✴️ 1 : Panti - 4 ✴️
Aku menjenguk beberapa anak panti yang bermain bersama kami kemarin itu. Sebagian dari mereka sudah tampak ceria kembali, walau sebagian lain tetap murung akibat mendengar kabar duka tentang Louis.
"Kemarin Rama, sekarang Louis." Salah satu anak bicara dengan gemetar. "Besoknya siapa?" Anak perempuan itu menunduk sambil menutupi mata dengan tangan. Rambut dia terurai hingga menutupi sebagian wajahnya yang tertunduk. Aku ingat, dia sekamar dengan Louis, Yeva setahuku. Aku jarang bicara dengannya dan kini gadis itu sedang berada tepat di depan, gemetar sambil meratapi nasib. "Padahal kita tadi hanya bermain." Dia terisak. "Kenapa dunia begitu menakutkan?"
"Sudah, jangan takut." Dani menepuk pelan bahu anak perempuan itu. "Kita sudah aman sekarang."
"Tapi, nanti mereka akan datang dan memangsa kita!" Anak itu kembali menangis.
Aku yakin yang dia maksud sebagai "mereka" itu adalah para pemburu iblis tadi. Tapi, bukannya yang menyerang kami itu juga vampir?
"Kita selalu aman di panti ini," sanggah Dani. "Bahkan kakak-kakak kita juga. Satu-satunya bahaya di sini hanyalah dunia luar."
Yeva menyapu air matanya. "Tapi, aku takut jika mereka tahu."
Aku jadi teringat dengan percakapanku bersama gadis misterius kemarin itu. Dia seakan kebingungan saat mencoba mencari bangunan yang berdiri kokoh yang besar ini. "Mereka tidak bisa melihat panti ini."
Kedua anak itu menatapku. Mereka jelas bingung mendengar kalimat tadi. Tentu saja, selama ini kami dapat melihat dengan jelas bentuk bangunan panti ini, mana mungkin tidak ada yang melihatnya? Namun, aku menemukan satu kesimpulan waktu itu.
"Saat kita tidak sengaja menjelajah keluar, kalian sadar kalau kita selalu ditutupi kabut?" lanjutku untuk meyakinkan mereka.
"Aku kira dunia luar hanya terdiri dari kabut," tanggap Dani. "Maksudku, selama ini aku mengintip kakak-kakak kita yang keluar dari panti. Kulihat di luar sana hanya ada kabut menutupi pandangan."
"Makanya dunia luar itu berbahaya bagi anak-anak seperti kita," sahut Yeva.
Aku menggeleng. "Tidak. Aku pernah melihat dunia luar, jauh sebelum menetap di panti ini. Belum ada yang dipenuhi kabut sebanyak sini."
Keduanya ternganga mendengar keterangan dariku. Aku mengerti mengapa, mereka sejak lahir atau saat masih sangat kecil, sudah diserahkan ke panti dan tentu saja tidak diizinkan keluar dari areanya. Wajar kalau mereka tidak bisa membayangkan bentuk dunia luar sesungguhnya. Namun, aku punya sejumlah pengalaman yang dapat membantuku menjelaskan pada mereka.
"Yang benar?" sahut Dani.
"Iya, aku dulu tinggal di panti luar sana," ujarku sambil menunjuk ke kiri, mengisyaratkan daerah yang jauh dari sini, walau tidak tahu pasti letaknya selain hanya nama. "Aku bermain bersama anak-anak lain pada siang hari."
"Siang?!" Yeva meninggikan suara, membuat kami berdua mengisyaratkan dia untuk memelankan suara. "Levi bermain di siang hari? Apa tidak lelah?"
Aku menguatkan diri untuk mengucapkan kalimat ini. "Justru ... kalian yang aneh. Di tempatku, mana ada yang bangun dan beraktivitas di malam hari."
Baik Dani maupun Yeva saling memandang. Aku tebak keduanya sedang mengangapku telah melakukan kegiatan di luar kebiasaan atau bahkan berbahaya.
"Levi," panggil Yeva. "Dari mana asalmu?"
Maka kujawab dengan penuh keyakinan. "Ezilis Utara."
"Itu ... Di mana?" Yeva melirik Dani, mengharap jawaban.
Dani pun menggeleng. "Aku belum pernah mendengar nama itu. Berarti Levi bukan anak daerah sini?"
"Bukan," jawabku. "Aku dibawa ke sini karena musibah."
Aku tidak berbohong. Sebelumnya aku memang diburu lalu takdir menuntunku untuk hidup dalam persembunyian di panti misterius ini. Namun, aku tidak paham apa rencana di balik ini semua. Awalnya kukira ini hanya kebetulan saja kalau seseorang membawaku ke sini dan Bibi berbaik hati untuk merawatku. Namun, saat melihat seorang Guardian yang membawa dan akan mengadopsiku membuat aku yakin kalau semua kegiatanku selama ini telah direncanakan.
"Apa dunia luar sangat berbeda dibandingkan di panti?" tanya Yeva.
Aku mengiakan. "Sangat."
Yeva menggaruk rambutnya. "Akan kutanyakan pada Kak Yami jika dia mengirim surat bulan ini."
"Tanyakan tentang negeri itu," ujar Dani ke Yeva. "Eh, apa namanya tadi?" Dia menatapku.
"Ezilis," kataku lalu mengeja namanya lagi.
"Nanti kutanyakan pada Kak Yami," ulang Yeva, akhirnya dia kembali tampak tenang. "Sekarang waktu makan telah tiba."
***
Selama hidup di panti ini, seperti yang dijelaskan sebelumnya kalau jadwal hidupku mulai berbalik. Aku tetap bisa makan dua kali sehari, tapi di malam hari waktu matahari baru terbenam dan saat fajar akan tiba kembali. Selama itulah kami hanya memakan daging yang sama setiap hari. Meski bentuknya serupa, rasanya kadang berbeda tapi tidak terlalu kentara. Ada yang lebih manis, asam, bahkan sedikit perubahan tekstur. Aku sendiri tidak tahu daging jenis apa yang dihidangkan selama ini.
Di tengah makan kami sebelum tidur, Bibi berdiri dan mengumumkan sesuatu. Matanya menatap kami satu per satu, menunggu setiap anak menatapnya.
"Mama ingin mengumumkan berita yang tidak enak minggu ini," ujar Bibi dengan nada kecewa. "Mama mendengar kabar kalau panti kita telah diketahui lokasinya, dan Mama tahu siapa pelakunya."
Kami semua diam menyimak. Kulihat beberapa anak perempuan mulai gemetar tak sedikit mulai memeluk teman di sampingnya.
Jangan-jangan pelakunya ... Apa ini ada kaitannya dengan gadis misterius itu?
"Mama hanya ingin kalian tetap di panti dan jangan keluar sampai kalian dewasa. Karena sudah dua kali saudara kalian keluar sebelum waktunya, mereka semua tewas di tangan para Pemburu Iblis," lanjut Bibi.
Kami semua tetap diam, tapi sebagian mulai ricuh karena menangis ketakutan, bahkan tidak sedikit mulai menjerit. Aku akui, situasi ini membuat jantungku berdegup kencang, rasa takut dari mereka menular padaku.
"Mama menyesal telah mengundang orang asing di panti ini," ujar Bibi. "Dia sudah lama bekerja di sini, dan Mama kira dia adalah teman kita."
Aku menahan napas, entah kenapa itu mengingatkanku pada peristiwa kemarin. Namun, satu-satunya yang kutahu bekerja di panti ini hanya Bibi dan ...
"Mulai saat ini, Mama akan memperhatikan setiap makanan yang disajikan untuk kita. Malam ini, Mama sudah ganti makanannya supaya kalian selamat," ujar Bibi.
Aku jelas bingung. Kukira selama ini Bibi yang memasak. Lantas, siapa yang menghidangkan daging selama ini? Suasana kian ricuh, tentu saja anak-anak panti mulai tidak mampu menahan diri dan sebagian mulai berseru hendak lari dari sini.
Bibi kembali bersuara, kali ini lebih lantang. "Tenanglah, anak-anak! Kita semua aman di sini selama tidak keluar dari panti!"
Sebagian mulai tenang, walau sebagian lainnya masih panik akibat ancaman yang tidak disangka-sangka ini. Bibi pun berusaha menenangkan mereka, dia menyuruh untuk tetap makan dengan tenang. Aku, bersama anak lain, mulai patuh meski masih dilanda kecemasan.
Aku belum menyantap daging, mata cokelatku fokus menangkap bayangan dari balik jendela. Sosok tinggi sedang memegang sebuah botol yang dituangkan ke tanah. Tak lama, keluar kabut kecil menyelubungi kami semua.
Yeva menceletuk. "Eh, apa itu?" Dia tunjuk kabut yang mulai menutupi kaki kami. Namun, dia roboh setelah mengucapkannya.
Anak-anak lain mulai menjerit ketakutan. Namun, sebagian telah roboh tepat ketika menghirup kabut yang memiliki bau harum itu. Yang masih siuman, bergegas melarikan diri, membiarkan anak-anak yang tumbang itu terkapar.
Aku hendak berlari, tapi kepala mulai pusing dan dunia mulai tampak berputar di sekelilingku. Aku sempat menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan.
Bibi mengangkat anak-anak yang tumbang tadi, meski jelas dia tidak mungkin mampu mengangkat semua anak itu. Mata kami bertemu, mata birunya tampak memancarkan kobaran api saat nenatapku dengan tajam. "Levi! Harusnya kamu disantap kemarin!"
Aku terenyak mendengar ucapannya. "Apa maksud Bibi?"
Di saat itulah, kepalaku terasa berat. Tanah seakan menarik tubuhku padanya. Tepat ketika itu, pandanganku kian buram. Mataku tertuju pada buah kalung yang berada tepat di samping wajahku.
Kalungku bercahaya.
Waduh, waduh, mulai muncul kejadian anunya. Sudah ketebak nih apa yang akan terjadi berikutnya, yekan? Ehe
Kalau kalian mikir sampai sini plotnya, tentu saja ... Belum, ehe. Seperti biasa, di awal-awal aku sertakan keawikwokan khas Kiprang sebelum kejadian lainnya juga muncul.
Untuk pertama kalinya juga, Guardian-nya mayan lama muncul, setelah season pertama sih (kalau Mak Mariam gak dianggap). Kalian sudah tahu dong, kenapa bisa lama? Yah, nanti dijelasin di beberapa bab ke depannya.
Jangan lupa vote, kasih komentar, dan kasih tahu ke teman-temanmu kalau kalian membaca seri awikwok ini. Karena untuk saat ini, kalian gak pernah kan ketemu penulis seramah Kiprang, ehe.
Sampai jumpa nanti!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro