Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. YOU CAN ALSO TRY OUR SIGNATURE ALCHEMY.

Catatan Penulis: Halo! Aku sadar keterlambatan kali ini kira-kira seharga 1x24 jam, jadi seperti biasa, aku mau minta maaf. Ritme hidupku sedang berantakan. Aku perlu belajar menata waktu lagi.

Oh, omong-omong, aku punya berita bagus. Aku sudah tahu apa yang akan kulakukan dengan Myth Jumpers (jika ternyata kamu juga pembaca Myth Jumpers, ini berita bagus untukmu, hehe). Sepertinya kau tidak akan harus menunggu sampai Desember seperti yang dulu kukabarkan lewat bab [ PAUSE ] di Myth Jumpers. Tunggu kabar berikutnya!

Dan, berhubung Gravedancer akan segera tamat ... versi revisinya akan segera kurilis, seperti dengan Jurit Malam: Benteng Gelap dulu. Sedikit spoiler: kumcer di dunia Gravedancer nanti berjudul Soulkeeper dan akan berisi sepuluh cerpen di dunia Gravedancer. Tapi ada kemungkinan baru akan kurilis setelah....

Hahaha, akan kuceritakan nanti saja setelah Gravedancer tamat. Terima kasih masih bertahan sejauh ini. Bagian penuh aksinya akan dimulai dari ujung bab ini hingga selesai nanti. Selamat menikmati!

//

It is, probably, unjust to accuse the alchemists generally of

dabbling with attempts at magic in the common sense of the term.

-The Alchemists, Samuel Taylor Coleridge, 1818.


Ternyata Bev diikat dan disumpal mulutnya di kantor motel, dan kondisinya enggak bagus.

Heather sepakat mengantarkan Bev ke rumah lindung dan bahkan memintaku ikut, tetapi aku mengingatkannya bahwa aku perlu bertemu Emma Warren di Minerva. Kami sempat berdebat singkat soal tugasnya menjagaku saat tiba-tiba Cora masuk ke kantor ini.

"Ketemu juga kau," katanya. Lalu matanya menangkap Bev. "Apa yang terjadi pada Bev?"

Hmm. Sepertinya aku memang butuh bersosialisasi sedikit.

"Serangan monster," kata Heather. Mata Cora mengatakan ia segera paham.

"Aku melihat banyak di jalan ke sini," kata Cora. "Mereka berkeliaran begitu saja. Berani sekali."

"Berkeliaran di siang bolong di antara para magi? Yeah, itu berani," kataku. "Apa mereka masih menculik orang?"

"Itu dia anehnya, Alden," kata Cora. "Mereka tidak menyerang atau apa. Mereka cuma berkeliaran. Tentu, itu sangat mengganggu, tapi ... yah, pengamatan berkata nonmagi tidak bisa melihat mereka. Menurutmu apa yang akan terjadi jika mereka sampai menyerang nonmagi?"

Kilasan peristiwa di pesta tunggu Rumah Budak berputar lagi di kepalaku. Enggak bagus.

"Dan para magi tidak melakukan apa pun?"

"Pelajaran lama," kata Cora. "Prinsip Bela Diri. Jangan lakukan hal yang berujung pada menyakiti mereka yang tidak menyakitimu."

"Aku sudah bilang Covens menganggap kehormatan masalah serius," kata Heather. "Jadi, er, karena Cora sudah di sini, aku rasa tugasku sudah tuntas. Aku akan mengantarkan Bev ke rumah lindung." Ia mengedik ke Cora. "Jaga cowok ini."

"Enggak masalah," angguk Cora sementara Heather berjalan melewati kami sambil membopong Bev. Heather memberiku anggukan kecil, yang kubalas. Aku tidak tahu bagaimana ia akan membawa Bev sepanjang jalan dari sini hingga ke rumah lindung di sudut gelap itu, tetapi sepertinya ada cara tersendiri. Para Covens tidak bodoh.

"Ayo ke Minerva," kataku. "Atau, um, sepertinya aku mau pulang dulu dan mandi. Semua masalah berlari dan bertarung dan diikat di hutan enggak membuat bau badanku ... sedap."

Cora tertawa. "Sip, aku tinggal menunggumu di ruang keluarga sambil menekan ibumu untuk menceritakan aib terbesarmu seperti biasa."

Ibumu. Aku bisa merasakan mataku berkedut sedikit, tetapi aku berusaha mengabaikannya. "Oke. Pimpin jalannya?"

"Ngeh, aku mengikutimu saja," katanya sambil membukakan pintu. Aku keluar dan Cora mengekor, mengunci pintunya dengan serapal mantra sebelum mengejarku.

"Jadi, bagaimana kau menemukanku?" tanyaku. Cora mengangkat bahu.

"Sebenarnya ceritanya enggak sepanjang itu. Aku bangun sejam-dua jam yang lalu. Jelas, aku memeriksa rumahmu dulu, tapi kau tidak di sana. Bagaimanapun juga, ayahmu menemukan catatanmu. Aku baru saja berpikir soal ke mana kira-kira kau akan jalan-jalan sampai pagi, tapi lalu aku teringat kejadian semalam dan aku tahu Morgana pasti sudah tahu bahwa Heather kenal padamu, jadi jika ada Wicce yang sedang aktif malam itu untuk membantu melindungimu, pasti ia orangnya. Jadi aku ke rumahnya."

"Tapi ia sedang tidak di rumah," kataku. Cora mengangguk.

"Tapi aku tahu ada motel milik Covens di dekat rumahnya. Jadi, karena kehabisan pilihan, aku memeriksa. Tahulah, untuk jaga-jaga. Dan ternyata kau memang di sana." Ia menebar pandangan. "Dan apa yang terjadi padamu? Aku kira serangan monster yang semalam itu sudah cukup parah."

"Aku rasa aku mau mulai dengan berterima kasih padamu soal ini," kataku sambil menyentuh Kirana Jernih. "Heather bilang membuatnya cukup sulit."

Cora mengangkat bahu. "Entahlah. Keluargaku punya banyak jimat itu. Ibuku Wicce, ibunya juga Wicce, dan ibunya juga Wicce, dan begitu seterusnya sehingga paling tidak pasti ada tiga jimat Kirana Jernih tiap generasi. Pada akhirnya, aku jadi diwariskan sekotak penuh jimat itu dan selalu membawa paling tidak tiga setiap sedang keluar."

"Jaga-jaga," tebakku. Ia mengangguk.

"Hei—paling tidak akhirnya berguna juga, 'kan?"

Aku mengangguk. "Sangat."

Aku menceritakan pada Cora soal aku meninggalkan rumah (kecuali soal peringatan As Hati, ia masih belum tahu soal ini), bertemu Heather, tidur sebentar di Bunker, dan serangan Nyx dan suaminya.

"Tapi ada yang salah," kata Cora. "Nyx adalah Malam, jadi kalian bisa mengalahkannya dengan matahari mini itu. Tapi bagaimana dengan suaminya? Jika dia memang, seperti kata Nyx, kegelapan, bukankah kelemahannya adalah cahaya? Tapi kalian belum mengeluarkan cahaya apa pun saat kalian keluar dari ranahnya. Dan kau tidak melihatnya di ranah malam, jadi mungkin dia tidak terpengaruh oleh matahari mini itu ... jadi di mana dia saat Nyx kalah?"

Itu membungkamku. Ia ada benarnya—Nyx mewujudkan diri di depan kami, tetapi suaminya tidak. Dan Cora memang benar. Jika suaminya tidak ada di dalam ranah malam Nyx, berarti ada kemungkinan dia tidak terpengaruh oleh matahari kecil Heather. Ketika kami berhasil keluar dari segel kegelapan, kami juga tidak melihat siapa pun. Nyx tiba-tiba muncul. Dan jika Nyx benar soal suaminya adalah pelaku satu-satunya untuk ilusi kegelapan itu, berarti di mana dia?

Nyx tidak menyebutkan apa-apa soal suaminya mati atau terkalahkan saat kami keluar dari zona hambatannya, tiba-tiba aku sadar. Dia masih di luar sana.

Baru saja aku mulai tenggelam dalam pikiranku sendiri, Cora menyentakku bangun. "Alden, kita sudah sampai."

Aku menebar pandangan dan mendadak sadar bahwa kami sudah berdiri di depan rumahku. "Tadi kau bilang kau sudah ke sini?"

Cora mengangguk.

"Jadi orang tuaku sudah bangun?"

"Ayahmu sudah, tapi tidak tahu soal ibumu."

"Itu cukup," kataku sambil mengetuk pintu.

Jack yang membukakan pintunya. "Ah, hai," sapanya. "Sudah selesai jalan-jalan?"

"Kau tidak bisa membayangkan," kataku. "Aku mau mandi dulu. Apa menu sarapan kali ini? Aku kelaparan."

Serius, aku belum makan sedikit pun sejak pesta tunggu sebelum giliranku di Rumah Budak. Lalu ada masalah dunia sihir dan serangan monster ini.

"Aku memasak bacon!" jawab suara Amanda dari dapur. Aku tersenyum.

"Terbaik!" jawabku. Lalu aku merendahkan suaraku ke Jack. "'Makasih."

Ia tersenyum balik. "Sama-sama. Cora, 'ngapain di luar? Masuklah! Dan, wuh, Alden," kata Jack sambil mengayunkan tangan di depan hidung. "Kau benar, kaubutuh mandi."

Aku tertawa sembari masuk bersama Cora.

Aku pulang.

//

Setelah mandi dan sarapan yang enaknya surgawi, lengkap dengan tertawa sesekali yang belum sempat kulakukan beberapa jam terakhir ini, Cora memutuskan aku butuh tidur.

"Sekolah belum akan usai sampai lima jam lagi," protes Cora. "Dan kau belum cukup tidur, aku tahu itu. Sana. Hus. Jika aku masuk kamarmu dan kau masih bangun, kukutuk kau nanti."

Orang tuaku cuma tertawa dan setuju. Mata Cora menunjukkan bahwa ia serius soal mengutukku.

"Cora," kataku, "bicara sebentar?"

Kami naik ke kamarku, dan aku menceritakan padanya soal batasan tiga jam.

"Jangan tanya aku tahu dari mana, aku tahu. Dan aku tidak bisa membahayakan Jack dan Amanda."

Cora memutar mata. "Alden, kautahu aku tidak sendirian menjagamu. Ada Covens yang mengepung rumah ini selama kita mengobrol. Dan ya, kami memang melihat banyak monster, tapi kami juga tahu bahwa kami bisa menangani mereka. Sedikit sihir enggak akan merugikan."

Aku masih menatapnya cemas, dan ia menghela napas.

"Tidur, Alden. Atau kuhajar sampai sana."

Aku mengangkat tangan. "Oke, oke, baik. Tapi jangan lupa bangunkan aku."

"Enggak," katanya sambil melangkah ke kusen pintu. "Kau cuma akan bangun saat kau sudah bangun. Dadah."

Aku mengerang protes, tapi patuh.

Ternyata tidak sesulit itu hingga aku tertidur.

Aku tidak bermimpi buruk lagi, walaupun aku memang memimpikan soal Heather menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Rasanya seperti ia melihatku di sana, tapi ragu seakan ia tidak yakin pada apa yang ia lihat.

"Bertahanlah," suaranya bergema, "aku akan menjagamu."

Gaung suaranya terasa jauh, hanya cukup dekat untuk sedikit terdengar. Segala hal di sekitarku terasa gelap, dan entah kenapa semua ini mengingatkanku pada kabut itu. Bayang Heather berkedip. Rasanya nyaris seakan-akan ia adalah hantu.

"Lakukan." Dengan itu, ia menghilang.

Ada raungan.

Aku bangun.

Entah kenapa aku merasa seperti mimpi itu terjadi di tengah situasi darurat, jadi aku terbangun dengan jantung berdebar kencang; bagaimanapun juga, kesan dari mimpi itu segera memudar.

Aku segera bangun dan berganti baju. Saat itu sudah nyaris jam setengah dua (aku tidak tahu aku selelah itu), dan Cora sudah sepakat menemaniku ke Minerva untuk mencari Emma.

"Tapi ke mana pun kaupergi bersamanya, aku harus tahu," katanya. "Aku enggak mau kau berakhir jadi eksperimen para Alchemist."

Ada sesuatu di tatapannya yang membuatku berpikir dua kali apakah yang barusan itu cuma lelucon.

Setelah makan siang kilat (Amanda memang yang terbaik), kami akhirnya berangkat ke Minerva.

Kami bertemu beberapa adik kelas di jalan, dan mendapatkan kabar bahwa sekolah dipulangkan cepat hari ini. Beberapa murid tampak tidak nyaman di tengah jalan—mereka pasti sudah melihat para monster. Aku ingat kata John bahwa Wakil Kepala Sekolah di Minerva adalah seorang magus—kalau begitu sepertinya ada yang menepati janjinya. Aku harap itu pertanda bagus.

"Jika sebagian besar muridnya sudah pulang, sepertinya kita bisa langsung ke rumah Warren saja," kata Cora. "Tahulah, mungkin Emma juga sedang berjalan ke sana."

Aku mengangguk dan membiarkannya memimpin jalannya begitu kami berbalik.

Semakin dekat kami dengan Rumah Budak, aku kembali teringat malam terakhirku di sana. Rumah ini yang praktis memulai segalanya sejauh ini. Jika bukan karena rumah ini, semua ini tidak mungkin terjadi.

Lagi-lagi aku merasa bersalah.

"Omong-omong, serius, apa yang terjadi pada si Necromancer yang memanggil si roh pembunuh?" tanyaku pada Cora. "Barney enggak benar-benar menjawabku, dia cuma menceritakan ia siapa."

"Aku belum sempat mencari-cari," aku Cora. "Tapi ada yang aneh, Alden. Kau sudah melihat para Necromancer beraksi ketika mereka membuka Pintu. Apa ada yang terperangkap seperti penyihir itu?"

Aku teringat Barney dan Ayam Zombi. Barney dan si penggeram di pesta Rumah Budak. Lalu para Necromancer di Disaster. Aku menggeleng. "Tidak setahuku."

"Lalu bagaimana bisa ia terperangkap?" tanya Cora sambil merogoh sakunya dan menarik keluar ikat rambutnya. Ia mulai menguncir. "Belum lagi, itu bukan jebakan yang sederhana. Jebakan biasa sobek saat kupotong dengan pisauku dilengkapi mantra Jagal-Batu Gael. Jebakan ini tidak."

Aku ingat intipan singkat yang sempat kulakukan sebelum si roh pembunuh berusaha memangsaku—usaha Cora memotong gorden-gorden tak kasatmata yang menjebak si penyihir selalu gagal karena gorden itu memperbaiki diri. Aku mengangguk. "Aku melihatnya. Sesulit apakah membuat jebakan yang begitu?"

"Lumayan," kata Cora sambil melirik ke Kirana Jernihku. "Lebih ruwet dari membuat itu, aku berani jamin."

Aku teringat ekspresi Heather saat ia membicarakan Kirana Jernih. Aku menelan ludah. "Berarti siapa pun si penjebak, ia punya waktu."

"Dan si gadis tidak curiga padanya," kata Cora sambil menyentuh dagunya. "Paling tidak, tidak cukup curiga untuk kabur dari jebakan itu tepat waktu."

"Bisakah itu karena ia sukarela?" tanyaku. "Seperti, entahlah, tumbal?"

"Sepertinya itu tujuan awal si penjebak," kata Cora, "tapi gadis itu seorang magus, dan Barney sudah bilang ia lebih tua dari kita. Ia pasti tahu soal ritual yang perlu tumbal. Mungkin cuma karena bayanganku atau karena terhalang kabut, tapi ia tampak lega waktu si roh pembunuh hilang—yang berarti ia tidak menumbalkan diri untuk memanggilnya. Lagi pula, jika ini hanya masalah membuka Pintu seperti yang dibilang Barney, untuk apa dibutuhkan tumbal?"

Aku mengangkat tangan. "Aku tidak tahu apa-apa soal membuka Pintu, jangan tanya aku."

"Hanya saja ... yah, aku baru pernah melihat aksi Necromancers selama tiga tahun sejauh ini, jadi aku tidak bisa bilang aku tahu banyak. Tapi aku belum pernah lihat Necromancers membutuhkan tumbal. Bahkan tidak juga ... yah, seks sihir."

Aku tersedak. "Apa?"

"Kaudengar sendiri. Seks sihir."

"Kau pernah...?"

"Apa—enggak! Yah, aku belum pernah melakukan mantra yang mengharuskanku melakukan itu, jadi tidak, aku belum pernah melakukan seks sihir. Tapi bukan itu intinya. Aku tidak yakin jika membuka Pintu butuh tumbal—apalagi tumbal manusia."

Kami sudah dekat rumah keluarga Warren saat itu, dan ternyata Cora benar—kami bisa melihat Emma berjalan ke rumahnya. Aku bertukar tatapan dengan Cora sebelum mencapai persetujuan nirkata dengannya. "Emma!" panggilku.

Cewek terkait—ia tampak persis seperti yang digambarkan oleh Heather: pucat, pirang terang sepundak, sedikit lebih pendek dariku—menoleh sementara aku dan Cora menghampirinya.

"Maaf karena mendadak," kataku. "Tapi aku perlu bertemu Alex."

Kedua matanya memindaiku, bertahan agak lebih lama di Kirana Jernih. Ia juga memindai Cora dan menyadari Gelang Tenunnya. "Apa ini soal katalis?"

"Ya," kataku. Lalu aku teringat kata-kata John. "Um, John Dee memintaku mencobanya."

Ia mengangkat alis. "John sendiri? Menarik. Lewat sini."

Ia mengantarkan kami ke rumahnya. Tempat itu ternyata masih berantakan bekas pesta semalam, dan aku curiga beberapa orang yang harusnya membantu membereskan tempat ini juga disambar oleh para monster. Aku cuma bisa berharap tim penyelamat gabungan yang dibuat Ivan akan berhasil.

"Alex!" seru Emma. "Oi! Ada panggilan John, nih!"

"Panggilan John?" jawab suara laki-laki dari koridor yang menuju ke dalam. Emma menggulirkan bola matanya.

"Kau akan ke sini atau apa?"

"Sebentar!"

"Tunggu di sini," kata Emma. Ia menebar pandangan. "Maaf di sini berantakan. Ada pesta semalam."

"Untuk Rumah Budak," kata Cora. "Yeah, kami di sana."

Matanya tampak agak sedih dan aku tahu ia sedang memikirkan soal serangan para monster.

Emma mengangkat bahu. "Dan aku juga minta maaf, lagi, karena kakakku bukan orang paling tepat waktu di rumah ini."

"Tidak apa-apa," kataku. "Aku punya banyak waktu."

Tidak, aku tidak punya banyak waktu.

Untungnya, Alex memilih saat itu untuk muncul dari koridor. Dia tampak seperti jiplakan persis adiknya, kecuali dia lebih tinggi dariku dan rambutnya dipotong cepak. Mereka sama-sama punya mata biru elektrik, kulit pucat, dan postur kurus. Matanya terpaku padaku dan dia mengajukan tangan.

"Alex Warren," katanya. "Um, John yang memintamu ke sini?"

Aku mengangguk. "Alden Jackson. Dia cuma bilang padaku untuk bilang pada Emma bahwa John Dee memintaku meminum katalisnya," kataku sambil menjabat tangannya. "Lalu dia bilang ia akan membawaku padamu. Kira-kira cuma itu."

Dia memindai Cora. "Dan ini...?"

"Cora Maguire," katanya, menjabat tangan Alex setelahku. "Aku sedang disuruh pemimpin klanku untuk menjaga cowok ini."

"Kau Necromancer?"

"Wicce."

Alex mengernyit. "Dan laki-laki ini...?"

"Tanpa klan."

"Serius? Bukannya dia ...," Alex memindaiku sebentar. "... sudah delapan belas tahun?"

Boleh juga. "Tahu dari mana?"

"Logika deduktif. Kenapa kau masih belum punya klan?"

"Um ...," aku melirik Cora. Ia mengangkat bahu. "Ceritanya agak panjang."

"Yah, kalau John benar memintamu mencoba katalisnya, kita bisa bicara di lab saja." Dia menoleh ke Cora. "Maaf, tapi kau tidak ikut."

"Mm-mm, aku ikut. Aku harus menjaganya."

"Tidak, kau tidak ada urusan untuk ikut. Tapi jangan khawatir, kami akan menjaga Alden. Dia tidak akan berakhir jadi eksperimen atau semacamnya." Lalu dia menoleh kepadaku. "Berapa jumlahnya kata John?"

Aku memutar kembali kata-kata John. "Tiga belas."

Ekspresi Alex langsung berubah. "Serius? Itu mustahil."

"Sumpah."

Mata Alex memindaiku. Selama sesaat, bulu kudukku berdiri—sensasi yang sama dengan saat aku berada di dekat rumah lindung Covens. Pemeriksa kejujuran. "Oke. Lewat sini." Dia menoleh lagi ke Cora. "Tetap di sini, atau aku akan anggap ini perang antar klan."

Cora sudah membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Lalu ia mengatupkan rahangnya, berpikir sebentar, dan akhirnya memutuskan tidak ikut. Ternyata perang antar klan bisa separah itu. Ia jelas tampak gelisah. "Pastikan dia kembali baik-baik saja."

"Dia akan kembali jauh lebih baik lagi," jamin Alex. "Lewat sini, Alden."

Alex membawaku ke arah koridor di depan kami. Kami terus berjalan hingga mencapai ke ujung lorong itu, lalu dia mengarahkanku ke kanan.

"Nos in Circino Aurulento duco."

Aku mendengar Alex membisikkan kalimat itu dengan sangat lembut, lalu menyentuh pundakku. Pusing menyergapku dan aku mendadak merasa sangat bebas. Aku tidak bisa merasakan apa pun lagi saat ini. Ada jalur yang menyala di depanku, tetapi entah kenapa aku tidak bisa mengikutinya kecuali Alex memanduku. Setiap kali aku berusaha mengikuti jalur itu, mendadak jalur itu memudar dan menjadi berantakan.

Alex menggumamkan beberapa kata lagi dalam bahasa Latin dan mendorongku mengikuti jalur itu. Kali ini, jalurnya tidak memecah diri. Kami berjalan terus, otakku mati rasa soal ke mana arah jalan kami—duniaku mengecil ke jalur kecil di depanku ini, dan aku mengikutinya tanpa berpikir.

Dan, begitu saja, sensasi itu menghilang.

Aku sedang berdiri di tengah jalan masuk ke sebuah ruangan yang sangat besar, dengan banyak sekali peralatan lab menghiasi dinding-dinding dan meja-meja bersama dengan beberapa peralatan kimia yang tampak antik di mana-mana. Aku menoleh ke belakang, tetapi hanya ada pintu besi raksasa di belakangku.

"Selamat datang," kata Alex, "di Jangka Emas. Ini bisa jadi kali satu-satunya kau di sini, jadi silakan menikmati pemandangannya. Tapi pastikan kau tidak menyentuh atau merapal apa-apa."

Aku lebih dari ingin menuruti itu, tetapi aku teringat kenapa aku di sini.

"Aku minta katalisnya saja, terima kasih," kataku. Alex mengangguk dan mengarahkanku melewati beberapa baris meja, masing-masing menampung set peralatan yang berbeda-beda—beberapa aku kenal, seperti labu dan pembakar spiritus, tapi yang lainnya aku belum pernah lihat.

"Ini dia," katanya, menunjukkan satu alat kecil yang tampak seperti alat pembuat kopi. "Dimodifikasi dari pembuat kopi," jawabnya. "Tapi sekarang alat ini membuat katalis dengan sangat cepat. Katamu tiga belas, 'kan?"

Aku mengangguk. Dia menekan tombol 1 dan 3 pada mesin itu dan menyalakannya. Mesin itu segera berdengung lembut.

"Sekarang kita tunggu," katanya.

Waktu berlangsung sunyi, dan saat itu, aku bisa mengindera segala hal lain yang sedang terjadi di lab ini. Ada gelembung-gelembung meletus, pembakar-pembakar mendesis, awan-awan kecil entah-apa berlalu-lalang, dan derum lembut beberapa mesin. "Kenapa tempat ini disebut Jangka Emas?"

Alex tersenyum. "Pernah baca Paradise Lost tulisan John Milton?"

Aku menggeleng. "Pernah dengar, tapi belum pernah baca."

Alex mengangguk. "Itu adalah puisi epik tentang penciptaan dan Kejatuhan Insan, diterbitkan akhir 1600-an. Di Buku 7, kaubisa menemukan bagian ini: Dia meraih Jangka emas-Nya, mempersiapkan / Dalam ruang Dia Yang Maha Abadi, untuk melukiskan / Alam Semesta ini, dan segala ciptaan: / Satu kaki ditengahkan-Nya, satu diputarkan. Milton menggambarkan golden compasses, jangka-jangka emas, sebagai alat Tuhan dalam menciptakan segalanya. Ini diperkuat lagi oleh kesan ahli puisi dan pelukis William Blake dalam desainnya The Ancient of Days, di mana Urizen, tokohnya yang melambangkan logika, menggunakan jangka emas untuk mengukur dan melukis alam semesta dari kekosongan yang gelap. Jadi karena itulah tempat ini bernama Jangka Emas—inilah alat yang menciptakan segalanya."

Aku mengangkat alis pada penjelasan itu. "Keren."

Alex nyengir. "Aku tahu."

Mesin katalis di sebelah kami berbunyi ping lembut sambil mendorong keluar sebuah cangkir karton kecil. Di dalamnya ada cairan nirwarna yang tampak sangat tidak mencurigakan, nyaris tidak ada bedanya dengan air. Alex menawarkannya padaku.

"Ini dia," katanya, "Level Tiga Belas."

Aku meraih cangkir itu, tapi begitu aku mendekatkannya ke bibirku, aku ragu. Bukan karena baunya—baunya manis dan sangat kalem, seperti embun, tapi aku baru saja teringat bahwa cairan ini dibuat dengan alkimia. Aku sama sekali tidak tahu apa saja kandungannya. "Jadi aku tinggal ... minum saja?"

"Ya. Tenang saja, semua sihir yang terlibat di dalamnya aman. Tidak ada zat kimia di dalamnya yang akan menyakitimu juga. Minum saja."

Aku menghela napas dalam. Ini dia.

Aku menghabiskan isi cangkir itu dalam sekali teguk.

Selesai. "Apa yang harusnya kurasakan?"

Alex mengangkat bahu. "Biasanya sih, euforia. Kau mendadak merasa sangat senang dan sangat hiper tanpa alasan. Lalu kau mulai menggunakan sihirmu dan sadar kaubisa melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak bisa. Biasanya ini berlangsung tiga jam, dan saat inilah yang biasanya paling punya risiko kerusakan. Pada sekitarmu, maksudku, bukan padamu. Lalu setelah itu, selesai. Kau sudah disempurnakan."

"Apakah seharusnya ada jeda tunggu seperti ini?" Aku tidak merasakan keinginan bergerak seperti apa pun. Aku tidak merasa hiper. Aku tidak merasa ada perubahan. "Berapa lama harus kutunggu?"

Alex mengernyit. "Biasanya efeknya lang—"

Entah dari mana datangnya, aku mendadak merasa mual.

Alex bereaksi dengan sangat cepat ketika melihat perubahan di wajahku dan sempat menyambar satu ember kosong yang kebetulan ada di dekat kakinya. Aku tidak punya cara yang lebih halus untuk mengatakan ini: aku muntah.

Muntahku tanpa warna.

"Apa—?" aku melangkah mundur, mengusap mulutku dengan punggung tangan. "Apa itu ... apa yang baru saja...?" Di samping semua hal yang kurasakan, aku merasa pusing. Bukan hanya tubuhku yang memaksaku memuntahkan itu, aku tahu. Perlu beberapa saat hingga aku bisa berdiri tegak lagi.

Ekspresi Alex tidak bisa dibaca. "Tapi ... Level Tiga Belas ... bagaimana bisa...?" gumamnya. Lalu dia menoleh padaku. "Uh, ayo kembali ke rumahku dulu. Aku akan cari tahu soal beberapa hal dulu. Aku mohon maaf."

"Apa yang terjadi?" tanyaku sementara dia merapal mantra dan menyentuh bahuku. Lagi-lagi pikiranku meninggalkanku dan aku mendadak jadi buta arah.

"Tubuhmu menolak katalisnya." Suara Alex tidak lebih daripada sekadar gema seraya dia memanduku keluar dari lab, tapi entah bagaimana, kepalaku sempat menerjemahkannya. "Aku jadi penasaran. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Aku harus tanya John."

Aku nyaris terpikir sesuatu —John menyebut sesuatu soal katalis ini sebelumnya.

Katalisnya harus lebih sempurna dari objek yang akan disempurnakan.

Otakku mulai membentuk logika sederhana, tapi efek mantra Alex langsung membuyarkannya. Aku benar-benar, secara harfiah, terlalu malas untuk berpikir.

Sumpah, mantra macam apa ini?

Begitu kami tiba di rumah keluarga Warren—yang aku akui dengan risih bahwa aku tidak tahu bagaimana ceritanya—mantra itu segera pudar dan aku langsung disambut dengan pemandangan Cora dengan rambut terkuncir lebih rapat lagi dari tadi, wajahnya menunjukkan panik murni. "Bagaimana?"

"Gagal," kataku simpel. Cora mengatakan sesuatu seperti terima kasih dan permintaan maaf pada Warren bersaudara sebelum mendadak menarik lenganku dan menarikku berlari keluar dari rumah itu. "Whoa, apaan?"

"Tidak ada kontak dari yang lainnya," katanya terburu sambil tetap terus berlari. "Para Covens yang mengawasi rumahmu—orang tuamu—mereka bisa jadi—"

Oh, tidak.

Aku berlari seakan kakiku tidak tahu apa itu lelah. "Balapan sampairumahku."    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro