Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16. Pengakuan Bodoh Gravi

‍‍‍‍‍‍Ily mengeluarkan semua isi perut pada mulut kloset. Beruntung di jam segini semua orang sudah berangkat untuk beraktivitas. Shinta juga sudah di teras. Ily mengusap lagi mulutnya dengan air, berkumur pelan. Rasa gejolak tadi datang lagi, membungkuk, kali ini yang keluar hanya saliva saja.

Menyusahkan. Satu kata itu, Ily selalu mengulanginya dalam hati. Rasa keinginana Ily untuk menyingkirka janin itu  semakin memuncak. Ah, tapi masih saja terselip ragu di dalam hati. Sejak kemarin lusa, rencananya selalu tertunda.

Gadis itu menuangkan sedikit sabun cair pada gayung, menambah air dan mencampurkannya jadi satu. Harum senyawa basa itu merebak memenuhi rongga hidung. Satu langkah terahir yang harus Ily lakukan sebelum keluar kamar mandi agar bau muntahannya tidak tercium.

Oke, begini lebih baik. Ibunya akan menduga kalau dia baru saja selesai mandi. Mematikan kran air, Ily bergegas keluar. Mengayunkan kaki menuju kamar.

“Aku harus apa,” Ily mengusap pelan perut ratanya dari luar baju.

Di depan cermin, manik Ily mulai meneliti setiap jengkal tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala. Belum ada perubahan signifikan. Jika Ily memilih aborsi sekarang dan berhasil, maka usahanya tak akan sia-sia. Masalah selesai.

Diraihnya ponsel dari meja rias, mendudukkan diri di lantai. Kedua jempolnya luwes menari di atas layar pipih. Ily mulai mengetikkan sesuatu di mesin pencarian. Sekarang Ily harus tau semua info yang sempat membuat Ily takut. Gadis itu takut jika ia akan mundur setelah mengetahuinya.

Resiko Aborsi

1. Resiko Kompllikasi Aborsi
Setelah aborsi, wanita biasanya akan mengalami keluhan nyeri atau kram perut, mual, lemas, dan perdarahan ringan selama beberapa hari.

2. Perdarahan
Salah satu risiko yang sering terjadi setelah aborsi adalah perdarahan berat melalui vagina. Perdarahan berat juga lebih berisiko terjadi jika masih ada jaringan janin atau ari-ari yang tertinggal di dalam rahim setelah aborsi.

2. Infeksi
Infeksi merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi akibat aborsi. Kondisi ini biasa ditandai dengan munculnya keputihan yang berbau, demam, dan nyeri yang hebat di area panggul.

3. Kerusakan Pada Rahim dan Vagina
Bila tidak dilakukan dengan benar, aborsi dapat menyebabkan kerusakan pada rahim dan vagina. Kerusakan ini dapat berupa lubang maupun luka berat pada dinding rahim, leher rahim, serta vagina.

4. Masalah Psikologis
Trauma psikologis juga dapat dirasakan oleh wanita yang menjalani aborsi. Perasaan bersalah, malu, stres, cemas, hingga depresi merupakan beberapa masalah psikologis yang banyak dialami oleh wanita setelah menjalani aborsi.

Risiko terjadinya komplikasi ini akan lebih besar jika aborsi dilakukan secara ilegal, dilakukan di fasilitas kesehatan yang kurang memadai, atau menggunakan metode tradisional yang tidak terjamin keamanannya.

Ily meletakkan ponselnya di lantai. Ia jadi teringat akan ucapan Nikya hari itu.

Gue gak menyarankan lo untuk aborsi, Ly. Karena itu sakit banget. Selain itu aborsi juga membahayakan diri lo. Apalagi tempat yang gue tau ini ilegal. Gak berlisesnsi

Jadi ini, bahaya yang Nikya maksud. Terlalu banyak resikonya. Ily memijat pangkal hidung, kembali melanjutkan membaca artikel tadi.

5. Kemungkinan untuk Kembali Hamil
Dalam waktu 4-6 minggu setelah aborsi, haid akan kembali seperti biasa. Dengan kata lain, pasien dapat hamil lagi setelah aborsi.

Ily membelalakkan mata membaca kalimat terakhir. Kalau aborsi gagal, artinya dia akan kembali hamil. Berarti semua usaha aborsi, menahan sakit itu tak ada gunanya, sia-sia. Bagaimana jika itu terjadi pada dia. Ily takut dengan semua resiko aborsinya. Tidak, dia tidak ingin merasakan itu.

Di satu sisi Ily lelah merasakan kehamilan ini. Muak dengan mual-mual, pusing yang bersarang di kepalanya, lelah kaki karena terus bolak-balik ke kamar mandi. Belum lagi ia harus berusaha keras untuk menutup-nutupi tanda kehamilan itu dari ayah, ibu, juga kakaknya. Di tambah lagi, payudaranya akhir-akhir ini terasa nyeri. Seperti ini kah kehamilan. Sengsara.

Air mata merembes di pipi. Ily ingin mengakhiri semua ini, tapi bagaimana caranya. Ily terisak kebingungan harus mau melakukan apa. Dia bingung bagaimana cara yg paling mudah buat terlepas dari masalah itu.

Kedua kaki Ily menekuk. Satu tangan ia gunakan untuk menarik-narik rambut panjangnya dengan kasar. Tangan lain Ily gunakan untuk membekap mulut. Meredam isak tangis. 

Ily tak pernah menyangka, perbuatan satu malam itu. Merusak semua hari-harinya selama hampir tujuh minggu ini. Dan mungkin akan mengahncurkan semua masa depannya. Tidak.

Ily merutuk dalam hati. Menyumpahi Gravi berkali-kali. Lelaki itu, Ily yakin sekarang sedang sibuk tertawa bersama teman-temannya. Sedangkan Ily, dia hanya bisa menangis dan menyesal karena telah mengenal Gravi. Kenapa, Ily tidak jatuh cinta pada Halim saja. Kenapa harus lelaki brengsek seperti Gravi.


Sorenya, Ily tetap pergi bekerja. Seperti sekarang ini. Dengan balutan seragam warna mocca, Ily melangkah melewati meja-meja pengunjung. Kembali dengan nampan kosong ke dapur untuk mengisinya dengan pesanan lain.

Meski pusing menyerang, Ily tetap harus paksakan. Jika tidak, sepanjang hari Ily hanya akan berakhir di kasur. Keluhan itu selalu datang dan pergi sesukanya. Dan Ily harus tetap menjalani aktivitas harian dia. Pekerjaan ini harus tetap Ily lakukan.

“Weh, Ly, lo pucet banget. Sana istirahat aja, dari pada kenapa-kenapa,” ujar Alya si penata sajian.

Ily menggeleng. “Gapapa, gue bisa kok.”

Ily memaksa, memindahkan sepiring muffin dan secangkir coklat panas pada nampan. Pesanan nomor 23, di meja pojok. Ily membawa nampan, melangkah perlahan, Ily memaksakan diri meski terasa berat kepalanya.

Dia terus saja melangkah. Kepala yang sedikit berputar dan pandangan memburam, membuat gadis itu tak lagi fokus dengan sekitar. Ia tak menyadari ada kaki meja di lintasan langkahnya.

Alhasil, Ily sendiri kaget saat ia terjungkal ke depan. Suara piring dan gelas beradu nyaring dengan lantai, menyedot semua atensi pengunjung. Bajunya bernoda coklat, sedangkan muffin itu entah pergi kamana. Astaga, ini akan jadi masalah. Ily berusaha membereskan semuanya. Ya Tuhan mata Ily memburam.

“Ya, Allah Ly, ayo-ayo ke belakang.” Nada berujar dengan cemas, membantu Ily bangun dan menuntun langkah gadis itu.

“Pesenannya gimana, terus siapa yang beresin?”

“Udah biarain!” sentak Nada. “Bisa gak jangan maksain diri lo.” Nada menghembuskan napas. Gadis itu membuka pintu untuk yang ketiga kalinya.

“Dah, lo duduk sini,” Ily duduk di atas kloset, di kamar mandi, “gue ambil tas dulu.”

Ily menundukkan kepala, menutup matanya dengan satu tangan. Mencoba mengusap-usap berharap penglihatannya kembali normal tidak berkunang-kunang.

Tak lama setelahnya, Nada kembali dengan tas Ily. “Nih, baju lo. Cepet ganti, gue tunggu.”

Ily mengangguk melakukan sesuai dengan perintah Nada. Ia langsung keluar dari bilik toilet. Bersyukur penglihatannya sedikit membaik, meski pusing itu masih sangat terasa.

“Nih, minum obat penambah darah.”

Ily lagi-lagi menurut. Sementara Ily meminum obatnya, Nada yang memasukkan seragam kerja Ily ke dalam tas. Lalu menyerahkannya pada gadis berkuncir kuda.

“Makasih, Nad.”

Suara pintu terbuka, tiba-tiba ada Halim datang dari ruang pekerja dengan cemasnya. Mendekati Ily dan meneliti penampilan gadis itu sekilas. “Udah, ayo, gue anter pulang.”

“Iya, lo disuruh pulang ama Rendi. Istirahat aja di rumah.” Nada menyahuti  lalu berujar lagi, “Gue balik kerja dulu kalo gitu.”

Sepeninggalnya Nada, Halim dan Ily malah terdiam di anatara bilik toilet. Mengehela napas kasar. Halim menarik tangan Ily untuk beranjak.

“Yuk, gue anter pulang.”

“Enggak,” tolak Ily. “Aku naik bis aja, Kak.”

Halim tidak mendebat. Lelaki itu memilih mengekori Ily menyusuri gang dan trotoar. Ily bukan tidak tahu dengan hal itu, tapi dia memilih tidak peduli. Halim terlalu keras kepala dan Ily sufah terlalu lemah untuk beradu argumen.

Ily sedikit memijat kening, bagaimana keadaan yang ia timbulkan tadi, seperti apa, pasti Rendi sangat marah. Ia telah membuat ketibutan di cafe. Ily menghembuskan napas pelan.

Berhenti di pinggiran trotoar. Di seberang sana haltenya, Ily tinggal menyebrang saja. Ia sedikit menyipitkan mata, bahkan mengusap kelopaknya berharap pandanagan kembali fokus. Tidak ngeblur seperti ini.

Tangan kiri Ily di sahut Halim. Lelaki itu menggandeng tangannya dalam diam juga tanpa permisi. Setelah melihat ke kanan ke kiri, ditariknya tangan Ily. Diperintah untuk mengikuti langkahnya sampai di sebrang trotoar.

Ily terdiam, melirik pada tautan tangannya dengan Halim. Kenapa lelaki ini lagi yang datang. Kenapa selalu dia yang jadi penolong Ily.

“Dah, duduk,” celetuk Halim saat sampai di halte. Ia kemudian duduk di samping Ily.

Air mata merebak menggenangi pelupuk mata, tak lama tangisnya pecah. Halim begitu perhatian, jika saja perhatian Gravi ke Ily seperti halim. Pasti Ily tak perlu merasa se-stress ini.

Halim tak pernah pergi dari masalah Ily, malah lelaki itu yang selalu menemaninya. Berbeda dengan Gravi, lelaki itu pasti pergi begitu aja, meninggalkan Ily sendiri seperti yang sudah-sudah. Ily tak bisa menghentikan isaknya.

“Udah jangan nangis, gue tahu gue baik.”

“....”

“Dah, gue ambil mobil dulu. Lama nungguin bis.”

Di sepanjang jalan Halim terus bicara ini dan itu. Tentang kuliahnya, kekejaman dosennya, tentang betapa enak dan tidak enaknya jadi mahasiswa jurusan seni. Sedangkan Ily, bungkam saja.

“Istirahat yang cukup, jangan kebanyakan nangis.”

Ily mengangguk, membuka, lalu keluar dari mobil, pun begitu juga Halim. Shinta menyambut kepulangan Ily. Yup, kali ini mobil terparkir tepat di depan rumah Ily.

“Ratna kenapa udah pulang? terus ini siapa?”

Belum sempat Ily menjawab, Halim lebih dulu menyela sambil mencium tangan Shinta. “Saya Halim bu, temen Ily. Ily pulang lebih awal karena lagi meriang.”

“Yaudah, Ratna cepet mandi abis itu istirahat.” Mengalihkan wajah pada Halim.

“Ayo mampir dulu, duduk bentar.”

“Mohon maaf, Bu. Saya ada urusan lain, jadi harus segera pulang.” Shinta mengangguk paham.

“Terima kasih, Halim, sudah repot-repot nganter Ily pulang.”

“Iya Bu, bukan masalah. Saya permisi dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Mobil SUV putih Halim memutar arah, melaju di aspal dan hilang ditelan jarak.

Shinta menanggil nama putrinya yang baru saja pulang, “Kenapa bisa pulang ama Halim?”

“Halim liat Ily diem di halte Bu. Ily emang kerja bentar, karen cafenya cepet tutup tadi.” Ily berbohong lagi, ia tak mungkin menceritakannya. Entah sampai kapan kebohongan Ily akan bertahan.

Malamnya, di dalam kamar. Ily termenung dia atas kasur. Ia ingin menyelesaikan semuanya. Keinginan Ily untuk aborsi kembali lagi. Jika Nikya bisa berhasil dan hidup baik-baik saja saat ini, mengapa Ily tidak. Ia hanya perlu teman untuk mensukseskan rencana itu.

Dengan tangan menggengam ponsel, ia berusah meyakinkan diri. Ily mematut lagi layar hp, lalu mendekatkan benda tersebut ke telinga. Ily butuh teman. Dan hanya Gravi yang terlintas di pikirannya.

“Gra, gimana kalo kita udahin semuanya.”

“Udahin gimana?”

“Udahin aja, aku ca—”

Ucapan Ily dipotong Gravi. “Udahan? Kamu mau udahan karena Halim kan? Iya.”

“Hah, kamu ngomong apasih?” Ily  benar-benar bingung karena tiba-tiba Gravi menyambungkan masalah mereka itu ke Halim.

“Udah berapa kali aku bilang, jangan deket-deket Halim. Tapi kamu masih aja suka ketemu dia kan.”

Hah, ini lagi, batin Ily teriak. Ily yang tersulut emosi kemudian melupakan tujuan awalnya menelpon Gravi.

“Iya, emang kenapa. Dia lebih perhatian dari kamu. Dia baik ke aku, selalu ada di saat aku kesulitan. Di saat kamu gak ada, Halim ada di dekat aku untuk nolong aku.”

Ily langsung mematikan sambungan telepon. Bukan itu yang dia mau bahas. Gravi benar-benar susah buat diajak diskusi. Lelaki itu jarang mau mendengarkan penjelasan Ily.

Mengusap wajah kasar, haruskah Ily cerita juga ke Halim. Ily butuh teman untuk bisa berangkat aborsi. Mungkin saja Halim bisa menemaninya. Ily melihat jam yang baru menunjukkan pukul delapan. Sepertinya tak apa jika Ily menelpon Halim sekarang.

Tok tok tok

“Ratna ada temen kamu. Ayo, keluar dulu.”

Ucapan Shinta mengundang kerutan kening Ily. Siapa yang datang, Mega dan gita. Untuk apa.

Dengan pakaian seadanya. Baju lengan pendek dan celana levis selutut, Ily keluar kamar setelah menyisir rambut panjangnya yang ia biarkan terurai.

Saat membuka pintu, betapa kagetnya Ily. Darah seakan terkuras habis dari wajah. Matanya membulat sempurna. Gravi. Untuk apa dia di sini. Bukankah tadi, baru lima belas menit yang lalu Ily mematikan sambungan telepon.

Dengan langkah berat, Ily duduk di samping ibunya. Di sofa single sebelah kiri ada Gravi dengan hoodie putihnya. Sedangkan Dipta berhadapan dengan Gravi.

“Jadi, ada apa kamu ke rumah menemui anak perempuan saya malam-malam begini?”

Dada Ily bertalu kencang, aliran darahnya mungkin mengalir terlalu deras saat ini. Tenggorokan Ily mendadak kering. Ia diam saat Gravi melirik ke arahnya sesaat sebelum angkat bicara.

“Sebelumnya saya mau minta maaf karena mengganggu waktu bapak sama ibu.”

Suasana hening, semua orang menunggu kalimatnya. Dalam hati Ily berharap-harap cemas. Semoga Gravi tak mengatakan hal yang tidak semstinya dikatakan.

“Nama saya Gravi, Pak. Teman Ily sekaligus orang yang bertanggung jawab atas kehamilan Ily saat ini.”

“Hah! Hamil?” Shinta memekik nyaring.

Ily hanya mampu terdiam, dengan mata terpejam. Tangannya gemetar, mengeluarkan keringat dingin. Apa yang baru saja Gravi katakan.

“Ratna,” Shinta menggoyangkan kedua bahu Ily.

“Apa maksudnya? Bilang Ratna, jangan diem aja!”

Apa yang harus Ily ucapkan.

Bersambung ....

Hana pikir, gak akan bisa update jam segini, tapi ternyata nulis tengah malem bisa selancar itu.

Alhamdulillah, Ya Allah. Huhu.
Terima kasih buat yang udah baca Gravihati sampai Bab ini.
Segitu aja deh.
See you.

15 Oktober 2020
04.06 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro