8. RIGHT AHEAD OF US IS NECROMANCY.
Catatan Penulis: Aku buka Wattpad lewat ponsel tadi pagi dan...#5 di Paranormal. Gravedancer tembus 5 besar. Aku nggak tahu lagi harus bilang apa. Aku berutang banyak sama kalian semua. Lain kali ketemu, jangan minta traktir ya! /salah /emangsalah /iyaemangsalah
Jadi harusnya aku post ini kemarin. Tapi aku ketiduran. Hehe. Belakangan lagi sibuk banget. Aku suka pusing sendiri. Okelah, tanpa buang waktu banyak-banyak. Aksi! Pertarungan! Adrenalin! Langkah cepat! Burung-burung kecil bangkit dari kematian!
Berhubung aku nggak tahu cara promosi, jadi segitu saja hehehe. Sekali lagi, makasih BANYAK BANGET buat kalian semua. Biarlah ini cuma sementara. Yang penting udah ada screenshotnya HAHAHA /ga. Selamat menikmati!
//
And, just as night about the moon grows gray,
One sail leans westward to the fading rose.
-Battle Sleep, Edith Wharton, 1919.
Begitu kesadaranku kembali—itu keempat kalinya malam ini, Alden—suara api unggun dan geraman para monster tidak lagi memenuhi udara. Tentu, masih ada beberapa bunyi kayu api unggun bergemeretak, tetapi hanya itu. Sisanya sepi, bahkan isak tangis para manusia. Lalu aku merasakan bahwa ada sesuatu yang dekat denganku—sangat dekat denganku.
"Dia bangun," bisik sebuah suara di telingaku. Lalu suara itu mengulanginya dengan suara lebih keras. "Dia bangun!"
Ketika kesadaranku akhirnyapulih, aku baru sadar bahwa itu adalah As Hati.
"Bagus," suara lain, sekarang mirip suara seorang pria, menjawab dari jauh di depanku. "Bawa dia ke sini."
"Sampai nanti, magus," bisik As Hati lembut ke telingaku hingga hanya aku yang bisa dengar. Lalu aku mendengar langkah kakinya meninggalkanku.
Geraman beberapa monster menggantikan suara langkahnya, dan mataku akhirnya bisa digunakan juga. Dua skinwalker—jenis yang mirip serigala—datang ke arahku, menyeringaikan gigi-gigi raksasa mereka.
"Itu tidak perlu," kataku lemah, tetapi tentu saja para skinwalker tidak menjawab.
Aku bisa merasakan tubuhku berayun sedikit, lalu satu-satunya hal yang menjagaku di atas tanah adalah para skinwalker. Mereka membawaku di atas pundak mereka ke—
Oh, tunggu.
Itu terlihat seperti sebuah panggung.
Bagaimana mereka membuatnya?
Kedua skinwalker ini bergerak cepat melewati lautan monster, semuanya memandangi atau menggeram ganas begitu aku lewat. Aku mencoba sebisaku untuk mencari ke sekeliling—As Hati tidak terlihat lagi.
Para skinwalker yang membawaku menggonggong kecil setiap ada monster yang menghalangi jalan mereka. Akhirnya, kami tiba juga di panggung.
Mereka menjatuhkanku tepat di tengahnya.
Panggung ini terbuat dari kayu, mirip dengan yang dulu digunakan untuk memberi hukuman gantung, tetapi tanpa tiang gantungannya. Bentuknya mengingatkanku pada panggung yang terkadang masih digunakan di alun-alun setiap ada pengumuman.
Ada langkah kaki dan aku bisa melihat dari bayang-bayang yang ada bahwa kedua skinwalker itu meninggalkanku sendirian di atas panggung. Api unggunnya berada tepat di depan panggung, dan aku bisa merasakan panasnya menyengat kulitku.
Ini bukan api unggun biasa. Ini api kebakaran.
Aku melirik ke sekelilingku dan tidak melihat satu sangkar pun—bahkan jika masih ada sekalipun, aku tidak akan bisa melihat mereka karena para monster menghalangi pandanganku: bahkan waktu aku sedang berdiri, mereka semua sudah terlihat besar. Aku terbaring di tanah begini sangat tidak membantu.
Bahkan ada beberapa monster di atas pohon. Sebagian besar dari mereka berbentuk mirip serangga atau laba-laba, sementara beberapa lainnya mirip monyet. Beberapa berbentuk mirip manusia dengan postur sangat atletis. Sisanya aku tidak bisa membandingkan dengan apa pun yang aku tahu.
Lalu para monster di depan panggung menyingkir. Ada dua monster yang tetap tinggal—keduanya Set—dan keduanya mengenakan topi kerucut. Yang satu berwujud wanita dengan banyak sekali perhiasan, sementara yang satu lagi berwujud pria dengan pentungan yang tampak sangat mengerikan di kedua tangannya, dengan gagang kedua pentungan berujung pada bentuk daun semanggi.
Topi kerucut ... seperti As Hati.
Perhiasan—diamonds.
Pentungan—club.
Ace of Diamonds dan Ace of Clubs—As Ketupat dan As Keriting.
Wow, cara menamai itu ternyata memang berguna.
"Sudah waktunya," kata As Ketupat dengan nada yang membuat semua monster lain langsung diam. "Untuk mengambil sihir orang ini."
"Sihir orang yang membawa kita ke sini," lanjut As Keriting. Dia menebar pandangan. "Dan yang akan membantu kita menyelesaikan apa yang kita mulai."
Ada beberapa raungan dan lolongan yang terdengar seperti sorakan.
Jadi para monster ini tidak bisa bicara, tetapi bisa memahami ketika orang lain bicara.
Atau mungkin mereka cuma sedang ingin berisik.
Siapa tahu?
"Dia sudah digantung terbalik cukup lama," lanjut As Ketupat. "Sihirnya seharusnya sudah lemah. Tetapi kita tidak pernah bisa menebak para magi, 'kan? Jika bisa, aku akan memberinya Penghambat Manna, tetapi itu akan menghentikan sihirnya dari mengalir sepenuhnya dan kita tidak akan bisa mengambilnya."
"Jadi, untuk melemahkannya dari melawan, kita akan mundur ke cara-cara lama," kata As Keriting dengan nada penuh kemenangan. "Perkenalkan, Jack-ku."
Dia membuka kedua lengannya seperti menunjukkan sesuatu sambil mengatakan itu, dan seekor monster raksasa maju dari kerumunan. Bentuknya mirip Jack Sekop, kecuali cukup jelas bahwa monster yang satu ini punya gangguan mental mengerikan yang bisa dilihat langsung dari matanya.
Plus, dia punya pentungan. Mirip punya As Keriting ... kecuali ukurannya lebih besar.
Dan jelas ada beberapa paku dan duri di permukaannya.
"Pukuli dia," perintah As Keriting padanya sambil menunjuk padaku, kehilangan semua jejak formalitas yang tadi dia pertahankan. Mungkin Jack Keriting terlalu goblok untuk perintah yang lebih ribet lagi atau untuk memahami kalimat yang sedikit lebih ruwet dari perintah itu.
Mungkin 'pukuli dia' adalah satu-satunya frasa yang Jack Keriting pahami di samping namanya sendiri.
Mungkin. Tetapi apa pun itu, itu tidak mengubah apa yang terjadi berikutnya.
Jack Keriting berjalan dengan langkah-langkah raksasa ke arah panggung dengan sebuah cengiran yang terlihat tolol—namun sangat mengintimidasi—terpampang di wajahnya.
Ampun. Pentungan itu enggak terlihat baik untuk kesehatanku.
Melihat siluetnya di balik api unggun, mendadak aku mengingat sesuatu yang agak familier....
Jack-o-Lantern.
Tanpa aba-aba, ingatanku terbang ke saat Jack-o-Lantern di pesta Rumah Budak berseliweran di udara dan menghantam para monster, seiringan dengan tiap langkah Jack Keriting ke arah panggung.
Bagaimana kau mendalang?
Tenang, kata Magus Kepala Suku. Kuasai semua talinya. Kenali tali mana yang mengendalikan apa. Lalu berikan penampilan dan....
"... bertahanlah," lanjutku sambil menggumam.
Tenang.
Fakta bahwa Jack Keriting semakin dekat denganku bukan bahan yang enak untuk meditasi kecil, tetapi jika aku mau selamat dari pentungan yang dua kali lebih seram daripada pemiliknya itu, aku harus mencobanya. Jika sihirku memang sekuat itu, seharusnya aku masih punya cukup sihir untuk bisa melakukan sedikit telekinesis dasar, 'kan?
Tenang.
Tanpa bisa dicegah, saat terakhir aku berusaha menenangkan diri berputar di kepalaku. Aku menabrak seekor skinwalker atau dia menabrakku. Kami berbalik. Dia menyerang. Aku melayang menyeberangi ruangan dan menabrak sesuatu yang keras.
Aku melayang menyeberangi ruangan....
Lalu, begitu saja, aku teringat bagaimana rasanya saat aku melayang: aku tidak terikat. Aku tidak menanti tabrakan atau jatuh seperti saat si roh pembunuh melemparku ke arah Barney. Aku bebas.
Aku tenang.
Wow. Sihirmu kuat sekali, magus.
'Makasih, As.
Aku menghela napas dalam. Aku sedang di atas panggung—jika aku mau memberi pertunjukan, aku harus menguasai diriku dulu.
Tenang.
Aku mengambil satu lagi napas dalam, dan entah dari mana datangnya, aku nyaris bisa menghalau langkah-langkah Jack Keriting yang mulai menaiki tangga ke atas panggung.
Tenang.
Oke.
Kuasai semua talinya.
Aku memfokuskan diri ke ingatan dari Rumah Budak saat para hantu mengelilingiku. Aku memfokuskan diri ke ingatan saat si roh pembunuh nyaris memangsaku hidup-hidup.
Aku memfokuskan diri ke sensasi dingin yang kurasakan saat Barney memanggil Ayam Zombi. Aku memanggil rasa merinding yang muncul setiap Cora menggumamkan sesuatu ke pisaunya.
Kelitik yang familier di punggungku mulai terasa.
Kelitik yang sama dengan saat aku di Rumah Budak dan di Disaster. Kelitik yang akhirnya akan menyebar ke ujung-ujung jariku dan membuat tubuhku merinding sendiri tanpa alasan yang jelas. Kelitik yang membuat bulu kudukku berdiri semua.
Jack Keriting melangkah ke arahku. Dibandingkan dengan jaraknya dari keramaian ke panggung, jarak antara sisi panggung ke arahku tidak ada apa-apanya.
Tetapi, entah bagaimana caranya, aku bisa mencegah diriku dari panik.
Untuk apa? Aku sudah menguasai semua talinya.
Kenali tali mana yang mengendalikan apa.
Jack Keriting mengangkat pentungannya untuk memukulku. Dia bahkan tidak menunggu hingga dia mencapaiku—begitu aku masuk radius pukul pentungannya, dia akan langsung menghajarku.
Pentungan itu diangkatnya hingga ke atas kepala. Aku bisa melihat mulut jelek Jack ternganga sedikit, dan erangannya keluar—awalnya lembut, perlahan semakin keras.
Ini bakalan sakit.
Tali ke pentungan....
Aku menutup mataku untuk menghadapi pukulan ini, tetapi lalu aku malah merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku bisa merasakan semuanya seakan mataku terbuka lebar. Aku tidak bisa merasakan makhluk-makhluk hidup, aku tidak bisa merasakan para monster, tetapi aku bisa merasakan panggung di bawahku dan kayu-kayu yang berkeretak di api unggun.
Dan aku bisa merasakan pentungan Jack Keriting mengayun ke arahku.
Lalu berikan penampilan dan bertahanlah.
Ayo berdansa.
Merasakan pentungan itu tepat di atasku, aku membayangkannya sebagai sesuatu yang sedang dipegang oleh sebuah wayang dan mengikatnya ke sebuah tali imajiner jauh di atasku. Lalu aku menarik tali itu kuat-kuat.
Aku bisa merasakan angin berembus ke wajahku.
Aku menanti selama sedetik. Dua detik. Tiga.
Tidak terjadi apa-apa.
Aku memberanikan diri membuka mata.
Pentungan itu tepat di depan mukaku.
Reaksi pertamaku adalah kaget tak terperi. Tetapi lalu, perlahan, aku baru mulai menyadari bahwa aku berhasil.
Pentungan itu tidak turun lebih rendah lagi.
Aku membayangkan diri menarik tali wayang pentungan tadi bahkan lebih tinggi lagi, dan aku langsung bisa melihat efeknya pada si pentungan—dia langsung terbang naik, meninggalkan tangan pemiliknya.
Aku melemparkan pentungan itu secara mental, dan dia patuh.
Jack Keriting jelas-jelas kaget. Aku tidak bisa menemukan cara lain untuk menggambarkan wajahnya setelah aku membuang pentungannya secara sihir—berani taruhan, ekspresinya mirip dengan tampang-idiot-totalku.
Tetapi tidak ada kejutan yang bertahan selama itu, jadi aku bertindak cekatan.
Sebelum para monster sadar apa yang terjadi, aku langsung mencari tali-temali yang terhubung ke panggung ini secepat mungkin.
Dapat.
Seperti seorang dalang yang buru-buru membereskan wayangnya, aku menarik semua tali itu bersamaan dan panggung di bawahku langsung bergetar keras karena manipulasi dadakan yang dipaksakan padanya: seperti wayang yang dilempar kesana-kemari. Jack Keriting kehilangan keseimbangannya.
Sekarang.
Aku bisa melihat As Ketupat kembali sadar dan mulai membuka mulutnya untuk memberi perintah, jadi sebelum ia sempat, aku langsung menyentak tali-tali panggung ke atas.
Panggung itu dan aku langsung terhentak keras ke angkasa sementara Jack Keriting tersandung dan jatuh.
Perspektif mata-burung Hutan Disaster ternyata sangat cantik, terutama ketika dipampangkan dengan langit malam seperti ini. Tidak banyak mobil di sini, jadi ada saat-saat langka ketika kaubisa melihat langit bertabur gemintang di atasmu. Malam ini memang tidak termasuk malam-malam itu, tetapi tidak ada yang menghalangi bulan dari menyinari segala di bawahnya. Sinar bulan terpantul di ujung setiap helai daun dari setiap pohon di Disaster, membuat pepohonan itu tampak menyala dan tidak berbayang.
Wow.
Lalu aku menyadari sesuatu.
Panggungku jatuh.
Aku jatuh.
Dan di bawah sana—
Kami masih persis di atas para monster.
"Jangan, jangan, jangan—" aku tidak bisa kalah seperti ini—tidak setelah aku menunjukkan pada mereka seberapa kuat aku saat aku seharusnya sedang sangat lemah. Apa yang membuat orang lapar semakin lapar selain membiarkannya mencicipi betapa enaknya sebuah hidangan?
Tenang.
Menjaga dirimu tenang saat jatuh bebas ke tanah ternyata lebih sulit daripada memaksakan dirimu menjadi tenang saat monster dengan pentungan raksasa yang berniat membunuhmu datang mendekat.
Tapi aku harus—tenang.
Ayolah, Alden.
Aku menghela napas dalam-dalam dan berusaha mengabaikan angin yang meniup wajahku.
Kuasai semua talinya.
Aku mencari lagi secara mental tali-temali yang terhubung dengan panggung ini dan memaksanya untuk menegang kaku dengan setiap titik kekuatan yang bisa kukumpulkan. Panggung itu mendadak berhenti bergerak, dan aku jatuh di atasnya dengan sangat tidak anggun.
Paling tidak aku tetap jauh di atas tanah.
Aku memanfaatkan sisa waktu yang kumiliki dari fokus dadakan ini untuk membuka ikatanku. Hmm, ternyata tidak sesulit itu. Talinya memang kencang dan berat, tetapi sedikit tarikan sihir di sini dan situ ternyata cukup.
Bagaimanapun juga, saat aku baru menikmati lengan dan kakiku yang akhirnya bebas, aku baru menyadari bahwa aku lupa satu hal fatal: ada monster yang bisa terbang.
Aku pertama menyadari kesalahan itu saat sebuah pekikan—yang familier—bergema ke seluruh penjuru Disaster. Lalu aku melihat bayangan yang familier melakukan putaran penuh di udara.
Si roh pembunuh.
Amarah dan takut langsung berebut posisi di dalam diriku, tetapi aku memutuskan ini bukan waktu untuk kehilangan kendali atas panggung yang sedang kunaiki. Jadi aku berpegangan seerat mungkin ke apa pun yang masih bisa kupegang dan menyentak tali-talinya ke arah depan.
Panggung ini patuh.
Aku tiba-tiba merasakan hormat yang amat sangat pada Aladdin jika dia benar menerbangkan karpet. Karpet mungkin lebih ringan, tetapi karpet tidak kaku dan mengendalikan semua tali-temalinya untuk menjaga bentuknya pasti sangat sulit. Panggung ini kaku, jadi hanya memiliki sedikit tali, tetapi di samping fakta bahwa panggung ini berat dan aku ada di atasnya, aku sudah merasa sangat repot berusaha mengendalikannya.
Aku masih tidak bisa cukup fokus untuk berusaha memanipulasi tali-temali panggung ini satu per satu—yang mungkin bisa membuatku mengendalikan panggung ini ke level triplek-demi-triplek—tetapi aku masih bisa cukup tenang untuk bisa menyentakkan semua talinya ke satu arah.
Mempertahankan gerakan ini sambil berusaha berpegangan erat-erat—dua hal yang tidak bisa dilakukan bersamaan.
Namun pekikan dari belakangku semakin keras—roh itu semakin dekat.
Ayolah, Alden, ayo—
Ada pekikan lagi dari bawah. Oh, ya ampun.
Tetapi ada yang aneh soal pekikan dari bawah itu—kedengarannya lebih seperti raungan bernada tinggi. Aku melirik ke bawah.
Ada zombi. Banyak zombi. Aku melihat orang-orang mati bergoyang lembut dalam barisan-barisan rapi, melihat ke atas ke arahku dan si roh pembunuh, menggeram pada kami.
Tapi ada hal lain juga: lingkaran-lingkaran sihir.
Setiap zombi dikelilingi oleh lingkaran sihir kecil, bersinar nyaris seterang bulan di atas sana.
Necromancy.
Di samping merasa puas akhirnya bisa menggunakan istilah sihir dengan tepat—dan bahkan menebak sihir apa yang sedang digunakan—aku mulai menurunkan panggungku perlahan-lahan dan aku terbang semakin dekat dengan tanah dan gerombolan zombi itu. Hanya beberapa meter di belakang pasukan orang mati itu, aku bisa melihat orang-orang berdiri dalam dua baris rapi, semuanya mengenakan kalung-kalung dari tulang-belulang.
Para Necromancer.
Jeritan yang tidak mungkin kulupakan menoreh udara di belakangku, dan aku bisa melihat si roh pembunuh meningkatkan kecepatannya. Kedua sayapnya terlipat, mulutnya terbuka lebar, menunjukkan dua baris gigi jeleknya, dan dia menerjangku seperti roket.
Aku membuka mulut untuk menjerit.
Jeritan itu batal.
Salah satu zombi dari bawah tiba-tiba melompat ke atas dan menerkam si roh dari sisinya, mematahkan tukikan sempurnanya ke arahku. Begitu mereka berdua jatuh, para zombi lain di sekeliling mereka langsung berlari ke arah tempat mereka jatuh dan mulai menindihnya. Pekikan roh itu muncul lagi, tetapi suaranya langsung terpotong dengan tiba-tiba disertai bunyi krak menyakitkan yang bergema di pepohonan.
Zombi berkumpul dan memangsa dalam gerombolan. Persis di film-film zombi. Hmm. Mungkin mereka memang benar, paling tidak sesekali.
Aku mendaratkan panggungku dengan aman di depan para Necromancer. Aku mengenali beberapa dari mereka: Pak Green, caraka di sekolahku. Lalu teman sekelasku Nathan dan kakaknya Natalie. Lalu beberapa wajah lain yang aku kenal.
Aku tidak tahu harus berterima kasih pada mereka karena menyelamatkanku atau memarahi mereka dulu karena merahasiakan ini semua dariku selama delapan belas tahun. Tetapi satu wajah familier keluar dari kerumunan—cowok yang akhirnya menyingkirkan kostum muminya, tetapi masih mengenakan headphone jingga raksasa itu di lehernya.
Barney.
"Bung ...," mulaiku, tetapi dia mengangkat satu tangan.
"Ini, Alden," katanya, menelengkan kepala sedikit ke arah para Necromancer di belakangnya, "adalah kenapa bersosialisasi itu penting."
Aku tidak bisa mencegah diri tersenyum canggung, tetapi kata-kata Barney mengingatkanku pada seseorang yang lain. Jantungku mencelus begitu aku ingat. "Apa yang terjadi pada anak-anak tengah malam lainnya?"
"Mereka enggak apa-apa," jawab Pak Green. "Si pengecut Mark mungkin butuh bantuan ekstra, sih. Tetapi mereka semua tidak kenapa-kenapa. Trauma, tapi tidak kenapa-kenapa."
"Dan ...," aku menoleh ke Barney. "Cora?"
"Dengan para Covens," jawabnya. "Mereka akan mencoba mengadakan mantra perlindungan di seluruh Calamity untuk mencegah kabut ini menyebar. Kami baru saja mau ke para Shaman untuk meminta mereka mengadakan perlindungan untuk semua orang di kota ini, terutama untuk para nonmagi, tapi, yah ...," nada Barney turun. "Aku sudah bicara dengan ketua klanku soalmu. Dan kebetulan baru saja dia memutuskan menyelamatkanmu dulu, kau datang sambil menerbangkan ... apa itu, panggung?"
"Buatan," kataku. "Atau mungkin dicuri. Entahlah."
"Oleh?"
"Para monster."
Barney mengerutkan dahi. "Untuk apa?"
"Menguras sihirku untuk tujuan jahat mereka," kataku. Aku berusaha meniru nada yang sedikit lebih terdengar seperti penjahat di film kartun, tetapi karena aku menyadari bahwa tidak seorang pun di sini sedang mau bermain-main, aku berhenti. Barney menoleh kepada para Necromancer. Ekspresinya tidak kurang dari kaget dan suram.
"Tetap dengannya," kata seorang Necromancer dari keramaian. Aku baru menyadari bahwa dia mengenakan lebih banyak kalung belulang daripada yang lainnya, dan ada aura pemimpin pada dirinya. Dia pasti ketua Necromancers.
Barney mengangguk. "Sudah. Sekarang ayo ke para Shaman."
"Tunggu," kataku. "Ada orang lain di dalam sana. Mereka terkurung, dan sangkarnya diberi semacam amulet anti-sihir, jadi mereka tidak bisa kabur. Tidak dengan sihir."
"Dan bagaimana kautahu ini?" tanya sang ketua.
"Aku ditahan di sana," aku melotot padanya. "Aku melihat mereka berusaha merapal mantra. Tidak ada yang berhasil."
Aku nyaris memberi tahu mereka soal info dalam dari As Hati, tetapi aku mencegah diri. Sesuatu membuatku merasa ini belum waktunya. Belum. Pada saat ini, mereka memandang para monster sebagai musuh. Ketika mereka sadar bahwa musuh memiliki cukup kecerdasan untuk bisa bicara dan memberitahuku macam-macam, mereka pasti akan mencurigainya berbohong kepadaku. Dan aku lebih tahu daripada itu. Aku tidak bisa merisikokan teman-temanku yang disandera tidak segera diselamatkan, jadi aku tidak perlu memberi tahu para Necromancer soal 'kebohongan' itu.
"Tapi siapa yang memberi amulet ke sangkar itu?" tanya Barney. "Magus pengkhianat?"
"Tidak. Beberapa monster mengenakan perhiasan. Ternyata beberapa perhiasan itu mengandung sihir."
"Untuk apa para monster membawa perhiasan?"
"Sebenarnya," kata sang ketua. "Itu bisa dilacak ke zaman antik. Contoh termudahnya adalah Fafnir si Naga Kikir dari mitologi Nordik Kuno—tapi ini bukan waktunya. Jacob, berikan aku intel dari dalam Disaster. Bawa tim jika perlu. Nat, Nathan, aku butuh kalian untuk mengumpulkan para penyihir dari Covens dan Shamans untuk mengadakan serbuan. Jika para monster memang menyandera magi di dalam sana, mereka pasti dijaga." Dia menoleh ke arahku. "Mereka sudah mencoba menguras sihir ... anak ini. Tidak ada jaminan mereka tidak akan mencobanya lagi pada yang lain."
Selama sesaat, dia nyaris mengatakan sesuatu selain 'anak' untuk menyebutku. Ada kesan kelam di matanya saat dia nyaris keceplosan, namun detik berikutnya kesan itu sudah lewat.
Pak Green—nama depannya adalah Jacob—mengangguk dan keluar dari kerumunan. Beberapa Necromancer mengikutinya, dan bersama, mereka membuat beberapa lingkaran sihir di tanah. Ada lingkaran kecil yang kukira akan diberi lilin, tapi ternyata tanpa lilin sekalipun, tempat itu terbakar dan langsung padam begitu saja.
Entah aku terlalu lelah untuk bisa terkejut atau aku mulai terbiasa dengan hal ini. Tapi tetap saja bulu kudukku berdiri semua.
Dari tengah lingkaran-lingkaran sihir mereka, burung-burung kecil bermunculan—kolibri, burung gereja, burung kenari—dan mereka semua diam.
"Pergi," kata Pak Green singkat. Burung kolibrinya mengangguk kecil sebelum terbang cepat, naik ke udara, masuk ke Disaster, dan hilang dari pandangan. Kedua burung lainnya mengikuti di belakangnya.
Begitu ketiga burung itu hilang dari pandangan, Sang Ketua kembali melanjutkan berjalan dan semua orang mengikuti—kecuali Nat dan Nathan, yang pergi ke arah lain untuk mengumpulkan tim penyelamatan mereka. Aku memutuskan mengikuti para Necromancer.
"Jadi kita mau ke mana?" tanyaku pada Barney.
"Shamans," katanya. "Berdoalah mereka sedang mood menolong."
"Kenapa, mereka jarang bekerja sama?"
"Hmm, bukan juga," katanya. Dia berpikir sesaat. "Mungkin lebih seperti ... mereka tidak bisa diduga. Mungkin itu karena sihir mereka. Entahlah."
"Kenapa sihir mereka membuat mereka jadi ... tidak bisa diduga?"
Barney berpikir sebentar sebelum mengerutkan dahinya lebih dalam lagi."Kau akan lihat sendiri."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro