dia lebih percaya bumi itu berbentuk jajaran genjang daripada memercayai laki-laki dengan spek dewa, tapi mengaku tidak pernah begituan. Inggit tidak bisa mentah-mentah percaya dengan makhluk bertestosteron di depannya ini.
"Terus tujuan kamu ajak saya ke sini itu mau ngapain?"
"Ngobrol."
Alis Inggit terangkat naik. Dua orang asing yang baru bertemu. Tidak saling mengenal. Lalu berada dalam kamar hotel yang sama. Apa mungkin hanya untuk sekadar mengobrol?
"Kamu serius cuma mau ngobrol sama saya?"
"Ada yang salah dengan 'cuma ngobrol'?" tanyanya polos yang membuat Inggit gemas.
"Kamu serius? Yakin nggak ada maksud lain?"
Dalam situasi seperti ini Inggit sudah mempersiapkan diri berubah ke mode binal. Sengaja memosisikan duduknya dengan bersilang kaki. Dia paham kalau efek dari rok pensil sebatas lututnya ini, akan membuat kakinya tampak lebih jenjang dan indah. Inggit sudah membuka dua kancing teratas blouse-nya. Mencoba memancing perhatian pada bagian dadanya yang paling dia banggakan, karena berukuran di atas rata-rata wanita pada umumnya. Menganggap kelebihannya itu sebagai aset berharga. Wajahnya mungkin tidak memenuhi standar kecantikan nasional. Namun, bagian dada sudah pasti masuk standar tinggi kemesuman otak para lelaki.
"Yakin nggak mau?" goda Inggit. Punggungnya bersandar ke sofa, dengan kedua tangan terentang ke samping. Memberi akses penuh untuk bagian dadanya.
Laki-laki itu menatap lurus pada Inggit. Belum berkata apa-apa, selain memperhatikan gerakan kaki Inggit yang sengaja terjulur ke depan dan menyentuh area intim miliknya yang ada di balik celana.
"Saya ...." Dia tidak melanjutkan perkataannya.
Tekanan kaki Inggit sepertinya berhasil membuat dia terpengaruh. Sepersekian detik terlihat bimbang. Namun, selanjutnya terjadi begitu cepat. Inggit menyambut bibir yang tanpa malu-malu melumatnya.
"Saya nggak mengira kamu ternyata seberani ini, Git," bisiknya sesaat setelah mengambil jeda untuk menghela napas.
Eh? Git?
Kesadaran Inggit seperti sedang ditarik paksa. Sontak Inggit menahan dada laki-laki itu, yang sudah akan menciumnya lagi. "Kamu bilang apa tadi?"
"Bilang apanya?" Nada suaranya terdengar bingung dengan interupsi Inggit.
"Tadi pas kamu bilang 'Git'."
"Ya, kenapa?"
"Kamu tahu nama saya?"
"Inggit." Lelaki itu terkekeh. Merasa konyol dengan pertanyaan Inggit. Mengira ini hanya akal-akalan Inggit untuk bercanda. "Kenapa saya bisa sampai nggak tahu nama kamu?"
Dia mencoba mencium lagi, tapi Inggit menghindar.
"Kamu alumni tahun berapa?" kejar Inggit.
"Kamu kenapa, sih?"
"Jawab aja." Inggit tak sabar.
"Sama seperti kamu, tahun 2003. Apa masalahnya?"
"Kamu siapa?"
Siapa? Siapa? Siapa?
"Git, kamu lagi bercanda, kan?"
"Nggak ... aku beneran nggak tahu siapa kamu ...."
Mata mereka saling menatap.
"Inggit astaga." Laki-laki itu berdecak. Baru menyadari keseriusan Inggit."Saya Rikas. Saya kira kamu sudah tahu."
Sontak Inggit menahan napas ketika nama itu disebut.
Astaga!
"Nggak mungkin kamu ...." Inggit menggigiti bagian bawah bibirnya. Suaranya terdengar mengecil saat menyebut nama itu. "Rikas Hanggono?"
"Saya aja nggak lupa sama kamu. Inggit Kinanti."
Posisi mereka belum berubah. Rikas masih memeluk tubuhnya. Napas mereka masih terdengar dekat. Otak Inggit sudah memerintahkan dirinya untuk kabur dari pelukan Rikas. Namun, raganya seperti menolak. Inggit tetap menginginkan Rikas sekarang.
Sialan Rikas!
Tanpa berkata-kata lagi Inggit menarik bagian belakang kepala Rikas mendekat. Yang penting bagi Inggit bersenang-senang dahulu. Urusan menyesal akan dia pikirkan belakangan.
🌷🌷🌷
Bersambung ke part selanjutnya ...
Inggit tuh mirip Farid versi cewek nggak sih, hehe
Maaf ya kemarin nggak jadi update
Untuk part ini saya buat 2 versi
Di Wattpad saya usahain lebih kalem
Versi di Karya Karsa adalah versi barbar-nya
Baru akan dipublish besok
di Karya Karsa
Kritik & saran bisa dm langsung via Instagram @a.w_tyaswuri
Ingin mendukung karya saya bisa di Karya Karsa @awtyaswuri
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro