Bab 18. Semalam Bersama
"Aku?"
Ily tersenyum miring, memalingkan wajah. Gravi bertanya dengan nada seolah-olah tidak bersalah. Apa semua lelaki seperti Gravi, sangat sulit untuk mengakui kesalahannya. Atau cuma Gravi yang begitu.
"Berkat tindakan gegabah kamu tadi. Aku akhirnya diusir dari rumah. Kamu udah merusak semua rencana aku untuk menggugurkan kandungan." Ily berhenti sejenak, menarik napas yang sedikit tercekat karena sesak.
"Semua yang terjadi malam ini, emang gara-gara kamu!" teriak Ily lagi.
Satu tangannya memukul kuat bahu kiri lelaki itu. Ily mundur, berdiri dengan kepala menunduk. Mengusap berkali-kali ujung matanya yang basah.
Gravi teekejut, ia meraih bahu Ily berusaha untuk mengangkat wajah gadis itu. Ily berpaling, mendorong dada Gravi menjauh, dan menghempaskan tangannya. Tidakkah Gravi mengerti, kalau dirinya sedang tidak ingin disentuh saat ini.
"Aku gak akan membiarkan kamu melakukan aborsi. Cepat atau lambat, kehamilan itu bakalan terungkap. Dan keputusan aku untuk bertanggung jawab udah tepat."
Ruangan hening. Ily juga terdiam, masih menundukkan wajah. Gravi menghembuskan napas beratnya.
"Aku nggak akan mungkin tega, ninggalin kamu begitu aja, Ly."
Seperti ada ribuan jarum menusuk jantungnya, perih. Sekali lagi, isak tangis Ily datang, air matanya menetes lagi. Ily berjongkok menenggelamkan wajah di lipatan tangannya. Menangis lama.
Gravi ternyata masih memikirkan dirinya. Ia sendiri bingung pada perasaannya sekarang. Marah, sedih, kecewa, gelisah. Rasanya Ily hanya ingin menangis dan menangis saja. Ketakutan yang teramat besar ini, membuat Ily bersikap jahat dan malah melampiaskan semua emosinya ke lelaki ini.
"Kita bisa melewati semuanya bersama-sama, Ily. Kamu gak sendiri, masih ada aku di sini."
Gravi ikut berjongkok di depan Ily. Satu tangannya menyusul memegang bahu gadis itu. Gravi melempar senyum bersama dengan tatapan khasnya. "Jangan sedih. Biar aku yang mikirin semua. Kamu gak usah ikut mikir."
"Kemari," Gravi menarik Ily untuk berdiri, kemudia ia beranjak lebih dulu. Ily mengekori langkah Gravi masuk ke ruang tengah. Mengiyakan ajakan lelaki itu untuk duduk di karpet depan televisi.
"Udah makan apa belum?" Ily cuma mengangguk menjawabnya.
Gravi bangkit dari duduk. Sedangkan Ily, memandang ke arah jendela yang tirainya terbuka. Langit hitam dengan gemerlap lampu kendaraan juga gedung-gedung. Sangat indah.
Kemarahan orang tuanya, diusir dari rumah lalu batal kuliah. Hal-hal itu sudah cukup membuat Ily tertekan. Menyesal? sangat. Ily kehilangan tiga hal sekaligus di waktu bersamaan.
"Nih."
Gravi datang menyodorkan segelas mug pada Ily. Asap tipis mengepul di atasnya. Saat diintip, ternyata teh.
"Diminum, dong."
Ily menurut aja. Mengambil alih mug biru itu. Menyentuh bibir gelas, meniup pelan, lalu menyeruput isinya. Tidak terlalu manis, tapi tehnya tidak pahit.
"Jangan stress terus, gak baik buat janinnya. Udah gak ada yang perlu kamu sembunyiin dari orang-orang, jadi gak boleh gelisah lagi."
Ily terdiam, dia meletakkan benda keramik tersebut lantas berkata, "Orang tua aku gimana. Gak mungkin aku ninggalin rumah mereka begitu aja. Aku pengen pulang besok."
Lelaki di depan Ily mengangguk pelan. "Aku ngerti. Kamu bakal pulang ke rumah, diantar orang tua aku juga."
Ily mengernyitkan dahi tak mengerti. Bagaimana caranya. Bukankah Gravi tak akur denga orang tuanya. Apa yang akan dia katakan.
"Kamu lupa, Ly. Aku mau serius tanggung jawab. Jadi, aku perlu minta persetujuan mereka untuk meminang kamu di depan orang tua kamu."
Gravi menyeruput lagi minumannya yang entah apa. Ily tak tahu. Menatap Ily lagi, kali ini tangan Gravi menyentuh pipi Ily.
"Udah hampir jam setengah sebelas. Kamu tidur di kamar aku, ya. Aku ... biar di sini aja."
Ily mengangguk. "Aku mau cuci kaki dulu."
Sekembalinya Ily dari kamar mandi. Dia langsung menuju kamar Gravi yang terbuka pintunya. Lelaki itu di sana, mengambil satu bantal.
"Tidur yang nyenyak, Ly." Gravi berlalu, kemudian menutup pintunya.
Ily meraba pinggiran kasur, melangkah mendekati jendela. Ily tak bisa tidur. Besok, seharusnya jadi hari yang spesial. Karena rencananya ia akan berangkat ke kampus untuk daftar ulang, tapi semua gagal dalam sekejap saja. Ia gagal kuliah. Hanya karena satu jam kedatangan Garvi di rumahnya.
Ily naik ke kasur. Merebahkan diri di sana. Di ranjang ini lah, satu malam itu mengubah seluruh hidupnya. Memantik amarah orang tuanya, sampai Dipta tega mengusir Ily dari rumah. Air bening itu mengalir lagi. Sampai Ily tertidur dalam tangis sesenggukannya.
***
Pernah terbangun dari tidur begitu saja. Saat ini Ily pun begitu. Tidak karena mimpi atau kaget karena sesuatu, dia hanya tiba-tiba terjaga saja. Masih mengerjap, berusaha memperjelas penglihatan. Di dinding sebrang ranjang, jam besar bewarna hitam menunjukkan pukul setengah empat pagi.
Bangkit dari tidurannya, Ily berjalan kemudian membuka pintu kamar. Gelap gulita, lampu ruang tengah mati. Membuka pintu lebar-lebar, sorot lampu dari kamar Gravi membantu Ily menemukan saklar lampu. Di tekannya benda tersebut, detik itu juga ruangan menjadi tetang benderang.
Gravi menggeliat kecil di atas sofa, masih tetap terpejam. Ily mendekat, duduk tepat di karpet dekat wajah kekasihnya yang terlihat lelah tapi begitu damai.
Kemarin malam, bisa jadi hari yang terberat juga bagi Gravi. Ily mengusap pelan rambut hitam itu. Pasti sangat sulit baginya mengambil keputusan itu semalam. Butuh keberanian besar bukan mengakui kesalahan di depan orang tua Ily.
Beralih turun. Ily menyentuh pelan noda merah mengering di sudut bibir lelaki itu. Belum dibersihkan. Ia juga baru menyadari ternyata ada noda merah di hoodie putih yang Gravi kenakan.
Tamparan Dipta di pipinya semalam saja sudah cukup membuat rahang Ily terasa ngilu. Bagaimana dengan Gravi yang berulang kali diberi bogeman. Sesakit apa tinjuan ayahnya, sampai Gravi mengeluarkan darah sebanyak ini.
"Maaf, Gra," lirihnya.
Ily berdiri, berlari masuk kamar. Mencari sesuatu dari lemari Gravi. Tak ada handuk kecil, Ily pun mengambil asal kaos dalam milik Gravi. Bergegas ke kitchen set, mengambil mangkuk lalu mengisinya dengan air hangat dari dispenser. Ily berinisiatif untuk mengompres lebam di pipi Gravi.
Ditempelkan pelan handuk hangat itu di kulit wajah Gravi yang sedikit berubah menjadi ungu. Ia menjadi merasa bersalah, pipi ini. Pipi yang juga semalam mendapat tamparan tangan Ily.
Meskipum Ily sudah menampar pipi Gravi, lelaki itu bahkan tidak bereaksi marah atau semacamnya. Tak ada yang salah dari niat Gravi, tetapi kenapa Ily merasa sangat kesal padanya. Air mata menggenangi pelupuk mata Ily. Kemarin, dia terlalu jahat pada Gravi.
Mencelupkan ulang kaos singlet ke dalam mangkuk air hangat, Ily menempelkan pelan kain itu pada pipi lebam Gravi. Kali ini dia bereaksi, bibirnya meringis. Kepala Gravi bergerak ke kanan ke kiri. Sepasang mata sipitnya perlahan terbuka sedikit demi sedikit.
Sedangkan Ily mengangkat tangan dari wajah Gravi, mengusap seitik air di ujung matanya. Gravi dengan senyuman khas bangun tidurnya, Ily akui dia tetap saja tampan.
Bibir lelaki itu tersenyum semakin lebar. Matanya mengerjap pelan. "Kenapa gak dilanjutin."
"Kamu udah bangun, bisa bersihin sendiri."
"Kamunya misek-misek, sih. Jadinya gak tahan pengen buka mata. Ups." Gravi terkekeh kecil.
Hah, jadi dari tadi dia sudah bangun. Astaga, sejak kapan. Menyipitkan mata, Ily melempar tatapan tajam. "Gitu, ya. Pura-pura tidur. Dari jam berapa bangunnya?"
Gemericik air terdengar saat Ily memeras kaos putih tadi, mengusap pelan benda itu ke ujung bibir Gravi. Uh, darahnya benar-benar sudah mengering. Sulit jika hanya diusap pelan.
"Pas lampunya nyala. Silau."
Oh, Ily tak tau kalau Gravi tidak bisa tidur dengan lampu menyala. Pastas jika hari itu, tidurnya tidak nyenyak. Ily menekan lebih dalam, Gravi meringis pelan.
"Kamu kenapa kebangun?"
Ily mengangkat bahu, tangannya menekan sudut bibir Gravi lagi. "Gak tau, kebangun aja."
Ily sibuk memeras kain, beralih mengompres lebam di pelipis Gravi. Sedangkan lelaki di depannya terus saja bertanya ini dan itu. Tidur Ily nyenyak atau tidak. Panas atau tidak. Pertanyaan sepele dan tidak penting. Tingkah ini, bukan tingkah Gravi yang biasanya.
Aneh, dia kenapa? batin Ily.
"Udah."
Ily langsung bangkit dari duduk. Membuang air kompresan ke wastafel. Mencuci mangkuk dan menaruh ke tempat semula.
Kakinya bergeser sedikit, lalu membuka pintu samping kamar mandi.
"Waah." Mulut Ily ternganga dengan mata melebar sempurna.
Tempat yang Gravi sebut sebagai tempat jemuran bajunya ini, bagi Ily terlalu sayang difungsikan untuk menjemur pakaian. Balkon, Ily yakin ini balkon. Sisi kanan, kiri, dan depan ruang ini seluruhnya hanya kaca.
Di ruangan 3×2 meter ini hanya ada jemuran lipat dan papan setrikaan.
"Ngapain?" tanya Gravi dari ambang pintu.
Ily menengok kebelakang, menunjuk kaos dalam yang sudah menggantung. "Jemur itu tadi."
Ily keluar dari sana. Gravi duduk di kursi meja makan dekat kitchen set. Gadis itu menyusul. "Aku minta maaf, karena semalem udah nampar kamu."
Gravi tersenyum. "Gapapa, aku paham emosinya ibu hamil." Ily menunduk, sedikit malu campur sedih mendengar julukan dari gravi. Ibu hamil.
Gravi berceletuk lagi. "Mau mandi? Sana pake air anget. Aku cariin dulu handuknya di lemari."
Sementara Gravi masuk kamar. Ily berjalan ke depan mencari tasnya, lali Ily bawa lagi ke ruang tengah. Di depan televisi, ia membongkar isi tas. Hanya ada ponsel, tiga setel pakaian, tanpa ada pakaian dalam.
"Kenapa?"
"Aku kayanya gak mandi dulu. Pakaian dalam aku gak ada." Ily mendongak.
"Ukuran kamu berapa?"
"Hah?"
"Aku beliin, sekalian beli makanan buat sarapan."
"Dimana coba? Indomaret mana jual bra sama celana dalam."
Gravi terkekeh. "Ya enggaklah. Aku beli di supermarketnya apartment. Di lantai satu."
Jadi, ada supermarket di sini.
"Ya emang gak beragam sih, tapi biasanya buat hal darurat kaya gini aja. Pakaian, makanan, sabun, body care, kalo cuma itu ada."
"Bra 32, cdnya M"
Gravi mengulas senyum. "Noted, aku keluar dulu."
Gravi masuk kagi ke kamar, kini dengan jaket kulit coklatanya. Ily teringat akan satu hal, lalu berteriak dari balik tembok. "Gra, sama sikat gigi satu."
"Okeee"
Ia membereskan semua pakaian, kemudian langsung masuk ke kamar Gravi. Menaruh bajunya di atas buffet kecil. Sedikit terkejut karena empat testpack itu masih ada di sana. Tergeletak begitu saja. Tangan Ily kontan memegang perut ratanya. Di dalam sini, ada anaknya dan Gravi.
Bersambung ....
Aku tahu ada begitu banyak kekurangan di cerita ini. Typo dimana-mana, kadang juga ada tatanan kata yang aneh(?) karena memang aku cuma bisa meriksa sekilas aja, terus langsung publish.
Maaf dan terima kasih untuk para pembaca setia. ♡
See you next part!
17 Oktober 2020
04.19 WIB
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro