1. WELCOME TO CALAMITY...
They burned a witch in Bingham Square
Last Friday afternoon.
-Witch-Burning, Mary Elizabeth Counselman, 1936.
Konon katanya, beberapa monster tidak tahu kapok.
Konon katanya, sihir itu tidak nyata.
Konon katanya....
Sekelibat warna hitam mencuri perhatianku dan menyentakku kembali ke kenyataan. "Hei, hati-hati!" teriakku kepada seorang anak kecil yang mengenakan jubah hitam, mengayuh sepedanya saat aku menyeberang jalan. Anak itu tersenyum kikuk sambil mengayuh pergi.
Aku menghela napas sambil tetap berjalan. Kenapa monster? Kenapa sihir? Biasanya hal-hal seperti itu tidak aku pikirkan. Kecuali, tentu saja, harus ada hari Halloween. Kostum di mana-mana, monster di sini, hantu di sana ... dan ada para penyihir juga. Jujur, tema penyihir di sini selalu saja terlalu dilebih-lebihkan.
Aku sudah berhenti memperhatikan jubah hitam yang dikenakan semua orang seraya tetap berjalan di trotoar. Di Calamity, Oregon, kota-antah-berantah ini, hal itu sudah nyaris menjadi pemandangan tahunan. Kenapa para kolonis dulu menamai tempat ini Calamity—Petaka—aku juga tidak tahu. Mungkin itu karena ketika para penjelajah, perintis, dan misionaris pertama tiba di sini, suku Amerika Pribumi yang tinggal di sini mengutuk mereka, membuat mereka semua dijatuhi bencana mereka masing-masing. Paling tidak itu rumornya. Sebagai balasan, anggota suku itu diburu hingga punah dan semua benda milik mereka dibakar karena para kolonis mengira itu akan mengangkat kutukannya dari mereka.
Ternyata tidak.
Yah, katanya sih sedikit Air Suci akhirnya membersihkan kutukan itu. Mereka bahkan membaptis tanah ini juga. Paling tidak itu kata gereja lokal dan kenapa mereka jadi cukup terkenal di sini.
Aku akhirnya tiba di rumah setelah berbelanja sedikit. Aku memang sudah lulus dari SMA, tetapi tidak jarang bagi anak-anak di Calamity untuk agak terlambat mengikuti perkuliahan. Biasanya kami mengurus dulu urusan kami di sini, dan hanya kira-kira separuh dari setiap generasi yang benar-benar pergi ke kota lain untuk kuliah. Lagi pula, ini kota kecil. Tempat seperti ini pasti membosankan untuk anak-anak kota besar. Fakta bahwa ada internet di sini saja sudah bisa dianggap keajaiban.
Teknologi tidak terlalu populer di sini. Mungkin karena mitos tua tentang seorang penyihir genius yang dulu tinggal di sini pada masa kolonial. Bagaimana penyihir itu bisa tidak terpengaruh kesucian tanah yang sudah dibaptis, aku tidak tahu. Ia tinggal di sini dan mulai mengumpulkan budak. Katanya, ia diam-diam kaya raya.
Jeritan menyelimuti kota ini setiap malam selama ia tinggal di sini. Apa yang ia lakukan ke budak-budaknya, orang-orang cuma bisa terheran. Tuduhan bahwa ia adalah penyihir tentu bisa ditukas—pengetahuannya setara dengan seorang pendeta saat itu, dan ia bisa menghindar dari setiap usaha untuk membuktikan bahwa ia adalah penyihir. Jadi, putus asa untuk menyingkirkannya, warga kota akhirnya mengadukannya dengan tuntutan mengganggu ketertiban sosial.
Jeritan setiap malam itu lumayan mengerikan. Dengan sejarah kota ini yang terkutuk, orang-orang lokal tidak butuh lagi seorang dengan hubungan ke dunia supernatural di antara mereka.
Saat itulah penggerebekan ke rumahnya diizinkan. Saat itulah ia mulai panik.
Seakan-akan rumah itu menolak setiap warga kota yang masuk: segalanya beterbangan dengan kacau seperti serangan hantu poltergeist. Para pendeta berhasil menahannya dan mulai berdoa dan menyiramkan Air Suci. Kali ini, ia sedang tidak berwujud manusia dan mulai menjerit kesakitan.
Lalu mereka membuka ruang bawah tanahnya untuk melihat dari mana semua jeritan tiap malam itu berasal.
Apa yang mereka lihat begitu mengerikan hingga mereka langsung menyegel lagi ruang bawah tanah itu.
Rumah itu masih ada, hanya berjarak beberapa blok dari rumahku. Tidak ada lagi yang berani mendekati rumah itu. Ruang bawah tanahnya, katanya, masih seperti saat tempat itu terakhir ditinggalkan. Tapi begitu si penyihir diikat di tiang dan dibakar, jeritan-jeritan itu berhenti.
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di bawah sana.
Menyebalkannya, hal itu membuatku takut. Setiap Halloween di sini, anak-anak berumur delapan belas tahun bakal menyelinap masuk ke rumah itu. Hanya untuk bersenang-senang. Mungkin dulunya cuma sebagai tantangan, lucu-lucuan, tetapi sekarang hal itu sudah nyaris menjadi ritual. Anak laki-laki yang sudah berumur delapan belas waktu malam Halloween harus menghabiskan malam itu di Rumah Budak.
Tidak ada yang keluar masih normal setelah itu.
Tidak, mereka tidak kerasukan atau mengalami perubahan kepribadian atau apa, tetapi mereka menjadi sangat sensitif terhadap segala hal di sekitar mereka—suara terlembut sekalipun bisa membuat mereka melompat seperti kucing yang ditakut-takuti. Mereka langsung memucat, menjerit, dan melihat ke sekeliling mereka dengan paranoid. Sebagian besar membutuhkan bantuan psikiater setelah giliran mereka di Rumah—walaupun belakangan ini, sebagian besar psikolognya sendiri adalah veteran Rumah Budak juga.
Mitos urban tadi, ditambah insiden tahunan ini, membuat sihir menjadi tema Halloween yang terkenal di Calamity. Dan sejak Harry Potter keluar, semua orang menggunakan jubah hitam dan syal bergaris. Toko cenderamata dibangun di mana-mana, merayakan tema sihir ini, menjual barang-barang aneh yang bisa mereka pungut, menyaingi nama gereja lokal.
Hmm. Ironis juga, ya?
Masalahnya: aku berulang tahun yang kedelapan belas bulan lalu, yang berarti anak-anak di sekolah akan mengajakku ke Rumah Budak tahun ini.
Tidak, aku tidak mau. Tapi tidak, aku juga tidak punya pilihan lain. Sekarang hal ini sudah menjadi tradisi—sepenakut apa pun kamu, jika kau sudah ditarik ikut, kau harus ikut. Memang bukan tradisi paling bijak, tapi serius, di Calamity, seluruh hidupmu tergantung pada hal ini. Apa pun yang terjadi di malam kauikut ke Rumah Budak bisa menentukan arah hidupmu nanti di kota petaka ini.
"Aku pulang," kataku seraya masuk.
Selama delapan belas tahun hidupku, aku dibesarkan oleh Amanda dan Jack. Hmm, rasanya aneh memanggil mereka seperti itu. Aku sangat terbiasa memanggil mereka Ibu dan Ayah sampai tahun lalu. Ternyata menurut mereka hadiah ulang tahun ketujuh belas yang sempurna adalah memberitahuku bahwa aku adalah anak adopsi—dan mereka tidak bercanda. Aku separuh-berharap itu cuma sebuah guyonan sadis, tetapi mereka tidak menyangkal hal itu keesokannya. Dan hari setelahnya. Dan hari setelahnya. Aku bahkan bisa melihat mata mereka merah sembap setiap pagi. Mereka menangis bermalam-malam lamanya. Aku juga—maksudku, ayolah. Tujuh belas tahun mengira mereka orang tuamu dan satu malam untuk menghancurkan semuanya? Tentu, aku tahu mereka menyayangiku. Dan aku tidak meragukan itu. tetapi mengetahui Ibu—Amanda, terserah—ternyata tidak bisa hamil dan tiba-tiba menerima seorang bayi di luar pintu rumahnya suatu malam tanpa surat keterangan apa pun? Itu lumayan seram.
Tidak ada jejak apa pun. Amanda menunjukkan keranjang tempatnya menemukanku—tidak ada sidik jari (ia pernah meyakinkan Jack untuk memeriksanya secara pribadi beberapa tahun lalu—tidak ada apa-apa).
Aku memaafkan mereka baru beberapa minggu yang lalu. Aku tidak bisa menahannya lagi. Mereka akhirnya menumpahkan sisa tangisan mereka di hadapanku dan kami semua berpelukan sepanjang malam hingga kami bangun di pagi hari saling melilit dan lelah secara emosional.
Hari-hari setelahnya berlangsung dengan normal, tetapi aku sudah bertanya ke Amanda untuk mencari orang tua kandungku. Ia memberikan restunya.
"Hai!" sapa suara Amanda dari dapur. Ia cuma beda satu kusen dari pintu depan. "Sudah dapat belanjaannya?"
Aku masuk ke dapur dan meletakkan tasku di meja. Membuka risletingnya, sebutir labu menggelinding keluar, menunjukkan beberapa tas plastik di dalam. "Iya. Apa kita membuat Jack-o-Lantern nanti?"
Amanda tersenyum hangat. "Pasti, ini Halloween!"
Ia menawarkan pisaunya kepadaku, tetapi aku meletakkannya di meja. "Aku ganti baju dulu."
Aku pergi ke kamar.
//
"Hei, dia ikut!"
Pandanganku masih agak kabur saat aku mulai berjalan ke Rumah Budak bersama beberapa orang delapan belas tahun lainnya dari sekolahku—Mark, Rhodes, dan Cora. Aku bahkan tidak tahu kenapa Cora ikut, anak-anak perempuan tidak diharuskan ikut acara ini. Mungkin Mark dan Rhodes mengatakan hal yang tepat waktu mengajaknya.
Ketiganya bersorak saat aku bergabung bersama mereka, dan kami berjalan terus. Saat itu sudah malam, dan sudah lewat waktu tidur normal—untung tidak ada jam malam di sini—tetapi lampu-lampu jalanan masih menyala dengan cukup terang.
"Aku kira kamu enggak bakal ikut," kata Cora. Untuk gadis seumurannya, ia tampak seperti anak kecil. Wajahnya bulat, pipinya masih agak tembem—bahkan posturnya seperti anak tiga belas tahun. Tetapi tank-top hitam, kalung keperakan, gelang sewarna tulang, tiga kantong kecil coklat pasir yang dipakainya di sabuk, celana pendek gaya cargo, dan sepatu bot hitam yang ia kenakan cukup untuk membuat siapa pun merasa terintimidasi di dekatnya. Belum lagi rambutnya hitam legam—sepertiku, Cora satu dari sedikit anak di sini yang berambut hitam. Ia memotongnya pendek, hanya sedikit melewati bahu, dan mengurainya. Aku pernah melihatnya mengikat rambut, tapi hanya ketika ia sedang merasa gugup atau sedang berolahraga.
Aku sendiri masih belum percaya aku mengatakan 'iya' kepada undangan mereka ke Rumah Budak. "Aku juga mengira begitu," kataku pada Cora. "Tapi hidupku tergantung pada hal ini. Paling tidak selama aku tinggal di sini."
Cora tertawa. "Cowok. Kapan kalian akan berhenti bertindak bodoh?"
"Aku tersinggung. Aku juga tidak setuju dengan ritual Rumah Budak ini, tetapi jika aku tidak melakukan ini, hidupku bakal tamat karena aku yakin aku tidak akan pindah dari Calamity dalam waktu dekat. Aku hanya berusaha memilih dengan bijaksana di sini." Aku jujur. Ada tiga orang pria yang masih tinggal di sini yang tidak pernah mendekati Rumah Budak, dan ketiganya menganggur karena tidak ada yang mau menerima mereka kerja. Aku tidak tahu orang-orang bisa sekejam itu. Toh, ini cuma sebuah rumah tua. "Omong-omong, kenapa kamu ikut?"
Ia mengangkat bahu. "Tidak ada kegiatan lain."
Tentu saja. Ini kota kecil. Kau bosan di sini setelah dua tahun pertama hidupmu.
"Kalian—menurut kalian di sana benar ada hantu?" tanya Mark. Aku mengangkat bahu.
"Tidak pernah dekat-dekat sana. Tidak ada urusan."
"Aku sudah dengar beberapa cerita seram tentang tempat itu," kata Cora. "Tapi aku tidak yakin. Biar begitu, aku juga pernah melihat hal-hal aneh. Jika ada apa-apa di sana, aku tidak akan heran."
"Hal-hal aneh?" Mark mengangkat alis. "Seperti apa?"
Ekspresi Cora menjadi gelap. "Hal-hal yang tidak mau kaudengar sebelum menghabiskan malam di Rumah Budak."
Kami mengatakan ke orang tua kami bahwa kami akan menginap di rumah teman. Sebenarnya 'teman' ini adalah sekelompok orang-orang yang memang menyeriusi urusan Rumah Budak ini, tetapi sepertinya orang tua kami sudah tahu—kemungkinan besar, orang tua kami sendiri juga alumni Rumah Budak. Tahu 'kan, ketika kau dan segelintir teman-temanmu menemukan hal seru dan memutuskan mengorganisir hal itu dan berujung jadi satu kelompok? Orang-orang seperti inilah 'teman' kami tadi. Mereka yang mengatur segalanya dan salah satu dari mereka akan ikut bersama kami ke Rumah Budak, jaga-jaga jika orang tua kami mendadak menelepon. Dan ya, yang ikut bersama kami sudah pernah ke dalam Rumah juga. Biasanya mereka yang sudah berhasil menangani trauma mereka.
Itu terdengar luar biasa. Kebanyakan tidak bisa mengatasinya, dan mereka yang sudah pernah ke Rumah selalu membicarakan soal itu dengan sangat enggan.
Semakin dekat kami dengan Rumah Budak, semakin sedikit jumlah lampu jalanan yang ada. Akan sangat bermasalah jika terjadi apa-apa.
"Senter," kata Mark sambil menyalakan senternya. Penyelamat.
"Apa mereka sengaja digelapkan?" tanya Rhodes penuh harap. Aku bisa merasakan dia menjadi gugup—Rumah Budak sudah terlihat.
Tidak ada yang menjawabnya.
Di seberang Rumah, aku bisa melihat seseorang. Awalnya dia cuma siluet, tetapi semakin kami mendekat, aku bisa mengenalinya sebagai Brody. Dia lulus beberapa tahun yang lalu.
"Mark?" panggilnya. "Rhodes? Cora? Dan ... Alden?"
"Itu aku," aku mengangkat satu tangan. Brody mengangguk.
"Kalian mendapatkan giliran tengah malam. Beruntung sekali," ujarnya. "Tengah malam biasanya paling seram. Kalian akan masuk bersama tiga orang lagi yang sudah ada di daftar tunggu—Cody, Zoey, dan Eileen—dan waktu kalian sejam dari bel tengah malam."
"Tapi itu masih sekitar tiga jam lagi," protes Rhodes. "Di mana kita menunggu?"
Brody nyengir. "Sudah jelas di pesta Halloween kita, lah!"
Mark dan Rhodes bersorak sementara Brody mengantar kami semua ke 'ruang tunggu'-nya.
"Keren," kata Cora pelan. "Pesta."
Tepat sekali, Cora. Aku juga benci pesta.
//
Tidak mengejutkannya, sebagian besar orang di pesta mengenakan jubah hitam atau topi kerucut.
Aku bisa menemukan Cody dan Eileen—yang akan satu giliran bersama kami nanti—dengan cepat. Hmm. Anak populer. Aku tidak pernah mendendam kepada mereka, tapi serius, aku selalu bingung bagaimana orang seperti mereka selalu bisa menemukan seseorang untuk diajak mengobrol atau sesuatu untuk diobrolkan atau bahkan apa pun itu untuk dilakukan di pesta-pesta seperti ini.
"Jangan sendirian di pojok, Alden," kata sebuah suara. "Enggak sehat untuk insting sosialmu."
Itu Zoey, yang juga akan segiliran denganku. Zoey adalah saudari kembar identik Cora, kecuali bahwa nuansa Cora jelas lebih gelap daripada Zoey. Aku tidak yakin, mungkin itu dikarenakan Cora sangat suka mengenakan pakaian hitam sementara Zoey bisa sedikit lebih kreatif. Matanya sangat peka warna—apa pun yang dikenakannya selalu tampak cantik. Cora, di sisi lain, sangat suka bermain monokrom.
"Bagaimana jika kubilang aku tidak punya insting itu?" aku bertanya balik sambil tersenyum. Aku tidak pernah terlalu dekat dengan siapa pun, tetapi Zoey dan Cora tahu rasanya dianggap aneh, jadi aku tahu aku bisa percaya pada mereka. Lagi pula, bukannya kami suka menceritakan ini ke siapa-siapa, tetapi dulu Zoey adalah pasangan prom-ku waktu SMP. Kami tidak pacaran atau apa pun, tetapi semenjak kisah memalukan yang membuatku jadi penyendiri seperti ini (mungkin untuk lain kali saja, ceritanya agak panjang), aku tidak punya banyak teman, dan Zoey dan Cora adalah sedikit orang yang masih bertahan.
Zoey baru saja mulai populer saat itu—lebih populer dari saudarinya yang seram—tetapi ia sedang tidak ingin berpacaran dan semacamnya. Jadi, pada akhirnya, kami ke pesta dansa itu tanpa pasangan ataupun teman untuk menemani kami. Saat itu terasa aneh dan sentimental, dan mungkin fakta bahwa kami kesepian berperan juga di situ, tetapi akhirnya kami memutuskan untuk menjalankannya saja. Kami jadi akrab semenjak itu.
Zoey tertawa. "Kamu sembarangan, ah! Lalu sekarang kamu sedang apa? Mengobrol denganku. Lihat, kamu bersosialisasi!"
"Satu orang itu sudah cukup interaksi untuk satu pesta," kataku, dan Zoey mengangguk.
"Aku tahu perasaanmu," katanya melawan suara musik yang kencang. "Dan aku tahu kamu enggak akan nyaman berusaha ikut masuk. Tetapi serius, jangan menyendiri terus. Mengobrollah, bersenang-senang. Mau minum?"
"Enggak, 'Makasih," kataku, dan ia pergi. Seorang mumi lewat dengan headphone jingga besar di lehernya, dan aku harus mencegah diriku dari berpikir yang macam-macam—jaga-jaga jika ternyata kutukan para Firaun memang benar.
Kebanyakan atlet dari sekolahku—satu-satunya SMA di Calamity, omong-omong—hanya mengenakan kaos sobek-sobek yang menunjukkan otot mereka dengan celana pendek hitam yang sama berlubangnya. Beberapa menggunakan taring palsu. Vampir, tebakku. Budaya pop sialan—apa yang mereka lakukan ke vampir sadis pembalas dendam yang bangkit dari kematian dari cerita lama? Makhluk-makhluk ini tidak pantas diperlakukan seperti ini. Aku meriset sedikit tentang vampir, dan tidak ada satu hal pun yang sejalan dengan apa kata budaya pop selama satu dekade terakhir. Vampir adalah revenant, orang-orang mati yang terkutuk hingga hidup lagi. Kurang-lebih, mereka zombi. Kecuali, mengesampingkan juga fakta bahwa zombi juga sebenarnya orang mati yang disihir voodoo agar bangkit lagi, alasan vampir datang kembali ke kehidupan adalah karena dendam tak usai, keluarga yang jahat, atau karena mereka melakukan sihir yang sangat gelap semasa hidup hingga bahkan neraka menolak mereka.
Dan ini twist-ending-nya—ketika seekor manusia serigala mati dengan tidak pantas, karena kutukannya, ada kemungkinan besar dia akan bangun lagi menjadi seorang vampir.
Vampir dan manusia serigala adalah orang-orang yang sama, tetapi di tahap hidup—dan mati, tepatnya—yang berbeda.
Mereka tidak berperang.
Manusia serigala masih manusia hingga mereka berubah, jadi secara teori, mereka memang masih bisa jatuh cinta. Tetapi vampir? Dan bahkan semuanya akan lebih aneh lagi lewat sudut pandang yang masih hidup. Serius, naksir zombi? Apa itu sehat? Belum lagi sehat, apa itu bahkan legal? Bukankah itu akan masuk ke kategori nekrofilia—tertarik secara seksual ke jenazah orang mati?
Aku menggeleng saat seorang 'vampir' lain lewat lagi. Bukannya ada bully di sini, tetapi kaubisa melihat jelas dinding tak kasatmata yang membatasi 'anak beken' dan 'anak culun' di sini. Anak-anak kerennya baik, sungguh, dan toleran. Tetapi ya sudah. Bukan bully, tetapi juga bukan teman. Paling tidak di luar media sosial daring.
Dan tebak aku ada di sisi mana? Persis.
Yah, sudah setengah sepuluh. Berarti masih dua setengah jam lagi sampai giliranku di Rumah Budak tiba. Cora dan Zoey tengah bertengkar kecil tentang sesuatu. Seorang gadis dengan kostum yang sangat minim—mungkin setan penggoda, succubus?—lewat di depanku, mengedip dengan nakal kepadaku. Aku mungkin asosial, tetapi aku bukan jenis cowok yang membeku gugup di dekat cewek, jadi aku cuma mengangguk sambil tersenyum kepadanya. Tidak lama setelah itu, quarterback kami—vampir lagi—datang dan menawarkan minum kepadanya, dan pastinya, ia tidak menolak. Mumi ber-headphone tadi tidak tampak lagi.
Musiknya semakin gelap. Masih rock-metal, dan masih berisi melodi tanpa screamo yang neko-neko, tetapi nuansanya jelas lebih gelap. Ini bukan lagi pesta ketemu-dengan-teman-dan-bercanda lagi. Pesta ini mulai berubah menjadi pesta Halloween.
Dari properti dan segalanya—makanan, minuman—aku bisa menduga pesta ini tidak sembarangan. Untuk level kota ini, sebenarnya pesta ini cukup mewah. Kue yang kumakan tadi tidak terasa murah. Minumannya juga—ada dua mangkuk besar anggur mahal, satu beralkohol dan satu sudah disterilkan. Aku bukan peminum dan minuman favoritku bukan anggur, tetapi aku berani taruhan anggur ini bukan anggur murah.
Belum lagi meja-mejanya. Dekorasinya. Sistem suaranya....
Kemudian tiba-tiba banyak Jack-o-Lantern mengayun dari atas dinding, ditemani tawa jahat dari stereo, mengejutkan semua orang.
Dan Jack-o-Lantern-nya. Pesta ini tidak murah.
Setengah sepuluh. Masih lama hingga giliranku dimulai....
//
Pesta itu berjalan terus dengan kabur. Aku melihat beberapa hal menarik sesekali (seperti succubus tadi mengedipkan mata lagi kepadaku), tetapi ya sudah—hanya seperti itu. Ketika aku kira semuanya tidak bisa lebih buruk lagi, Brody memanggilku.
"Mana Eileen—Eileen! Hei, EILEEN! Giliranmu, Manis. Maju."
"... jalan," gumamku. Brody mengabaikannya.
Dia menuntunku dan Eileen keluar. Eileen termasuk salah satu cewek populer sekolah kami dan ya, terkadang ia bisa jadi dangkal. Lihat linimasa Twitternya, misalnya—akan banyak kau temukan kutipan di situ. Aku pernah bertanya-tanya sendiri apakah semua kutipan itu didapatkan dari generator kata-kata acak, karena sejujurnya, berapa pun favorites dan retweets yang ia dapatkan, kata-kata itu kosong.
Ini contohnya: makna dunia di atas kematian kita. Maksudku, apa intinya? Tentu saja dunia di atas kematian kita. Duh. Alam semesta ini tiga belas koma tujuh milyar tahun lebih tua dari kita. Dunia tidak butuh kita. Kita butuh dunia.
Dan ia mendapatkan 21 retweets dan 15 favorites untuk itu. Masyarakat itu aneh.
Bukannya Eileen tidak menarik—rambutnya sempurna, dan ia tahu cara mengenakan dandanan yang memberi kesan seakan ia sedang tidak mengenakannya (kalau tidak salah itu teknik yang disebut 'natural'...? Bagaimana bisa itu disebut natural jika itu tidak natural? Cewek memang tidak masuk akal). Dan senyumnya adalah jenis senyum yang akan membuatmu menjadi sahabat dekatnya setelah mengobrol lima menit dengannya. Tetapi kalau aku boleh jujur, ia bukan tipe gadis yang akan membuatku tertarik.
Tapi hei—aku cuma anak kurang gaul yang bisa membuat siapa pun geleng-geleng putus asa, jadi kau pantas mempertanyakan seleraku.
Kami berkumpul. Yang lainnya sudah tiba—Cody sedang mengobrol dengan Mark dan Rhodes, sementara Zoey dan Cora masih tampak agak sebal. Sepertinya dari pertikaian kecil mereka dua setengah jam lalu, tetapi aku tidak yakin.
"Kita tunggu sampai Graham keluar dengan grup sebelumnya," kata Brody, suaranya bosan. Tetapi aku bisa melihat suatu kilatan di matanya. Dia mempersiapkan diri untuk sesuatu. "Lalu kita masuk."
Aku baru menyadari bahwa walaupun dia sudah melakukan ini beberapa waktu ini—melihat umurnya, mungkin dua atau tiga kali Halloween—dia masih merasa agak ketakutan untuk kembali ke Rumah Budak. Aku tidak bisa menyalahkannya—rumah itu memang menyeramkan.
Ingat cerita penyihir yang kuceritakan tentang kenapa tema sihir sangat terkenal di Calamity? Rumah ini adalah bukti yang mendukung cerita itu. Entah pemiliknya penyihir sungguhan atau bukan tidak diketahui, dan apa pun yang ia lakukan kepada para budaknya di ruang bawah tanahnya sebelum disegel juga tidak diketahui. Aku sudah dengar sedikit dari anak-anak lain yang sudah ke Rumah Budak—tidak ada yang berani mendekati pintu ruang bawah tanah. Kata mereka, dari sekian banyak hal di rumah itu, pintu itu adalah yang paling mengerikan.
Rumah itu adalah rumah kayu tripleks berjamur setinggi dua lantai. Rumah film horor klasik dengan jendela persegi di lantai atas dan atap berbentuk segitiga di salah satu sisinya. Jika kau melihat rumah ini, bahkan di terang hari, kau sudah pasti berpikir rumah ini dihantui ('Makasih, TV). Tidak ada lampu di dalam—listrik pun sepertinya tidak ada. Warga kota ini takut setengah mati pada rumah ini, jadi mudah bagiku membayangkan tidak ada tukang listrik yang berani mendekat. Dan kurangnya layanan listrik mungkin menjelaskin kenapa sangat, sangat sedikit lampu jalanan di sini yang bisa menyala.
Kami mendengar suara derit dari dalam Rumah, dan semuanya langsung menegang. Tiba-tiba tidak ada yang berani bersuara.
Dan seruntutan pekikan keras muncul, diikuti gebukan bertubi-tubi pada pintu.
Kami semua melompat mundur, tetapi Brody menyadari apa yang terjadi, langsung beraksi, dan mulai menarik pintu Rumah dari luar.
Ada bunyi krak yang sangat mengganggu saat pintu itu akhirnya mengayun terbuka, dan delapan orang berlarian keluar. Mereka semua berkeringat—tidak, tunggu. Mereka berkeringat dingin. Ekspresi di wajah mereka murni rasa takut—bahkan di wajah Graham. Padahal dia berpengalaman, seperti Brody. Oke, ada kepercayaan diri yang langsung membangun diri di wajahnya, tetapi tidak akan ada yang tidak setuju bahwa ekspresi sebelumnya tadi adalah teror.
"Oke, Brody," katanya terengah-engah. "Beres. Cuma hati-hati kalau mau naik—anak tangga kedelapan dari bawah patah di tengah."
Brody mengangguk gugup. "Oke, semuanya. Masuk."
Kami semua mati rasa, kehilangan cara bicara, dan lupa caranya bergerak—dan mendadak aku menyadari bahwa ini giliranku masuk Rumah Budak.
Ini giliranku masuk Rumah Budak.
Entah dari mana datangnya, aku merasa ingin menjerit. Tetapi aku menelannya lagi dan menyadari bahwa semua orang merasakan hal yang sama. Rumah itu tampak jahat, asli, dan aku berani bertaruh dia sedang menertawakan kami.
Aku melihat lagi ke sekelilingku, kali ini pada anak-anak dari giliran sebelumnya. Mereka tidak tampak sehat. Mereka semua gemetaran, keras. Beberapa anak meninggalkan pesta untuk menjemput mereka.
Dan itu meninggalkan Brody, aku, Cora, Zoey, Eileen, Cody, Mark, dan Rhodes sendiri di depan Rumah Budak.
Ini giliran kami.
Rumah itu tersenyum nakal. Mau berpesta?
Jadi, dengan tiadanya tempat lain untuk dituju, kami semua berjalan dengan hati-hati ke dalam Rumah Budak, dan begitu kegelapan menelan kami, Brody menutup pintu berderik itu rapat-rapat.
//
Tidak ada satu hal pun yang bisa kulihat.
Tetapi sangat banyak yang bisa kudengar.
Begitu Brody menutup pintu, tiba-tiba aku mengenali bunyi gumaman kecil dari depanku. Tidak, tidak langsung di depanku, itu bakal jadi sangat mengerikan. Gumaman itu datang dari jauh di depanku.
Ah, siapa yang kutipu? Itu tetap mengerikan.
Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Sesuatu mendekatiku.
Ada suara seorang gadis menahan tangis. Mungkin Eileen.
Semoga Eileen.
Seperti sebelumnya, Mark adalah yang pertama menyalakan senter.
Makan beberapa waktu bagi mataku untuk menyesuaikan diri dengan keremangan ruangan ini, tetapi kemudian aku mulai bisa mengenali benda-benda di sini. Lantai tripleks. Meja. Lemari. Banyak keramik rusak. Tatakan lilin yang muat untuk tiga batang.
"Apa ini ruang makan?" tanyaku pada Brody. Mark menyorotinya dengan senter.
"Mungkin," Brody memicingkan mata. "Tolong jangan menyoroti mataku."
Ada bunyi klik dan dengungan lembut, dan tiba-tiba tangan Brody bercahaya.
Bukan, dia membawa sesuatu. Lentera listrik.
Kami semua bernapas lega sementara Brody menaikkan intensitas cahayanya agar bisa menerangi seluruh ruangan, walaupun pencahayaannya tetap sangat remang.
Kami saling lihat ke satu sama lain. Aku benar—yang menangis tadi Eileen. Ekspresi Zoey dan Cora tampak sangat kaku. Cody terlihat gugup, sementara Mark jelas-jelas gemetaran. Aku tidak bisa bilang keadaan Rhodes lebih baik lagi.
Saat itulah aku baru sadar bahwa tanganku basah keringat dingin. Dan aku gemetaran juga.
"Oke," kata Brody dengan gugup. Aku bisa melihatnya berusaha mengendalikan diri. "Satu jam dari sekarang."
Rumah ini terasa lebih besar di dalam. Kau tidak akan menduga bahwa ruangan-ruangan di dalam sini terpisah dengan rapi oleh dinding-dindingnya yang tampak kuat, atau mengira bahwa tiap ruangannya bisa seluas ini. Oke, di beberapa ruangan, perabotannya memang sudah tidak ada (atau, seperti sebagian besar, sudah rusak), tetapi tetap saja, aku tidak menduga ruangannya akan terasa sangat lega.
"Mau duduk?" tawar Brody seraya bergerak ke meja makan. Kami semua memandanginya dengan ekspresi aneh. Dia mengangkat bahu. "Aku sudah melakukan ini selama tiga tahun. Meja makannya tidak kenapa-kenapa."
Kami menganggap itu jaminan bahwa tidak ada hantu gila yang akan tiba-tiba menyerang kami di meja makan, atau bahwa meja makannya tidak akan terbang dan berputar sendiri seperti di beberapa film yang pernah kutonton. Jadi kami berkumpul di sekeliling meja dan duduk. Brody meletakkan lenteranya di tengah meja.
Aku sempat memperhatikan kusen pintu yang memisahkan ruangan ini dengan ruangan lainnya. Kusen itu tidak ada pintunya, jadi kaubisa melihat langsung ke ruangan di seberangnya.
Tetapi, pastinya, tidak ada cahaya di sana. Cuma ada kegelapan. Aku merinding dan berhenti melihat ke arah situ.
"Jadi kita cuma ... menunggu selama sejam?" tanya Cody.
Brody mengangguk kelam. "Tapi kau tidak akan harus menunggu, jika itu yang kau takutkan. Bukannya aku mau menakuti kalian, tapi biasanya—"
Kriek.
Merasa tegang dari sejak sebelum masuk, kami semua menoleh nyaris bersamaan ke arah suara itu. Lentera Brody terlalu gelap untuk menyinari tempat itu.
Itu suara kayu berderit karena ada beban di atasnya.
Ada orang lain di sini.
Kreek.
Mark, yang duduk paling dekat dengan arah suara itu, langsung melompat dari kursinya dan berlari ke belakang Brody, yang paling jauh.
Suara itu datang dari tempat yang sama. Tripleksnya terasa rapuh. Rasanya seperti siapa pun itu yang membuat suara sedang melangkah mendekati kami.
Tidak satu orang pun berani bernapas.
Kreek.
Langkah itu berlanjut, dan kami semua melompat dan berkumpul di sekitar Brody menjadi sebuah massa daging manusia yang saling berpegagan. Brody sendiri sudah menyambar lenteranya dan berdiri bersama kami, matanya terbuka penuh ngeri.
Bukannya dia sudah mengalami ini sebelumnya?
Jantungku mencelus.
Bagaimana jika belum?
Duk.
Kami semua memekik kaget dan bergerak selangkah mundur. Langkah yang barusan tiba di atas tripleks yang sepertinya terletak di atas tanah padat, sehingga tidak berderit.
Suara itu semakin dekat.
Aku bahkan bisa merasakannya semakin dekat.
Duk.
Suara langkahnya terdengar semakin berat. Aku nyaris bisa mendengar Eileen menahan tangis, dan di sebelahku, Zoey seperti sedang mengalami gempa. Ekspresi Cora tidak jauh lebih baik, Mark mencengkeram lengan Brody, dan Cody dan Rhodes jelas tidak tampak se-macho seharusnya.
Dan aku bisa merasakan wajahku menjadi pucat.
Kami semua menunggu dalam diam. Detik-detik berlalu. Semenit berlalu.
Suara itu berhenti.
Kami masih menahan napas.
Dua menit berlalu. Tidak ada suara lagi.
Perlahan, walaupun kami masih gemetaran tak karuan, kami mulai mengendurkan cengkeraman kami ke satu sama lain. Wajah Mark putih, dan tangannya masih kaku di lengan Brody—apa dia katatonik? Aku harap tidak.
"Alden," Zoey berusaha berbisik kepadaku, walaupun bunyinya seperti cicit tikus ditendang. Semuanya menoleh kepadanya dengan kaget, tetapi begitu menyadari bahwa ia bukan ancaman, mereka lebih rileks.
Pertanda bagus?
"Hmm?" aku menoleh kepadanya. Ia juga pucat.
"Kamu dingin banget."
Aku ingin sekali tertawa, tetapi cuma bisa mengeluarkan suara yang terdengar seperti kodok canggung. "Sepertinya kamu mencengkeramku sangat kuat sampai darahku beku."
Zoey tersenyum. Gemetarannya berkurang sedikit.
Akhirnya kami mendapatkan kekuatan yang kami butuhkan untuk saling melepaskan diri. Kami masih berusaha mengatur napas, tetapi keadaan kami lumayan membaik.
Brody memberanikan diri untuk mendekati sumber suara tadi, hanya untuk jaga-jaga. Tapi karena kami tidak menginginkan kerugian—dan karena Brody yang punya sumber cahaya paling terang sejauh ini—dan untuk menghindari kesalahan yang sering dilakukan di film horor, kami semua mengikutinya.
Pelajaran pertama dari film horor: jika menemukan sesuatu yang aneh di tempat tertutup atau asing (atau dua-duanya), jangan pernah bergerak sendirian.
Seperti yang kami takutkan, kami tidak menemukan apa pun. Kami melihat ke sekeliling kami. Tidak ada apa pun yang bisa membuat bunyi derit dan debukan tadi.
Aku menghela napas. Ini tidak membantu.
"Sudah berapa lama, nih?" tanya Mark.
"Um," kata Brody sambil memeriksa jamnya. "Lima menit."
"Apa?" pekik Eileen. "Semua itu, dan—dan—lima menit?"
Waktu kupikirkan lagi, sebenarnya itu masuk akal. Kami belum melakukan apa-apa. Kami baru bertemu suara langkah misterius, itu saja.
Baiklah—berarti malam ini akan sangat panjang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro