Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog

Prolog

Suasana saat itu sangatlah gelap dan mencekam. Langit tampak berwarna hitam kelam dan tak ada satupun lampu yang menyala. Jalanan tampak rusak, banyak bangunan pohon yang hancur lebur. Tak terdapat tanda-tanda kehidupan sejauh 100 mil dari tempat itu. Dalam jarak yang berdiameter 100 mil itu, terdapat sebuah gelembung tak kasat mata yang tipis menyelubunginya.

Di luar gelembung itu, terdapat banyak pasukan dengan senjata suci teracungkan pada gelembung itu dan grimore yang terbuka di tangan satunya. Percikan warna-warna yang timbul akibat bentrokan sihir yang mereka keluarkan menggunakan kekuatan penuh dengan gelembung itu terlihat kontras dengan apa yang ada di dalam gelembung raksasa itu. Sayangnya, tak peduli seberapa kuatnya kekuatan mereka, serangan yang mereka lontarkan tak menimbulkan efek apapun pada gelembung.

Di dalam gelembung, memang tak terdapat tanda-tanda kehidupan—kecuali berasal dari sepasang bernyawa yang tampak terluka parah. Raja penyihir saat itu, yang terakhir dari garis keturunannya, tergeletak lemas di luar bangunan rusak yang tak lain dan tak bukan adalah istananya sendiri. Nafas raja itu tersengal, tubuhnya penuh lebam dan luka menganga terdapat di bahu kirinya. Tatapan kebencian dan amarah yang raja muda itu lontarkan pada orang di depannya mulai goyah oleh rasa takut.

"J-jadi ini jawabanmu?" Suaranya ia keluarkan dengan susah payah.

"Ya, Gildas." Orang di hadapannya menatap raja yang nyawanya mulai merenggang itu tepat pada matanya. "Ini jawabanku."

Aliran adrenalin tiba-tiba mengalir di pembuluh darah Gildas. Raja penyihir itu tak mau mati di sini. Ia tak mau kehilangan tahta yang telah ia perjuangkan dengan mati-matian. Energi terakhir Gildas terkumpul pada satu titik, dan dengan gerakan tiba-tiba, petir menyambar dengan kuat ke segala arah.

Kekuatan angin yang Gildas ciptakan mampu mengoyak bahu kanan orang itu, yang kemudian jatuh limbung. Ia terjatuh berlawanan arah dengan Gildas, dengan kepala mereka saling tatap dan berdekatan. Orang itu terbatuk, mencipratkan darah kental ke lantai beton di bawahnya. Dengan susah payah, ia berhasil membuka matanya untuk menatap Gildas—yang matanya terbelalak ngeri serta mulutnya menganga lebar—dalam kondisi tubuh yang gosong dan sudah tak lagi bernyawa.

Gelembung raksasa itu goyah, dan seseorang dari kumpulan penyihir yang paling kuat di antara yang lainnya berhasil menerobos masuk dengan kepayahan. Penyihir itu segera menuju ke arah istana yang sudah hancur, di mana ia masih bisa merasakan sisa pertempuran yang terjadi.

Tubuh penyihir itu bergetar ketika ia melihat pemandangan di hadapannya. ia merasa lemas pada kakinya dan terjatuh bertumpu pada lututnya. Teriakan frustasi keluar dari penyihir itu. Dua sahabat yang sangat ia sayangi kini tegolek mengenaskan di hadapannya dan itu adalah salahnya.

"Memang harus begini, Philip." Kata-kata itu berhasil keluar dengan susah payah dari mulut orang itu. Sebuah senyum lemah tertoreh di wajahnya. "K-kau tahu ramalannya. Memang harus b-begini."

Penyihir yang bernama Philip itu menangis sesenggukan. Ia mengacungkan senjata sucinya ke arah orang itu dengan bergetar. "Kalau begitu, kau tahu apa yang akan kulakukan untukmu, kan?"

Orang itu menutup kembali matanya, seakan-akan sudah menunggu ajal menjemputnya. "Kalau begitu selamat tinggal, Cedilla Breve!"

Tepat pada saat Philip melontarkan sihirnya, petir yang kuat kembali menyambar dan membutakan semua orang dengan cahaya putihnya. Gelembung raksasa itu pecah dan menghilang, tetapi orang-orang masih terbutakan cahaya petir. Di saat pengelihatan Philip pulih dan menyisakan kegelapan semu, tak peduli seberapa banyak ia mengerjapkan matanya, hanya terdapat satu tubuh saja di hadapannya.

Penghianat yang telah membunuh keturunan terakhir dari Raja Penyihir, Cedilla Breve, telah menghilang di tengah-tengah kegelapan yang mulai kembali pekat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro