Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. TO YOUR LEFT, IT LOOKS LIKE A RAID...?

Seasonless, herbless, treeless, manless, lifeless-

A lump of death-a chaos of hard clay.

-Darkness, Lord Byron, 1816.


"Aku tidak mengerti."

Barney sudah melelehkan lagi Ayam Zombi sampai ke tulang-tulangnya, dan kami melanjutkan perjalanan kami ke pesta Rumah Budak Warren.

"Tidak mengerti apa?" tanya Cora sementara Barney merapikan barang-barangnya dalam diam.

Aku menatapnya. "Sihirku. Maksudku, waktu dia pertama manifestasi di Rumah Budak, dia menjadi semacam mekanisme pertahanan, 'kan? Dia membuatku Membersihkan semua hantu di situ. Dia melakukan spektrosida karena para hantu...."

Aku teringat budak pertama yang ku-Bersihkan—saat ia melihatku, aku tampak seperti lampu neon hidup. Ia mau mengambil sihirku untuk memperkuat diri. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi padaku jika dia berhasil mengambil sihirku. Ia tidak peduli aku hidup atau mati. Aku menggeleng.

"... karena para hantu mau membunuhku. Sihirku melindungiku. Tetapi vampir itu ... kenapa sihirku tidak, entahlah, membakarnya atau semacamnya?"

Cora merogoh sakunya dan mulai menguncir rambut. Ia sedang gugup—ia jarang menguncir rambut kecuali saat sedang berolahraga atau sedang tegang. "Aku tidak tahu, Alden. Sihirmu ternyata lebih sulit dikontrol dari yang kubayangkan. Pertama kali sihir bermanifestasi, biasanya mereka tidak membuat penyihirnya melakukan mantra. Biasanya mereka cuma berulah sendiri. Tapi sihirmu ...," ia menoleh padaku. "Kita harus melakukan beberapa hal sekarang. Pertama, melatihmu seni sihir. Kau harus mengendalikan sihirmu. Kita tidak bisa kecolongan lagi. Kedua, kita harus mencari cara membatalkan terraformasi Calamity ini."

Barney diam seribu bahasa, dan dari beberapa menit mengenalnya, rasanya jadi sangat ganjil. Yang kulakukan pasti sangat menyakiti perasaannya, atau bahkan lebih parah.

Aku tidak bisa menahan diri merasa bersalah.

Kau, anak muda, telah mengubah seluruh Calamity agar para monster cocok tinggal di sini.

Dan kau, anak muda, baru saja membuat mereka kembali berkeliaran.

"Omong-omong, apa yang terjadi dengan gadis di dalam lingkaran ritual tadi?" tanyaku. "Kenapa ia di dalamnya—apa ia yang memanggil vampir itu?"

"Ia Necromancer," kata Barney kelam. "Aku pernah bertemu dengannya sekali saat pertemuan. Anak baik. Setahun lebih tua dari kita. Mungkin mantra yang berjalan salah. Mungkin ia salah buka Pintu."

"Pintu?"

"Iya," kata Barney. Masih ada kesan kelam di suaranya. "Ketika kau mengizinkan orang mati ke dunia orang hidup, kau harus membukakan pintunya untuk mereka. Semacam soal sopan santun. Tetapi itu bukan satu-satunya Pintu yang ada. Necromancy dasar sudah mengajari kami berhati-hati soal memilih Pintu. Aku tidak tahu bagaimana atau kenapa ia bisa salah Pintu."

"Jadi vampir itu ...," aku sekilas teringat kalimat terakhir Ayam Zombi yang masih bergelayutan menghantuiku. "Vampir itu monster?"

"Pertama, itu tadi bukan vampir biasa. Itu vampir yang sudah tenggelam sangat jauh, semacam roh pembunuh. Vampir biasa mempertahankan ciri manusia dan masih kembali ke kuburan manusia mereka. Yang tadi jelas-jelas tidak. Kedua, tidak, vampir bukan monster, tetapi habitat mereka yang paling cocok ya dunia monster," kata Barney. Lalu dia berhenti berjalan, dan kami ikut berhenti. "Masalahnya, Alden, kita tidak terbiasa bertarung melawan monster. Mereka sudah dikalahkan ratusan tahun yang lalu dan kita tidak pernah harus menghadapi mereka lagi. Dan membayangkan bahwa sekarang mereka berkeliaran lagi...."

Suaranya mengecil. Kami semua merinding.

Kami melanjutkan langkah kami sampai lampu jalanan menjadi langka dan siluet Rumah Budak mulai terlihat. Sepertinya sudah dekat.

Seakan menjawabnya, kami bisa mendengar suara musik di dekat kami. Ada cahaya dan sinar yang menari-nari dan berkelap-kelip dari balik kabut. Pestanya masih berlangsung.

Ketika kami mencapai pintu depannya, dua orang senior menahan jalan kami. "Dan kalian kira kalian siapa?"

"Kami dari giliran tengah malam," kata Cora dingin. "Berjalan-jalan sebentar. Sempat nyasar karena kabut ini."

Kedua senior itu menilai kami sebentar sebelum salah satunya merogoh saku dan mengambil ponselnya. "Nama?"

"Cora, Barney, Alden."

"Hmm." Dia membaca daftar nama di ponselnya. "Barney yang mana?"

"Bigby."

Kedua senior itu bertukar pandang. Lalu mereka menoleh ke kami. "Sip, masuk. Kami mau mengunci pintu beberapa menit lagi."

"Kunci pintu? Kenapa?" tanyaku sementara mereka membuka pintu dan menyuruh kami masuk.

"Kami tidak mau di tengah kabut begini lama-lama, 'kan?" jawab salah satu dari mereka sambil menutup pintu di belakang kami.

Aku menghela napas.

Pesta itu jelas-jelas masih berlangsung. Mereka mungkin tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana.

Mereka mungkin tidak tahu bahwa awan kabut raksasa sedang menyelimuti seluruh kota.

Mereka mungkin tidak tahu juga bahwa para monster sedang berkeliaran.

Musiknya sudah berubah lagi dari rock-metal ke house music yang lebih santai dan membuat ingin bergerak. Semua orang sedang berdansa dan saling mengobrol. Si Succubus Tukang Kedip tidak terlihat di mana-mana. Sekarang ada DJ di atas panggung, mixing dan segala macam. Aku bisa melihat ada beberapa tempat duduk di dekat dinding, dan semua orang yang duduk di sana tampak sangat pucat.

Tunggu.

Hanya ada enam orang di sana

Zoey, Mark, Rhodes, Cody, Eileen dan Brody—

Anak-anak tengah malam.

Aku dan Cora berbagi tatapan kelam sebelum setuju tanpa kata untuk menghampiri mereka. Keenam orang itu menatap lurus ke depan dengan wajah tanpa emosi, dan mereka masih tampak pucat.

"Teman-teman?" panggilku hati-hati.

Mereka bahkan tidak kaget. Mereka bahkan tidak menoleh. Kecuali Zoey, yang tiba-tiba menelungkupkan kedua tangannya di depan mulut dan melompat mundur di kursinya, matanya lebar memancarkan teror. Ia memindaiku dan Cora sebentar sebelum akhirnya rileks sedikit.

"Al," cicit Zoey lemah. Ia menoleh sedikit. "Cora."

"Iya," kata Cora sabar. Sesuatu di matanya membuatku merasa ini bukan kali pertamanya menemukan Zoey nyaris-katatonik begini. "Ini kami. Kami di sini."

"Dari mana saja kalian?" bisik Zoey.

"Kami, um," Cora memberiku tatapan tolong bantu aku. Wow, jarang-jarang.

"Kami cari udara segar," aku melanjutkan untuknya. "Tahulah, aku pingsan. Mungkin berada dekat musik keras begini bukan ide bagus, jadi mereka membawaku keluar dan jalan-jalan sebentar dan semacamnya."

"Kamu pingsan," ulang Zoey. Lalu mendadak matanya melebar. "Kamu—"

"Aku tahu," kataku pada Zoey. "Jangan cemas. Aku baik-baik saja, kok. Lihat? Aku di sini."

Zoey mulai menangis, dan Cora memeluknya. "Shh. Kami enggak apa-apa. Kita semua enggak apa-apa."

Zoey mengangguk cepat, seperti sangat ingin memercayai itu. Lima anak yang lain lebih parah lagi dari ini—wajah mereka tidak berwarna sama sekali.

"Cora," aku menepuk bahunya. "Sebentar?"

Cora melihat ke arahku, mengangguk kecil, dan mengelus Zoey beberapa kali. "Aku pergi sebentar, ya? Enggak jauh-jauh, kok."

Begitu Zoey bisa melepaskannya, Cora mendekatiku. Ada yang salah dengan ekspresinya.

"Apa?"

"Kayaknya kau lupa menjelaskan soal beberapa hal yang terjadi di Rumah Budak," kataku. "Apa yang terjadi pada mereka? Apa yang terjadi setelah aku pingsan? Kau cuma bilang mereka di pesta dan butuh menyesuaikan diri. Kau tidak bilang mereka separah ini waktu kita tinggal."

"Oh, dan sekarang kau menyalahkanku?" balas Cora galak.

"Enggak," kataku. "Tapi aku akan menghargainya jika kau cerita tadi."

"Jadi kau memang menyalahkanku," katanya. "Iya, 'kan?"

"Cora, sekali lagi, enggak," kataku. "Aku cuma mau tahu apa yang terjadi pada mereka."

Cora terlihat seperti membunuhku lagi dan lagi secara mental. Seakan auranya yang ganas belum cukup membuatku merasa terintimidasi. Tetapi ia lalu menelan ludah. "Benar. Oke. Kamu cuma mau tahu." Ia menghirup napas panjang. "Maaf. Zoey dan aku...."

Ia bingung mencari kata sesaat dan menggigit bibirnya. "Dekat?" tawarku. Ia mengangguk.

"Dekat," katanya. "Aku nyaris bisa merasakannya. Secara harfiah. Aku tahu persis apa yang ia rasakan. Dan kadang-kadang, rasanya sangat ... penuh. Meluap-luap. Membanjir. Seperti sekarang."

"Maafkan aku," kataku sungkan, tetapi Cora mengangkat satu tangan.

"Enggak apa-apa," katanya. "Well, berhubung sepertinya kamu ingat Membersihkan hantu-hantu itu sebelum pingsan—aku ingat kau nyaris langsung memercayai kami setelah Barney mengatakan apa yang dirasakan seorang melinomancer waktu melakukan spektrosida—sepertinya kauingat badai poltergeist di ruangan kita waktu itu."

Aku mengangguk.

"Ketika para hantu mengelilingimu dan kau tertutup dari pandangan kami, kami masih bisa melihatmu sebentar. Bersinar. Di antara bayang-bayang. Aku tahu harusnya itu aneh, tetapi tadi rasanya sangat mengerikan. Bahkan Eileen sangat bingung hingga terbengong dan sebuah toples menghantam kepalanya. Keras-keras."

Kami menoleh sebentar ke arah Eileen. Ada sebuah luka merah di dahinya.

Berarti aku tidak salah dengar. Eileen memang kena hantam.

"Tapi bagian paling seramnya adalah beberapa hantu yang mengelilimu melakukan penampakan nyata—jenis penampakan yang bisa dilihat magi dan nonmagi. Dan mereka sempat memandang ke sekeliling, ke arah masing-masing kami. Mereka mengebor teror ke mata kami." Cora melihat lagi ke anak-anak tengah malam yang sedang duduk. "Aku satu-satunya magus di sana, selain kamu. Aku satu-satunya yang selamat dari teror itu karena aku pernah berhadapan dengan hantu beberapa kali. Zoey juga, dan itu kenapa ia masih bisa berusaha bicara, walaupun kaulihat sendiri separah apa keadaannya. Yang lainnya, bagaimanapun juga...."

Katatonia. Para hantu membuat mereka menderita katatonia.

Dan mereka tertarik datang karena besarnya sihirku.

Baru saja aku merasakan lagi beban rasa bersalah, aku teringat bagaimana aku tidak sengaja mengubah Calamity.

Oh, ampun. "Jadi bagaimana kita menolong mereka?" tanyaku pada Cora. "Apa mereka yang pertama menderita katatonia setelah ke Rumah Budak?"

"Untungnya tidak," kata Cora. Lalu ia bergeser tumpuan dengan tidak nyaman. "Tapi mereka yang paling parah sejauh ini. Mungkin aku bisa minta tolong ke Covens untuk menolong Zoey, sih. Ia punya darah magus di nadinya, bahkan walaupun ia bukan magus. Tapi aku tidak tahu soal yang lainnya."

"Itu bakal cukup," kataku. "Ingat kata Brody soal psikiaternya juga anak tengah malam? Mungkin kita harus bicara dengannya nanti."

Cora mengangguk. Lalu kami mendapati Barney berjalan ke arah kami.

"Aku sudah bicara dengan Necromancers lainnya di sini," katanya. "Aku sudah katakan soal kabut dan terraformasi Calamity. Kami masih berusaha mengontak ketua kami dan Necromancers lainnya di luar sana untuk membantu karena berurusan dengan Pintu adalah keahlian klan kami, tapi untuk sekarang, aku baru mendapat intel—jumlah orang di sini saja sudah cukup untuk menarik para monster."

Diam sesaat.

"Maksudmu mereka makan orang?" tanya Cora. Barney menggeleng.

"Bukan. Mereka mau orang. Cuma Tuhan yang tahu mereka mau apa."

"Seberapa parah?" tanyaku kelam. Barney menatapku selama dua detik penuh.

"Masih terbatas di Calamity," jawabnya akhirnya. "Paling tidak itu kata hantu yang kupanggil. Tapi jika kita tidak menghentikan para monster itu dalam waktu dekat, ada kemungkinan besar mereka akan menyebar. Mereka bergerak bersama kabut itu. Mungkin asalnya dari dunia mereka sendiri, karena begitu kabut itu menyentuh satu area, area itu langsung berubah."

"Apa kita harus mengevakuasi semua orang?" tanyaku pada kedua magi itu. "Senior yang jaga pintu tadi bilang mereka—"

Mataku melompat ke pintu waktu mengatakan itu, dan tiba-tiba aku sadar bahwa kedua senior itu sedang bersandar ke dinding.

Mereka di dalam.

Pintunya sudah ditutup.

Jantungku mencelus.

"Enggak bisa," kata Barney berat. "Kita sudah terjebak."

//

Aku pertama menemukan ada yang aneh ketika aku melihat makhluk setinggi kurang dari semeter bergelantungan di salah satu Jack-o-Lantern di langit-langit.

"Um, Barney?"

"Yeah?"

"Apa imp terhitung monster?"

Imp adalah monster semacam setan yang berukuran kecil dan sangat mengganggu. Barney memelototiku. "Apa kau berusaha bilang—"

"Bukan!" kataku, lalu melanjutkan dengan desisan. "Di Jack-o-Lantern!"

Mata Barney mencari-cari. Sesaat kemudian, dia tampak menyadari sesuatu. "Ya," katanya. "Dari mana dia datang? Aku kira pintunya sudah dikunci?"

"Ventilasi?" usulku. Barney menggeleng.

"Masih tertutup," dia menujuk ke ventilasinya. "Dan terlalu sempit. Kepala imp itu akan terlalu besar." Lalu dia tersenyum lemah. "Kau kebanyakan menonton TV."

Aku mengangkat bahu. "Ini kota kecil. Jadi bagaimana cara kita menyingkirkan monster?"

"Bunuh," kata Barney simpel.

Si imp memandang kesana-kemari ke semua orang di pesta ini dengan senyuman licik. Dia menjilat lidahnya sambil menggerak-gerakkan jari-jemarinya yang kurus berputar-putar seakan sedang merencanakan sesuatu. Ekornya berayun-ayun dengan liar.

Aku memandang ke sekelilingku. Ada berapa banyak magi di sini? Barney sempat bicara dengan Necromancers lainnya dan bahkan mengirim pesan keluar. Sepertinya ada lebih banyak dari yang bisa kuduga.

Mungkin malah semua orang di sini adalah magi?

Aku mendapati beberapa anak lain menyadari keberadaan si imp di Jack-o-Lantern. Kebanyakan dari mereka tidak peduli, tetapi beberapa tampak tidak nyaman. Mungkin mereka sadar bahwa itu pemandangan yang ganjil.

Tapi apa mereka merasakan embusan angin aneh yang tiba-tiba menyapu seluruh ruangan ini?

Aku mencari Cora. Ia masih berusaha menenangkan Zoey, tetapi sesekali, ia menebar pandangan. Ia tahu ada yang salah—di samping fakta bahwa pesta ini adalah prasmanan bagi para monster. Ia merasakan sesuatu.

Anak lain—seorang 'vampir'—juga mulai sering mengusap tengkuknya, seperti ada sesuatu yang salah di sana. Dia melihat sekeliling dengan tidak nyaman.

Seorang monster Frankenstein bahkan menutup matanya rapat-rapat seperti sedang merasakan ketakutan terparah sepanjang hidupnya.

Apa separah itu?

"Kau!" panggil sebuah suara tiba-tiba.

Panggilan itu datang dari seorang anak laki-laki berkostum kepala suku Amerika Pribumi, komplet dengan bulu burung di hiasan kepalanya dan macam-macam. Tetapi, kontrasnya, pinggangnya dilingkari sabuk dengan tiga kantong kecil yang dipasang di situ.

Magus.

Dan dia sedang menunjuk ke arahku sambil bergerak cepat mendekat. Sesuatu terasa mengintimidasi soal orang ini. Bukan jenis mengintimidasi ala Cora yang membuatmu merasa kecil dan tak berharga, tapi lebih seperti intimidasi preman yang membuatmu merasa terpojok dan tak berdaya. Tapi orang ini bahkan tidak tampak seperti preman. Ototnya nyaris tidak terlihat—dia oke-oke saja, tetapi tidak kekar. Dia juga tidak lebih tinggi dariku. Aku tidak yakin apa yang begitu mengintimidasi soalnya.

Mungkin itu dari fakta bahwa dia tidak berjalan ke arahku—dia berjalan cepat. Tanpa suara. Langkahnya seringan bulu, tetapi terasa menekan.

Akhirnya dia mencapaiku. Tangan Barney sudah melayang ke arah kantongnya, tetapi Magus Kepala Suku mendengus padanya. "Bukan kau. Dia."

"Apa maumu?" tanyaku gugup. Magus Kepala Suku menoleh padaku dan memindai sebentar.

Aku bisa bilang dia sedang menilaiku. Ada pengetahuan di balik kedua matanya itu. Orang ini banyak membaca.

"Kau yang Membersihkan Rumah Budak, 'kan?"

Musik dan obrolan di udara mendadak terasa tidak penting dan hanya ada sunyi. Barney tampak bahkan lebih awas lagi, seakan dia siap bertarung jika harus. Dia juga sudah menyadari sabuk kantong orang ini. Dia tahu orang ini adalah magus.

"Iya," kataku hati-hati. Dia menilaiku lagi. Lalu, mengejutkannya, dia mengajukan satu tangan.

"Hai. Aku—"

Sssss....

Ada desis lembut dari atas kami, dan kami langsung merasakannya—bahkan di balik musik yang keras. Seakan desisan itu langsung disuarakan di telinga kami.

Kami menoleh ke atas.

Kami ternyata duduk persis di bawah salah satu ventilasinya. Sesuatu yang berwarna keputihan dan berasap sedang keluar dari sana.

Oh, tunggu.

Aku, Barney, dan Magus Kepala Suku langsung melompat mundur. 'Asap' ini terasa mengancam dan gelap—dan sangat hidup.

Jantungku mencelus.

Kabut itu.

"Cora," panggilku, mataku masih terpaku ke kabut yang keluar dari ventilasi. "Cora, kita ada masalah."

Gadis itu tidak merespon, tapi dari suara-suara yang dikeluarkan Zoey, aku bisa menebak Cora sedang berusaha membuatnya melepaskan dirinya.

"Apa?" jawab Cora. Aku bisa merasakannya mengikuti arah pandangku. "Oh, tidak."

Tawa jahat muncul dari langit-langit, dan aku sadar bahwa itu si imp. Beberapa kepala menoleh ke arahnya sekarang, akhirnya menyadari keberadaannya atau menyadari bahwa dia bisa jadi bahaya.

Beberapa anak lain, bagaimanapun juga, sudah melihat ke arah ventilasi dan tangan mereka sudah siap siaga di atas kantong-kantong mereka—entah itu kantong di sabuk, kantong celana, atau bahkan tas. Magi. Dan, melihat mereka menyadari sumber ancamannya sebelum yang lain, sepertinya mereka Necromancers yang sempat bicara dengan Barney.

Desisan itu akhirnya mencapai semua orang di ruangan, dan fokus semua orang beralih ke ventilasi. Aku, Barney, Cora, dan Magus Kepala Suku bergerak menjauhinya, tetapi aku tidak tega meninggalkan anak-anak tengah malam lainnya, jadi aku tetap berdiri di dekat mereka. Cora, Barney, dan Magus Kepala Suku memilih menempel padaku.

Anehnya, walaupun lebih banyak lagi kabut masuk ke ruangan ini, aku menyadari beberapa anak cuma memandangi ventilasi dengan tatapan heran—seakan mereka tidak melihat kabut sama sekali.

Apa mungkin hanya magi yang bisa melihat kabutnya?

Tetapi itu tidak penting lagi seraya kabut itu mulai turun mencapai kami. Lebih banyak lagi kabut merayap masuk, dan aku bisa melihat apa maksud intel hantu Barney soal kabut ini jadi agen terraformasi bagi para monster—sesuatu terasa salah di tempat-tempat yang tersentuh kabut itu. Aku tidak bisa melihat apa yang berubah, tetapi rasanya jelas berbeda. Sesuatu di tempat itu memaksaku menjadi awas, seakan aku adalah alien jahat di tempat itu dan sesuatu sedang memburuku.

Brak.

Kami semua langsung menengok ke pintu. Debukan itu jelas berasal dari arah situ, walaupun apa penyebabnya, kami tidak bisa yakin.

Begitu kabut itu menyentuh peralatan si DJ, musik berhenti mendadak. Beberapa anak menebar pandang dengan bingung, tetapi mereka yang sadar apa yang terjadi tampak siaga. Mereka tahu ada yang salah.

Brak.

Lagi, seseorang mengetuk—bukan, kedengarannya lebih seperti menubruk—pintu depan. Keras-keras. Dua senior yang tadi menjaga pintu mengintip keluar.

"Tidak ada siapa-siapa di luar sana," kata salah satu. "Mungkin cuma orang ise—"

BRAK.

Itu jelas bukan orang iseng.

Bahkan kusen pintunya mulai berderik sendiri. Siapa pun yang sedang memukuli pintu, dia niat.

Kedua senior tadi mulai bergerak menjauhi dinding.

"Sumpah, enggak ada orang di luar," tegas senior tadi.

Tangan Magus Kepala Suku sudah masuk ke salah satu kantongnya. Tangan Cora menanti dengan tenang di atas kantongnya yang berisi pisau ritual, sementara mata Barney bergerak kesana-kemari dengan cepat—dia membuat lingkaran sihir secara mental.

Selama sesaat, semuanya sunyi. Siapa pun yang memukuli pintu mematahkan pola mereka sendiri.

Lalu kabutnya menebal dan kami tidak bisa melihat apa pun.

Sepi sedetik. Dua. Tiga. Empat—

BRAK!

Dengan brak terakhir itu, sesuatu terdengar rusak—kemungkinan pintu atau kusennya—dan lolongan keras memenuhi ruangan.

Awalnya, rasanya seperti trik Halloween terbesar baru saja dilakukan. Tetapi itu cuma sampai seseorang menjerit, "Tolong!"

Lebih banyak lagi geraman ganas yang bergerak masuk ke dalam ruangan, dan semua orang langsung termakan panik. Seseorang mendorongku dan aku bahkan tidak bisa melihatnya mendekat. Kabutnya terlalu tebal. Bagaimanapun juga, aku yakin semua orang berlarian ke arah pintu.

Kesalahan besar.

Semakin banyak orang yang berlari ke pintu, semakin banyak lagi muncul jeritan. Para monster masuk dari pintu yang sama—semua orang berlari masuk ke jebakan maut mereka sendiri.

"Cora—"

Mata Cora mendadak menjadi terang sebelum aku bahkan sempat bertanya harus apa. Aku tidak bisa terlibat di sini—tidak selama aku masih berisiko melakukan hal bodoh lagi seperti menarik hantu dengan tatapan teror atau menterraformasi seluruh kota.

Serius—mata Cora terang dan bersinar, seperti mata vampir yang tadi menyerangku. Ia melihat kesana-kemari dengan cepat, berpindah-pindah fokus—ia memindai sekelilingnya. Ia bisa melihat menembus kabut ini.

"Alden," panggilnya.

"Yeah?"

Ia melemparkan sebuah kalung kepadaku. "Pakai ini."

"Apa ini?"

Sebuah jeritan muncul di dekat kami.

"Pakai saja," kata Cora sambil berlari pergi ke arah jeritan itu.

Ada bunyi krak yang familier di sebelah kiriku, dan aku bisa menduga seorang Necromancer—sepertinya Barney—sedang beraksi. Bunyi krak tadi diikuti geraman yang dalam dan agresif, dan aku yakin apa pun itu yang dipanggil si Necromancer, itu bukan Ayam Zombi.

Aku memutuskan untuk memakai kalung Cora.

Efeknya magis.

Kabut di depanku mendadak membersihkan diri—tidak semuanya, tapi aku bisa melihat lebih jauh sekarang. Necromancer di dekatku yang memanggil si penggeram memang Barney, dan Cora sedang menyayatkan pisaunya ke—wow.

Itu baru monster.

Monster itu adalah seekor laba-laba raksasa sungguhan, lengkap dengan perut yang dilapisi eksoskeleton yang memantulkan cahaya, delapan kaki raksasa, enam mata tak berkedip di tempat kepalanya, dan sepasang taring beracunnya yang legendaris.

Laba-laba itu memantulkan tubuhnya dengan menggunakan kakinya seperti per, mengayunkan diri ke kanan dan kiri, menghindari serangan-serangan Cora dengan lincah. Namun serangan Cora yang tak henti-henti juga memberinya keuntungan—laba-laba itu jadi tidak punya kesempatan menyerang balik. Pertarungan itu sudah menjadi duel mental: siapa pun yang pertama melakukan kesalahan yang akan kalah.

Aku bisa melihat beberapa makhluk mirip manusia bergerak di mana-mana, dan lebih banyak lagi dari mereka masuk dari pintu depan. Makhluk itu tampak seperti anjing, singa, serigala, dan berbagai macam karnivora berambut dicampuradukkan ke sebuah tubuh manusia setinggi dua meter dengan cakar lengkung di setiap jari yang bisa mencapai panjang sepuluh senti.

"Skinwalker," tiba-tiba Magus Kepala Suku muncul di dekatku, melemparkan kerikil pada salah satu makhluk itu—apa, skinwalker?—dan kerikil itu meledak menjadi awan hijau-merah sementara si skinwalker terjatuh tak sadarkan diri. "Penyihir terkutuk kurang diuntung. Semacam manusia serigala versi suku Navajo."

"Bagaimana dengan laba-laba raksasa itu?" tanyaku. Aku bukannya takut laba-laba, tapi aku juga tidak nyaman berada dekat-dekat mereka.

"Enggak tahu," katanya sambil menggumamkan sesuatu. Nyaris semua Jack-o-Lantern di langit-langit mendadak lepas dan mulai mengejar para skinwalker dan monster-monster lainnya, setiap Jack-o-Lantern menghajar monster-monster itu telak di kepala dan menyetrum mereka.

Aku bisa melihat beberapa zombi berlari-lari kesana-kemari, mengoyak atau mencakar atau menyerang asal-asalan ke arah para monster. Selain Barney, aku bisa melihat beberapa anak lain membuat lingkaran sihir secara mental dan memanggil zombi untuk bertarung bersama mereka—klan Necromancers. Bagaimanapun juga, sebagian besar anak-anak itu akhirnya dikalahkan oleh para skinwalker dan diculik. Jeritan, teriakan mantra, geraman para zombi dan raungan para monster semuanya bercampur dengan desisan kabut dan tawa jahat si imp yang masih bergelantungan di atas (walaupun sekarang di lampu gantung dan bukan di Jack-o-Lantern lagi karena semuanya sudah terpental gara-gara Magus Kepala Suku tadi).

Aku harus melakukan sesuatu. "Bagaimana caramu menggerakkan Jack-o-Lantern tadi?"

"Telekinesis dasar," kata Magus Kepala Suku. "Bayangkan sedang memainkan boneka tali."

"Aku belum pernah mendalang."

Magus Kepala Suku nyengir menyebalkan. "Enggak pernah telat untuk kali pertama."

Jumlah jeritan di sekitarku berkurang, bersama dengan jumlah orang yang mengucapkan mantra. Para monster tengah berhasil dengan misi mereka mengambil manusia.

Cora akhirnya berhasil membasmi si laba-laba raksasa (untunglah), tetapi tampak jelas ia kelelahan karena pertarungan tadi. Itu tidak membantu.

Barney juga sedang terengah-engah—dia mengeluarkan banyak tenaga memanggil beberapa zombi sekaligus, dan aku merasa seperti dia akan pingsan jika berusaha memanggil bahkan satu lagi saja.

"Bagaimana kau mendalang?" tanyaku. "Petunjuk apa pun akan membantu."

Aku tidak bohong—jika sihirku benar sekuat itu, seharusnya aku bisa mempelajari telekinesis dasar dengan mudah.

Magus Kepala Suku menembakkan satu mantra terakhir ke skinwalker di dekatnya sebelum menoleh kepadaku untuk menjawab. "Tenang. Kuasai semua talinya. Kenali tali mana yang mengendalikan apa. Lalu berikan penampilan dan bertahanlah." Dia memunggungiku lagi dan mulai merapal beberapa mantra lagi sementara beberapa lingkaran sihir membentuk diri di sekitarnya.

Tenang.

Oke, Alden. Tenang.

Tenang.

Tenang....

Aku berpikir soal menutup mata untuk membantuku menenangkan diri, tetapi begitu mataku terpejam, aku sadar itu bukan keputusan yang bijaksana.

Inderaku yang lain menjadi lebih tajam.

Aku bisa merasakan sengatan kabut itu di kulitku. Aku nyaris bisa mencicipi dan mencium kehancuran dari kabut yang berhasil masuk ke mulut atau hidungku. Bagaimana bau dan rasa mereka sebenarnya, aku tidak bisa menggambarkan lebih jelas lagi—aku bahkan tidak tahu kenapa kau mengenalinya sebagai 'kehancuran'.

Aku bisa mendengar jeritan dan geraman dari orang-orang dan para monster.

Tidak tenang. Tidak tenang sama sekali.

Aku harus mencegah diri dari mengerang frustrasi ketika aku sadar bahwa ada skinwalker di belakangku.

Saat itu sangat canggung—punggung kami saling bertemu, tetapi begitu dia sadar ada manusia di belakangnya, dia langsung berbalik dan menyerang membabi-buta.

Oh, tidak.

Di mana sihirku saat aku butuh?

Untuk kedua kalinya malam itu, aku terpental terbang dengan luka di dadaku.

Selama sesaat di udara, aku mendadak menyadari bahwa apa pun yang akan terjadi padaku tidak lagi bisa dicegah dan aku bisa tinggal memilih untuk tidak peduli.

Tunggu, bukan. Bukan begitu persisnya. Bukannya aku memilih untuk tidak peduli. Rasanya lebih seperti ... aku bisa mengikhlaskannya saja.

Jangan-jangan...?

Ugh.

Kepalaku terbentur sesuatu. Dengan keras.

Dan untuk ketiga kalinya malam itu, aku kehilangan kesadaran.    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro