Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6. Apartment Gravi

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Mana ada cinta hilang karena sebuah kesalahan, yang ada malah kesalahan itu akan selalu termaafkan."

~~•~~

Di bawah lampu berdaya lima watt bernyala temaram, Ily meneliti setiap inci wajah melalui cermin di wadah bedak. Air muka kuyu, mata lebar juga sayu, bibir yang hampir menyerupai garis, pipi berisi, dan dagu jauh dari kata lancip. Tiba-tiba saja ia merasa insecure dengan penampilan ala kadarnya ini. Perempuan di foto itu jelas jauh lebih jelita dibandingkan Ily.

Helaan napas kecil melintas. Gadis itu menyapu sekilas bedak ke wajah, memoles kembali bibir dengan lipgloss. Setidaknya begini lebih baik, samar-samar warna merah jambu kembali melekat pada bibir tipis Ily.

Tangannya membetulkan sekali lagi kunciran rambut, kemudian melangkah keluar dari bilik kamar mandi pekerja.Saat dia hendak mencangklong tas, sebuah getaran dari gawai mengurungkan niatnya.
Ada pesan dari Gravi.

🖤💖
Aku udh sampe cafe, di meja pojok sbelah barat

Mencengkram kuat ponselnya, Ily mulai berjalan melewati ruang loker. Hingga sanpai di dapur, Ily berhenti mematung sejenak. Itu dia, lelaki dengan hoodie maroon duduk di pojok bersama seorang perempuan dengan baju maroon juga. Serasi sekali, sungguh kebetulan yang menyebalkan bagi Ily.

"Woi, Ly ... lo udah mau pulang?"

"Heem."

"Eh, lo liat gak tuh, di meja pojok yang pake baju garis-garis." Nada mengacungkan tangan berusaha menunjuk arah yang ia maksud pada Ily.

"Iya, kenapa?"

"Itu cogan yang pas itu nyariin lo. Kira-kira ngapain, ya, dia duduk berdua ama Bianca."

"Hah, Bianca?" Pekikkan lirih Ily dibalas anggukan oleh Nada. Jadi ... yang selama ini menjadi saingan Ily adalah Bianca-boss Ily sendiri.

"Yaudah Ly, gue ke dalem dulu. Hati-hati di jalan."

Saat Ily sampai di meja pojok, kedua anak manusia itu sedang tersenyum lebar. Berbincang asik dengan penuh keakraban. Rasanya seperti ada puluhan karung beras yang menghantam dadanya, nyeri sekali. Belum apa-apa saja, matanya mulai bersiap mengeluarkan cairan. Ily benci dirinya yang terlalu cengeng.

"Akhirnya, Ly, kamu dateng juga."

Disaat yang bersamaan, Bianca memutar kepala dan menyapa Ily dengan sebuah senyuman. Ily membalas tersenyum kecil.

Gravi menarik kursi di sisi lain meja, lalu Ily duduk di sana. Suasana mendadak hening. Lebih baik begini, Ily tak perlu susah-susah memutar otak untuk memilah kata yang halus. Sulit sekali berbasa-basi memasang wajah ramah pada orang yang menjadi akar dari segala masalahnya dengan Gravi.

"Ly, ini Bianca temen kampus aku. Kita satu jurusan."

Wajah dengan polesan bedak tipisnya mau tak mau menoleh pada Bianca. Dengan terpaksa, kedua ujung bibir Ily melengkung ke atas. Lihat, kacamata berframe hitam dan lebar itu bahkan tak mampu melenyapkan kecantikan wajahnya.

"Hai, Ily. Aku gak nyangka kamu pacarnya Gravi."

Ily tersenyum kecut. Sepertinya Bianca mau bilang kalau Ily tak pantas dengan Gravi. Hanya itu yang bisa Ily tangkap dari kalimat Bianca.

"Maaf karena aku membuat kalian berdua bertengkar, tapi sungguh, aku gak ada hubungan apa-apa sama Gravi. Dan foto itu gak seperti keliatannya."

Semakin Bianca bilang begitu, semakin Ily merasa benar-benar tersaingi. Gak ada hubungan apa-apa aja asiknya kaya gitu kalo lagi ngobrol. Sampai-sampai Gravi banyak tersenyum didekat Bianca. Ily geram, dadanya semakin penuh, dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu.

"Maafin aku, ya, Ily."

Bianca mengulurkan tangan. Untuk beberapa detik Ily hanya melihatnya, enggan sekali untuk menyambut jabatan tangan itu. Namun demi kesopanan, Ily menggenggam tangan putih Bianca diiringi senyuman manis terbaiknya.

Pertemuan berlangsung singkat. Bianca beranjak dari meja, rambut grlombangnya bergoyang sepanjang langkahnya keluar dari cafe. Sekarang apa, hening menyelimuti lagi. Ily tak semahir Bianca yang berhasil membuat Gravi tersenyum lepas.

"Apa lagi sekarang, ada yang mau kamu tanyain ke aku?"

Gelengan Ily mengundang raut kecewa Gravi. Entah kenapa, Ily merasa Gravi tak pernah benar-benar berusaha untuk memahami dirinya. Sejak dulu lelaki itu selalu saja menyuruh Ily bicara apa masalah mereka. Kelihatan bukan kalau Gravi tak mau meluangkan waktunya walau sekadar untuk memahami masalah mereka.

Tangan Gravi meraih telapak Ily. "Cinta aku ke kamu, berbeda dengan keakraban aku ke Bianca."

"Kamu paham, Ly?" Yang ditanya mengangguk samar.

Sejujurnya, Ily tak bisa menangkap maksud kalimat tak berkesimpulan milik Gravi. Berbeda gimana? Ya Tuhan, kenapa dirinya bisa mencintai lelaki yang bahkan disetiap ucapannya tak pernah bisa Ily pahami.

"Besok aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Bisa?"

Besok kebetulan jadwal libur Ily. Harus ya, Ily menerima ajakan Gravi padahal hatinya sekarang ini sedang bimbang-bimbangnya. "Besok, aku kabarin kamu aja ya, bisa apa enggak."

Dada Gravi merosot. Untuk yang kesekian kali, Ily menggantungkan lagi ajakannya keluar. "Kalo gitu, kita makan dulu, apa langsung pulangn"

"Aku mau pulang." Ily tak bernapsu untuk menyantap makanan apa pun saat ini.

***

Pukul 15.48 WIB

"Kak Na, hpnya nih, ada yang telpon." Adik satu-satunya itu menggerutu sebal. "Padahal baru sebentar Delia mainannya."

Ily menoleh pada Delia yang sudah menaruh gawai Ily di meja makan. Ditinggalnya sejenak aktivitas mencuci piring, membasuk kedua tangan guna menyingkirkan busa, lantas ia menjawab panggilan itu.

"Ly, aku udah di masjid. Aku tunggu. Kamu bisa kan?" Iya, yang menelpon dia adalah Gravi.

"Oke, 15 menit ya."

Panggilan terputus, Ily segera menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Sembari berpikir alasan yang tepat untuk bisa keluar sore ini. Kebetulan sekali, Shinta ada di dapur.

Ily menata piring terakhir di rak. "Bu Ily, mau keluar sore ini sama Mega sama Gita. Gita ulang tahun, mau rayain di rumahnya. Gapapa kan, bu?"

"Iya, asal pulangnya gak lebih dari jam sembilan." Ily bersorak dalam hati.

"Yaudah bu, Ily mau ganti baju dulu. Mau langsung berangkat."

Terbesit rasa bersalah karena membohongi sang ibu. Namun, sisi lain dirinya meyakinkan tak apa-apa. Toh tak akan ada bedanya mau keluar dengan Mega&Bita ataupun dengan Gravi.

Setelah lima belas menit saling membisu di dalam Grab. Di sinilah Ily, berdiri di pelataran apartment berlantai 15. Apa Gravi berencana untuk mengenalkan Ily pada teman-temannya.

Gravi mengajak Ily masuk ke lobby apartment. Memasuki salah satu kotak besi yang akan mengantar mereka ke lantai 13. Iya, Gravi baru saja menakan angka tadi.

"Mau ke apartnya siapa?"

Gravi tersenyum lebar, menautkan kelima jarinya dengan jari kanan milik Ily. "Apart aku dong."

Hah! yang benar saja. Kata Gravi, orang tuanya pilih kasih. Orang tua Gravi menolak membelikan dia motor, tapi Gravi dibelikan apartment. Apa ini, kenapa Ily jadi bingung.

Gadis itu sedikit mendongak, berusaha mencari kebenaran lewat sorot mata Gravi. Sepertinya memang serius. Ada apa di apart lelaki ini, apa dia sudah menyiapkan sebuah kejutan.

Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Gravi menarik Ily berbelok ke kiri. Tak jauh dari lift-hanya sekitar 20 meter-berdiri lah sepasang paruh baya yang sepertinya mengenal Gravi. Oh, apakah mereka Ibu tiri dan ayah Gravi.

"Ngapain ke sini?" Gravi melepas tautan tangan mereka.

Ily ternganga, kalimat tanya serupa pengusiran yang dilontarkan Gravi barusan sangatlah kasar untuk diucapkan kepada laki-laki setua ayahnya.

Pria bersetelan jas hitam hanya diam, sedangkan wanita yang memakai dress rumahan bewarna navy mendekat pada Gravi. "Mama, kangen kamu. Kenapa gak pernah ke rumah lagi?"

Gravi mundur selangkah, menghindar dari ibu tirinya yang berusaha merengkuh sang anak. "Saya gak ada urusan menginjakkan kaki ke sana. Udahlah gak usah sok perhatian."

"Gravi! Kemana sopan santun kamu, hah?"

Suara bentakkan milik pria berumur 48 tahun itu menggema di seluruh koridor apartmen. Gravi menunjukkan senyum miring tanpa ragu. Dagunya ia angkat tinggi-tinggi.

"Dia," Gravi mengacungkan tangan, "bukan siapa-siapa, aku tak perlu repot menghormatinya."

"Kamu! anak kurang ajar."

Di tengah usaha menahan lengan sang suami, derai air mata mengucur deras menetes di ujung dagu wanita berbaju navy. Ibu tiri Gravi sepertinya dia tidak sedang berakting. Getaran di setiap suara dan sorot mata sendunya, Ily pernah melihat itu di mata ibunya sendiri. Dulu sekali, saat Kak Disti terbaring di rumah sakit setelah megalami kecelakaan parah. Hati ibu berbaju biru itu benar-benar menangis, Ily yakin.

"Mama seneng liat kamu sehat-sehat aja," bibirnya tersenyum di tengah usaha wanita itu menahan isakkan. Ia memegang tangan sang suami, melangkah ke depannya.

"Jaga kesehatan, jangan kecewakan ayahmu. Tetap jadi anak yang berprestasi. Mama selalu doain yang terbaik buat Gravi."

Ily tak menyangka akan melihat pertengkaran keluarga ini. Gravi yang Ily kenal semasa SMA adalah murid teladan yang patuh dengan ucapan gurunya. Tidak banyak merusuh dan bertingkah yang bisa mencoreng nama seorang Gravi. Ternyata selama ini, Ily belum mengenal sisi gelap dari Gravi.

"Ayo masuk, Ly."

Setelah menekan beberapa kombinasi tombol, lantas pintu terbuka, dan Gravi menyilahkan Ily untuk masuk. Di dekat pintu, Ily menata flat shoesnya di rak sepatu. Melangkah ke kiri dari ambang pintu, ada sofa coklat lengkap dengan meja.

Gravi menunjuk pintu yang bersebrangan dengan seperangkat sofa coklat tadi. "Kamar itu, studio musik mini aku."

Di ujung tembok, Gravi berbelok ke kanan. Ily terperangah dalam hati. Ruangan ini tak bersekat tembok, tapi sangat luas. Bahkan mungkin Delia bisa bermain lompat tali dengan temannya di tengah ruang ini. Haha.

Di pojok kiri Ily, ada satu set pantry mini dan meja makan empat kursi. Hanya sepertinya perabotan masak milik Gravi tak begitu lengkap. Bergeser ke samping, ada dua pintu lagi, Ily tak tau ada ruangan apa di sana.

Gravi menunjuk dua pintu lainnya di sisi kanan Ily. "Yang itu ruang fitness aku. Terus kamar yang pojok di sebrang tv, itu baru kamar aku."

"Kamu duduk aja dulu di sana, nyalain tvnya. Aku mau mandi dulu."

Setelah Gravi menghilang di balik pintu kamar mandi yang ada di dekat dapur. Dua sisi apartment Gravi berdinding kaca, Ily mendekat melihat pemandangan kota kecilnya. Terang namun hampa, frasa yang cocok untuk menggambarkan tempat ini.

"Masih aja berdiri di sana."

Ily lantas menoleh ke belakang. Gravi sudah di sana dengan kaos dan celana panjang hitam. Ily segera menyusul, duduk di atas karpet dan bersandar pada sofa putih.

"Cepet banget mandinya."

Gravi menoleh, menggeser duduknya menghapus jarak di antara mereka. "Kamu yang kelamaan ngelamun." Ily diam saja, pemandangan langit sore hari ini terlalu sayang untuk dilewatkan.

Saat Gravi menjatuhkan kepala di bahu kanan Ily, perempuan itu lantas memekik, "Ih, rambut kamu basah. Sana!"

Gravi terkekeh, menyodorkan sebuah handuk kecil. "Keringin, dong."

Ily menerima benda itu dan melakukannya sesuai dengan keinginan Gravi. Harum manisnya coklat menusuk indra penciuman Ily. "Kamu masih suka baunya, kan?"

Ily tersenyum sekilas, jadi ini yang ingin Gravi tunjukkan. Dia berniat mengingatkan Ily, saat pertama kali dirinya memuji wangi rambut Gravi saat jaman SMA dulu.

"Manis ya, bau rambut kamu. Ngalah-ngalahin harumnya gulali pink rambut mak lampir ini," ucap Gravi menirukan.

Ily terkekeh, itu dua tahun yang lalu. Dan Gravi masih mengingatnya. "Dah." Ily menyerahkannya kembali pada Gravi.

"Makasi, mbem." Dan itu, julukan yang pernah Gravi berikan untuknya saat jaman SMA dulu.

"Aku seneng, kamu gak nolak ajakan aku kali ini." Baik Gravi atau pun Ily sama-sama memandang jauh ke luar jendela.

"Apartment ini juga bagian dari rahasia aku. Gak pernah ada yang aku ajak ke sini. Baru kamu."

Memalui ekor matanya Ily melirik ke kanan, Gravi sedang tersenyum hambar. "Semenjak SMA aku udah tinggal di sini. Semua bermula sejak mama meninggal. Aku masih kelas 3 SD pas itu."

Jadi selama ini aku dibohongi, batin Ily. Kecewa rasanya, tapi Ily mencoba memahami. Mungkin sulit bagi Gravi untuk menceritakan kenyataannya.

"Tiga bulan berselang kematian mama. Rajendra-ayahku menikah lagi dengan wanita bernama Nura itu. Aku mulai berani memberontak ketika SMP. Tiga tahun itu, terlalu banyak pertengkaran yang terjadi antara aku dengan kedua orang tadi."

Tiba-tiba Gravi tertawa hambar. "Aku selalu berakhir dipukuli setelah membuat istri keduanya itu menangis hanya karena mendengar kata-kataku."

Ily terdiam saat Gravi tiba-tiba menangkup wajah Ily dengan kedua tangan. Rahang Gravi mengeras, mata beralis tebalnya melebar sempurna.

"Gak mungkin kan seorang ibu tiri peduli dengan ucapan anak orang lain yang bukan darah dagingnya." Gravi lalu melepas tangannya dari wajah Ily.

Fokusnya kembali pada langit yang bertumpahkan semburat jingga. "Wanita bermuka dua itu cuma pengen ngeliat aku tersiksa. Dia berhasil nyingkirin aku dari rumah itu. Sementara Halim, anak kandung dia, jadi anak kebanggaan Rajendra juga. Beruntung, pas aku minta buat tinggal di apartmen, Ranjendra menyanggupinya.

Setahun, aku perlu menyesuaikan diri di sini. Berat memang, tapi ini lebih baik daripada melihat wanita itu bekeliaran di rumah menggantikan semua pekerjaan yang pernah mama lakukan. karena sampai kapan pun, aku gak akan pernah nerima dia sebagai mama aku."

Ily terhenyak, hanya bisa membisu, terlalu banyak rahasia yang Gravi bongkar. Ia tak pernah menyangka Gravi merasakan kesakitan yang begitu banyaknya.

"Maaf, aku berbohong waktu itu. Aku bukan pemuda sempurna seperti yang kamu katakan dulu. Semua keputusan ada di kamu, mau tetap mencintai aku atau memilih berhenti mencintai orang ini."

Mata Ily kontan terpejam, apa-apaan Gravi. Memangnya melenyapkan perasaan semudah menghapus coretan pensil dengan penghapusan. Mana ada cinta hilang karena sebuah kesalahan, yang ada malah kesalahan itu akan selalu termaafkan.

Apa maksud Gravi mengatakan hal itu, batin Ily.

Bersambung ....

Aku punya foto yang bikin Ily iri setengah mateng.

🙄 ho oh, saking panasnya dada dia, hatinya jadi hampir mateng.

//lirik sinis

Apasih, gaje!

Cans gak? BTW, hidung dia kayanya bisa dibuat prosotan anak cicak. Aku pengen masaaa :v

See you next part. Thank you, buat yang udah mampir baca.

6 Oktober 2020
03.25 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro