Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. HAVE A NICE DAY!

Catatan Penulis: GRAVEDANCER TAMAT GAIS ABIS INI CUMA TINGGAL EPILOG SAMA CURHAT TUNGGUIN YA BENTAR INTERNETKU LAGI JELEK BANGET. HUA AKHIRNYAAAA MAKASIH BANGET MASIH BERTAHAN SAMPAI SEKARANG.

SELAMAT MENIKMATI!

//

Stand up, my heart, and strive

For the things most dear to thee!

-The Peaceful Warrior, Henry Van Dyke, 1918.


Di siang hari, bagian dalam Rumah Budak ternyata tidak seseram itu. Cahaya dari luar bisa masuk ke dalam, dan kami akhirnya memilih bernaung di ruang makan cuma karena ada jendelanya.

"Nih," kata Isaac sambil mendorong meja makannya sedikit hingga posisinya miring. "Ruang kosong di tengah ruangan. Biasanya membantu fokus. Apa kami perlu keluar dulu, atau...?"

"Terserah saja, aku enggak masalah," kataku sambil duduk di tengah ruangan yang sudah dibereskan Isaac. Aku menghela napas dalam.

Ini dia.

Aku memejamkan mata dan mencoba mengosongkan pikiran. Aku bisa merasakan segalanya: kelitik lembut kehangatan dari cahaya matahari dari luar jendela, debu yang beterbangan waktu Isaac menggeser meja, derit lembut di lantai tiap kali Barney atau Isaac menggeser tumpuan mereka, kain pakaian yang kukenakan....

Kalung di sekeliling leherku.

Kirana Jernih.

Aku memutuskan untuk menjangkarkan diri ke sana.

Duniaku menciut di tengah kegelapan. Setiap bau menjadi sangat tajam, dan aku bisa merasakan sesuatu yang agak manis di mulutku—sisa dari katalis setelah kumuntahkan tadi. Tetapi begitu pikiranku akhirnya bisa kosong, kecuali untuk jangkar yang kuikatkan ke Kirana Jernihku, semua inderaku—sama mendadaknya dengan saat mereka menjadi tajam—mati rasa.

Aku tidak bisa merasakan apa pun.

Lalu sensasi itu muncul: rasanya seperti aku sedang pusing dan hilang fokus. Aku tidak tahu dari mana arah asal gravitasi; rasanya seperti aku sedang jatuh, tetapi tubuhku tidak bergerak sama sekali.

Aku jatuh terus menuju kegelapan yang menyambutku.

Awalnya ada sensasi tarikan lembut di perutku, tetapi saat arah gravitasi akhirnya menjadi tetap di satu titik jauh di bawahku, rasa tarikan itu menjadi semakin kuat—tidak makan waktu lama hingga aku merasa seperti sedang terjun bebas.

Aku mencoba untuk memikirkan hal selain mencari pegangan. Aku bisa merasakan diriku jatuh ke bawah lebih cepat lagi, dan rasanya semakin sulit menangani naluriku untuk mencari pegangan atau mengharapkan pendaratan yang halus, tapi aku tidak mau menyia-nyiakan dua jam latihanku.

Lepaskan.

Aku mencoba mengosongkan pikiranku lagi. Jantungku mulai berdegup kencang, dan itu bukan pertanda bagus untuk memulai proyeksi astral.

Tidak usah pikirkan apa-apa. Lepaskan saja.

Lepaskan saja....

Naluri penyelamatan-diriku akhirnya menyerah dan aku bisa merasakan diriku jatuh menuju jurang tanpa ujung di bawahku.

Lalu aku menyentuh cahaya.

Saat aku membuka lagi mataku, aku menyadari bahwa aku masih di posisi yang sama persis dengan saat aku memejamkan mata tadi. Jadi aku berdiri.

Aku praktis meninggalkan tubuhku.

Rasanya sangat aneh. Aku melihat ke bawah dan menyadari bahwa aku tidak bisa melihat wujud tak kasatmataku, tapi aku berani bersumpah bahwa proyeksiku sedang menembus tubuh fisikku yang masih duduk dengan mata terpejam tenang di bawah sana.

Aku mencoba mengambil selangkah menjauh dari tubuhku. Serius, rasanya aneh. Rasanya tidak seperti menatap cermin dan melihat pantulanmu sendiri di sana. Rasanya lebih seperti melihat orang yang sama sekali lain, yang ternyata kebetulan saja tampak sama persis denganmu.

Dan kautahu itu dirimu.

Mungkin pengetahuan itu yang membuat semuanya jadi sangat aneh. Tetapi aku memutuskan bahwa jika aku masih di sini lebih lama lagi, aku akan lupa waktu, dan saat ini, waktu benar-benar penting.

Aku melangkah lagi menjauh, mendekat ke pintu Rumah. Aku bisa merasakan ada sesuatu di belakang kepalaku dan di sekeliling leherku, dan walaupun aku tidak bisa menyentuh atau melihatnya, aku tahu itu adalah tali keamananku yang memastikan aku tetap terjangkar ke Kirana Jernih. Inilah jalan pintasku pulang.

Jadi aku meninggalkan Rumah Budak.

Karena aku cuma bergerak dalam wujud kesadaran, dan bukan tubuhku, sepertinya logis jika aku tidak akan kelelahan setelah berlari. Jadi aku mencoba berlari.

Ide terbaikku sejauh ini.

Tanpa tubuh yang membatasiku, aku benar-benar bisa merasakan diriku memelesat kencang seperti seorang manusia super. Tidak ada angin yang berembus ke wajahku, tetapi tidak ada hambatan yang bisa memperlambatku. Tidak ototku, tidak staminaku, tidak ada.

Tetapi lalu ada getaran lembut dari taliku—sesuatu sedang terjadi di sana.

"Cora!" gema suara Barney—rasanya seakan taliku adalah kabel telegram. "Di sini—apa kaubisa—"

Suara itu memudar lagi, tetapi aku tahu Barney sedang menjelaskan pada Cora apa yang kami sedang lakukan dan memintanya untuk membantu melindungi tubuhku. Yah, dia memang bilang kami akan butuh bantuan.

"Tentu," jawab suara Cora. "Barney—di sana!"

Ada suara-suara yang mengerikan yang mungkin saja adalah suara pertarungan mereka dengan para monster. Wow. Aku baru saja pergi dan sudah ada monster yang menyerang? Aneh.

Segera, aku tiba di tepi Disaster. Aku mengingat kembali jalanku ke tempat si roh pembunuh pertama muncul—itulah tempatku merapal mantra terraformasi. Pintunya seharusnya ada di sana....

Itu adalah medan perang.

Magi dari semua klan menggambar lingkaran, merapal mantra, menyerukan kutukan, dan bergerak menembus awan-awan kekuatan supernatural. Para monster melakukan hal serupa—melompat menghindari mantra-mantra, merapal mantra mereka sendiri, atau mencoba menyerang langsung para magi. Di beberapa pohon di kejauhan ada sarang-sarang lebah sebesar sebuah kabinet—masing-masing cukup untuk berisi satu orang.

Jadi di sana tempat para sandera dikurung.

Pertarungan terus berlanjut, dan lebih banyak lagi korban jatuh di kedua beah pihak. Para magi tampak lelah, dan aku tidak bisa menduga soal para monster, tapi aku tahu bahwa mereka sudah terkunci dalam seri seperti ini selama beberapa lama sekarang.

Lalu aku melihatnya: sebuah pusaran distorsi di atas sana.

Rasanya seperti melihat melewati sebuah kaleidoskop atau lensa, kecuali 'lensa' ini tidak menunjukkan langit yang melatarbelakanginya: 'lensa' ini malah menunjukkan dunia yang sama sekali berbeda.

Dunia yang tampak seakan kabut ini sudah beraksi selama milyaran tahun di sana.

Sempurna. Pintunya ketemu.

Dan hey, aku cuma kesadaran, 'kan? Tanpa tubuh. Harusnya aku bisa terbang.

Bisa.

Tapi saat itulah salah satu monster—yang kelihatan seperti seorang ratu dengan mahkota daun dan sebuah tongkat di tangan—menyadari keberadaanku. Ada kesan pada dirinya yang membuatku teringat pada monster-monster Arkana Mayor yang ditunjukkan oleh As Hati waktu aku sedang digantung. Aku berani sumpah, matanya mengikuti gerakanku mengambang ke arah Pintu. Lalu ia membuka mulut dan memekik keras.

Aku bisa merasakan kabut ini menerjemahkan kata-katanya. "Penyusup! Penyusup! Ikuti benang itu!"

Benang? Benang apa—oh, tidak.

Tali pengamanku.

Mereka bisa melihatku dan taliku.

Mereka bisa melihat taliku.

Para monster, yang baru saja beberapa detik lalu sibuk bertarung, mendadak berhenti melakukan apa pun yang sedang mereka lakukan dan langsung mulai mengikuti taliku.

Tiba-tiba aku sadar bahwa tidak akan makan waktu lama hingga mereka mencapai Rumah Budak. Ini kota yang kecil.

Kalau begitu sebaiknya cepat-cepat kuselesaikan semua ini.

Begitu aku memasuki Pintu, rasa kabut yang khas kehancuran segera menyentuhku. Aku tidak punya kulit, tapi aku masih bisa merasakan sensasinya. Aku merinding.

Oke. Mantra Paksagriya.

Aku merogoh sakuku untuk mengambil kertas berisikan mantranya.

Tunggu dulu.

Aku tidak punya badan.

Aku tidak punya kantong.

Oh, sial.

Aku menjerit frustrasi. Idiot! Itu selembar kertas, Alden. Selembar kertas. Bagaimana bisa kau kelewatan satu detail itu waktu mereka menyarankanmu mencoba proyeksi astral?

Bagaimana bisa kau kelewatan satu detail itu waktu mereka bilang cuma kesadaranmu yang akan mondar-mandir?

Aku bisa mendengar bahasa Jerman tanpa makna di kepalaku, berusaha mengatur diri menjadi kalimat masuk akal yang kuharap bisa terasa familier, tetapi tidak berhasil. Taliku bergetar.

"Oi, Warren!" Itu suara Cora. Tunggu, Warren?

Alex?

"Bantu kami dong melawan—ugh!"

Aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya sementara suara-suara mantra yang terdengar lewat taliku mulai memudar lagi.

Ayolah, Alden, mereka butuh bantuanmu.

Apa depannya, eu—euro? Eu, eu ... Eure. Ya. Mantranya dimulai dengan eure.

Eure ... eure apa?

Aku berusaha menggali pikiranku untuk terjemahannya. Bahasa Inggris adalah bahasa Jermanis, harusnya ada beberapa kesamaan.

Rumahmu memanggilmu, pergilah.

Rumahmu....

Rumah ... house.

Aku bisa mendengar lagi Barney menjelaskan padaku cara membaca z di bahasa Jerman. Aku bisa melihat penunjuk mental yang kuletakkan di mantranya.

Eure Zuhause.

Itu dia. Dua kata pertamanya.

Lalu ada sesuatu soal ruf...?

Ruft.

Bagus, Alden, sedikit lagi.

Lalu ada sesuatu soal u umlaut dan eu/oi lainnya....

Dan sesuatu soal las....

Paksaan Barney untukku mengulang mantranya mendadak muncul di kepalaku. Oi-re tchu-haus-e ruft fyur oikh, lassth yets.

Kalimatnya muncul begitu saja begitu penunjukku akhirnya menemukan titik-titik mereka: Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt.

Nah!

Bagian keduanya seperti yang pertama, aku ingat itu. Kata Zuhause-nya digantikan oleh kata lain yang berarti 'dunia'.

Dunia, dunia....

Apa 'dunia' di bahasa Jerman?

Ayolah, Alden! Aku berhasil mengingat satu bagian mantranya. Pasti ada cara aku bisa memancing ingatanku soal bagian lainnya.

Tetapi baru saja aku bisa merasakan sesuatu tersangkut di otakku, taliku bergetar lagi.

Itu jeritan Cora.

Lalu ada suara erangan dan pekikan kesakitan—Barney dan ... Alex?

Aku bisa mendengar seseorang lagi meneriakkan seruan perang, dan segera setelah itu, ada suara slosh yang mungkin saja seekor monster serangga, tapi aku tidak bisa yakin.

Lalu ada helaan napas pasrah yang sepertinya berasal dari Isaac.

Oh, tidak.

Taliku membuatku merasakan dingin di tengkuk. Ini enggak bagus.

Waktuku nyaris habis.

Ayolah, Alden.

Mereka butuh bantuanmu.

Mana sihirku di saat paling kubutuhkan?

"Alden."

Tunggu. Suara itu....

Heather.

"Aku tahu kamu bisa mendengarku sekarang."

Ada sensasi aneh saat ia bicara. Rasanya seakan ia persis berada di sisiku.

Lalu ia muncul di depanku—berkelip dan tembus pandang. Seperti hantu.

Ia melihatku dengan tatapan ragu, dan aku merasakan déjà vu.

Ah, ya. Mimpi terakhirku.

"Bertahanlah," katanya akhirnya. "Aku akan menjagamu. Lakukan."

Lalu ia berkelip pergi.

Oh, tidak.

Jangan Heather—ia baru saja bermanifestasi!

Cora, Barney, dan Isaac sudah berlatih sihir selama setahun. Alex sudah dua tahun.

Dan mereka semua terkalahkan.

Kenapa Heather?

Di mana yang lainnya?

Kenapa tidak magi lain saja yang datang membantu?

Kenapa harus ia?

Otakku langsung jadi kacau-balau, tetapi sesuatu menyentakku kembali—Heather butuh bantuanku.

Mereka semua butuh bantuanku.

Semua orang butuh bantuanku.

Ini belum terlambat, kata sebuah suara kecil di kepalaku. Ayolah. Kita bisa melakukan ini.

Tunggu. Kita?

Bulu kudukku merinding sebagai jawaban, dan mendadak aku sadar bahwa itu adalah suara sihirku sendiri berusaha menggapaiku.

Sihirku mencariku.

Aneh.

Tapi aku tidak akan melewatkan kesempatan ini.

Tidak sekarang.

Aku menjabat tangannya secara mental saat aku sadar bahwa kami saling paham. "Ayo kita selesaikan."

Seakan dia memahamiku, ingatan soal saat aku berlatih dengan Barney muncul kembali di pikiranku dengan detail yang sangat tajam.

Aku pernah ikut kursus daring dulu. Boleh kubantu?

Lagi.

Lagi.

Mulai benar. Lagi.

Sekali lagi, dan pastikan kali ini menempel di kepalamu. Kau mulai bisa.

Dan akhirnya mantra itu datang padaku: Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt.

Kali ini, kelitik di punggungku tidak mengendalikanku, seperti saat spektrosida atau terraformasi. Rasanya juga tidak seperti memberiku bantuan setelah panduan singkat, seperti Quiescite.

Tapi rasanya juga tidak seperti sedang kukendalikan, seperti telekinesis.

Rasanya sama sekali beda.

Kali ini, rasanya seperti sihirku mengucapkan mantranya bersamaku. Bibirku bergerak atas dorongannya, tetapi tanpa kehilangan kehendakku sendiri. Aku memfokuskan sihirku untuk menyebar ke seluruh Calamity dan lebih, ke mana pun yang sudah disentuh oleh kabut ini, ke setiap monster yang ada, dan sihirku menuntaskan sisa kerjanya—aku yang mengarahkannya, dia yang urus detailnya. Dia tahu setiap langkahku, dan aku tahu setiap tindakannya. Sinkronisasi kami sempurna.

"Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt."

Begitu aku mulai membaca mantra itu, aku bisa merasakan kabutnya bergerak. Arah alirannya mulai berubah. Tetapi kabut ini melawan pengaruhku.

Paling tidak aku sudah mencegahnya menyebar lebih jauh.

"Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt."

Gelombang kejut kedua mantra itu akhirnya mulai menghantam perlawanan kabut ini. Dia mulai mengalir kembali melalui Pintu, ke dunia ini.

Dunianya sendiri.

Ayo.

"Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt."

Efek sihirku tidak bisa dilawan dan segera terasa—kabut ini akhirnya menyerah dan mulai mengalir masuk dalam jumlah besar.

Lalu ada juga monster-monster kecil dan serangga-serangga raksasa yang ikut mengalir masuk.

Untung aku cuma kesadaran tak berwujud.

Lebih banyak monster lagi ikut mengalir masuk bersama kabutnya sementara aku dan sihirku berfokus pada mereka. Segera, monster-monster di dekat Disaster melayang sendiri ke arah Pintu, dipaksa pulang ke dunia mereka sendiri.

"Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt."

Ayo, Alden.

Getaran di taliku masih belum berhenti. Monster-monster di sekitar Rumah Budak masih belum tersentuh mantraku. Tubuhku masih dalam bahaya.

Heather masih dalam bahaya.

Ingatan akan perjuangan di Bunker, pertarungan melawan Nyx, dan obrolan kecil di rumah lindung muncul kembali. Aku berusaha mengeluarkan lebih banyak sihir lagi di repetisi berikutnya.

Sihirku sepakat dan patuh.

"Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt."

Yang barusan itu bukan lagi cuma gelombang kejut—itu adalah ledakan besar-besaran. Getaran di taliku terasa sangat melemah.

"Aku tahu itu kamu, Alden!" gaung suara Heather. "Apa pun itu yang kamu lakukan, pertahankan!"

Itu niatku.

"Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt."

Saat itulah aku menyadari ada semacam tinta cair yang bergerak menembus Pintu—dan sensasinya familier.

Aku terlambat menyadari itu.

Dia mendekat ke arahku dan menyelimutiku.

Ini hambatan gelap.

Suami Nyx.

"Siapa kau?" tuntutku sementara aku memberi sihirku waktu untuk mencari solusi. Kami masih sinkron, jadi jika ada saat di mana sihirku bisa merasakan kebutuhanku, saat itu adalah saat ini. Aku berhasil selamat di pertarungan sebelumnya karena Heather ingat sebuah mantra Latin dan kebetulan ada sebuah mobil muscle dari pelataran parkir yang tidak sengaja termasuk dalam ranah malam Nyx. Kali ini, tidak ada apa pun.

Sihir kegelapan ini masih bisa melingkupiku bahkan walaupun aku sekarang cuma sebentuk kesadaran tak berwujud ... berarti mungkin artinya ini adalah sihir ilusi.

"Aku adalah Erebus," jawab suara seorang pria dari tengah kegelapan itu. "Akulah Sang Kegelapan."

"Kautahu bahwa aku dan rekanku telah membunuh istrimu, 'kan?" tantangku. Aku bisa merasakan sihirku mencubitku secara mental karena itu—dia butuh tambahan waktu, bukan tekanan.

"Aku tahu," jawab Erebus. "Dan kau akan membayarnya. Sementara rekanmu ... gilirannya akan tiba. Untuk saat ini, aku harus puas hanya dengan membalasmu."

Ping. Sihirku baru saja memberi lampu hijau. Pemilihan waktunya luar biasa. "Tidak sekarang, Bung. Lux!"

Puji para penyihir Romawi atas kreativitas mereka dengan mantra-mantra seputar cahaya.

Aku bisa merasakan cahaya murni menyeruak dari dalam diriku, dan Erebus menjerit kesakitan—persis seperti Nyx menjerit saat Heather memberinya matahari mini.

Makan cahaya ini, dasar monster.

Kegelapan di sekelilingku mulai menyingkir. Aku sadar bahwa mungkin saat inilah kesempatanku untuk memengaruhi dunia lagi, di luar pengaruh Erebus. Aku menarik lebih banyak lagi sihir sebisaku.

"Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt."

Dhuar.

Ledakan yang barusan itu bersamaan dengan cahayaku mengusir Erebus selamanya, dan para monster mulai terhisap ke dalam Pintu lebih cepat lagi. Getaran di taliku sudah berhenti, dan satu-satunya hal yang muncul dari sana sekarang adalah pekikan penuh kemenangan dari Heather.

"Hebat! Terus, Alden!"

"Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt."

Gelombang kejut lagi. Para monster Arkana Mayor beterbangan melalui Pintu, dan aku sadar dari pilihan sihirku bahwa tinggal monster Set yang masih ada di Calamity.

Waktunya mengakhiri ini semua.

"Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, LASST JETZT!"

Pergilah.

Para Set mulai terpental masuk.

Tetapi lalu pilihan sihirku menarik perhatianku—As Hati.

Lepaskan yang itu, kataku pada sihirku. Ia bukan orang asing.

Bukan dalam konteks mantra ini, paling tidak.

Sihirku memutuskan untuk mendengarkanku kali ini dan membiarkannya lepas dari pengaruh mantraku. Sisa Set yang lain tetap terhisap terus ke dalam Pintu.

Saat itulah aku memutuskan untuk turun sebentar sementara proses ini nyaris selesai. Belum semua kabutnya terhisap masuk, tetapi masalah para monster paling tidak sudah selesai. Aku mendekati As Hati yang terbaring di tanah.

"Hei," kataku. "Ini aku."

Ia menoleh, matanya satu-satunya berfokus padaku. Ia tampak memar-memar dan penuh luka, tetapi berhubung ia memang tampak begitu dari awal, aku agak sulit membedakan luka-luka baru dari yang lama. Aku cuma bisa berharap ia baik-baik saja.

Ia tersenyum dan mengerang lemah. "Halo, magus."

"Apa benar mereka menyiksamu karenaku?"

Ia mengangguk, dan bahkan usahanya tampak sangat berat baginya. Aku jadi agak berjengit sendiri. "Tapi aku selamat, lihat?" katanya, masih dengan senyum bersahabatnya yang khas. "Aku sudah hidup dengan luka-luka seumur hidupku. Luka-luka baru cuma akan menghiasku. Mempercantik diriku. Atau memperseram, dalam konteks itu." Ia terkekeh. "Aku bisa merasakan diriku ditarik kembali ke Pintu, tetapi mendadak tarikannya berhenti. Apa kau menghentikannya?"

"Ya," kataku. "Aku ... aku tidak tega meninggalkanmu dengan yang lainnya. Tidak setelah apa yang mereka lakukan padamu dan Setmu."

Matanya bertemu dengan mataku. Mendadak rasanya seakan jika aku berwujud, ia pasti sudah melompat maju dan memelukku erat-erat. "Kami akan baik-baik saja, magus," katanya tenang. "Bahkan, bagaimana caranya kami akan membalas mereka jika kami tidak di sana bersama mereka?"

"Tapi—tapi dengan keadaanmu sekarang—paling tidak kau harus cari bantuan dulu," semburku sebelum bisa kutahan. "Mungkin aku bisa mengontak Covens—perawat-perawat mereka hebat, mereka akan mencarikanmu semacam—"

"Magus," potongnya lembut. "Kau cuma bisa menolongku dengan dua cara sekarang, dan mereka bisa dilakukan dengan urutan yang kaumau. Apa kau mendengarkanku?"

Aku mengangguk. "Selalu."

Ia tersenyum balik. "Bagus. Pertama, jangan batalkan kembaliku ke duniaku. Lagi pula, aku butuh kabut ini untuk menjagaku tetap hidup. Tanpa ini, kemungkinanku bertahan hidup akan jatuh hingga kurang dari separo. Karena inilah kisah-kisah lamamu tentang para monster tidak pernah menceritakan mereka bergerak bebas di tempat terbuka. Kami harus menjaga diri tanpa kabut ini. Jadi tolong. Apa kaumau aku tetap hidup?"

Aku menelan ludah. Lalu aku mengangguk. Lagi, matanya seperti memelukku erat-erat.

"Bagus. Jangan khawatir. Kau sedang menghindari kesalahan yang biasa dilakukan para manusia. Apa kautahu apa itu?"

Aku menggeleng.

Ia menatapku dalam-dalam. "Masalah terbesar umat manusia adalah mereka lebih sering memilih untuk menjadi bahagia daripada benar. Tapi aku tahu kaubisa jadi lebih baik daripada itu. Apa kau sanggup melakukan hal yang benar, dan bukan hal yang akan membuatmu senang?"

Aku merasakan rahangku mengatup sebelum mengangguk. Ia memberiku senyuman terhangatnya.

"Luar biasa. Berarti kita akan melakukan pengorbanan yang sama. Kita berdua pahlawan sekarang. Jadi terakhir, sebelum kau memulangkanku, aku ingin bertanya satu hal padamu. Apa kaubisa jujur padaku?"

Aku mengangguk. Ia menghela napas dalam. Lalu ia berbicara.

"Aku belum mendapatkan kehormatan untuk mengenal namamu, magus. Siapa namamu?"

Aku tercekat. "Alden Jackson. Kaubisa memanggilku Alden."

Ia tersenyum untuk terakhir kalinya—senyum terakhir yang akan kulihat darinya. "Baiklah, Alden. Aku akan selalu mengingatmu. Sekarang kembalikan aku ke duniaku agar aku bisa mencekoki monster-monster sial itu obat mereka sendiri."

Aku tersenyum sedih padanya sementara aku mulai melayang kembali naik ke dalam dunia monster, sekarang sambil mengaitkannya sebagai orang asing untuk satu kali pengulangan Paksagriya yang terakhir. Sihirku menolongku mengganti targetnya menjadi orang kedua informal.

"Deine Zuhause ruft für dich, lasst jetzt. Deine Welt ruft für dich, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt dich ab, lasst jetzt."

Hal berikutnya yang aku tahu, ia terbang melewati Pintu itu dengan wiii yang sangat riang. "Terima kasih, Alden!"

"Bukan, As Hati," jawabku saat ia melewatiku, ingatan akan saat-saat bantuannya begitu berharga kembali muncul di pikiranku. "Aku yang berterima kasih."

Kabut itu akhirnya habis, dan aku meninggalkan Pintu kembali ke Disaster. Seakan dikomando—mungkin ini efek penutup dari mantra Paksagriya—Pintu itu menutup sendiri.

Tidak ada lagi kabut maupun monster di Calamity.

Aku merasakan sedikit kekosongan dari kepergian As Hati, tetapi aku yakin ia akan mampu bertahan. Melihatnya begitu bersemangat seperti tadi juga menaikkan semangatku. Aku harap ia segera membaik.

Dan aku kembali teringat monolognya waktu aku digantung.

Yeah. Aku harap ia mendapatkan teman baik dalam waktu dekat.

Aku menarik tali pengamanku. Aku bisa merasakan diriku otomatis melayang kembali ke Rumah Budak, melewati orang-orang dan para magi yang baru saja menyaksikan akhir dari Serbuan Monster. Para sandera dilepaskan di seantero Disaster. Magi saling membantu satu sama lain. Aku teringat ancaman perang antar klan yang disebutkan Alex ke Cora—melihat ini, aku merasa sangat lega.

Lalu aku merasakan getaran lembut dari taliku menggemakan suara Heather menyanyikan lagu-lagu populer, tetapi dengan lirik yang diubah untuk menceritakan tentang kalahnya para monster. Aku terkekeh sendiri. Siapa tahu ia bisa sekekanak-kanakan ini?

Lalu akhirnya aku tiba di Rumah Budak.

Barney, Isaac, Cora, dan Alex tampak luka-luka, tetapi mereka mampu berdiri, mencari tempat duduk, menggunakan pertolongan pertama (aku menyalahkan kantong-kantong magi mereka karena kemunculannya yang tanpa aba-aba), dan saling membantu satu sama lain. Heather menari riang mengelilingi tubuhku yang tenang, rambut pirang gelapnya melayang seperti sayap-sayap emas kecil di kepalanya. Ada beberapa memar dan luka koyak di sekujur tubuhnya, tetapi aku tidak mungkin bisa lupa senyum di wajahnya dalam waktu dekat.

Aku tersenyum. Sudah waktunya pulang.

//

Kembaliku ke tubuhku lagi disambut dengan umpan balik yang luar biasa positif. Heather memberiku pelukan erat yang aku yakin bisa menandingi pelukan As Hati jika tadi ia punya kesempatan itu, dan ia masih merangkulku bahkan sementara yang lainnya menyalami dan menyelamatiku karena telah mengakhiri serangan para monster—mungkin senang berlebih bisa membuatnya benar-benar kekanak-kanakan.

"Lihat, 'kan? Kaubisa membereskan kekacauan sebesar ini. Aku sudah tahu kau berbakat jadi tukang bersih-bersih," kata Cora, dan kami semua tertawa.

Kami menghabiskan sisa sore itu bersama, berbagi cerita, menertawai para monster, dan aku akhirnya menceritakan pada mereka tentang As Hati. Aku bahkan tidak tahu untuk apa, tetapi aku merasa seperti perlu membagi beban kepergiannya. Aku perlu orang lain untuk paling tidak paham betapa banyak bantuan yang telah diberikannya.

Heather, yang sudah tahu tentangnya, menepuk punggungku dan meyakinkanku bahwa ia akan selamat di luar sana—ia berhasil bertahan dari siksaan yang berlangsung dari sejak sebelum Nyx menyerang kami hingga saat aku menginterupsi mereka dengan Paksagriya, dan ia masih cukup kuat untuk mengobrol denganku dan berpose saat melayang melewati Pintu—mungkin ia memang punya kesempatan.

Kami membantu beres-beres, tetapi berita besar berikutnya datang saat Barney mendekatiku bersama orang lain—penyihir dari Disaster. Jantungku mencelus.

"Alden, ini Anna Fletcher," kata Barney. Kedua mata gadis itu terpaku ke tanah. "Ia bilang ia ingin bicara padamu, tetapi tidak berani mendekatimu tanpa ancang-ancang, jadi—"

"Aku minta maaf," sembur Anna. Lalu ia mulai terisak. "Aku benar-benar minta maaf mengakibatkan semua ini—harusnya tidak seperti itu, sumpah, semuanya cuma—"

"Whoa, Anna, tenanglah," kataku. "Sini, duduk dulu. Ceritakan padaku dari awal."

Anna menceritakan padaku bahwa ayahnya meninggal baru-baru ini. Dia seorang Shaman, tetapi tanpa seorang ibu, Anna dekat dengan ayahnya sepanjang hidupnya. Dia bahkan sempat terkenal sebagai skinwalker terhebat di daerah sini—ternyata beberapa Shamans masih melakukan ini dan, seperti dengan proyeksi astral, mereka menciptakan sistem pengaman untuk sihir ini—dan Anna sempat curiga bahwa setelah meninggal, dia mungkin saja dikirim ke dunia monster. Ia tidak pernah serius memikirkan ide ini, tetapi itu berubah saat seseorang mendekatinya dan mengatakan bahwa dia bisa mencarikan ayahnya. Dia lalu melakukan berbagai hal yang magi lain tidak bisa, dan, teryakinkan oleh kekuatannya, Anna setuju membantunya. Tetapi ternyata ia malah berakhir terjebak dalam Penjara Perancis—ternyata itu nama mantra jebakannya—dan memanggil seekor monster dari dunianya. Si orang misterius kabur begitu monster itu muncul, dan itu memulai segalanya.

Sayangnya, Anna tidak sempat memperhatikan orang itu baik-baik. Ia juga bilang padaku bahwa bisa jadi semua identitasnya palsu, dan begitu pula tampangnya—dari beberapa kekuatan unik yang ditunjukkannya pada Anna, dia bisa berubah wujud tidak hanya menjadi binatang, tetapi juga menjadi orang lain.

Aku berterima kasih padanya, mengatakan padanya bahwa semua ini bukan salahnya dan aku turut berduka soal ayahnya, dan aku membuat catatan mental untuk mencari tahu siapa orang misterius ini. Rasanya ada lebih banyak rahasia yang disembunyikannya.

Lalu Heather mengingatkanku bahwa orang tuaku masih menanti di rumah lindung Covens—waktu Cora pergi mencari Barney dan Isaac, Heather-lah yang merawat mereka. Aku memutuskan untuk menjemput mereka sebelum hari menjadi gelap.

Heather memanduku lagi melewati lorong-lorong sempit itu ke arah rumah lindung, dan kali ini, gadis-gadis yang menjaga pintunya tidak memprotes atau membombardir kami dengan pertanyaan atau semacamnya—mereka cuma mengangguk kenal. Aku bisa melihat luka-luka ringan pada mereka—mereka pasti sehabis melawan monster juga. Aku mengangguk balik dan masuk ke rumah lindung.

Orang tuaku sudah menanti di ruang depan. Di samping sedikit memar dan rambut yang berantakan, mereka tampak baik-baik saja.

"Alden," panggil Amanda begitu ia melihatku. Lalu ia benar-benar melompat dari tempat duduknya dan memelukku. Ia mulai terisak pelan. "Oh, Alden, aku tidak mau percaya, tapi mereka menceritakan padaku apa yang terjadi di luar sana. Sangat sulit untuk dipercaya jika kami belum mengalaminya sendiri! Apa itu benar? Kau seorang ... magus?"

Ia mengatakan kata itu seakan itu bahasa asing—di satu cara, ia benar juga. "Yeah," kataku saat ia melepaskanku. Lalu aku merentangkan tangan dengan canggung. "Kejutan."

"Kau tak apa-apa?" tanya Jack. Aku tahu dia sama cemasnya dengan Amanda, tapi dia jelas tidak bisa mengakali kepala kerasnya itu. Aku mengangguk.

"Sedikit efek samping psikologis, dan sepertinya dua jariku lengket secara permanen, tapi selain itu aku oke-oke saja," kataku. Ekspresi mereka berubah menjadi horor murni saat aku menyebutkan soal jariku, dan aku tertawa. "Kena. Aku enggak apa-apa, kok, lihat? Aku baik-baik saja."

"Jangan begitu!" kata Amanda. "Bagaimana kaubisa tega begitu pada ibumu sendiri?"

Sebuah sunyi yang terasa sangat canggung mengikutinya. Mendadak Amanda menyadari apa yang baru saja ia katakan.

"Um ... aku...."

"Karena aku tahu kaubisa diajak bercanda," jawabku akhirnya. Serius, aku tidak masalah dengan diam, tetapi aku jelas tidak tahan diam canggung begitu. Aku kira memaafkan Jack dan Amanda waktu itu berarti kami sudah baikan. Ternyata kami masih harus banyak menyesuaikan diri.

Tapi itu urusan nanti. Jack mengangguk padaku, berterima kasih padaku tanpa kata, dan Amanda menoleh ke Heather.

"Hai! Alden, ini Heather, ia yang merawat kami waktu Cora pergi. Ia cantik, 'kan?"

Aku merasakan pipiku merona merah. "Oh, ayolah!"

Amanda tertawa. "Sekarang lihat siapa yang bercanda!"

Wajahku rasanya semerah kain-kain merah di ruang depan ini. Heather bahkan ikut tertawa bersama Amanda, tapi toh, ia masih merasakan euforia pasca-monster-kalah, jadi aku juga tidak bisa menyalahkannya.

"Oke, ayo pulang," kataku, tapi tiba-tiba tawa Heather berhenti begitu mendadak hingga ia bahkan tersedak saking kagetnya.

"Tunggu," katanya. "Ada ... semacam prosedur standar, jadi sepertinya aku harus memberi tahumu soal ini."

"Apa itu?"

"Pintu ini," tunjuknya ke arah pintu masuk. "Ada sihirnya. Ada kutukan dalam pintu itu yang akan membuat nonmagi mana pun yang masuk lupa soal waktu mereka di rumah lindung. Ingatan mereka cuma akan sampai titik sebelum mereka dengar soal rumah lindung ini untuk kali pertama, dan baru akan berlanjut setelah mereka meninggalkan lorong yang mengarah ke rumah lindung."

"Tunggu," kataku sambil mengangkat tangan. "Jadi maksudmu, jika mereka keluar pintu ini, mereka akan lupa segala hal yang terjadi di dalam rumah lindung?"

Heather menggigit bibirnya dan mengangguk sungkan.

"Jadi mereka akan lupa semua penjelasan yang mereka terima selama di sini, dan cuma akan ingat soal ... serangan monster?" aku menoleh pada orang tuaku. Aku ingat bagaimana keadaan mereka setelah baru saja dibebaskan dari cengkeraman As Ketupat. Tidak bagus, dan jika mereka berani cerita pada siapa pun soal apa yang terjadi, orang-orang pasti mengira mereka gila. Kecuali mungkin para nonmagi yang tertangkap dari pesta tunggu Rumah Budak, tapi aku tahu mereka akan patuh pada pendapat publik. Itu bukan pilihan yang bagus untuk orang tuaku.

Heather mengangguk lagi, bibirnya masih digigit. "Jika aku bisa, Alden, aku berani sumpah aku akan mencari cara untuk membantumu melewati ini. Tapi aku tidak tahu caranya."

"Tapi aku tahu."

Jawaban itu muncul dari balik kain-kain sekat yang mengarah ke ruang-ruang perawatan, dan seorang wanita keluar dari sana. Ia berambut panjang, lurus, berwarna hitam, dan sedang mengenakan atasan merah tanpa strap dengan rok merah gelap yang mencapai atas lututnya. Iris matanya, aku baru sadar, berwarna kemerahan juga.

Heather dan Covens lainnya menunduk kecil, dan aku memutuskan bahwa mungkin melakukan hal yang sama adalah pilihan yang bijak. Aku teringat kata-kata Heather—para Covens menganggap serius masalah kehormatan. Jack dan Amanda juga menunduk dengan canggung.

Tetapi si penyihir berbaju merah cuma tersenyum. "Kautahu, Alden, kau tidak harus menunduk padaku. Anda juga, Pak dan Bu Jackson. Untuk yang lainnya—istirahat di tempat."

Semua orang kembali mengangkat kepala. Aku baru bisa mengamati si penyihir ini dari dekat—mungkin umurnya sudah di akhir kepala tiga, tetapi ia masih tampak cukup prima untuk melakukan mantra sulit tanpa masalah—ia tampak kuat dan aku tidak bisa memungkiri kesan eksotis pada penampilannya.

"Bagaimana Anda tahu nama saya?" tanyaku malu. Ia tersenyum.

"Aku Morgana," katanya.

Morgana. Aku kenal nama itu.

"Pemimpin Covens," tebakku. Ia tertawa.

"Pemimpin? Oh, bukan, aku cuma menjaga pos sementara Vivian keluar kota. Tetapi aku tersanjung kau menganggapku begitu. Aku merasa terhormat."

"Aku yang merasa terhormat," kataku sesopan mungkin. Morgana tertawa lagi.

"Sikapmu sopan juga, ya? Kerja Anda bagus, Bu Jackson! Kalau begitu saya bisa mengumumkan dengan bangga bahwa putra Anda adalah seorang pahlawan hari ini."

"Pahlawan?"

"Ya," katanya, tetapi lalu ekspresinya mendadak berubah. "Dan pembuat onar." Aku tahu ia sedang bicara soal terraformasi. Perubahannya yang mendadak membuat jantungku mencelus, tetapi lalu ia melanjutkan seakan tidak terjadi apa-apa. "Dia baru saja mengakhiri invasi oleh para monster hari ini," katanya tenang pada orang tuaku. "Sendirian."

"Saya tidak berani bilang itu kerja saya sendiri," kataku, melirik ke arah Heather. "Saya tidak ada apa-apanya tanpa teman-teman saya."

Morgana mengangkat alis. "Wah, pasti sebuah kehormatan besar bisa berjuang bersamamu," katanya. "Aku bisa merasakan gelombang-gelombang Paksagriya tadi. Aku bisa merasakan kekuatannya. Aku tahu satu-satunya orang yang cukup kuat melakukan itu pasti satu-satunya orang yang cukup kuat untuk membersihkan Rumah Budak. Aku iri pada teman-temanmu, Alden."

Ia memanggilku Alden. Ia tidak memanggilku Mr. Jackson. Jadi mungkin ia menganggapku setara, atau mungkin di bawah dan pantas mendapat perhatian lebih, tapi jelas bukan di atas. Aku tidak masalah.

"Terima kasih," kataku. Lalu ia menoleh ke orang tuaku.

"Jadi masalah mantra Amnesiak ini ... saya cuma bisa membayangkan betapa bangganya Anda sekarang mengetahui bahwa putra Anda adalah seorang pahlawan, tapi saya harus memberi beberapa syarat khusus jika Anda ingin mempertahankan ingatan Anda. Apakah itu tidak apa-apa?"

Jack dan Amanda bertukar pandang. "Kami mau tahu dulu syarat-syaratnya, jika boleh," jawab Jack. Morgana mengangguk.

"Pertama, Anda akan disumpah menjaga rahasia. Anda tidak akan pernah bicara tentang dunia sihir kepada teman-teman nonmagi Anda. Semua risiko, Anda yang tanggung—entah itu kesan mereka terhadap Anda, entah itu magi lain dengan kepentingan khusus yang mungkin akan mengancam nyawa Anda, atau apa pun yang mungkin timbul dari sana. Apa itu tidak apa-apa?"

Jack dan Amanda bertukar pandang lagi. Lalu mereka berdua mengangguk. Morgana tersenyum.

"Bagus. Kedua, kami dari klan Covens sudah pernah beberapa kali membebaskan secara bersyarat beberapa nonmagi dari rumah lindung kami yang masih mempertahankan ingatan mereka. Anda bukan yang pertama. Tetapi kami sadar akan risiko mengetahui soal dunia sihir—tanpa mempunyai kekuatan sihir. Jadi biasanya kami mengirim penyihir-penyihir klan kami untuk memonitor dan berpatroli di sekitar tempat tinggal Anda secara periodik, untuk jaga-jaga saja. Tolong dipahami bahwa ini adalah untuk perlindungan Anda juga. Apakah itu tidak apa-apa?"

"Selama urusan di dalam rumah tetap di dalam rumah, kami tidak masalah," kata Jack. Amanda mengangguk setuju. Morgana tersenyum cerah.

"Sempurna," katanya. Lalu ia mendekati kusen pintu keluar dan menggumamkan sesuatu. "Nah. Sekarang Anda akan tetap memiliki ingatan Anda bahkan setelah keluar dari pintu ini. Terima kasih." Lalu ia menoleh padaku. "Dan terima kasih padamu. Heather, antar mereka pulang."

Heather mengangguk dan tergesa bergerak ke sisi orang tuaku. Aku mengangguk pada Morgana, menunduk sedikit, dan ia menunduk balik.

"Terima kasih banyak, Morgana," kataku, tetapi ia mengayunkan tangannya.

"Bukan masalah. Tidakkah kaumau menemani orang tuamu?"

Aku memandang mereka sebentar. "Ya. Saya mohon pamit dulu."

Morgana tertawa. "Diizinkan," katanya dengan nada yang membuatku sadar bahwa ia cuma bercanda. Aku tersenyum pada gestur bersahabatnya dan mengangguk untuk kali terakhir sebelum memutuskan berjalan di sebelah Heather. Amanda nyengir padaku dengan gaya kenal.

"Wah, ada yang sudah besar," katanya sambil memandang pergi, berpura-pura mengabaikan aku dan Heather.

"Bu, tolong," kataku. "Ayo pulang saja."

Amanda mendadak sadar bahwa aku baru saja memanggilnya Ibu lagi. Ia tersenyum lebar kepadaku. Itu senyuman yang tidak dimilikinya selama setahun ini.

"Yeah," katanya, menghela napas lega. Ia telah mendapatkan kembalianaknya. "Ayo pulang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro