Bab 37. Selamat Tinggal Sayang
Ily mengunyah pelan bubur dari sendok yang ibu Nura sodorkan. Rasanya tidak enak, hambar. Suiran ayam pun juga begitu, tidak ada gurih-gurihnya sama sekali. Ily mengeluh dalam hati. Sebenarnya ini makanan orang sakit atau apa sih. Menunya sama sekali tidak membangkitkan selera makan.
Ily mengelus permukaan perut. Sejak ia tersadar empat jam yang lalu, janinnya ini tak menendang sedikit pun. Apa dia juga kaget dengan kejadian tadi, ya.
Ily menengok pada ibu metuanya. “Ma, Gravi ke mana? Kenapa dia gak ke sini ke sini.”
Kata ibu mertuanya, Ily menelpon sekitar pukul sebelas siang. Dan siuman pukul setengah dua tadi. Jadi, sudah sekitar tujuh jam Ily di sini. Namun, tak ada siapa pun kecuali ibu Nura saja.
“Halim lagi jemput dia, nanti juga ke sini.” Ily mengangguk saja.
“Ma?” dia memanggil ibu mertuanya lagi.
“Hmm, ada apa?”
“Orang tua Ily ... apa udah tau, Ma?”
Nura mengulas sebuah senyum. “Udah, lagi disusul sama Halim.”
Ah, ternyata Halim menyusul banyak orang. Pantas jika dia lama sekali keluarnya. Ily melihat lagi pada wajah ibu mertuanya, lelah dan kuyu. Sepertinya dia kelelahan menjaga Ily.
“Mama pulang aja, mandi, makan, istirhat. Ily gak apa-apa kalo sendirian, lagian kan Ily masih bisa ngelakuin semuanya.”
“Ily, mama juga gak masalah di sini. Ah, iya papamu gak bisa dateng jenguk karena dia lagi di luar kota.”
Cklek
Pintu terbuka, bahu Ily turun. Bukan Gravi yang datang, tetapi saudra kembarnya. Halim mendekat memegang bahu Nura.
“Mama sholat aja dulu, Halim udah selesai.”
Kepala berambut pendek Nura mengangguk sekali. “Ya udah, jagain bentar ya.” Lantas sosoknya hilang di balik pintu coklat.
“Masih lemes, Ly?”
Halim menggeser kursi mendekat pada ranjang pasien. Dia menatap sang adik ipar dengan mata sayu. Ily menggeleng, tangannya mengelus perut buncitnya lagi.
“Oh, iya.”
Ily menoleh dengan anatusias dan mata berbinar, Ily melontarkan satu pertanyaan. “Gravi udah di sini? Dia lagi sholat?”
Geleng Halim menjawab pertanyaan Ily. Sayangnya, mengharapkan kedatangan Gravi adalah sebuah kekecewaan yang Ily lakukan berulang kali hari ini.
“Gravi gak di kampus, HP-nya juga gak aktif. Mungkin dia lagi di tempat lain.”
Kemana lagi, sih, Gravi. Ily menghela napas panjang. Kira-kira Gravi akan sekaget apa melihat apartment-nya yang kotor. Darah Ily pasti tercecer di mana-mana.
“Kalo ibu sama bapak aku gimana? Katanya mama, Kak Halim jemput mereka juga.”
“Iya, mereka bakal dateng. Bentar lagi paling sampe. Ibu lo gak bareng gue karena masih nunggu bapak lo pulang kerja.”
Halim meraih jeruk di meja sebelah ranjang. Mengupas, lalu mnyodorkannya pada Ily.
“Kak Halim, maaf kalo aku nyusahin kak Halim seharian. Terus mobil kakak juga pasti kotor gara-gara darah aku.”
Tangan Halim mendorong pelan kening Ily. “Halah, pake sungkan segala. Kaya ama siapa aja.”
Ily memanyunkan bibir melihat tawa Halim yang pecah. Dia kembali mengelus perut, menunggu respon berupa sebuah tendangan halus yang beberapa jam ini ia nanti-nantikan. Beruntung tak ada apa pun yang terjadi pada janinnya.
Pintu di buka lagi, kali ini yang masuk lebih banyak. Ibu mertuanya, bapak, ibu, dan Kak Disti. Rupanya Gravi belum datang juga.
Shinta berlari menerjang Ily. Memeluk anaknya lama, isak tangis juga turut menyertainya. “Nak, gimana keadaan kamu?”
Ibunya melerai pelukan. Ily tersenyum meneliti dengan seksama wajah wanita yang sangat ia rindukan belakangan ini. “Seperti yang ibu liat. Ratna gak apa-apa.”
Dipta turut mendekat pada anaknya. Dia mencium lama kening Ily. Tersenyum sekilas lantas berujar, “Bapak gak pernah benci sama Ratna. Kapan pun Ratna mau main ke rumah, main aja.”
Ily menatap satu persatu pada semua orang yang berdiri mengelilinginya. Di dekat kaki ranjang, Kak Disti tersenyum. Mengangkat satu kepalan tangannya, seolah memberi semangat.
Jadi, ini hikmah di balik kejadian tadi siang. Semua orang kembali seperti dulu. Ily senang, tak ada lagi hal yang perlu dikhawatirkan.
Seakan tak ada habisnya, pintu kamar rawat Ily kembali terbuka. Kali ini dua orang berpakaian putih. Seorang dokter dan seorang perawat.
Halim menyingkir dari sisi samping ranjang, ke sisi kaki ranjang. Berdiri di samping kiri Ily, dokter itu tersenyum menanyakan apa yang Ily rasakan saat ini.
“Gak ada, Dok. Saya merasa sehat.”
Dokter itu melebarkan kelopak mata seraya tersenyum. Tangannya sibuk melilitkan manset tensi meter di lengan kiri Ily.
“Bagus, saya bersyukur kalau begitu keadaannya. Tetap dijaga pola makannya. Semakin sering makan, semakin mudah untuk kembali pulih.”
“Lalu bagaimana, dengan janinnya apa dia aktif bergerak?”
“Enggak dok, dari siang pas saya siuman, saya udah gak ngerasain tendangan halus lagi. Apa ada masalah dok dengan itu?”
Dokter perempuan itu mengangguk dengan tatapan terfokus pada tensimeternya. Ia melepas manset dari lengan Ily.
“Ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan pada pasien dan keluarganya.”
Ily terdiam. Dia menatap satu-satu pada semua orang. Tak ada yang bereaksi apa pun.
“Dari hasil pemeriksaan tadi siang, dengan berat hati saya memberitahukan, kalau bayi yang ada di dalam rahim pasien sudah meninggal dunia.”
Seperti ada ribuan volt listrik yang menjalar di sekujur tubuh Ily, ia lemas. Punggungnya kontan tersandar di kepala ranjang pasien. Dari yang Ily lihat, tak satu pun dari kelima orang di hadapan Ily yang terkejut. Apa hanya dia yang baru tahu. Jadi, mereka semua merahasiakan hal ini darinya.
“Dari pemeriksaan denyut jantung bayi dengan doppler sekaligus ultrasonografi tidak sedikit pun menunjukkan adanya denyut jantung si bayi. Pergerakan juga sudah tidak terdeteksi.”
“Pasien dinyatakan mengalami kelahiran meninggal,” jelas dokter itu.
Air mata lolos dari kelopak mata. Memegang permukaan perutnya, Ily masih tak percaya, jika calon anaknya dan Gravi sudah tiada.
“Kelahiran meninggal atau stillbirth adalah istilah untuk bayi yang meninggal di dalam kandungan setelah usia kehamilan 20 minggu, tetapi sebelum proses persalinan terjadi.”
“Apa yang menjadi penyebabnya, Dok?” tanya Halim.
“Tidak ada penyebab yang pasti. Namun, ada banyak faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya stillbirt, dua diantaranya hipertensi dan perdarahan. Persis seperti yang dialami pasien. Ada kemungkinan dua hal itu pemicu terjadinya stillbirth pada pasien Ily.”
“Tapi sekali lagi saya tekankan, tidak ada penyebab yang pasti dalam kasus stillbirth.”
Dokter itu memegang bahu Ily. “Kejadian stillbirth, hampir selalu tidak dapat dicegah dan bukanlah salah siapa-siapa.”
Kepala Ily menunduk. Hal ini sudah jelas terjadi karena kesalahan dan keteledorannya. Perdarahan itu. Andai Ily lebih bisa berhati-hati. Semua ini tak perlu menimpanya.
“Pada pasien stillbirth, hal yang penting dilakukan adalah segera melahirkan bayinya. Karena kalau janin yang sudah meninggal terlalu lama berada dalam rahim. Ibu berisiko mengalami koagulasi intravaskular diseminata atau DIC. DIC ini adalah suatu kelainan pembekuan darah yang bisa menyebabkan ibu mengalami perdarahan dan sumbatan pada pembuluh darah pada waktu bersamaan.”
Ruangan hening, tak ada satu pun yang angkat bicara.
“Karena umur kehamilan sudah menginjak 28 minggu juga tak ada kondisi yang membahayakan, pihak rumah sakit menyarankan kepada pasien untuk melahirkan secara normal. Dengan melakukan induksi persalinan.”
“Semisal pasien tidak ingin melakukan persalinan secara normal, bisa dilakukan caesar. Namun, saya sendiri tidak merekomendasikannya. Karena waktu pemulihan persalinan caesar lebih lama dari persalinan normal.”
“Pasien Ily.” Si empunya nama mendongakkan kepala.
“Tidak perlu tergesa, pikirkan dengan benar apa yang ingin dilakukan selanjutnya. Paling lambat dua hari dari sekarang. Namun tetap, lebih cepat memutuskan akan lebih baik.”
Dokter itu tersenyum pada semua orang, kemudian pamit meninggalkan ruangan. Suasana benar-benar menjadi hening. Ily menututp wajah dengan kedua telapak, menangis sejadi-jadinya seraya neracau, “Bu, Ily harus apa?”
Disaat emosi Ily berkecamuk, kesal juga sedih bercampur aduk. Tiba-tiba Gravi datang, membuka pintu kasar dan tergesa mendekati ranjang Ily. Shinta memmegang bahu Ily.
“Ada Gravi, Nak. Kamu harus cerita. Ibu sama yang lain akan keluar.”
Ily bergeming, tak menjawab dengan suara atau pun gerakan. Pinnu ditutup, ruangan senyap, tak ada lagi suara langkah kaki.
“Ily, apa yang terjadi?”
Dada Ily naik turun dengan cepatnya. Mengangkat kepala, Ily memasang wajah tak bersahabat.
“KAMU KEMANA AJA, GRA!” bentak Ily.
Lelaki itu mencoba menangkup wajah Ily. Namun, tentu saja Ily menepisnya. Dia bahkan mendorong bahu Gravi menjauh dari sekitar Ily.
Ily menangis. Satu tangan menarik bantal kemudian membenamkan wajahnga di sana, berteriak sekencang yang ia bisa. Kenapa Tuhan selalu mengambil hal yang sudah ditunggu-tunggu olehnya. Dulu, Tuhan merenggut kesempatan Ily untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri. Dan sekarang, hal yang sudah menjadi penantiannya pun diambil juga. Sebenarnya, ada apa dengan takdir Ily.
“Ly, kenapa?” Gravi terus saja mendesak Ily untuk bercerita.
“Dia meninggal, aku kepeleset. Berdarah.” Ily menangis sesenggukan sekedar untuk menata kalimat pun Ily tak mampu.
“Semua salah aku. Hiks, hiks,”
Gravi kembali mendekat, tangannya terlulur ingin memeluk Ily. Namun gadis itu berteriak, melarang.
“Keluar Gra. Keluar!” seru Ily lagi.
Ia tak butuh kalimat penyemangat atau kalimat perintah untuk bersabar. Ily hanya ingin sendiri saat ini.
***
“Eeengh ... eeengh ....”
Ily terus mengejan, menarik napas, lalu mengeluarkannya sesuai dengan instruksi dokter. Kedua tangan Ily meremas kuat seprai. Kepalanya mendongak sambil terus mengejan.
Napasnya tak karuan. Sakit sekali, perih, mulas, semuanya bercampur jadi satu. Sampai-sampai mata Ily mengeluarkan air dengan sendirinya. Ternyata sesakit ini seorang ibu melahirkan anaknya.
“Ayo, hanya perlu mengejan sedikit lagi.”
“Eeengh ....”
“Fin.”
Napas Ily terengah-engah. Bibirnya terbuka meraup udara sebanyak-banyaknya. Satu tangan Ily menahan kain di dada. Di sebelahnya Gravi masih berdiri mematung. Tak menyentuh atau pun berkata apa-apa.
“Gra ..,” lirih Ily lalu menangis.
Seakan mengerti, Gravi duduk di samping ranjang Ily. Menggenggam satu tangan istrinya.
“Kita akan melakukan apa yang kamu inginkan kemarin.” ujar Gravi.
Ily ingin memiliki foto bertiga. Gravi tentu tidak menolak. Masih dengan balutan kain. Ily menggendong bayinya dalam dekapan.
“Kamu udah punya nama, Ly?”
Kepalanya mengangguk, air mata Ily terus mengalir tanpa mau berhenti. “Nama putri kita, Zahra Elsalina Hartanta.”
Sampai kapan pun, mama akan selau menyayangimu, Elsa.
Bersambung ....
30 Oktober 2020
00.25 WIB
Terima kasih untuk team gercep, yang sudah vote, komen di cerita Gravihati.
Lopyuuu(●´з')♡
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro