13. I BELIEVE THIS ENDS OUR WONDERFUL TRIP.
Catatan Penulis: Halo lagi! Sebelum orang-orang yang teliti detail berkata, "Fi, ini seminggu plus dua hari!" aku mau bilang iya, aku tahu, cuma karena ada sakit mendadak yang menyergapku dari akhir minggu lalu (persisnya hari Sabtu #penting), aku jadi agak terlambat mengerjakan terjemahan untuk Bab ini. JADI dengan catatan penulis kali ini, aku punya beberapa berita bagus.
Pertama: Bab terakhir di Gravedancer adalah Bab 14. Dan ini adalah Bab 13. Dengan kata lain: GRAVEDANCER AKAN TAMAT MINGGU DEPAN, GAIS!! IYA INI HEBOH PAKE BANGET!! CAN I GET AN AMEN?!
Oke, emang masih ada Epilog sih sama curcol tambahan abis Bab 14, tapi semuanya bakal aku post di hari yang sama. Jaga-jaga kamu belum sadar, aku punya kebiasaan posting prolog-bab pertama dan bab terakhir-epilog di hari yang sama supaya feel membacanya lebih enak. Kecuali untuk Reaper, sih, berhubung idenya juga belum terlalu matang.
Berita bagus berikutnya, aku sadar bahwa terjemahan Gravedancer ini EYD-nya berantakan, jadi aku mungkin akan mengerjakan versi revisinya dalam waktu dekat. HAP! Tapi tunggu dulu, karena sebelum versi revisi Gravedancer ini kukerjakan, aku akan mengerjakan proyek lain dulu ... yang membawa kita ke berita bagus ketiga:
Tulis-ulang Myth Jumpers sudah siap rilis, dan akan mulai rilis hari Minggu ini!
Kalau ternyata kamu bukan pembaca lama Myth Jumpers, dan kamu suka bacaan young adult yang agak lebih serius daripada Gravedancer, atau suka genre apocalyptic (belum post-apocalyptic lho), suka drama keluarga, suka romansa, suka sci-fi, suka mitologi-mitologi kuno... maka Myth Jumpers adalah cerita yang tepat untukmu. Tunggu tanggal mainnya! CMIIW.
Last but not least, Catatan Penulis ini ternyata jadi sekitar tiga ratus kata, padahal harusnya curhat-curhatan kutahan sampai ke bab paling belakang. Jadi terima kasih karena masih membaca Gravedancer hingga sekarang, selamat menikmati, dan sampai jumpa lagi dalam waktu dekat ini! *insert euforia mau tamat di sini*
//
I abide and abide and tarry the tide,
And with abiding speed well ye may.
-Abide and Abide and Better Abide, Thomas Wyatt.
Satu-satunya kata yang bisa menggambarkan rumahku adalah hama.
Ciri pertama: ada kelabang raksasa melilit dinding luarnya.
Setelah lebih diperhatikan: banyak monster yang bergerak keluar dan masuk dari rumah melalui lubang mana pun yang bisa mereka temukan.
Ada beberapa penyihir di sekitar rumah, bahkan ada beberapa yang laki-laki, tetapi mereka tidak bisa mencapai pintu. Namun mereka berhasil menjaga agar para monster yang baru datang tidak bisa ikut masuk ke dalam rumah.
Cora mencabut pisaunya, menggumamkan mantra Jagal-Batu Gaelnya yang khas—aku tahu karena ia menggumamkan hal yang sama persis waktu di Disaster—dan langsung menerjang ke arah si kelabang. Aku menyingkirkan beberapa hal dengan telekinesis, menghindari sebanyak mungkin monster yang kubisa, dan langsung menerobos masuk ke dalam rumah.
Pilihan buruk.
Rumahku penuh dengan monster. Banyak laba-laba dan semut sebesar telapak tangan merayap di dinding, lebah-lebah sebesar labu berseliweran kesana-kemari, dan makhluk-makhluk lain yang bentuknya tidak bisa kugambarkan bergerak di lantai. Tapi mereka punya satu kesamaan: mereka langsung bereaksi begitu aku masuk.
Dengan agresif.
Dalam sepersekian detik, aku teringat sesuatu yang sempat kulakukan—pertarungan dengan Nyx. Sihirku mulai menggelitik dan aku merasakannya menyesuaikan mantraku dengan jumlah target yang ada. "Quiescite!"
Para monster membeku. Lebah-lebah tadi bergerak jatuh dalam gerak lambat. Bahkan ada juga monster-monster di langit-langit yang mulai jatuh—mungkin aku mengeluarkan agak terlalu banyak tenaga di mantra barusan.
"Jack?" panggilku segera sambil mencari ke sekelilingku. Rumahku kacau, tetapi kekacauan ini tidak cukup untuk menyembunyikan orang dewasa. "Amanda?"
Tidak, bukan di dapur. Tidak di ruang keluarga ...
Aku memeriksa di balik belokan. Tidak di kamar tidur mereka.
Ada bunyi serangga yang khas sementara para monster mulai mendekat ke tanah. Aku tidak punya banyak waktu tersisa.
Lantai atas. Atas, Alden, lantai atas.
Aku berlari menaiki tangga secepat yang kubisa—hanya ada dua kamar di lantai kedua rumahku: perpus kecil (awalnya seharusnya untuk jadi gudang, tetapi halaman belakang yang sudah dibersihkan dan jumlah buku yang bertambah terus memaksa beberapa perubahan untuk dilakukan) dan kamarku. Bagaimana aku bisa memeriksa dua kamar dengan cepat—
Ada tawa dari arah perpustakaan.
Aku langsung berbelok tajam ke arah kanan dan disambut dengan pemandangan As Ketupat.
"Wah, halo!" katanya riang. Ada buku di tangannya, dan ia sedang duduk di atas meja baca. "Pas sekali, aku sudah menantimu!"
Menurutmu saja. Refleks pertamaku adalah mencari-cari di ranah tali-temali untuk mengendalikan buku-buku di rak dan bahkan mungkin rak itu sendiri.
Tetapi tidak ada satu tali pun.
As Ketupat tersenyum licik. "Aduh-duh, bukankah tidak sopan meraba-raba begitu di tengah pembicaraan?"
Tiga buah buku mendadak melontarkan diri ke arahku.
Aku nyaris melakukan Quiescite lagi, tetapi ketiadaan tali di tempat non-sihir membuatku merasa seperti ada sesuatu lagi di balik ini semua, jadi aku memilih menghindari bebukuan itu. Ketiadaan talinya tidak terasa seperti di duel dingin antara Ivan dan John; rasanya lebih seperti seakan tidak pernah ada tali-temali di sini dari awal. Ketika aku menunduk menghindar, mataku mendarat di kalung-kalung perhiasan di sekeliling leher As Ketupat.
Sebuah obrolan lama muncul di kepalaku: sangkar itu tidak disihir. Salah satu Ketupat meletakkan permatanya di sangkar itu. Beberapa permata bisa digunakan untuk menghalau sihir.
Tips berguna khas As Hati. Jika Nyx jujur soal ia dihukum, aku jelas harus mencari cara menyelamatkannya nanti.
Permata-permata itu sihir. Aku tidak bisa menggunakan sihir di dekat As Ketupat.
Bunyi erangan terbungkam menyentakku kembali dari pikiranku dan aku baru sadar bahwa Jack dan Amanda ternyata tengah ditahan dan dibungkam paksa mulutnya oleh monster-monster kecil. As Ketupat mengikuti pandanganku dan menyeringai.
"Ah, ya, berhubung kami membutuhkanmu, kami pikir mungkin sebaiknya kami mencari ... kuasa atas dirimu."
Aku berdiri sigap, siap bereaksi, hanya tidak yakin apa yang harus kulakukan. Bunyi serangga di bawah mulai terdengar agak keras. Efek mantra penundaku pasti sudah nyaris habis. Saat inilah aku baru sadar As Ketupat punya hobi yang sama dengan As Hati: monolog ala penjahat saat tak ada yang bicara.
"Jadi mungkin kami akan membawa mereka," lanjutnya, menutup buku di tangannya—edisi lama The Great God Pan karya Arthur Machen milik Jack, untuk apa ia butuh itu?—sambil menelengkan kepala ke arah orang tuaku. "Tahulah, ke tempat kami menyimpan orang-orang lain di hutan. Tempat kami menyanderamu sebelum kau kabur. Cuma supaya kami tahu kau tidak akan mencoba macam-macam. Bukannya kaubisa juga, sih. Permata-permata ini cukup kuat."
Mata Jack dan Amanda bergulir terus dari arahku, ke tentakel yang membungkam mereka, dan As Ketupat.
Tunggu.
As Ketupat.
Nonmagi harusnya tidak bisa melihat monster.
As Ketupat menangkap mataku lagi dan menebak pikiranku. "Ya, mereka bisa melihatku. Mereka juga bisa melihat semua monster. Sebenarnya semua orang bisa melihat semua monster. Hanya saja kami punya semacam ... bau, sepertinya, yang melingkupi kami. Bau ini yang membuat non-penyihir mengalihkan pandangan dan bertindak seakan kami tidak ada! Sebelum, tentunya, terjadi kontak. Itu mematahkan efeknya."
"Alden—" panggilan Cora mendadak terpotong saat ia masuk ke perpustakaan dan melihat As Ketupat di atas meja. Aku bisa merasakan bahwa ia juga otomatis mencari tali-temali dan tidak menemukan apa pun.
"Aduh, magus, jangan!" kata As Ketupat sementara beberapa buku lagi terbang sendiri ke arah Cora. Ia di belakangku, jadi aku tidak punya pilihan selain menghindar lagi. "Itu tidak sopan! Apa kalian tidak pernah diajari untuk tidak sembarangan meraba?"
Jack dan Amanda berusaha mengatakan sesuatu padaku, mungkin semacam lari, tapi hmph tertahan mereka tidak banyak membantu.
"Apa yang harus kulakukan?" kataku dengan rahang terkatup. Senyuman As Ketupat memudar dan ia memandangiku penuh perhitungan selama beberapa detik.
"Coba kita lihat ... As yang lain sedang sibuk menghukum As Hati, jadi aku harus mengurus semuanya sendiri. Hmm. Mungkin itu tidak terlalu buruk. Toh, aku masih tahu di mana harus memotongmu." Kedua matanya—tidak seperti As Hati, ternyata ia masih punya dua mata—berkilat. "Dan aku bisa menyerap lebih banyak sihir dari yang lainnya. Berarti kita ke hutan dulu. Dan sebaiknya kau tidak macam-macam—" ia menunjuk ke orang tuaku, "—atau akan ada yang tersakiti."
Mereka sudah tersakiti, pikirku, tetapi aku memilih untuk mengangguk. Paling tidak ada magi lain di luar sana. Mungkin akan ada yang cukup pintar untuk membuat rencana atau semacamnya.
Mungkin. Kalau boleh jujur, aku tidak suka kemungkinannya.
Aku menghirup napas dalam-dalam. "Oke. Hutan."
Aku berbalik ke arah pintu, Cora juga buntu ide, dan mulai berjalan keluar dari perpustakaan. Ada kumbang kecil di kusen pintu, yang sebenarnya agak aneh jika mengingat ada lebih banyak monster serangga, tapi aku tidak tahu kenapa aku bahkan peduli soal itu.
As Ketupat tersenyum penuh kemenangan, berjalan di belakangku sementara kedua monster pembungkam memaksa orang tuaku bergerak juga. Cora tampak kemerahan; ia pasti mencoba sesuatu, tapi permata sihir As Ketupat masih tidak menyerah.
Kami baru nyaris mencapai tangga ketika segalanya mendadak terjadi.
Ada Barney dan Isaac di ujung bawah sana, dan tiba-tiba Isaac menyentakkan tangan ke arahku. Aku baru saja hendak memperingatkan mereka soal As Ketupat dan monster-monster yang menyandera orang tuaku, tapi Barney sudah berlari cepat ke atas tangga dan nyaris menyingkirkanku dari jalannya.
Dia langsung menghampiri orang tuaku, dan dari lengan jaketnya, lima ekor kumbang terbang keluar dan mulai menggerogoti kedua monster pembungkam. Tentakel mereka bergerak-gerak, seperti berusaha mengusir kumbang-kumbang itu sambil tetap membungkam orang tuaku, tapi itu tidak berlangsung lama dan mereka memilih mengejar serangga-serangga menyebalkan itu.
Begitu monster pembungkam itu melepas mereka, kedua orang tuaku bernapas lega. Tapi Barney sangat sadar pada situasi saat ini.
"Pak, Bu—kita harus pergi. SEKARANG."
Kami tidak perlu ditegur dua kali. Aku dan Cora masih agak bingung soal apa yang terjadi, tapi kami lari menuruni tangga seakan nyawa kami tergantung padanya. Isaac masih mengacungkan tangannya ke depan, tapi kakinya sudah dalam posisi siap lari. Begitu kami berlari melewatinya, dia langsung mengejar kami.
"Apa—Barney—barusan apa—" mulaiku, tapi Barney menggeleng.
"Ngobrol nanti," katanya terburu sambil tetap berlari terus dan terus, mengambil jarak sejauh mungkin dari rumahku. "Selamat dulu."
Kami terus berlari, napas kami tidak jauh-jauh dari paru-paru, dan kaki kami terasa lebih kuat dari kaki rusa selama beberapa saat hingga akhirnya Amanda mulai terengah-engah mengambil napas. Kami sudah berlari cukup jauh, dan tidak ada tanda dari As Ketupat atau monster-monsternya yang lain. Kami sepakat tanpa kata untuk berhenti dan bernapas dulu.
"Oke," kataku, berusaha mengatur napas. "Cerita ... apa ... sekarang...."
"Aku ... intai," kata Barney, bernapas sama beratnya. "Kumbang ... mati ... monster di ... rumahmu...."
Dia berhenti dulu sedetik dan berusaha mengatur napas. Masih tidak berhasil.
"Lihat ... orang tua ... sandera ... jadi Isaac ... magikinesis...." Ngos, ngos. "Terus masuk ... bebaskan ... dan lari...."
Sebagai kalimat, kata-kata Barney memang tidak ada artinya sama sekali, tapi paling tidak aku bisa menangkap hal-hal pentingnya di sana. Barney mengintai rumahku dengan Kumbang Zombi—jadi itu kumbang kecil di kusen pintu tadi—dan melihat apa yang terjadi, dengan para monster dan orang tuaku dan segalanya. Lalu Isaac mungkin sadar bahwa aku dan Cora seharusnya sudah mencoba memantrai para monster, dan berhubung tadi tidak, dia pasti sadar ada yang salah. Jadi dia berjudi dengan takdir dan mencoba magikinesis ke As Ketupat tanpa tahu apakah itu akan berhasil—bagaimanapun juga, sepertinya berhasil. Permata-permata tadi bisa menghalau telekinesis, tetapi ternyata ia tidak siap menghadapi magikinesis.
Jadi mereka masuk, menyelamatkan kami, dan kami semua lari.
Dan itu membawa kita ke sini. Napas kami sudah lebih enak. "Katalisnya gagal," kataku. "Kita perlu cari cara lain."
"Alden...." Itu suara Jack. Ekspresinya dan Amanda menggambarkan banyak hal, tapi terutama cemas. "Apa yang sedang terjadi?"
Aku sudah membuka mulut unutk menjawab, tetapi mendadak sadar bahwa aku kehabisan kata-kata. Bagaimana aku bisa menceritakan segalanya pada mereka? Aku bisa masuk dengan mudah ke dunia sihir karena Barney membangitkan Ayam Zombi persis di depan mataku sendiri, diikuti dengan pertarungan menyebalkan dengan seekor roh pembunuh dengan bonus penyihir yang dijebak dalam lingkaran ritual di dekat situ, dan itu semua juga setelah sebuah spektrosida raksasa yang kulakukan sendiri hanya beberapa menit sebelumnya. Jack jelas tidak melalui spektrosida di giliran Rumah Budaknya dulu. Spektrosida itulah yang mengubah semuanya untukku.
Tapi apa yang akan mengubah semuanya untuk mereka?
Pada akhirnya, mulutku cuma bisa membuka dan kembali mengatup seakan aku ikan yang dikeluarkan dari air. Jack dan Amanda masih menanti dengan sabar.
Spektrosida ...
Ayam Zombi ...
Roh pembunuh ...
Itu vampir yang sudah tenggelam sangat jauh, semacam roh pembunuh.
Ia Necromancer. Aku pernah bertemu dengannya sekali saat pertemuan. Anak baik. Setahun lebih tua dari kita.
Mungkin mantra yang berjalan salah. Mungkin ia salah buka Pintu.
Pintu?
Ketika kau mengizinkan orang mati ke dunia orang hidup, kau harus membukakan pintunya untuk mereka.
Tetapi itu bukan satu-satunya Pintu yang ada ...
Mendadak aku menyadari apa yang harus kulakukan. "Akan kujelaskan nanti," kataku akhirnya. "Tapi sekarang kita harus mengamankan kalian dulu. Cora—bisa kupercayakan mereka padamu?"
Tatapan Cora bertemu mataku dan ia mengangguk. "Rumah lindung, paham."
"Barney, aku perlu kau untuk menjelaskan padaku segalanya tentang Pintu-Pintu," kataku. "Dan Isaac—aku tahu mungkin kau akan tidak setuju karena grimoire Shamans pasti berisi ilmu yang berharga, tapi aku perlu bantuanmu mencari satu mantra dengan efek yang sangat spesifik."
Kedua penyihir tersebut mengangguk. Cora menggamit lengan orang tuaku dan mulai berjalan ke arah rumah lindung. Seperti dengan As Hati, dan seperti dengan Bev, aku baru menyadari apa yang perlu kukatakan di detik terakhir. "Um, semuanya?"
Semua orang berbalik dan berfokus padaku. Aku menghela napas. Segalanya bakal jadi rumit dari sini ke depan, dan belum lagi ada kemungkinan besar aku tidak akan bisa selamat dari ini. Tapi paling tidak aku berusaha.
"'Makasih."
//
Persuasinya memang cukup makan tenaga, tapi karena segala cara sudah dicoba dan gagal, akhirnya Isaac mundur ke ancaman. Perpustakaan ini harusnya eksklusif bagi para Shaman, dan si penjaga sangat tegas soal itu—paling tidak sebelum Isaac memakai jurus ancamannya. Ternyata Isaac tahu rahasia kotor si penjaga Perpus Shamans. Aku tidak menduga itu, tapi aku jelas sangat bersyukur.
"Jadi—apa yang perlu kau cari?" tanya Isaac, memaksa Barney untuk menjeda sebentar kuliahnya padaku soal Pintu. Aku menyentuh daguku.
"Banyak. Tapi aku rasa kita bisa mulai dari mantra terraformasi," kataku. "Aku menggunakan montar o ambiente para os monstros. Apa ada cara spesifik untuk membatalkannya?"
Isaac mengulang mantranya dan beberapa buku mengambang keluar dari rak mereka, menunjukkan diri.
"Kitab-kitab itu berisi mantranya. Coba kita cari yang sesuai kebutuhanmu."
Aku mengangguk sementara Isaac mulai memandu kami berkeliling perpustakaan ini dengan cepat. "Lanjut, Barney."
"Uh ... ya," kata Barney sambil mengerutkan dahi. "Seperti kataku tadi, Pintu-Pintu ini seperti pintu sungguhan. Bisa dibuka dari kedua sisi, bisa dikunci, bisa ditahan terbuka, dan arus lalu-lintasnya dua arah—keluar dan masuk. Karena itulah mantra untuk membuka Pintu ke ranah maut agak ruwet. Karena itulah necromancy bukan gaya sihir yang mudah dikuasai."
"Jika arusnya dua arah, bukankah harusnya ada cara untuk membuat para monster kembali ke Pintu menuju dunia mereka sendiri?" tanyaku. "Membuat mereka pulang atau semacamnya?"
"Mungkin," kata Barney. "Tapi kau harus menggembala mereka ke Pintunya, 'kan? Dan sayangnya, aku tidak merasa sejauh ini kita berbakat di bagian itu."
Sayangnya, dia benar. "Apa kaubisa mendeteksi Pintu?"
"Kadang, kalau Pintunya cukup besar atau sihirnya kuat. Kenapa?"
"Di mana Pintu dunia monster? Maksudku, kabut ini terus menyebar, dan kita sudah bisa yakin bahwa kabut ini asalnya dari dunia mereka. Dunia kita tidak menciptakan kabut ini secara alami, dan walaupun ya aku yang merapal mantra terraformasi, aku tidak merapalnya untuk menyebar, jadi sepertinya kabutnya datang langsung dari dunia mereka. Dan jika kabutnya terus datang...."
"Kau berusaha bilang Pintunya masih terbuka," tuntas Barney. Aku mengangguk.
"Ini bisa jadi satu-satunya kesempatan kita. Jika mereka sudah menyebar terlalu jauh, kita tidak mungkin bisa mendesak mereka kembali ke sana."
"Aku dapat sesuatu," kata Isaac dengan sebuah buku tebal bersampul kulit hijau di tangannya. "Uh ... enggak jadi. Di sini dikatakan kabut ini adalah agen terraformasinya, jadi bahkan jika ada cara untuk membatalkan mantranya, tidak akan berguna. Kau akan tetap harus menyingkirkan kabut ini jika mau mantra itu berhasil. Perkecil luas yang dilingkupi kabut supaya ruang gerak para monster jadi terbatas, lalu desak mereka."
"Aku masih enggak yakin kita bisa mendesak siapa-siapa, sebenarnya," kataku. "Tapi 'Makasih. Apa ada cara untuk memaksa para monster untuk pulang? Dan kalau bisa yang tidak terhalau oleh perhiasan terkutuk. Kita perlu melakukan sesuatu soal itu."
"Ini hari hokimu," kata Isaac sambil membalik halaman. "Nih. Sejak penipuan yang melibatkan neneknya oleh si manusia serigala, gadis yang kita kenal sebagai Si Gadis Berkerudung Merah akhirnya mengajukan ide untuk membuat mantra yang bisa mengusir orang asing yang tidak diinginkan dari tempat-tempat lain—rumah, kontrakan, bahkan dunia."
"Whoa, tunggu," aku tidak bisa menahan diri. "Gadis Berkerudung Merah itu ... sungguhan?"
"Manusia serigala memang ancaman pada masa itu," ingat Barney. "Ada perburuan manusia serigala, semacam perburuan penyihir yang sempat populer dulu. Dan bahaya dari kaum serigala memang nyata waktu itu. Toh cerita Si Kerudung Merah juga diteruskan mulut ke mulut sebelum akhirnya ada versi cetaknya. Mungkin ia memang sungguhan."
"Bagaimanapun juga," potong Isaac. "Grimm Bersaudara mencatat versi di mana seorang pemburu menyelamatkan Si Merah dan neneknya dengan cara memotong perut si serigala. Dari kata buku ini, sepertinya versi itu yang paling dekat dengan kenyataan. Si nenek, yang tidak menyihir lagi dari sejak muda, akhirnya masuk kembali ke dunia sihir segera setelah itu dan, bersama Si Merah, mengembangkan sebuah mantra. Aslinya mantra ini bahasa Perancis, tapi Grimm Bersaudara berhasil menyelundupkan salinannya yang diterjemahkan ke bahasa Jerman. Versi Jerman inilah yang selamat hingga sekarang."
"Tapi apa masih bisa dipakai?" tanyaku. "Maksudku, setelah diterjemahkan begitu dan lain-lain."
"Di sini sih, bisa," kata Isaac, matanya masih terpaku di buku itu. "Tapi ... oh, ya ampun. Ada satu masalah."
"Yeah?"
Isaac membaca ulang lagi buku itu beberapa kali, seperti berusaha memastikan apa yang dia baca, sebelum akhirnya menoleh ke arah kami. "Mantra ini ... mantra ini harus dilakukan di rumah si orang asing."
Di rumah si orang asing.
Jantungku mencelus. "Apa?"
"Ini mudah dilakukan pada masa mantra ini baru dibuat, karena rumah si serigala adalah hutan. Tapi, Alden ... jika kau berusaha menggunakan mantra ini pada para monster, bukankah artinya...?"
Tidak mungkin. "Aku harus pergi ke dunia monster dulu."
"Dan ini memang hari hokimu," kata Barney. "Aku sudah bilang Pintu bisa dipakai dua arah."
"Tapi kita tidak bisa sembarangan membiarkannya mondar-mandir di sana," kata Isaac sambil memberi pembatas buku dan menutup buku tebalnya. "Apa kaubisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Pintunya tutup dan dia masih di sana? Tidak, pasti ada cara lain."
Barney tidak tinggal diam. "Bagaimana jika begini? Aku mengarahkannya ke Pintu, tapi bukannya diseberangi secara fisik, dia menggunakan proyeksi astral? Maksudku, kadang proyeksi astral bisa digunakan untuk merapal mantra. Plus, kau Shaman. Klanmu praktis menciptakan proyeksi astral. Pasti ada sesuatu tentang itu di sini."
Isaac berpikir sesaat. "Hmm. Itu mungkin bisa. Oke, aku cari dulu sesuatu soal proyeksi astral. Kau ajari dia soal Pintu. Alden, pelajari mantra ini dan segala hal tentangnya."
Dia mengetuk bukunya sebelum menyerahkannya padaku. Begitu bukunya—wuah, berat banget—ada di tanganku, dia segera pergi ke rak-rak lainnya sementara beberapa buku lagi masuk kembali ke rak dan beberapa keluar, menjawab pencariannya. Aku membuka pembatas halamannya—judul halamannya adalah Paksagriya. Di bawahnya adalah cerita mendetail tentang bagaimana mantra itu dibuat, apa saja yang dibutuhkan untuk mantranya (lokasi rumah si orang asing), instruksi untuk mantranya (lakukan di rumah si orang asing, ulang hingga berhasil), beberapa catatan yang ditulis tangan, dan sebuah diagram yang menunjukkan format mantranya, diikuti tabel kata-kata yang bisa digunakan untuk mengisi rumusnya.
Di samping fakta bahwa ternyata lokasi 'rumah' bagi si perapal mantra bisa dibuat lebih detail dan diganti-ganti—tabelnya menyebutkan yang dasar seperti 'rumah' dan 'dunia', tapi ada kata-kata yang lebih baru seperti 'hotel' atau 'motel'—mantra ini ada dalam bahasa Jerman, yang berarti target mantranya—si orang asing—juga harus lebih detail, paling tidak jumlahnya. Target ini jelas disebut dalam mantra dalam bentuk orang kedua ('kau'), tapi bisa dalam bentuk tunggal atau majemuk.
Wow. Banyak detail di sana.
Setelah memastikan semua detailnya dan memilih kata-kata yang tepat sesuai tabel yang ada, aku akhirnya mendapatkan mantra yang kubutuhkan. "Eure Zuhause ruft für euch, lasst jetzt. Eure Welt ruft für euch, lasst jetzt. Unsere Welt lehnt euch ab, lasst jetzt. Ugh. Aku baru pernah dengar bahasa Jerman sekali dari sebuah film dan aku tidak yakin bagaimana harus membaca ini." Berdasarkan tabel di bukunya, aku tahu bahwa terjemahannya adalah rumahmu memanggilmu, pergilah. Duniamu memanggilmu, pergilah. Dunia kami menolakmu, pergilah. Harusnya sederhana, 'kan?
Barney mengintip halamanku sebentar. "Aku pernah ikut kursus daring dulu," katanya. "Boleh kubantu?"
"Oh, ajaib," gumamku.
Dia mulai mengajariku cara membaca bahasa Jerman—bagaimana huruf z tidak dibaca seperti z, tapi lebih seperti tch. Bagaimana eu dibaca oi. Bagaimana huruf h tidak dibaca. Bagaimana huruf j dibaca seperti y. Bagaimana setiap akhiran -e dibaca dengan bunyi e seperti dalam kata 'wafer'. Lalu ada ayunan aneh yang harus dilakukan setiap membaca huruf u dengan dua titik di atasnya—Barney mengatakan kedua titik itu disebut umlaut, tapi sejujurnya, aku tidak merasa itu penting pada saat ini.
"Barney, aku cuma perlu tahu bagaimana cara membaca ini," kataku saat dia mulai menyebutkan soal dua huruf lain dengan umlaut di bahasa Jerman—o dan a.
"Ah ya, maaf," katanya. "Kira-kira seperti ini...." Dia mengejanya seperti oi-re tchu-haus-e ruft fyur oikh, lassth yets. Oi-re vweyld ruft fyur oikh, lassth yets. Un-sey-re vweyld leynt oikh ahb, lassth yets.
Rasanya agak aneh membaca mantranya setelahnya, tapi aku tetap coba.
"Lagi," kata Barney.
Aku mencoba lagi.
"Lagi."
Dan aku mencoba lagi.
"Mulai benar. Lagi."
Aku mencoba lagi—Barney, tolong.
Barney diam selama sesaat. "Sekali lagi, dan pastikan kali ini menempel di kepalamu. Kau mulai bisa."
Aku menggeleng. "Aku masih butuh buku ini. Aku bisa melihat catatan cara bacamu di kalimatnya, tapi aku perlu melihat kalimatnya."
Barney merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah buku catatan dan sebatang pensil. "Salin di sini. Lalu baca sekali lagi."
Wow. Sepertinya aku butuh tas seperti punyanya.
Aku menyalin mantra itu ke buku catatan Barney dan mencoba mengucapkannya lagi. Barney mengangguk. "Bagus. Pastikan kau tidak salah eja waktu membacanya nanti. Dan coba tetap fokus—buku ini bilang kau akan perlu mengulanginya sampai semua orang asing yang kau target sudah 'terusir pulang'." Dia lalu merobek halaman buku catatannya yang berisi salinan tadi dan menyerahkannya padaku.
Aku mengambilnya dan menghela napas. "Omong-omong, bagaimana soal proyeksi astralnya?"
"Oh, itu. Kau memindahkan kesadaranmu supaya bisa berkelana sendiri di luar tubuhmu. Aku dengar para Shaman sudah menciptakan cara untuk membuat kesadaranmu mental kembali ke dalam tubuh jika terjadi apa-apa, jadi selama tubuhmu tetap di sini, jika apa-apa terjadi pada kesadaranmu di luar sana, kau akan bangun lagi di sini tanpa terluka."
"Jadi kalian berencana membuatku jadi hantu?"
Barney berhenti sebentar. "Bukan juga, sih. Sepertinya 'kesadaran' adalah kata yang paling tepat. Bukan jiwa. Kesadaran. Jadi dia tetap dirimu, tapi nyawamu tetap berada dalam tubuh untuk menjaga agar tubuhmu tetap hidup. Sementara, dirimu yang tidak kasatmata ini bisa mondar-mandir melancong ke mana-mana semaumu."
"Dan soal itu," kata Isaac sambil datang dari arah belakang Barney dengan buku di tangannya, "begini cara melakukannya."
Tidak seperti grimoire berisi mantra Paksagriya, instruksi untuk proyeksi astral tidak mengandung mantra sama sekali. Malah, bab itu berisi mencari ketenangan dan keberanian untuk melepas segalanya. Ada juga catatan soal bagaimana spiritualitas seseorang butuh latihan dan macam-macam agar proyeksinya bisa sempurna, jenis proyeksi yang bisa berkelana sepenuhnya di luar tubuh, dan catatan keamanan—termasuk langkah-langkah untuk 'menarik paksa kesadaran' kembali ke dalam tubuh jika terjadi apa pun pada tubuh ataupun kesadarannya.
"Jadi apa yang harus kulakukan soal bagian 'bertahun-tahun pengalaman'?" tanyaku, menunjuk baris di sebelah artikel tentang melatih spiritualitas untuk mencapai level yang dibutuhkan untuk proyeksi. Kami tidak punya bertahun-tahun. Tapi Barney tidak tampak terganggu.
"Kaubisa melakukan spektrosida, pada banyak hantu jahat, di Rumah Budak, hanya lewat insting. Spektrosida juga mantra yang butuh bertahun-tahun pengalaman, tahu. Lalu kau digantung terbalik hingga pingsan, dan itu adalah cara yang sangat efektif untuk melemahkan sihir, tapi kau masih kuat menggerakkan sebuah panggung raksasa dengan telekinesis menyeberangi Disaster, belum lagi dengan kau di atasnya. Itu juga butuh latihan. Lalu kau melakukan terraformasi pada seluruh kota hanya dengan mengulang mantranya tiga kali." Dia berhenti sebentar dan menyipitkan mata sedikit, seperti berpikir dulu. "Menurutku kau akan baik-baik saja. Aku tahu kami bilang kami akan membantu mengajarimu mengendalikan sihirmu, tapi saat ini, sepertinya tindakan terbaik yang bisa kita lakukan adalah memastikan sihirmu tahu harus apa. Lalu kita biarkan dia mengerjakan sisanya."
Aku teringat saat aku merapal mantra Penunda di rumah—pertama kali aku melakukannya adalah pada satu subjek, mobil muscle di motel, jadi sihirku membuatku mengatakan Quiesce; tapi saat aku menarget banyak objek, sihirku otomatis memperbaiki mantranya sesuai kebutuhanku dan aku jadi mengatakan Quiescite. Barney ada benarnya—yang penting sihirku tahu harus apa.
Aku menghela napas dalam. Paling tidak Paksagriya sudah di tanganku. Sekarang aku tinggal perlu mencari Pintunya, dan aku tinggal selangkah lagi menuju mengakhiri semua ini.
"Oke, kalau begitu," kataku, bersiap untuk yang terburuk. "Ajari aku proyeksi astral."
//
Jika aku bisa, aku tidak akan melakukan astral proyeksi lagi.
Sayangnya, aku tidak punya pilihan itu.
Untungnya, berkat sihirku yang luar biasa, aku berhasil menguasai proyeksi astral dasar dalam dua jam. Penjaga perpus tampak agak terganggu saat kami akhirnya selesai—dia jelas masih risih membiarkan kami masuk atas dasar ancaman—jadi kami bertiga sepakat untuk melanjutkan di luar saja.
"Ingat semua instruksi untuk Paksagriya?" tanya Isaac. Aku mengangguk.
"Rapal di rumah si orang asing, fokus pada orang asingnya saat menyebut target di mantra, dan fokus pada 'rumah'-ku untuk memastikan mantranya tetap spesifik."
"Sempurna. Berarti sekarang kita tinggal perlu mengirimkan kesadaranmu ke dunia monster."
"Berarti kita butuh Pintunya," kataku. "Barney?"
"Pintunya ada di, uh ...," mulai Barney sambil menebar pandangan. "Agak sulit. Besar, sih, dan ada di Calamity, tapi ... banyak sihir yang mengelilinginya sekarang. Sepertinya—"
Dia berhenti sejenak. Lalu dia menelan ludah.
"Menurutku tempatnya di Disaster."
Kami jatuh terdiam. "Disaster?" tanyaku. Barney mengangguk.
"Sihir yang mengelilinginya pasti operasi penyelamatan gabungan itu. Operasinya belum selesai. Mereka masih terkunci dalam pertarungan."
"Berarti di sana bakal sangat ramai," erang Isaac. "Kita tidak bisa meninggalkan tubuhnya di sana."
"Tunggu, sebentar," kataku, mengangkat tangan. "Saat aku melakukan proyeksi astral, berarti yang berkelana cuma kesadaranku, 'kan? Maksudku, berarti harusnya letak tubuhku tidak akan terlalu penting. Tubuhku tidak harus di Disaster. Aku bisa tinggal melakukan proyeksi di sini dan pergi ke Pintunya dan kalian bisa tinggal menjaga tubuhku saja."
Barney dan Isaac bertukar pandang. "Aku merasa tempat ini bakal jadi ribut dalam waktu dekat," kata Barney. "Kita akan butuh bantuan."
"Yeah, tapi pertama, kita butuh tempat aman dan terpencil," kata Isaac. "Kita tidak boleh sampai tidak sengaja mendapat kiriman monster karena ada orang yang tidak sengaja memandunya ke arah kita."
Terpencil.
Ada sebuah terjangan ide yang menyambar kepala kami bertiga di saat bersamaan.
Cuma ada satu tempat yang tidak akan pernah didatangi orang-orang di kota ini.
"Rumah Budak," kata kami bersamaan. Aku mengangguk.
"Yeah. Oke. Rumah Budak."
Kami tidak berjalan ke sana. Kami lari.
Rasanya kini aku tidak lagi takut kehabisan napas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro