Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. WE ALSO HAVE SOME MONSTERS...

Catatan Penulis: Ini dia Bab Keenam. Maaf keterlambatannya. Hehe. Aku juga belum menang lomba panahan itu. Hampir dapat Medali Perunggu, tetapi lalu tersusul. Hiks. Mungkin lain kali.

Maaf ngelantur. Selamat menikmati!

//

She looks up; the moon is racing along.

Her dark gaze is drowned in light.

-Transfigured Night, Richard Dehmel (diterjemahkan oleh Stanley Applebaum).


Kepalaku sakit banget.

Aku akhirnya bisa merasakan belakang kepalaku menabrak sesuatu, walaupun segera lewat. Lalu sesuatu yang lain. Lalu lainnya. Lalu—

Tunggu.

Bebunyian mulai merambat masuk ke telingaku dan aku perlu waktu untuk membedakan mereka, tetapi kemudian aku mengenalinya sebagai suara seretan.

Aduh, protes kepalaku saat kerikil lain menubruk belakangnya.

Aku benar-benar pusing. Aku tidak tahu apa yang menubruk kepalaku setelah skinwalker itu melemparkanku menyeberang ruangan, tapi aku tahu pasti bahwa benda itu keras dan tidak dibuat untuk menangkap kepala. Jelas bukan cara favoritku untuk mendarat kepala duluan.

Bunyi seretan lagi. Daun-daun kering retak dan rontok. Suara langkah.

Langkah lembut. Sangat lembut.

Tunggu dulu.

Setelah dua puluh detik penuh, aku akhirnya baru sadar kenapa suara seretannya sangat dekat padahal aku tidak bisa melihat siapa pun lagi.

Kepalaku sakit banget.

Si skinwalker terus menyeretku. Aku bisa mencium bau udara hutan, dan dedaunan kering di tanah memastikan itu—lapisan daun kering di tanah cuma bisa setebal ini di hutan Disaster kami tersayang.

Wow. Satu tantangan ke Rumah Budak bisa berujung begini.

Aku mendengar geraman, dan aku mengenali suara itu dari arah skinwalker yang menyeretku. Lalu ada geraman lain yang muncul dari tengah kabut entah di mana yang menjawabnya.

Bahkan dengan jimat pembersih-kabut pemberian Cora, aku masih tidak bisa melihat siapa yang menjawab tadi. Siapa pun penggeramnya, dia terlalu jauh untuk kulihat.

Geraman lagi, kali ini lebih seperti lolongan kasar, muncul dari sisi lain.

Aku mengerang, tetapi satu geraman rendah dari skinwalker yang menyeretku—panjang sekali, aku panggil saja dia Bob—membuatku kembali pura-pura diam.

Bob menjawab lolongan itu dengan lolongannya sendiri, dan aku bisa melihat melalui kabut ini bahwa kami mencapai bukaan di antara dua pohon sangat tinggi yang tampak seperti sebuah gerbang. Aku bisa mengenali bentuk dua skinwalker menjaga pos di masing-masing pohon.

Oh. Ternyata itu memang sebuah gerbang.

Semakin dekat kami ke gerbang itu, semakin jelas aku bisa mengamati dua skinwalker tadi. Kepala mereka lebih mirip kuda daripada serigala, tidak seperti kebanyakan skinwalker yang kulihat di pesta. Bahkan Bob sendiri tampak lebih mirip serigala daripada kuda. Tetapi, sekali lagi tidak seperti para skinwalker yang datang ke pesta kami, dua skinwalker penjaga ini membawa tombak. Mereka juga mengenakan baju zirah kulit yang diselempangkan melewati pundak dan melindungi torso.

Para skinwalker tidak tampak seperti makhluk yang cukup pintar untuk membuat senjata bagiku—aku bahkan tidak yakin mereka cukup paham soal pembagian tugas hingga bisa ada yang kebagian menjadi penjaga begini. Sepertinya aku salah.

Ketika Bob menyeretku melewati gerbang itu, kedua skinwalker-kepala-kuda itu menatapku dengan dingin seakan menyeret korban manusia itu sudah awam di antara para skinwalker.

Bukan, aku ingat Barney bilang. Mereka mau orang.

Tentu saja itu sudah awam.

Saat Bob akhirnya melepaskanku, aku mendengar beberapa langkah ringan dan dua ekor skinwalker lain—kali ini dengan kepala seperti angsa raksasa—datang dan mengikatku: satu mengikat kakiku dan yang satu lagi mengikat tanganku setelah diangkat di atas kepala. Seakan aku masih bisa melakukan apa-apa, seekor monster raksasa berotot besar dengan sebatang sekop disarungkan seperti pedang di sabuknya datang dan membopongku di pundaknya yang lebar.

Makhluk ini berbau kekejaman busuk. Kulitnya berwarna kelabu gelap—tidak pucat—dan ada bekas luka di mana-mana, meninggalkan jejak-jejak berdarah di sekujur tubuhnya. Ada juga tempat yang tampaknya mulai membusuk, tetapi aku tidak yakin.

Di samping wujudnya yang mirip manusia, aku masih tidak mengerti bagaimana sekop tadi bisa masuk akal.

Makhluk itu membawaku ke sebuah bukaan. Dari suara kayu-kayu yang berkeretak dan kehangatan yang menggelitik kulitku—kontras dengan rasa maut dari kabut itu—aku bisa menduga ada api unggun di dekat sini. Tetapi, bukannya obrolan atau canda-tawa, yang bisa kudengar cuma geraman dan lolongan. Sesekali tawa bernada tinggi juga muncul, tetapi aku tahu cuma sedikit yang bisa bersuara seperti itu.

Bagaimanapun juga, aku juga bisa mendengar teriakan minta tolong dan isak tangis di dekatku. Begitu leherku akhirnya bisa bergerak, aku menoleh sedikit untuk melihat dan menemukan teman-temanku dari pesta dikurung dalam sebuah sangkar.

Bahkan si Succubus Tukang Kedip ada di situ, menangis sampai maskaranya luntur. Semuanya tampak babak-belur, dan banyak luka cakaran juga di sekujur tubuh mereka. Kostum mereka—atau, tepatnya, apa pun yang tersisa—tampak sobek di mana-mana.

Aku bisa melihat beberapa dari mereka berusaha dengan putus asa untuk membuat lingkaran sihir secara mental—beberapa bahkan secara fisik—tetapi lingkaran-lingkaran mereka terus-menerus menghapus diri. Sangkar itu pasti dimantrai agar tidak bisa disihir. Beberapa anak lain menggenggam jimat mereka dan bergumam komat-kamit—entah mereka berusaha melakukan mantra atau berdoa, aku tidak tahu. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada bedanya.

Magus Kepala Suku. Barney. Cora.

Aku tidak melihat mereka di mana-mana.

Cora. Zoey....

Anak-anak tengah malam juga tidak ada. Jantungku mencelus waktu aku menyadari bahwa mereka tidak mungkin bisa menjaga diri mereka sendiri. Mereka tidak bisa berlari seperti yang lain. Mereka bahkan tidak bisa melakukan apa-apa.

Apa yang terjadi pada mereka?

Pikiran-pikiran itu kabur sebentar dari kepalaku saat si monster besar tiba-tiba menjatuhkanku. Beberapa skinwalker datang dan mengikatkan tali di kedua kakiku dengan satu tali lagi yang tampak lebih tebal, dan tiba-tiba aku merasakan tarikan dari situ.

Menyeretku lagi, tetapi dengan tali yang lebih tebal? Apa bedany—?

Swush.

Suara itu memelesat melewati telingaku saat pusing tiba-tiba menyergapku. Saat aku merasakan bahwa aku sedang tidak berbaring, aku baru sadar bahwa gravitasi sudah berpindah arah.

Tali tadi ternyata untuk menggantungku terbalik.

Oh, Alden, ayolah. Kau lebih pintar dari ini.

Dan biasanya kau tidak pingsan tiga kali semalam, sindirku balik.

Aku membuat catatan mental untuk berusaha tidak pingsan lagi.

Kepalaku sakit banget.

Aku nyaris bisa mendengar darahku berdesir ke kepala. Rasanya seperti pusingku baru saja mulai.

Walaupun aku digantung dengan kepala di bawah, aku bisa melihat apa yang sedang terjadi di sekeliling api unggun. Para monster yang duduk di sana, yang sedang makan dan saling menggeram dan meraung pada satu sama lain, tampak seperti si besar yang tadi membopongku. Kulit mereka yang kelabu gelap tampak bahkan lebih gelap lagi di balik api unggun, tetapi luka-luka mereka memantulkan cahayanya dan berkilau. Tiga dari mereka mengenakan topi penyihir atau topi serupa berbentuk kerucut, dan beberapa yang lain mengenakan perhiasan bertatahkan berbagai bebatuan permata yang bisa dijual seharga jutaan dolar.

Bagaimanapun juga, ada suara bergemerisik di dekat kepalaku sebelum aku sadar bahwa seseorang—atau sesuatu—sedang mendekatiku.

"Jadi ini dia yang memulai segalanya."

Suara lembut muncul dari bawah—bukan, atas—diriku. Aku berusaha melihat atas—atau mungkin bawah, karena ke arah pinggangku—atau terserah—dan aku disambut dengan pemandangan seorang monster.

Ia sejenis dengan para monster yang duduk di sekitar api unggun, seperti si besar tadi. Tetapi tidak seperti si besar, monster ini tampak lebih seperti wanita—paling tidak posturnya seperti wanita, dan ia jelas punya ciri-ciri feminin. Suaranya juga lebih seperti wanita.

Aku bahkan tidak tahu mereka bisa bicara, jika aku menilai dari geraman mereka yang duduk di sekitar api unggun.

Lalu dari berbagai luka berdarah yang menghiasi sekujur tubuhnya yang kelabu gelap, ada satu luka yang menarik perhatianku—lukanya ada di lengan atasnya, mencapai ke bahu, dan tidak mungkin ada orang yang bisa salah melihatnya sebagai bentuk selain lambang heart.

Aku tidak bisa melihat wajahnya karena ia cukup tinggi hingga berusaha melihat ke arah sana membuatku sulit bernapas, tetapi ia jelas termasuk yang mengenakan topi penyihir.

"Memulai ... apa?" kataku terengah-engah. Bayangkan harus melihat sangat ke bawah hingga dagumu menyentuh pangkal leher. Lalu bayangkan harus bicara saat sedang begitu. Belum lagi digantung terbalik.

Si monster tertawa. "Ah, tentu saja memulai semua ini!" tangannya dibuka lebar-lebar, seperti menunjukkan segala hal di sekitarnya. "Sudah ratusan tahun lamanya semenjak kami terakhir berkelana di tempat ini secara jasmani! Bukankah ini menarik?"

Aku cukup yakin definisinya soal 'menarik' beda dengan definisiku, jadi aku tidak menjawab. Si monster, bagaimanapun juga, sepertinya tidak peduli. Wow. Dan aku kira monolog tokoh jahat sudah tidak laku.

Sudah berapa kali aku salah beberapa jam terakhir ini?

"Yah," katanya tenang sambil mulai berjalan mengelilingiku. "Cukup makan waktu untuk mencarimu di semua kekacauan ini. Seluruh tempat ini, maksudku. Banyak sekali pengguna sihir." Ia berhenti sebentar. "Kita pernah saling bertemu dulu sekali. Tidak pernah baikan lagi sejak itu."

Ia mengajukan satu tangan dan aku bisa merasakannya menyentuh mata kakiku. Sentuhannya terasa dingin.

"Kami bahkan tidak tahu kenapa kami ke sini dari awal. Mungkin karena itu semua sebuah permulaan baru, tahu maksudku? Semuanya begitu segar waktu itu. Sangat berbeda dengan dunia kami. Bukannya dunia kami buruk; tidak, kami sudah mengubahnya sesuai kebutuhan kami. Dan tidak, kami juga tidak punya semangat penjelajah semacam itu juga." Jarinya yang dingin bergerak lembut melintasi mata kakiku. "Tapi coba lihat lewat sudut pandang ini—suatu hari, kau menemukan sebuah dunia yang sangat sempurna, sangat penuh dengan segala yang kauinginkan dan butuhkan, tetapi dunia ini juga dipenuhi dengan makhluk-makhluk yang sangat mirip sepertimu. Nyaris. Awalnya, semua orang akan sangat terkesan. Lalu alam akan membuka satu-satu semua rahasia. Lalu hanya akan ada ketakutan."

Ia menghela napas sementara jejak garisnya di mata kakiku berhenti.

"Rasa takut inilah yang tidak pernah pergi. Rasa takut inilah yang membuat kalian memulai perang melawan kami. Rasa takut inilah, Penyihirku—" ia berhenti mendadak, dan menurutku itu sangat aneh. "Oh, tunggu, aku tidak bisa memanggilmu Penyihir, aku sudah punya kenalan dengan nama itu. Sekarang bagaimana kalian menyebut jenis kalian? Maaf, aku sudah tidak di sini sejak tahun 1480-an kalian."

Keheningan sejenak yang menyusul terasa seperti sebuah nostalgia. Aku semakin pusing lagi.

"Intinya, kami cuma melakukan yang kami harus lakukan," lanjutnya. "Sebenarnya, ini bagian dari sifat kami: semakin superior suatu makhluk, semakin mereka ingin menaklukkan karena mereka merasa bisa melakukan segalanya. Penjelajahan. Tanah-tanah tak bertuan. Dunia-dunia baru. Satu prestasi tidak akan cukup. Mereka ingin lebih." Ia tertawa pahit. "Dan sebagian kecil dari kami sendiri ternyata cukup pandai juga untuk bisa merasakan kelaparan semacam itu. Lagi pula, bicara dari segi ukuran, manusia cukup besar untuk jadi sumber nutrisi bagi kami. Karena itu juga tidak semua dari kami memburu manusia untuk dimakan. Kami juga mengincar binatang ternak, bahkan kadang hewan liar. Ukuran memang penting. Tetapi ada rasa khusus ketika kami mencicipi manusia. Seperti ada rasa menantang, mengeringkan sainganmu dalam mendominasi. Mungkin karena itulah kami mendapati manusia sangat menarik."

"Jadi ini semua soal itu?" aku berusaha bertanya, menyerah berusaha melihat wajah monster ini dari sejak lama. "Perang demi dominasi?"

Si monster tertawa. Ia hampir terdengar bersahabat. "Dominasi? Nak, terburu sekali kesimpulanmu! Bukan, bukan. Kami tidak butuh itu. Kami sudah punya dunia sendiri, ingat? Menurutku kami sudah kehilangan kesempatan untuk dominasi ratusan tahun yang lalu, waktu jenismu mengusir kami kembali ke dunia kami sendiri. Coba pikirkan ini lebih seperti ... sebuah balas dendam. Bayangkan menentukan sebuah tujuan, lalu digagalkan oleh seseorang. Seseorang yang sangat khusus, sangat spesifik. Lalu suatu hari, entah dari mana, seseorang yang lain memberimu kesempatan untuk membalaskan dendammu pada orang tadi tanpa perlu membayar akibat apa-apa. Jenis kami bukan jenis yang akan melewatkan kesempatan ini. Percayalah, aku sejenis mereka sendiri."

Aku bisa merasakan tekanan di dadaku dan udara kabur dari paru-paruku.

Tekanan itu lebih terasa seperti datang secara mental daripada fisik. "Jadi maksudmu, aku membiarkanmu melakukan semua ini?"

Suara si monster melembut. "Di satu cara, ya. Aku tidak tahu pasti bagaimana kau melakukannya, dan aku tidak tahu kenapa. Aku tidak tahu bagaimana persisnya itu terjadi, tetapi kaubisa percaya padaku soal ini—kami tahu kami sudah tidak di dunia kami lagi."

Aku tidak membahas itu lebih jauh—aku ingat bagaimana rasanya kabut itu. kau langsung tahu saja bahwa asalnya bukan dari dunia ini, dan dari mana pun itu, itu bukan tempat yang dibuat untukmu.

"Tapi jangan merasa bersalah," lanjutnya. "Kau memberi kami kesempatan untuk membalas dendam. Itu hal paling murah hati yang bisa kauberi kepada seseorang. Dan aku berterima kasih untuk itu."

"Hal paling murah hati yang bisa kuberikan adalah memastikan tidak ada yang perlu membalas dendam," gumamku balik.

Hmm. Balasan. Sepertinya akalku mulai kembali lebih cepat dari dugaanku.

Bagus.

"Aku bisa merasakan banyak jenismu di sini," katanya, menebar pandangan. "Beberapa bahkan memberi perlawanan luar biasa, sedengarku. Tapi aku tahu ada lebih banyak lagi di luar sana." Ia berjongkok. Untuk pertama kalinya, ia mendekatkan wajahnya padaku dan aku akhirnya bisa melihatnya.

Aku menyesalinya.

Rasanya memusingkan. Tidak mengerikan, dan tidak menghantui. Memusingkan. Bahkan agak membuatku mual. Tidak ada yang bisa lebih menarik dan menjijikkan di saat yang bersamaan sepertinya. Aku bisa melihat bentuk dan ciri wajah manusia di sana, dan demi apa pun, ia sangat cantik dari definisi mana pun. Bahkan fakta bahwa salah satu matanya putih polos dan ketiadaan lubang hidung kirinya tidak merusak itu. Tetapi ada luka-luka, lecet-lecet, dan—semoga cuma mataku saja—beberapa ekor cacing juga di sana, menciptakan kontras yang sangat aneh. Seakan-akan wujud fisiknya menunjukkan keduaan: ia manusiawi dan kehewanan. Ia cantik dan cacat. Semuanya tercampur dengan sangat tajam hingga melihatnya saja membuatku pusing.

Dan melihatnya terbalik sama sekali tidak membantu.

"Dan," ia melanjutkan terus. Aku melihat enam taring ekstra di dalam mulutnya jika dibandingkan mulut manusia. "Seperti moyangmu yang tidak berhenti memburu kami hingga yang terakhir, kami juga tidak akan berhenti hingga mendapatkan kalian semuanya satu-satu."

Ia tersenyum licik dan menyentuh hidungku lembut dengan setiap kata yang dikatakannya.

"Semuanya. Satu. Satu."

Ia berdiri lagi, melanjutkan jalan-jalan malasnya mengelilingiku.

"Rasanya sulit, kautahu," katanya sambil menyentuh lagi mata kakiku dengan jarinya yang dingin. Aku tidak bisa menahan merinding sedikit. "Menjadi seorang As. Menjadi satu-satunya yang mampu berpikir di antara idiot-idiot pemandi lumpur itu. Mereka dari jenismu yang terkutuk dan berubah wujud terkirim ke dunia kami, dan mereka sudah kehilangan sebagian besar kepribadian manusia mereka. Mereka bukan teman-teman terbaik yang ada. Bukannya ada yang mau berteman dengan mereka juga. Tapi aku lebih senang berada di sekitar teman yang bisa menggunakan otak yang mereka punya."

"Seorang ... As?" ulangku.

"Iya, seorang As," katanya. Ia menyempatkan diri berhenti di depanku untuk cemberut. "Oh iya, aku belum bicara soal hierarki kami. Bisa dibilang kami semacam menginspirasi ide moyang kalian soal setan dan sebagainya. Aku dengar jenismu sekarang sudah bisa membuka lebih banyak lagi Pintu ke lebih banyak lagi dunia, jadi mungkin mereka memang ada seperti kata moyang kalian. Tetapi hal lain di budayamu—mereka jelas berasal dari kami. Pernah dengar soal Tarot?"

Jelas sudah. Kartu ramalan itu. "Ya."

"Mereka aslinya cuma kartu mainan, tahu tidak? Tetapi kalian manusia menemukan cara membuatnya jadi lebih menarik. Aku yakin kau sudah tahu kartu Tarot dibagi ke kelas-kelas bernama ... Arkana? Arkana Mayor, Arkana Minor, sejenis itu?"

Aku mengangguk. Ampun, itu sulit sekali.

Tetapi ia lalu tidak bicara. Ia mulai menunjuk ke beberapa monster. "Ratu. Kekasih. Hakim. Roda Takdir." Ia berhenti sebentar, matanya mencari-cari. Lalu ia mulai menunjuk lagi. "Bintang. Kereta Kuda." Ia melirik ke arahku dan tersenyum singkat sebelum menunjuk ke monster lain. "Penyihir. Mereka menginspirasi kartu-kartu itu. mereka menginspirasi Arkana Mayor. Kartu-kartu Arkana Minor, sementara itu, adalah benda-benda yang bisa mengusir mereka. Dan aku yakin aku bisa menganugerahi diriku sendiri dengan mahkota penginspirasi set kartu main lainnya juga."

Lalu apa katanya tadi terngiang kembali di kepalaku: rasanya sulit, kautahu. Menjadi seorang As.

Seorang As.

Lalu aku teringat luka aneh di lengannya.

Heart.

Tidak mungkin.

"Kau Ace of Hearts," kataku setengah berbisik. "As Hati."

Ia terkikik. "Bagus sekali," katanya. Lalu ia tertawa lepas. "Akhirnya! Seseorang yang bisa berpikir!"

Lalu aku teringat monster-monster lain di sekeliling api unggun dan monster besar yang tadi membopongku.

Sekop. Permata—Diamonds, set Ketupat.

Semuanya baru masuk akal.

"Ya, aku seorang As," katanya. "Dan hierarki yang tadi kubicarakan—urutannya kurang lebih sama dengan urutan dekmu. As, Raja, Ratu, Jack, dan sisanya. Beberapa bahkan sudah pindah Set."

Set. Ia mengelompokkan jenisnya dengan set.

Tarot. 52-Standar. Hmm.

"Bukannya Raja seharusnya ... pandai juga?" tanyaku. Ia menghela napas.

"Sayangnya tidak. Sepintar-pintarnya monster jenis kami adalah kelas As. Para Raja ... yah, sebut saja, lebih manja daripada yang lainnya. Kasus serupa, tetapi lebih parah, berlaku juga pada para Ratu. Para Jack ... besar dan dungu. Otot di atas otak."

Aku teringat si besar yang membopongku ke sini.

Sekop.

Jack Sekop.

Anehnya, rasanya lebih nyaman bisa mengenali identitas makhluk-makhluk ini. Paling tidak, jika aku harus menyebut mereka lagi, aku bisa membedakan mereka satu sama lain. Lagi pula, sesedikitnya ilmuku soal sihir, aku pernah baca bahwa beberapa sihir Mesir kuno cuma bisa dilakukan ke seseorang jika kautahu nama mereka. Mengetahui nama makhluk-makhluk ini mungkin berguna nanti.

Aku digantung terbalik, tidak bisa apa-apa, dan masih menyempatkan waktu untuk mencemaskan soal nama para monster. Sepertinya itu akhirnya melompati ambang batas kenormalan.

Tetapi suara As Hati menjadi agak sedih. "Bagaimanapun juga, magusku, sepertinya kita tidak bisa menemani satu sama lain seperti ini lagi dalam waktu dekat. Sangat disayangkan. Aku sangat menikmati ini."

"Apa—apa maksudmu?" aku jelas tidak bertanya soal ia menikmati berteman denganku.

Ia berjongkok lagi, kali ini wajahnya persis di depan wajahku. Selama sesaat, matanya (satu-satunya) berkedut dan ada kecemasan asli di sana. Ekspresinya seperti ekspresi yang akan dimiliki seseorang yang tahu bahwa ibu temannya baru saja meninggal, tetapi si teman tidak tahu. "Aku tidak akan ke mana-mana, jika itu maksudmu," katanya. "Oke, mungkin aku akan pergi juga nanti pada akhirnya. Tetapi kau tidak bisa menemaniku lagi, dan ada dunia di luar sana yang menanti kutaklukkan."

"Apa yang berusaha kau sampaikan?"

Ekspresinya berubah. Nyaris heran-heran geli. "Magusku, aku sedang bicara, tentunya, mengenai kenapa kau digantung di sini dan tidak dikunci di sangkar-sangkar sana bersama teman-temanmu."

Jantungku mencelus.

Ia benar.

Kenapa aku digantung dan tidak dikurung?

Aku nyaris bisa merasakan bibirku bergetar begitu aku menyadari jawabannya.

Kekuatan sihirmu membuatku cemas, Alden, kata Cora.

Lalu para hantu di Rumah Budak mendekatiku juga karena aku terlihat seperti lampu neon hidup.

Dan mereka membicarakan topik yang sama.

Sihirku.

Aku bisa merasakan leherku tercekat. "Maksudmu—"

"Ya," kata As Hati. Ia memberiku satu senyuman sedih yang terakhir."Kami akan menguras paksa sihirmu, magus. Dan, sayangnya bagiku, adakemungkinan besar bahwa kau tidak akan selamat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro