Bab 9. Ily Takut
"Bu, Pak, Delia berangkat sekolah dulu."
Gadis delapan tahun berseragam merah putih bergegas mencium tangan kedua orang tuanya lantas beranjak dari dapur sekaligus ruang makan. Sedangkan, Ily meneguk air dalam gelas hingga tandas. Saat hendak beranjak untuk mencuci piring kotor. Shinta menginterupsi kegiatannya.
"Duduk dulu sini, Ratna."
"Kenapa, Bu?" Ily menoleh sekilas, meletakkan piring kotor ke wastafel lalu kembali duduk di kursinya.
"Ibu liat kamu jadi pendiem banget tiga hari ini. Ada apa? Kalo ada masalah cerita sama Ibu sama Bapak."
"Iya, bener Na, kata Ibumu. Ada masalah dengan persiapan kamu?" Dipta menyahut.
Ia kembali angkat bicara, berusaha menebak keresahan anak gadisnya itu. "Apa Ratna pengen ikut les kilat UTBK? Apa ... lagi perlu beli buku?"
Kebungkaman Ily memancing pertanyaan lain dari ibunya, "Masalah kerjaan lagi?"
Dipta memusatkan atensi sejenak pada Shinta. Lalu kembali angkat bicara, "Daripada ganggu konsentrasi belajar. Mending Ratna keluar aja dari kerjaan. Gapapa, biar Bapak yang berusaha lebih keras lagi. Ratna yang penting sekolah aja dulu sampe lulus S1."
Ily menggeleng, tersenyum kecil lalu menjawab, "Ily cuma ngerasa makin gugup aja Pak, Bu. Karena bentar lagi UTBK."
Ily berbohong lagi, tentu saja. Ada banyak harap di balik setiap ucapan orang tuanya, Ily tentu tak ingin mengecewakan mereka. Meski semua sudah terjadi. Namun, Ily yakin bahwa selama hal itu tetap jadi rahasia. Maka semua akan baik-baik saja, tak akan ada yang terjadi. Tidak ada. Berulang kali kalimat itu Ily tanam dalam hati.
"Ratna harus semangat, belajar terus, jangan pikirin biayanya. Bapak bakalan usahain uangnya, kaya dulu bapak usahain mbak kamu kuliah." Kerutan di sekitar mata Dipta terihat sangat jelas ketika dia tersenyum.
Dada Ily bertalu kencang bercampur perasaan hangat. Andai malam itu Ily tidak melakukannya bersama Gravi. Mungkin saat ini ia akan tersenyum lebar tanpa perlu menahan debaran kekhawatiran ini.
"Ibu sama Bapak yakin, Ratna pasti bisa lolos SBM." Ily berusaha tersenyum setulus mungkin.
.
Tok tok tok.
"Mbak Naaa .... De mau pinjem hpnya boleh gak?"
Ily melirik ke pintu, adiknya sudah pulang sekolah. Berarti sudah hampir dzuhur. Ily membuang napas panjang, bangkit dari tengkurapnya. Meraih ponsel di meja. Dibukanya sedikit pintu, tangannya terulur keluar lantas menyerahkan benda itu pada Delia tanpa menampakkan diri apalagi wajahnya.
Terdengar seruan riang di balik pintu. "Nanti jam satu hpnya Mbak Na bawa kerja, ya," pesan Ily.
"Iya, makaseee ... Mbak Na."
Ily menjawab dengan bergumam. Tak lama, suara cemprengnya menghilang begitu saja. Ia yakin adik kecilnya itu pasti sedang menjaga warung nasi ibunya.
Ily melangkah mendekat pada cermin di sisi meja belajar. Mata bengkak dan sembab terlihat sangat kentara. Dia meneliti setiap inci wajah, leher, bahu, dada, sampai ke ujung kaki. Ily sudah menodai dirinya sendiri. Ia bahkan membiarkan Gravi menyentuh setiap bagian tubuhnya dengan mudah. Merasa lebih hina lagi, karena ia menikmati semua sentuhan itu.
Kelopak Ily terpejam, rambut panjangnya ia tarik sekuat tenaga. Isak tangis tertahan membuat punggung Ily bergetar. Tubuhnya lunglai dan jatuh terduduk di lantai. Dalam benak ia menjerit, berharap agar Tuhan tak menjadikan dia hamil. Itu saja doa Ily selama ini. Sebab jujur saja, Ily tak siap menerima cemoohan, gunjingan, kucilan, bahkan lirikan sinis orang-orang. Ia tak bisa menanggung rasa malu sebesar itu.
Pintu diketuk lagi. Kali ini suara Shinta mengiringinya. "Na, makan dulu udah mau jam dua belas tuh. Jam satu kamu berangkat kerja kan?"
"Iya, Bu."
"Ya sudah." Shinta berlalu dari depan kamar Ily setelahnya pamit pergi sholat di masjid.
Ily berdiri, mengusap air yang membasahi pipinya. Meraih handuk lalu bergegas menuju dapur. Ia harus menyempatkan waktu untuk mengompres matanya dengan air dingin. Ily menuang air ke dalam baskom, lalu melesat masuk ke kamar mandi. Ibunya tidak boleh sampai tau kalau ia habis menangis seharian ini. Ily tak mau dicurigai.
***
Hari Rabu, cafe tak seramai hari jumat sampai minggu. Ily bahkan sampai duduk termenung di dapur. Terlalu banyak permasalahan yang tumpang tindih di dalam kepalanya.
"Heh! Mbak bro." Khansa menepuk bahu membuyarkan lamunan Ily. "Enggak mau pulang?" lanjut Gadis berhijab itu.
"Jangan ngelamun di sini, kalo kesurupankan repot." Tawa ringan Khansa tak sedikit pun menggeletik kotak tertawa Ily untuk ikut terbuka juga.
"Noh, dicariin mas-mas ganteng." Telunjuk Khansa mengarah pada salah satu meja pengunjung. Cowok yang mana. Ily masih belum melihat satu pun orang yang ia kenal.
"Siapa, sih?"
Khansa memasang wajah malas plus datar andalannya. Sejak pertama melihat ekspresi milik Khansa yang satu itu, Ily tak pernah gagal dibuat tertawa. Begitu juga saat ini.
"Naaah, gitu dong ketawa. Noh, di meja luar orangnya." Ily melihat ke meja yang Khansa maksud.
"Pacar lo, ya?"
Hah, apa Gravi datang ke cafe. Satu naman itu yang terbesit di kepalanya. Ily tak bisa memastikan siapa orang di depan sana.
"Yaudah gue ke belakang dulu. Makasih ya, Sa."
Jika memang di depan sana adalah Gravi. Apa yang akan Ily ucapkan pada lelaki itu. Dan lagi, kira-kira apa yang akan Gravi bicarakan.
Dugaan Ily salah. Bukan Gravi yang saat ini duduk di hadapan Ily. Namun, saudara tiri pacarnya. Iya, Halim lagi. Bukan Ily sudah bosan bertemu laki-laki itu, tapi Ily merasa Halim selalu ada di saat-saat tidak beruntungnya.
"Lo ngelamu mulu. Kenapa, sih? Marahan lagi ama Gravi?"
Ily menggeleng. Keheningan tercipta di antara mereka, sampai-sampai hembusan napas pelan Ily bisa di dengar Halim. Lima menit lagi jika Halim tak memiliki hal yang perlu dibicarakan. Maka Ily akan pulang saat itu juga.
"Gue rasa hubungan lo ama Gravi baik-baik aja."
Iris Ily terpaku pada wajah Halim. Laki-laki ini mengingatkan Ily akan hubungannya dengan Gravi. Baikkah atau memburuk. Dia tak tahu persis hal itu.
"Thank's udah mau ngabisin waktu lo di galeri. Untuk fans yang kagum banget ama lukisan gue. Lo mau tanda tangan gue ditaro di mana?"
Halim tersenyum dengan penuh percaya diri. Sedangkan Ily, memandang orang di depannya dengan tatapan dan senyum jenaka. Eh, tapi tunggu sebentar, dari mana Halim tau kalau dia dan Gravi berkunjung ke galeri.
"Gravi yang kasih tau Kakak?" Kepala Halim menggeleng.
"Gue liat rekaman CCTV."
Bola mata Ily melebar sempurna. Ah, malu sekali rasanya. Ily banyak melakukan kontak fisik dengan Gravi saat di galeri.
"Romantis banget, ya." Halim mencoba menggoda Ily. Sayangnya, tak ada respon apa pun dari gadis itu.
"Sekarang ketauan deh kalo lo ngefans ama gue."
Tangan Halim terlipat di depan dada, sebelah alisnya tertarik ke atas sesekali mengedipkan kelopak. Ily tersenyum kecil, sedikit terhibur. Meski begitu, tetap saja Ily ingin sendiri untuk saat ini.
"Aku pulang dulu, Kak." Ily langsung bangkit dari duduk, melangkah meninggalkan pelataran cafe.
Baru beberapa langkah, kepala Ily menoleh ke belakang. Ada Halim berdiri tepat di belakangnya sambil tersenyum lebar. Dia membuntuti Ily.
"Gue temenin lo nunggu bis."
Malam harinya ketika semua anggota keluarga duduk bersama di ruang tamu. Ily terpaksa berkumpul bersama, tidak lain karena ia tidak ingin Shinta curiga. Ily hanya diam memandang kosong televisi, sedangkan telinganya terus aja mendengarkan percakapan antara orang tuanya dengan sang kakak.
"Disti gimana kerjaan kamu, lancar?" tanya Dipta pada anak sulungnya yang masih berkutat dengan laptop.
Disti menghentikan gerakan tangannya di atas keyboard, terdiam sejenak lalu menoleh sambil menjawab, "Alhamdulillah, Pak. Kerjaan Disti lancar."
Shinta menyahut, "Disti udah ada rencana buat nikah? Ibu kok nggak pernah lihat kamu bawa cowok ke rumah."
"Benar kata ibu. Bapak setuju aja kalau kamu mau nikah. Lagian umur juga udah pas," timpal Dipta.
"Disti enggak pacaran dulu, Bu. Ya ada sama cowo deket gitu, tapi baik Disti atau dia sama-sama mau fokus berkarir. Disti juga pengen bantu Ibu sama Bapak dulu."
Dari sudut mata, Ily melihat kakaknya tersenyum dengan pandangan terfokus pada layar laptop. Sedangkan dia, mati-matian menahan rasa tidak nyaman dengan topik yang diangkat Ayah dan Ibunya. Ily jadi merasa bersalah, jika dibandingkan dengan sang kakak. Ily merasa dia bukanlah anak yang baik, terlebih setelah kejadian di apartment Grafi.
"Na, kok diem aja dari tadi," teguran sang ibu membuyarkan pikirannya.
"Ratna agak ngantuk, Bu," Ily berkilah lagi.
"Oh, yaudah, Ratna tidur sana. Delia juga tidur, besok masih sekolah."
Titah dari Shinta tak pernah terbantahkan. Setelah mengembalikan ponsel pada pemiliknya. Delia langsung beranjak menuju kamar begitu juga dengan Ily.
Ily melemparkan tubuh tengkurap di kasurnya. Ia tersedu di atas bantal. Ily hanya takut jika dirinya hamil. Kalau itu sampai terjadi, tak akan ada yang baik-baik saja. Hidupnya pasti akan hancur, orang tua murka, ia akan malu.
Ya Allah, jangan buat Ily hamil, teriak Ily dalam hatinya.
***
Dapur tempat Ily bekerja ramai. Koki utama menghilang sejak tadi dan banyak pesanan yang belum siap. Rendi sekarang kalang kabut, berlarian ke sana ke mari. Di sebrang Ily, lelaki berkacamata itu masih berdiri gusar dengan ponsel di telinganya.
Bukan karena apa-apa sang koki kami tak ada di depan kompornya. Hanya saja, Kak Anjani tidak kuat berada di depan aroma masakan yang bahkan sudah ia hadapi sejak dua tahun belakangan. Penyebab utamanya adalah dia sedang hamil muda, ia berakhir mual lalu memuntahkan isinya setiap kali ia mendekat pada kompor.
Walhasil, saat ini cafe ditutup. Semua pekerja menganggur. Bersih-bersih ruangan sudah, lalu apa lagi. Nada menarik tangan Ily dan mengajaknya duduk di bangku panjang dekat loker pekerja.
"Gue udah feeling sih, kalo dia hamil." Nada membuka percakapan. Ily hanya melihat ke arah gadis berambut pendek itu.
"Dari seminggu lalu aja, dia lemes lesu mulu." Ily melirik lagi. Merekam baik-baik setiap kalimat Nada.
"Dia hamil ama pacarnya tau, Ly." Yang diajak begosip masih tetap membisu.
"Ih, kok lo diem aja sih, Ly. Bisanya juga nyamber kalo gue lagi bawa hot news."
Gadis dengan rambut kuncir kuda itu menyengir lebar. Topik yang Nada angkat, bukan topik yang menyenangkan untuk Ily bicarakan. Rasanya sama saja mengingat masalah sendiri. Bukankah, Kak Anjani dengan Ily tak jauh berbeda. Membahas topik ini sama saja membuat Ily semakin terbebani.
Ia beranjak, mengambil tas dari loker. "Gue pulang dulu, ya, Nad."
Tak ada alasan Ily tetap di cafe. Rendi sudah memulangkan semua pekerja. Entah besok Ily masuk kerja atau tidak. Sebab cafe hanya akan beroperasi setelah Rendi mendaptkan ganti Kak Anjani.
Kali ini, Ily pulang dengan balutan seragamnya. Jadi seperti itu, kalau Ily hamil. Dia akan jadi hot news disekitar orang terdekatnya.
Ah, tidak. Ily tidak akan mengalaminya, yakin Ily dalam benaknya.
Bersambung ....
9 Oktober 2020
01.49 WIB
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro