10. WE HAVE A COZY PLACE TO STAY...
Catatan Penulis: Jadi, seharusnya aku post part ini kemarin. Tetapi aku kelas pagi dan malam, dan ternyata siangnya ada acara dadakan. Jadi aku mau minta maaf dulu sekarang....
Oh, iya. Hari Jumat hingga Minggu nanti aku ada studi ekskursi ke Bali. Kemungkinan besar tidak membawa laptop, tapi kita lihat saja nanti. Jika ternyata bawa, akan aku usahakan update sesuai jadwal. Jika tidak, yaa ... aku minta maaf dari sekarang.
Dan omong-omong, kebab itu enak ya? HEHE bukan, bukan itu. Cuma berita kecil colongan. Sepertinya aku mau revisi berat Bab Dua dari Reaper. Dan mencoba format ulang Myth Jumpers yang belakangan ini nyangkut di kepala. Semoga saja ada waktu.
Ini dia Bab 10. Maaf untuk keterlambatannya. Selamat menikmati!
//
With an old horse that stumbles and nods
Half asleep as they stalk.
-In Time of "The Breaking of Nations", Thomas Hardy, 1915.
Tidurku diwabahi mimpi buruk. Sepertinya seseorang harus meneliti itu.
Sekali, aku melihat Ayam Zombi di samping ranjangku. Dia tertawa renyah seperti yang suka dilakukan oleh tokoh jahat di film-film, masih dengan suara pembawa berita beraksen ayamnya yang khas. "Kau membuat mereka kembali berkeliaran, Alden."
Aku kira aku terbangun sambil menjerit sesudahnya, tetapi aku malah membuka mataku dan mendapati diri kembali di Rumah Budak, dikelilingi hantu para budak itu—bebaskan kami! Hai! Berikan pada kami sekarang!
Lagi, aku meneriakkan imígí—kali ini dengan sukarela. Ingatan para hantu itu mulai berkedip cepat lagi di dalam kepalaku, dan aku harus melalui lusinan siksaan oleh si penyihir dan melihat pengkhianatan para warga berkali-kali lagi sampai hatiku terasa mati rasa.
Begitu para hantu bersih, aku melihat diriku diangkat oleh Cora, yang pertama bereaksi. Barney sudah menanti di luar dengan beberapa anak lain; Barney dan Cora menjauhkanku dari pesta sementara yang lainnya menjemput keenam temanku yang katatonik untuk segera diberikan pertolongan pertama.
Yang tidak mereka punya.
Tiba-tiba, entah dari mana, seekor skinwalker menyerangku persis di perut. Begitu rasa sakitnya menyebar menembus seluruh tubuhku, aku bisa melihat siluet si laba-laba raksasa menudungiku.
Terima kasih, Alden. Itu suara As Hati.
Si laba-laba berubah menjadi Jack Keriting dan menghajarku.
Aku menjerit.
Bangun dengan begitu mendadaknya—terakhir kali aku terbangun menjerit adalah waktu aku masih berumur lima tahun—kepalaku menjadi pusing dan selama beberapa detik, mataku bergerak cepat menebar pandangan untuk mencoba mencari si penyerang. Tidak ada. Teringat mimpi buruk pertamaku, aku melirik ke sisi ranjang—tidak ada Ayam Zombi.
Aku bernapas berat. Kedua telapak tanganku basah keringat dingin, dan begitu pula dahiku. Aku baru sadar bahwa aku terduduk waktu bangun. Tanganku langsung melayang ke arah kerah secara naluriah—jimat Cora masih di situ. Aku masih bisa melihat menembus kabut.
Ada geraman-geraman lembut dari luar, tapi mereka terasa jauh. Aku sudah melihat bagaimana para monster sepertinya menikmati menyiksa mangsa mereka—mungkin jika aku pura-pura tidur, mereka tidak akan tertarik ke arah sini. Pesta tunggu Rumah Budak penuh berisi orang bangun dan para monster menyerang ke sana (di samping fakta bahwa mereka memang sedang mencariku, menurut kata As Hati). Jika aku bisa coba tidur lagi....
Namun pintu kamarku mendadak mengayun terbuka. Aku nyaris melompat dan memasang kuda-kuda seadanya, tetapi lalu aku melihat siapa yang ada di kusen pintu—Jack. Aku melemas sedikit.
Dia mengerutkan dahi. "Aku kira kau—um—sedang menginap di rumah teman?"
Caranya mengatakan itu cukup untuk memberitahuku bahwa dia tahu aku tadi ke Rumah Budak. Aku menelan ludah dan mengangguk. "Aku pulang duluan," kataku. "Menyelesaikan semua permainan bodoh mereka di sana dan memutuskan bahwa tidur di sana mungkin bukan keputusan yang tepat. Rumahku istanaku, 'kan?"
Dia tampak tersentuh menyadari aku masih menganggap tempat ini rumahku, dan melembut sedikit. "Mimpi buruk?"
Aku mengangguk lemah. "Nonstop."
Dia mengangguk paham. "Kau akan melewatinya," katanya, tapi lalu cepat menambahkan, "atau mungkin tidak. Tergantung. Tapi aku tahu kau, Alden, dan aku rasa kau akan melewatinya."
Aku memaksa diriku untuk tersenyum. Dia tidak tahu sama sekali. "'Makasih, Jack," kataku. "Um, semuanya baik-baik saja saat aku pergi?"
Dia terkekeh. "Sudah berumur delapan belas bukan berarti kau prianya rumah ini sekarang, Bung, tapi yeah. Semuanya tampak baik-baik saja. Amanda agak cemas kau tidak akan berhasil keluar, tapi aku tahu kaubisa. Dan ternyata kau memang bisa."
Aku teringat apa yang tadi sempat kupikirkan tentang bangun menarik para monster. "Aku rasa aku mau coba tidur lagi sekarang," kataku sambil menguap palsu. "Malam berat."
"Malam berat," katanya setuju, menahan dirinya sendiri dari ikut menguap juga. "Oke, kalau begitu. 'Mat malam."
"Malam."
Jack pergi dan menutup pintuku dengan lembut, sementara aku berbalik di kasur. Saat itulah aku melihat gerakan di luar jendela.
Aku nyaris terduduk lagi sebelum sadar bahwa itu mungkin malah justru membuat para monster di luar menyadari keberadaanku. Aku kembali berusaha menutup mata.
Tok, tok.
Mataku kembali terbuka, kali ini ditemani jantungku yang mencelus. Ketukan itu berasal dari arah jendela. Ada wujud yang besar di sana.
Besar, tapi familier....
Aku tiba-tiba menyadari siapa itu. Aku melompat dari kasur sesunyi yang kubisa ke arah jendela. "'Ngapain kau ke sini?" tanyaku.
"Memperingatkanmu," kata wujud di luar. Suaranya kasar dan terdengar seperti bisikan yang sebenarnya lebih mirip sebuah desisan, tetapi itu cukup untuk menjawab dugaanku.
"Memperingatkanku soal apa?"
"Mereka mengikutimu," kata As Hati dari balik jendela. "Aku tidak bisa di sini terlalu lama karena itu akan membuat As yang lain curiga. Tetapi karena itulah tidak ada monster sepanjang jalanmu pulang."
Jantungku mencelus. "Mereka tahu bahwa aku...?"
"Ya," kata As Hati. "Kau keluar sepanjang malam. Barisan pertahanan di luar hutan memang bagus, tapi di dunia kami, ada banyak hutan, jadi kami tahu harus bagaimana. As Keriting memutuskan bahwa beberapa monster akan dikerahkan untuk menguntitmu hingga kau menetap di satu tempat selama lebih dari tiga jam, membuat tempat itu sangat kentara sebagai rumahmu. Barulah mereka akan ke tempat itu nanti untuk meringkusmu."
Itu menjelaskan geraman-geraman samar yang kudengar sepanjang malam. Ternyata memang ada monster di sekitarku.
Aku menggelengkan kepala untuk membersihkan pikiran. "Sudah berapa lama aku di sini?"
"Matahari nyaris terbit," kata As Hati. "Berarti mungkin sekitar dua atau tiga jam."
Aku menekan telapak tanganku di atas mata. Aku mengarahkan para monster langsung ke Jack dan Amanda. "Jadi jika aku pergi sekarang, tempat ini tidak akan ditandai sebagai rumahku? Maksudku, ini, 'kan, belum tiga jam."
"Mungkin," katanya, "tapi kau sudah tidur di sini. Mungkin mereka akan nekat mencoba. Jika kau benar-benar mau melindungi semua orang di dalam rumah ini, tetap bergerak dan tidurlah di tempat lain sekitar dua setengah jam. Itu akan cukup membingungkan mereka untuk sementara."
"Oke, aku akan berberes," kataku, nyaris melompat ke sisi lain kamarku untuk mengambil ranselku. Tetapi sesuatu menahanku dan aku kembali mengetuk jendela. "Hei, Hearts?"
"Ya?"
"'Makasih banget," kataku sebelum akhirnya benar-benar mulai menyiapkan barang bawaan. Ia mengetuk jendelaku sekali sebagai jawaban sebelum aku melihat siluetnya melompat ke dalam kabut, menghilang bersama lautan monster yang bergerak terus.
Aku mengambil ranselku—yang sudah penuh dengan pakaian cadangan yang kusiapkan untuk 'menginap'-ku sebelum aku pulang duluan semalam—meninggalkan catatan kecil untuk Jack dan Amanda yang mengatakan aku akan berjalan-jalan dulu untuk membersihkan pikiran dan mungkin baru akan kembali pagi nanti atau besok, dan berusaha mengendap-endap keluar rumah. Jika apa yang dikatakan As Hati itu benar, para monster akan menyingkir dari jalanku dan berusaha tidak terlihat olehku sepanjang jalanku entah ke mana pun itu.
Saat itulah aku baru sadar bahwa aku akan benar-benar sendirian di jalan. Aku tidak akan dikelilingi lagi oleh teman-temanku atau oleh para Necromancer. Monster-monster itu bisa saja tinggal memilih untuk menghabisiku di tempat begitu aku keluar. Aku tidak akan bisa melindungi diri dan sihirku mungkin akan melakukan hal lain yang lebih bodoh.
Tapi kau sudah belajar telekinesis, kata suara di belakang kepalaku. Ambil saja tali untuk segala hal di sekitarmu seperti Ivan tadi, dan jika para monster mencari masalah, berikan saja.
Aku tidak yakin semua ini pantas dicoba—bahkan Ivan berubah prioritas menjadi menyelamatkanku dulu dari para monster begitu dia mendengar tentangku, jadi pasti ada sesuatu yang penting soal sihirku—tapi aku tidak bisa menjadikan Jack dan Amanda tamengku. Aku aku harus melakukan sesuatu.
Aku menutup mata dan berusaha fokus sambil mengendap-endap ke pintu. Semua talinya bebas—bagus. Aku menarik mereka semua, tetapi belum berani melakukan apa pun. Lalu aku membuka pintuku yang dikunci dan keluar, tidak lupa menguncinya lagi dengan kunci cadangan yang selalu kubawa di tasku.
Sudah ada yang menanti di luar.
Tunggu dulu.
Begitu aku mengunci pintu dan mengenali si pendatang, aku membeku. Aku bisa merasakan semua yang kutarik talinya sedang bergetar sendiri. Si pendatang langsung mengajukan dua tangan seperti berusaha mencegahku melakukan hal bodoh.
"Jangan serang," kata Heather. "Kumohon."
Sedetik sunyi. Otakku gosong kehabisan tenaga berusaha mempertahankan fokus di tali-temali yang sedang kubawa dan berusaha menelan adegan ini dan mencari bagaimana ini masuk akal. Akhirnya, setelah apa yang bisa kuanggap sebagai sunyi canggung terhebat dalam hidupku, aku bisa berpikir cukup jelas untuk bicara."
"Apa—apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku sambil mengendurkan peganganku di tali-temali. Ia mengambil napas dalam.
"Bisa tahan mengobrol sebentar?" tanyanya.
"Mungkin kita enggak punya waktu sebanyak itu," kataku. "Jika mau mengobrol, kita sambil jalan."
Ia mengerutkan dahi. "Ke mana?"
"Mana pun selain tempat ini," kataku. "Jika bisa, tempat yang bisa kupakai tidur. Akan kujelaskan sesampai di sana."
"Ada motel kecil dekat rumahku," tawarnya. "Dan cukup murah juga. Aku bisa membayarnya dengan uang yang kubawa sekarang. Tapi mungkin aku bisa coba atur sesuatu untukmu. Tertarik?"
Aku mengangguk. "Itu cukup. Kau yang arahkan jalannya."
"Dengan senang hati."
Heather sedang tidak mengenakan jubah perawat-Covens-nya, dan aku bisa melihat bahwa ia mengenakan sweter coklat-pasir dengan motif dreamcatcher besar berwarna coklat-kayu di depannya. Jika aku tidak terlalu tegang—dan mataku sibuk memindai sekelilingku untuk mencari monster—mungkin aku sudah memberinya pujian gombal soal itu. Tetapi aku merasa ada yang lebih penting saat ini.
"Jadi apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku. Ia bahkan tidak repot-repot menengok ke arahku sambil menjawab.
"Membantu menjagamu tetap hidup," katanya. "Sebenarnya, Morgana menugaskan Cora dan beberapa yang lain untuk tugas ini, tetapi saat ini, satu-satunya Wicce yang sedang aktif—dan yang kaukenal, supaya kau lebih bisa percayai—cuma aku."
Aku mengangkat alis. "Morgana?"
"Ketua klan kami. Yah, ketua pengganti, ketua kami sedang keluar kota."
Jadi Heather ditugasi untuk terus bersamaku sampai Cora bangun. Hmm. Aku mendapati diriku bergumam sebelum aku sadar. "Aku yang senang hati."
"Apa?"
"Bukan apa-apa," kataku cepat. "Cuma rasanya lucu saja kamu mendadak muncul di depan pintuku persis begitu aku keluar rumah. Aku baru saja memikirkan soal pertahanan diri."
Ia terkekeh. "Yeah, kau memegang semua talinya kuat banget." Dan dia sudah bisa merasakan tali-temali telekinetis itu dari sejak malam pertama manifestasi sihirnya. Sebenarnya, jika kubandingkan lagi dengan apa yang ia ceritakan soal ayahnya—yang sudah mengajarinya soal sihir bahkan sebelum ia bermanifestasi dan lain-lain—aku tidak terlalu terkejut.
Kami tidak banyak bicara sepanjang jalan—sebagian karena aku sadar betul bahwa ada monster yang mengawasi kami. Para monster Set sudah menunjukkan bahwa mereka mampu memahami bicara manusia dan bahkan punya bahasa sendiri, walaupun aku ingat mereka lebih suka saling menggeram untuk bicara. Entah bagaimana caranya, kabut ini menerjemahkan bahasa mereka ke telingaku dan bahasaku ke telinga mereka, seperti saat aku bicara dengan As Hati. Masalahnya, aku tidak tahu monster apa yang sedang menguntitku, jadi tidak mungkin aku bisa menceritakan pada Heather bahwa aku sedang diikuti tanpa merisikokan membuat para monster curiga. Kami akan diserang sebelum kami siap, dan aku tidak yakin aku mau mengambil risiko itu.
Belum, kataku pada diri sendiri. Sampai Cora, Barney, dan Isaac mengajariku untuk mengendalikan sihirku—atau katalis dari Alchemists menolongku soal itu—aku benar-benar harus menjauhi situasi berbahaya dulu. Terutama jika ada orang di sekitarku. Akan ada waktu untuk bertindak bodoh, dan akan ada waktu untuk menyalurkan sihirku yang berlebih ini, tapi waktu itu jelas tidak dalam waktu dekat.
Aku memperhatikan penampilan Heather sekali lagi, dan tiba-tiba aku menyadari sesuatu—ada gelang berwarna kelabu tulang melingkari pergelangan kirinya.
Gelang kelabu tulang yang sama dengan milik Cora.
"Um, Heather?" mulaiku. Ia menoleh.
"Yeah?"
Hanya ada satu hal sejauh ini yang aku tahu bisa jadi koneksi jelas antara Cora dan Heather selain SMA Minerva. "Apakah gelang itu ... eh, wajib dikenakan oleh para Covens?"
Ia mengangkat tangan kirinya secara refleks. "Oh, ini?" tanyanya. "Bukan wajib juga, sih, tetapi kebanyakan Covens memakai ini. Namanya Gelang Tenun. Isinya macam-macam—tulang-belulang, dedaunan yang sering dipakai untuk ritual, tetes air dari mata air suci yang dijaga dengan lapisan impermeabel, dan bahkan beberapa helai bulu. Semua yang kami butuhkan untuk ritual dan mantra sederhana, disimpan dalam satu barang. Ini sangat mengurangi jumlah kantong yang harus kami bawa ke mana-mana."
"Wow," kataku. "Praktis."
Ia tersenyum kecil. Matanya memindai ke sekeliling sebentar, lalu aku melihat bahwa ia kenal tempat ini. Lalu ia menunjuk ke pojok jalan di depan kami. "Itu dia motelnya. Mau kubantu check in?"
"Kamu familier di sana?"
Ia tertawa. "Aku punya kenalan. Tempat ini sudah seperti rumah keduaku."
"Kalau begitu silakan, Nonaku."
Ia tampak geli. "Lewat sini, Tuanku."
Heather bergerak dengan sangat percaya diri, dan aku harus mengakui bahwa walaupun aku sudah pernah ke daerah ini sebelumnya—sumpah, aku sudah mengelilingi Calamity berkali-kali—aku jarang main di tempat ini. Ini tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku, tapi aku tidak pernah ada urusan ke sini selain untuk membantu Eyang Grace sekali. Cucunya, Evelyn, adalah teman sekelasku dan waktu itu kami sedang kerja kelompok saat Eyang Grace datang dan minta tolong. Karena saat itu aku satu-satunya cowok di tempat, masa aku tidak membantu?
Ada plang lampu neon di luar, di bukaan antara beberapa bangunan di situ, dan Heather mengantarkanku ke salah satunya. Di bawah plang itu adalah papan yang menjanjikan layanan 24-jam. Heather berjalan langsung ke kantor utamanya—satu-satunya tempat yang lampunya masih menyala—dan aku langsung mengenali seorang wanita berumur kepala tiga sedang duduk di bangku meja di sisi jauh ruangan itu. Ia melihat ke arah kami dan memaku sebentar saat belnya berbunyi, memindai kedua pelanggan barunya. Lalu ia tersenyum cerah. "Heather!"
"Hei, Bev!" sapa Heather balik. "Um, apa tempatku kosong?"
"Tentu," wanita itu mendadak jadi serius. "Yang biasa?"
Heather mengangguk. "Tapi untuk temanku di sini, apa itu tidak masalah?"
Bev tampak agak gelisah. Lalu aku baru menyadari bahwa ia juga mengenakan Gelang Tenun. "Heather ... jangan salah, kautahu aku akan membantumu begitu saja, tapi—"
"Morgana," potong Heather. Bev membeku di tengah kalimat. Matanya melompat dari Heather, ke arahku, lalu kembali ke Heather, seakan sedang memaki Heather secara mental seperti kau pasti bercanda.
Bev menelan ludah. Kata-katanya berikutnya terdengar seperti cicitan lemas. "Tapi ... Heather...."
Heather menoleh ke arahku. "Sebentar."
Aku mengangkat bahu. Toh, aku tidak bisa ke mana-mana juga.
"Bev," mulai Heather sambil berjalan ke Bev. Mereka bertukar bisikan selama beberapa detik. Selama mereka melakukan itu, mata Bev terpaku padaku dengan penuh penilaian.
"Begitukah," kata Bev saat Heather akhirnya selesai berbisik. Heather mengangguk. Bev menghela napas berat. "Oke, kalau begitu," katanya, menggoyangkan jari ke arahku. "Kau, sini. Aku akan membiarkanmu menggunakan sesuatu yang harusnya tidak kau ketahui. Jangan terlalu nyaman nanti. Apa yang terjadi setelah ini tidak pernah terjadi. Paham?"
Aku mengangguk. Bev menyelidiki lagi mejanya, dan setelah menarik sesuatu dari lacinya, menarik papan namanya. Ada bunyi klik saat sesuatu membuka diri di bawah meja kerjanya, dan ia merogoh ke dalamnya. Sebatang kunci.
"Lewat sini," katanya. Heather memberi tanda padaku untuk mengikutinya.
Bev menuntun kami mengitari gedung kantor utama, menjauhi kamar-kamar motel lainnya. Sementara kami berjalan, aku bisa mendengarnya menggumamkan sesuatu, dan kunci di tangannya bersinar.
Ia membuat kami semua berhenti ketika kami mencapai sebuah bangunan kecil di tengah bukaan itu. Bentuknya seperti toilet umum, tetapi pintunya terbuat dari besi dan kesannya sangat mengintimidasi. Berdiri di depannya saja membuatku merasa seperti tempat ini adalah salah satu brankas di Fort Knox.
Tidak ada lubang kunci. Namun Bev cuma mengajukan tangannya yang membawa kunci itu dan mendorong masuk. Kunci itu menembus dinding besi yang tampak tebal itu, dan saat Bev memutarnya, aku bisa mendengar bunyi klik khas pintu yang dibuka kuncinya. Dan saat ia membukanya, aku bisa melihat pintu itu menuju ke bawah tanah.
"Setelahmu," kata Bev, menunjukkan lengannya ke arah terowongan ke dalam. Heather masuk. Aku mengekor.
Bev masuk terakhir dan menutup pintu itu di belakang kami, dan aku mengira akan tertelan dalam gelap total. Tetapi, persis sebelum pintunya menutup, dinding di sekitarku mendadak berkelip dengan warna pink lembut seakan ada kunang-kunang yang mulai bercahaya, membentuk sebuah garis di sepanjang dinding terowongan ini.
"Ini mengarah ke Bunker," kata Heather. "Semacam kasur rahasia yang sangat terlindungi, biasanya untuk jadi tempat perlindungan ketua klan kami jaga-jaga jika ia butuh. Tapi ia jarang ke sini, jadi tempat ini lebih sering dipakai olehku."
"Untuk apa kaubutuh ...," aku mempertimbangkan kata-katanya sebetar, "... perlindungan ini? Aku kira rumahmu di dekat sini. Dan ayahmu kedengarannya magus yang cukup jago."
Heather terkikik. "Aku bukan ke sini untuk perlindungan, Alden. Aku kemari untuk menyendiri. Aku lebih suka tempat yang sepi. Lagi pula, aku bisa mengerjakan PR-ku tanpa gangguan di sini."
Bagian terakhirnya itu bisa jadi cuma guyonan, tetapi ada sesuatu di nadanya yang membuatku berpikir dua kali. "Jadi apa yang sudah kulakukan hingga bisa punya kemewahan beristirahat di sini?"
"Apa yang sudah kaulakukan," kata Heather simpul. Ia menoleh ke arahku sebentar, seperti berusaha mengatakan sesuatu yang tidak bisa diucapkannya keras-keras. Matanya berkata kita bicara nanti soal ini. Tidak dengan Bev di sini.
Aku mengangguk kecil sementara kami akhirnya mencapai Bunker itu.
Ternyata Bunker ini bukan ruang kecil yang biasanya menjadi bentuk sebuah Bunker. Tempat ini lebih cocok dideskripsikan sebagai kamar hotel, jika bukan suite sendiri—tempat ini sangat besar, lengkap dengan ranjang queen-sized dan kamar mandi yang cukup untuk berisi tempat untuk shower dan bathtub yang akan muat untuk seorang manusia purba.
Plus, ada lampu kristal gantung kecil di langit-langitnya, memberi penerangan keemasan yang menerangi seluruh ruangan ini. Ada lampu tidur bercahaya lebih lembut di samping ranjangnya, tetapi saat ini sedang dimatikan.
"Aku bisa lihat kenapa kausuka ke sini," kataku ke Heather sebelum bisa mencegahnya. Ia tertawa.
"Benar, 'kan?"
Bev, sementara itu, tampak risih. "Jika sudah, tinggal naik tangga tadi saja dan buka pintunya. Tidak ada yang bisa membukanya dari luar tanpa kunci ini, yang akan aku bawa, tetapi kaubisa membukanya dari dalam—kecuali, tentu, jika aku menguncimu di dalam."
Dengan itu, ia berbalik untuk pergi. Seperti saat berbicara dengan As Hati, sesuatu membuatku menghentikannya di detik terakhir.
"Hei, Bev?"
Ia berhenti dan menoleh kepadaku. "Ya?"
"'Makasih banyak," kataku. Bev tidak bisa menahan seulas senyum kecil.
"Enggak masalah."
Dan ia pergi.
//
"Oke, keluarkan semuanya," kata Heather begitu ia mendengar pintu Bunker sudah ditutup. "Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu sepanjang jalan ke sini, walaupun aku tidak yakin kenapa kaubakal melakukan—"
"Para monster sedang menguntitku," semburku akhirnya. Heather berhenti sebentar sebelum mengangkat sebelah alis.
"Menguntitmu bagaimana?"
"Menguntitku. Tahulah. Mengikutiku dan lain-lain." Lalu aku menyadari sesuatu—ia bertanya balik soal penguntitannya. Ia tidak bertanya soal para monster. "Tunggu, kau sudah tahu...?"
"Ya," katanya sambil melamun. "Maksudku, ya, iya. Morgana menceritakan semuanya padaku. Ia dengar dari Necromancers saat mereka memintanya mengadakan perlindungan untuk semua orang di Calamity. Ia menceritakan padaku apa yang kaulakukan."
Caranya mengatakan itu sangat bersahabat dan tidak seperti sedang menuduhku atas apa pun, tetapi aku tetap tidak bisa memungkiri bahwa aku seperti habis dicubit secara mental. "Aduh."
Heather seperti agak telat menyadari perasaanku. "Jangan terlalu tidak enakan, hal seperti ini memang terjadi sesekali. Serius, sekarang sudah bukan lagi soal siapa yang patut disalahkan. Sekarang sudah soal menjaga keamanan sebanyak mungkin orang sebisa kita."
Aku mengangguk.
"Tapi aku jadi terpikir ... jika para monster menguntitmu, apa itu artinya mereka tahu di mana kau tinggal?"
Aku mengangguk lagi. "Itulah kenapa aku tadi berusaha pergi. Itulah kenapa aku butuh tempat baru untuk tidur. Aku perlu membuat para monster tetap bergerak, berusaha menebak yang mana dari tempat-tempat yang sudah kudatangi dan kujadikan tempat tidur yang benar adalah rumahku. Aku tidak mau membahayakan keluargaku. Para monster itu sudah nyaris membunuhku sekali—aku tidak mau risikonya jatuh pada siapa pun lagi."
Aku menceritakan padanya segalanya—dari tantangan Rumah Budak, soal Ayam Zombi, soal roh pembunuh dan si penyihir, soal kabut ini, penyerangan di pesta, dan Disaster. Bahkan soal As Hati. Aku berusaha menceritakan sebanyak mungkin detail yang aku bisa supaya ia tidak salah paham soal kenapa beberapa hal belakangan ini terjadi. Barney berkata prioritas Ivan baru berubah setelah dia menceritakan padanya tentangku, dan jika para Necromancer meminta bantuan Covens untuk membantu sebelum mereka menyelamatkanku, mungkin Ivan kelewatan soal beberapa bagian ceritanya. Aku cuma perlu mengisi kekosongan cerita dari setelah para Necromancers bertemu dengan Morgana pada Heather. Aku sempat teringat bagaimana Ivan nyaris menyebutku sesuatu sambil berwajah sangat kelam sebelum akhirnya menggunakan kata anak. Ivan tahu sesuatu tentangku yang bahkan aku sendiri tidak tahu.
Sepanjang cerita, Heather mendengarkan dengan tenang—ia cuma melihatku lurus ke mata tanpa berkomentar atau bertanya. Ada beberapa kali saat aku melihat otot wajahnya berkedut seperti nyaris mengatakan sesuatu, tetapi ia selalu menelannya kembali. Mungkin ia menampung semua pertanyaannya hingga aku selesai.
"... jadi sekarang di sinilah kita," kataku. "Di Bunker. Tuh. Kurasa itu menjelaskan semuanya."
"Tidakkah itu berarti para monster tahu tempat Bunker ini?" tanya Heather nyaris tanpa jeda. Jantungku mencelus.
Aku bahkan nyaris tidak tega mengangguk. "Tapi ... jika tempat ini seaman yang kau katakan, bukankah itu berarti para monster tidak bisa masuk?"
Heather mengangkat bahu. "Yah, selama mereka tidak punya kuncinya, mereka—"
Ia membeku. Aku juga. Mata kami bertemu sesaat, dan dari ketegangannya, aku tahu pikiran kami mengatakan hal yang sama: "Bev."
Kami meninggalkan Bev pergi sendiri. Ia berjalan di sana, tanpa perlindungan, sendirian.
Para monster mungkin sudah melihatnya menggunakan kunci itu untuk membuka pintu Bunker.
Mereka bisa saja langsung menyerangnya.
Mereka bisa saja sudah punya kuncinya dan....
"Tunggu, tunggu," kataku, mengangkat kedua tangan. "Bukannya kunci itu punya semacam sistem keamanan? Mungkin mantra yang memastikan cuma beberapa orang yang bisa menggunakannya?" Aku teringat bagaimana Bev menggumamkan sesuatu dan bagaimana kunci itu berpendar sebelum ia bisa membukakan pintu Bunker untukku. Heather tampak sedikit lebih tenang.
"Berharap saja para monster tidak tahu itu," katanya. "Jika mereka masih menguntitmu, paling tidak."
Aku mengangguk dengan gelisah. "Mari berharap."
Kami jatuh diam setelah itu, dan aku tidak bisa menahan diri dari menguap. Heather tertular dan ikut menguap juga. Aku merenggang sedikit.
"Bukannya harusnya kau sekarang tidur?" tanyaku dengan suara tidak lebih dari gumaman sambil berbaring di atas kasur. "Maksudku, nanti sekolah tetap masuk, 'kan?"
Ia menggeleng. "Aku sedang giliran jaga malam ini, ingat?" katanya. "Aku sekarang jadi Perawat Wicce paruh waktu. Ternyata ada lebih banyak kecelakaan magis di tempat ini dari yang kukira. Dan malam ini adalah debutku. Ayahku seorang Shaman, jadi dia tidak tahu rumah lindung itu seperti apa. Aku dengar sebagian besar juga dari Covens lainnya. Ini giliran pertamaku. Dan ...," ia menelengkan kepala sedikit, memandang ke arah tembok. "Ayahku bilang dia mengerti. Dia akan mengizinkan absensiku hari ini. Aku akan merasa tidak enak badan nanti, iya 'kan?"
Ia menoleh dan tersenyum padaku. Aku tersenyum balik dengan lemas. "Jangan lupa PR-mu."
Heather memutar bola matanya. "Ya, Ayah."
Kami tertawa kecil sebentar. "Bisa bangunkan aku dalam tiga jam?"
"Alden. Matahari sudah mau terbit."
"Aku tahu." Aku menguap lagi. "Tahu tidak, pulanglah. Kamu perlu tidur. Aku merasa bakal mendapat banyak mimpi buruk nanti. Bangun dalam tiga jam enggak akan sesulit itu."
Namun ia malah menendang sepatunya sampai lepas dan naik ke kasur bersamaku. Untung ukurannya besar, ini bisa jadi luar biasa canggung. "Kak, aku ditugasi menjagamu sampai ada yang bisa mengambil alih. Dan sejauh mataku bisa memandang, tidak ada orang yang bisa."
Aku meredam tawa gugupku ke dalam bantal. Jangan salahkan aku menjadi gugup, tidak setiap hari aku bisa berbaring di atas kasur yang sama dengan kecantikan yang bangkit jadi manusia. Oh, ayolah, Alden, dari mana kau belajar gombal seperti itu? "Tapi kamu butuh tidur. Kamu sudah menolong banyak sekali orang di rumah lindung. Aku malah membahayakan semuanya. Kau jauh lebih butuh tidur daripada aku." Sebenarnya, jika diletakkan seperti itu, aku malah tidak berhak mendapatkan tidur sama sekali.
"Tidur sajalah," katanya lembut. Lalu ia mengambil salah satu bantal, memeluknya, dan memejamkan mata. "Aku tidak pernah tidur terlalu lelap. Jika apa pun di sekitar sini berubah, aku akan terbangun sebelum aku bahkan tahu aku sudah bangun."
Aku mengerang kecil ketika mataku tiba-tiba terasa berat. Heather benar. Aku memang butuh tidur.
Lalu ia mendesah kecil sebagai jawaban, dan begitu saja, kami jatuhtertidur.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro