The Snowy Bridge of Fate
Story © iC0ffeeU
.
Seorang perempuan bersurai putih kelam menatap keluar jendela. Sepasang manik biru bak kristalnya menyapu pandangan ke seluruh objek diluar sana- yang tertimbun oleh sesuatu yang berwarna putih. Dia pun seketika mengetahui bahwa hari ini turun salju.
Senyum terlukis di wajahnya yang cantik- namun juga terlihat tampan. Surai pendeknya ikut bergerak ketika sang empu juga menggerakkan tubuhnya untuk mencari kenyamanan didalam kotatsu. Seisi ruangan itu hanya terdapat dirinya saja, suara televisi yang menyiarkan acara natal tahunan, dan secangkir cokelat panas buatan seseorang yang menemukannya dulu.
Uap mengepul dari cangkir bergambar Tsukiusa Gravi itu. Kirin dengan hati-hati meraih cangkir dan meniupnya perlahan. Rasa hangat ia dapatkan ketika meminumnya.
'Aoi-san memang paling bisa membuat cokelat panas..' Kirin membatin dengan senyum riang terpatri di wajahnya. Kehangatan dalam kotatsu, cokelat panas buatan Aoi, dan televisi di malam Christmas Eve itu- memang terbaik!
Aura berbunga-bunga pun mengelilingi perempuan tersebut. Semuanya berjalan dengan menyenangkan sampai ada seseorang yang meneleponnya. Kirin menghela nafas, merasa sedikit terganggu memang. Namun, akhirnya telepon itu diangkat olehnya.
"Halo?"
"Ah, Kirin?"
Aoi di seberang sana yakin bahwa dia baru saja mendengar suara orang yang terjungkal. "K-Kirin, kamu baik-baik saja kan?"
Kirin mengusap kepalanya yang baru saja berciuman dengan lantai. Dengan handphone yang masih setia berada di tangan kirinya, dia merespon Aoi. "Aku tidak apa Aoi-san! anu- itu, Yamato tadi jatuh dari kursi!"
Sementara, kucing hitam yang dimaksud menatap tajam Kirin seolah-olah paham dengan perkataan si manusia yang baru saja melakukan dosa.
Aoi yang sedang berdiri didepan gedung penyiaran radio, tersenyum kala mendengar suara sang adik angkat.
Suara kekehan lolos keluar dari mulutnya ketika mendengar suara adiknya yang terdengar antusias itu. Tangannya yang ditutupi oleh sapu tangan pun menyentuh salju yang menepi di atasnya.
Meski adik angkat, Aoi sama sekali tidak memiliki perasaan romansa pada Kirin. Begitupula dengan Kirin. Hubungan mereka hanya sebatas kakak-adik yang harmonis.
Aoi menatap buliran salju yang turun dari langit. Musim salju membuat Aoi mengingat pertemuan pertama mereka pada 7 tahun yang lalu. Pikirannya menerawang, menggali kenangan pada masa itu. Kirin yang meringkuk lemah di pinggir jalan, saat badai salju melanda.
***
Hari itu, Aoi memaksakan diri untuk berjalan menerobos badai salju yang cukup besar. Dia meninggalkan barang pentingnya di gedung siaran televisi. Stasiun kereta berhenti mendadak dikarenakan badai salju. Sedangkan pihak siaran televisi tersebut tidak mampu untuk mengantarkan barang Aoi ke dorm karena hal yang sama. Semua anggota Gravi dan Procella sudah melarang Aoi untuk keluar di cuaca yang tidak bagus itu, namun Aoi bersikeras dan nekat.
"Ukh ..."
Langkah Aoi perlahan semakin melambat. Payung yang dia bawa pun terbang entah kemana. Yang hanya dia bisa andalkan saat itu hanyalah lima lapis pakaian untuk menerobos badai.
Dan disaat itulah, iris biru Aoi menangkap sosok Kirin kecil yang sedang meringkuk di pinggir jalan. Aoi yang terkejut segera menepi ke tempat anak tersebut berada.
"Dik! Mengapa berada disini ketika badai sal-"
Disaat Aoi menyentuh tubuhnya, anak itu tidak bergerak. Kaku dan dingin. Aura kehidupan hampir tidak terasa darinya.
Netra sky blue nya seketika terbelalak. Hipotermia, Aoi tahu itu. Berusaha untuk tidak panik, Aoi dengan sigap mengangkat tubuh Kirin kecil dan segera berlari ke klinik terdekat. Surai platina itu memeluk sang anak, berharap bahwa bocah itu merasa sedikit hangat ketika dia memeluknya.
***
"Aoi-san?"
Panggilan dari Kirin sukses membuat Aoi tersadar dari lamunannya akan masa lalu.
"Ya, Kirin?"
"Terima kasih, Aoi-san!"
Aoi sedikit terkejut dengan pernyataan yang tiba-tiba dari Kirin. Tidak biasa anak itu menuturkan kata yang mendadak seperti itu tanpa angin apapun.
Merasa dirinya mulai merasa paham, senyuman tipis tergambar dalam wajah sang pemilik surai platina tersebut. Sekali lagi, ia menatap langit malam yang ditaburi oleh butiran berwarna putih yang menghiasi malam Christmas Eve ini- sebelum menjawab perempuan yang berada di seberang sana.
"Ya."
***
"Bertahanlah! Aku akan membawamu ke klinik ... Kumohon bertahanlah sebentar lagi!"
Sang anak membuka matanya, menatap lurus kearah seorang lelaki remaja yang sedang membawanya entah kemana. Namun, dari sorot mata itu saja, sang bocah mengetahui bahwa lelaki yang membawanya adalah lelaki yang baik. Dia bahkan membalut dirinya dengan jaket hangat.
Senyum terpasang di bibir mungilnya yang kering dan pucat. "Terima kasih." yang ingin dia katakan, namun tidak tersampaikan. Karena, tidak ada suara yang lolos dari tenggorokannya pada hari itu.
***
Aoi mengaduk kopi yang baru saja diberikan pelayan dengan kedua netra yang terpaku pada orang di sampingnya. Suara dentingan antara sendok dan cangkir memenuhi suasana hening diantara mereka berdua. Sementara, orang di samping nya mengacak rambutnya. Tergambar jelas bahwa rasa resah sedang menguasai dirinya.
"Sore ini, Kirin mendapat surat cinta dari seorang gadis lagi?"
"Diamlah ... Aoi-san."
Aoi terkekeh dengan respon sang adik. Sementara Kirin mendengus kesal dan memalingkan wajahnya dari si pelaku. Manik biru kristal nya menatap surat dengan pena yang berada dibawah dagu nya. Tergambar dengan jelas dari mimik wajah sang gadis, bahwa dia sedang merasa bingung untuk menolak perasaan cinta dari sesama jenis. Yang Kirin sendiri sudah bisa memastikan bahwa gadis itu tidak mengetahui bahwa dirinya adalah perempuan.
"Jadi, bagaimana?" Aoi bertanya sambil mendekatkan dirinya pada Kirin, guna untuk melihat surat dengan pandangan yang lebih jelas. Helaan nafas lolos dari gadis itu. Dia tidak ingin menyakiti hati orang yang sudah memberikan hati untuknya. Namun, bukan penolakan cinta namanya jika tidak ada menyakiti!
Aoi tersenyum tipis kala menatap adiknya yang sedang kebingungan. Lelaki itu senang melihat adiknya memiliki hati yang tulus dan baik. Aoi menepuk pundak Kirin dan menganggukkan kepalanya. Lagipula, tidak mungkin kan Kirin berkencan dengan dia tetapi Kirin sama sekali tidak memiliki perasaan dengan gadis itu?
"Baiklah ... Semoga dia tidak memakiku seperti yang lalu."
"Jika dia benar menyukaimu, tidak akan ... Tenang saja." Aoi menenangkan sembari memberikan latte yang baru saja dipesannya. Sementara yang diberikan latte sedang sibuk menuliskan balasan dari surat yang diberikan kepadanya.
Aoi menghela nafas. Kemudian, dirinya menatap keluar jendela. Salju benar-benar memegang peranan penting dalam suasana pada malam itu. Pasangan, sepasang teman, maupun keluarga yang sedang berlalu-lalang disana juga membuat Aoi merasa senang. Tanpa sadar, senyum dipasang Aoi pada wajahnya.
Malam itu spesial, tapi lebih spesial lagi karena ditemani oleh adiknya tersayang. Sejak dulu, Aoi selalu berterima kasih kepada takdir yang mempertemukan mereka, dan salju yang telah menjadi sarana pertemuan mereka. Salju pada 7 tahun lalu, yang telah menjadi jembatan untuk pertemuan mereka.
End.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro