
Terpejam
Sorak-sorai para mahasiswa di ruangan kelas membuat sakit kepala juga memekakkan telinga. Pasalnya ketua kelas kami baru saja menerima informasi dari presiden mahasiswa bahwa sabtu ini akan diadakan acara halloween party di kampus tercinta bernama Institut Angkasa Muda. Aku tidak tahu bagian mana yang membuat mereka begitu bersemangat.
Bagiku tak ada yang menarik dari sebuah pertunjukan halloween, berdandan menyerupai makhluk gaib yang menyeramkan, bagaimana jika makhluk yang sebenarnya tidak suka jika ditiru, bagaimana jika saat berfoto bersama mereka ikut berbaris disela-sela kita. Aku rasa itu adalah pilihan yang sangat salah, terlebih untuk orang-orang yang memiliki kadar keberanian tipis seperti diriku. Sangat membuang waktu dan tenaga hanya untuk menakuti diri sendiri.
Namaku Cantika pratiwi seorang mahasiswa sastra bahasa Indonesia, berusia 21 tahun dan aku sudah berada semester 7 yang artinya tak lama lagi akan mendapatkan gelar baru.
"Semuanya! Mohon perhatian ada satu informasi lagi yang belum gue sampaikan. Setiap kelas wajib memberikan perwakilan yang akan diikut sertakan dalam lomba best costume halloween 2020." jelas Ikbal selaku ketua kelas.
Seketika semua mata menuju ke arahku, sudah aku pastikan mereka akan menunjukku. Seperti kejadian tahun lalu saat kampus mengadakan acara perlombaan memperingati ulang tahun Indonesia, aku bukan tipe mahasiswa aktif yang suka unjuk diri dalam sebuah acara atau organisasi, aku sangat menghindari hal itu. Tapi sialnya teman-temanku senang sekali menunjukku dalam berbagai kegiatan kampus. Alasannya, aku bisa, aku cocok, terlihat good looking untuk menarik perhatian dan lain sebagainya aku sudah muak mendengar alasan mereka.
"Kenapa lihat gue?" ketusku ke arah Ikbal.
"Santai kali Can, lu cantik-cantik galak bener," Ikbal menggelengkan kepala, mungkin terkejut dengan nada suaraku yang ketus.
"Perwakilan kelas kita Cacan aja, gimana?" Pria berkemeja hitam kotak-kotak menjeda ucapannya sejenak. "Urusan kostum jangan khawatir nyokap gue ada kenalan tempat buat sewa baju dan urusan make up gue yang bakalan tanggung jawab, gimana?" lanjut Jetry, salah satu teman kelasku yang sangat antusias dengan berbagai acara kampus.
"Cacan mau nggak?"
Aku diam melirik enggan ke arah Ikbal.
"Cantika Pratiwi, mau dong ya? Gue antar jemput ke acaranya. Terus gue jajanin ice cream di Indoapril. Mau ya?" rayu Ikbal sembari memainkan kedua alisnya
"Nggak ...!! Gue nggak mau cosplay jadi hantu. Mending lu aja deh Bal, atau yang lain deh, sorry gue skip." ucapku tersungut-sungut
"Yah, Cacan mau dong, please ... Kalau lu mau gue sudah dapat konsepnya. Cosplay Annabelle, lu bakalan cocok banget." sahut Jetry mendekat ke arahku
"Dakjal banget ya, lu, Je. Lu jadiin gue Annabelle. Pokoknya gue nggak mau, gue juga rencana nggak bakalan ikut nih acara." Kesalku sembari menatap tajam ke arah Ikbal.
"Can kalau kita nggak mengirimkan perwakilan, kita bakal kena denda satu juta." sahut Ikbal lagi
Aku menghela napas panjang. "Sinting banget yang bikin peraturan. Mana sih, presiden mahasiswa? Sini gue datengin." kesalku sudah di ujung tanduk.
"Yakin mau datengin presiden mahasiswa? Awas entar cinta lama belum kelar atau lu malu ya, cosplay Annabelle di depan mantan?"
"Diam deh lu, Bal. Berisik aja!" raut wajah penuh kemarahan jelas terlihat, aku tidak bisa, tidak suka membicarkan tentang mantan.
"Gimana Can? Mau ya, siapa lagi yang bisa diharapkan di kelas kita cuma lu doang. Pikirin aja dulu selama dua jam, terus kasih gue jawaban terbaik. Gue ke kantin dulu, bye ... Cacan," Ikbal melambaikan tangan ke arahku.
Sialan, yang benar saja aku cosplay jadi Annabelle. Menonton filmnya saja aku tidak pernah, aku menggelengkan kepala ini jangan sampai terjadi, aku tidak mau. Pokoknya aku tidak akan ikut acara halloween itu.
Aku melirik arloji di pergelangan tangan, pukul 12.30. Hari ini ada satu mata kuliah lagi pukul 14.00. Cuaca di luar sangat terik sekali membuatku enggan untuk keluar ruang kelas yang dibalut hawa sejuk air conditioner.
"Ikbal, gue ngantuk mau tidur. Kalau dosen sudah datang bangunin gue ya," ucapku pada Ikbal. Pria itu sudah kembali dari kantin membawa dua minuman untukku, aku curiga ini salah satu bentuk kejahatan dari Ikbal agar aku mau menjadi Annbelle. Buktinya pria itu memberikan dua botol minuman, tidak seperti biasanya.
"Gue bangunin, tapi lu jadi Annabelle ya?"
Benar dugaanku, Ikbal ada maunya. Aku berdecak mendengar jawabannya dan memilih menidurkan kepala di atas meja. Belum lama aku terpejam bahuku terasa disentuh seseorang kemudian terasa tepukan ringan, aku yang sensitif terhadap sentuhan langsung bangun dan betapa terkejutnya aku melihat sosok yang membangunkanku.
"Apaan sih Bal, pegang-pegang. Gue nggak suka disentuh." cerocosku
Ikbal terdiam di tempat, pandangannya lurus ke depan, aku mengikuti arah pandang Ikbal. Astaga, sudah berapa lama aku tertidur dan melewatkan mata kuliah pak Hendri. Ada Pak Hendri di depanku, sial Ikbal tidak membangunkanku. Ini pasti sengaja.
Langit gelap, angin mengembus kencang menambah dingin suhu ruangan yang aku pijak bersama Ikbal.
"Kok lu nggak bangunin gue sih, Bal, apa kata Pak Hendri selama pelajaran dia lihat gue tidur? Pasti etika gue minus Bal, lu sengaja ya ngerjain gue kaya gini? Cuma gara-gara gue enggak mau cosplay doang lu segininya, Bal. Ngeselin banget sih lu, Bal." sepanjang aku berbicara tak terdengar sedikitpun suara Ikbal menyela pembicaraanku, membuatku merasa aneh.
Aku alihkan pandanganku ke arah Ikbal yang berdiri tepat di sampingku, bibirnya pucat, keringat sebesar butiran jagung terus mengucur di pelipisnya.
"Bal, lu kenapa? Lu sakit? Ikbal jawab gue. Jangan bikin gue takut, Bal." aku mengguncang tubuh besar Ikbal.
"Pulang, dia marah." ucap Ikbal sambil mencengkeram erat pergelangan tanganku kemudian mengajakku berlari ke arah luar kelas.
"Sebentar, Bal, tas gue masih di dalam. Tunggu sebentar gue ambil."
Aku berbalik masuk ke dalam kelas, terdengar teriakan Ikbal memanggilku, namun aku abaikan. Saat aku kembali keluar, aku tak menemukan sosok Ikbal hanya lorong gedung B yang terlihat sepi.
Di ujung lorong gedung B terlihat, sosok Pak Ghofur- tukang bersih-bersih di kampusku sedang menyapu lorong ini. Aku melirik arloji, sudah pukul 21:00 malam kenapa Pak Ghofur belum pulang?
"Pak Ghofur, kok masih di kampus? Bapak lihat Ikbal enggak?"
"Nggak." jawabnya ketus.
Aneh. Pak Ghofur biasanya sangat antusias ketika berjumpa para mahasiswa dan tidak pernah ketus. Aku berlalu meninggalkan Pak Ghofur. Sepuluh langkah aku meninggalkan pak Ghofur aku menoleh kembali ke arah beliau, namun nihil tak ada siapapun di sana hanya ada tong sampah dan sebuah sapu yang tadi di pegang pak Ghofur.
Aku mempercepat langkah, bola mataku memandang ke arah Gedung A terdengar riuh suara mahasiswa, apakah malam ini ada acara? Hatiku bertanya-tanya, membutuhkam jawaban secepatnya. Jika benar ada acara, acara apa sementara aku tidak mendapatkan pemberitahuan apa-apa.
"Cacan ..."
Aku mengangkat kepala ke arah lantai dua gedung A kampus Institut Angkasa Muda, Jetry di atas sana berdiri melambai ke arahku. Apa hari ini acara hallowen? Aku membuka ponsel melihat hari apa sekarang. Ternyata hari Rabu, bukannya hallowen hari sabtu? Aneh, acara apa di gedung A bahkan aku kembali melihat ke arah Jetry. Namun nihil, tak ada lagi riuh di atas. Seketika aku merasa ada yang tidak beres. Aku berjalan ke arah parkiran motor untuk segera pulang saja, hari ini aku memilih membawa sepeda motor agar tidak terjebak macet.
Gelap, sepanjang jalan yang ku lalui tak ada satupun cahaya, aku melihat sisi kanan dan kiri juga tak ada rumah warga. Di mana aku sebenarnya? Padahal tadi pagi jalanan ini juga yang sudah ku lewati. Jantungku mulai berdetak tak beraturan, aku cemas dan takut hingga tanpa sadar aku menambah kecepatan motorku.
"ASTAGA ...!!!" teriakku pada sosok anak kecil berbaju kaos putih biru. Aku berhenti melajukan sepeda motor, napasku tercekat- aku nyaris menabrak seseorang.
Baru saja aku ingin mengumpat, namun saat melihat ke arah anak kecil yang berlari ke seberang jalan dan hilang di antara pepohonan pisang yang rimbun, aku hanya bisa menelan ludah.
"Maaf, Cacan hanya numpang lewat. Maaf nggak sengaja, permisi." ucapku menahan tangis kemudian menghidupkan mesin sepeda motor, menekan tombol klakson dan pergi dari lokasi.
Sepanjang perjalanan aku bergumam menyebut nama mama, memaki Ikbal yang tega meninggalkanku. Sementara tubuhku mulai menggigil dan meneteskan air mata.
***
Ikbal Bramasta, usianya tak jauh beda denganku. Kami satu jurusan sastra Indonesia dan Ikbal menjabat sebagai ketua di kelasku sekaligus tetanggaku, kita sudah berteman sejak kecil. Walaupun kita tidak pernah akur tapi kita saling menghargai sebagai teman. Biasanya jika malam seperti ini aku akan pulang bersama Ikbal, melihat situasi seperti ini aku menjadi tidak mengerti. Apa aku sedang terkena prank? Astaga ini bukan bahan yang lucu untuk di jadikan konten sebuah prank.
Sesampainya di rumah, tak ada satupun orang yang menjawab panggilanku. Aku ketuk pintu kamar mama dan ayah, namun nihil. Ku lihat kamar kakak laki-lakiku, sepertinya ia masuk kerja shift malam. Aku berjalan menuju kamar namun saat melintasi televisi, ada sosok kecil di belakangku.
Aku berhenti melirik ke arah televisi yang mati tersebut, mirip sekali sosok kecil yang tadi hampir membuatku kecelakaan. Aku diam, ingin berteriak namun tak bisa, suaraku seperti tersangkut di tenggorokan. Aku putuskan untuk diam dan mengabaikannya.
"Cantika Pratiwi ... Bangun, kamu kuliah nggak? Mama sama ayah mau berangkat kerja, kakakmu pulang siang. "
Suara gedoran pintu semakin terdengar jelas di runguku. Padahal aku baru saja membuka mata, sial, semalam aku tidak bisa tidur setelah bertemu sosok anak kecil.
"Cacan masuk kuliah siang, Ma." jawabku masih mengatur napas yang sempat tersendat, bayangan anak kecil masih terngiang jelas di kepala.
"Ya sudah, Mama berangkat. Tolong sapu rumah ya!"
"Iyaa, Ma. Cacan bawa mobil ya,"
"Iya, hati-hati Can," balas mama
Aku membuka mata perlahan untuk menyesuaikan penglihatan dengan sinar matahari yang terpancar melalui celah jendela kamar. Aku melihat sosok kecil tersebut duduk memeluk kakinya di samping gorden. Aku perhatikan dalam-dalam, ia menatap ke arahku tapi aku segera mengalihkan pandangan. Aku membuka mata kembali, sosoknya telah hilang dari penglihatanku.
Bulu kudukku mulai berdiri, aku segera menggerakkan tubuh untuk menghilangkannya. Nyaris pingsan, aku terdiam kembali ketika aku berbalik sosok itu masih ada, di tempat yang sama. Semakin resah, apa salahku. Aku kembali keranjang mengambil ponsel untuk menghubungi Ikbal, aku tidak akan sanggup sendirian seperti ini. Namun nomor Ikbal tidak dapat dihubungi. Aku mendial nomor kakakku.
"Kak Zac, pulang jam berapa?"
"Gue enggak jadi balik, Dek, ini ada teman yang sakit jadi gue double, besok off sekalian."
Tak ada pilihan lain, mau tak mau aku harus menghadapi ini. Aku bergegas keluar kamar dan menjalankan pesan Mama untuk menyapu rumah. Selama aku menyapu setiap sudut rumah ini sosok tersebut dengan asik dan riangnya bermain ke sana ke mari, tertawa bahagia seolah-olah ia sedang berada di taman bermain bersama rekan-rekannya.
Aku mempercepat pekerjaan yang sedang ku lakukan. Saat aku di ujung pintu rumah aku rasanya ingin menyerah saja, aku menangis apa yang sebenarnya sudah aku lakukan hingga aku merasa hidup tidak tenang seperti ini.
"kamu siapa sebenarnya kenapa terus ada, bisakah berhenti? Gue sangat takut, tolong ..." ucapku sembari memejamkan mata. Air mataku rasanya tak bisa terlalu lama ditahan, detik kemudian aku menangis.
Kini sosok kecil tersebut berdiri di hadapanku, menggelengkan kemudian menganggukkan kepalanya. Aku memberikan tatapan memohon pada sosok tersebut. Aku melihat matanya sama berkaca-kacanya seperti mataku, kemudian ia berjalan mundur tepat ketika punggungnya beradu dengan pagar besi rumahku, ia berbalik kemudian menghilang. Aku menghembuskan napas lega.
***
Mata kuliah siang ini telah selesai, aku memilih ke toilet terlebih dahulu. Sosok Ikbal tak terlihat, kemana anak itu, apa dia lupa bahwa hari ini ada perkuliahan. Sekembalinya aku ke kelas, aku terkejut melihat tasku yang terisi penuh bahkan reseletingnya telah rusak karena dipaksakan untuk menutup sementara isinya telah melebihi kapasitas. Aku mendekat, betapa terkejutmya aku melihat isinya, boneka annabelle dengan ukuran mini begitu banyak. Aku menjerit, namun tak ada yang memperhatikanku, aku gemetar bahkan membuang tas itu sembarangan dan sialnya tak ada yang menolongku.
Aku berlari keluar, sepanjang koridor ada mahasiswa yang berjejer melihat ke arahku dan melempariku dengan boneka annabelle berukuran mini tersebut. Aku berteriak memanggil Ikbal namun tak juga muncul di hadapanku. Aku ketakutan bahkan air mataku mengucur deras. Aku mencari ponsel, namun sialnya ponselku berada di dalam tas tadi. Aku duduk di pos satpam gerbang kampus, pak Anjas selaku pak satpam disini sedari tadi hanya diam lalu menatapku dengan tatapan kosong. Biasanya beliau akan banyak bercerita jika ada mahasiswa yang berkunjung ke posnya.
"Pak, boleh pinjam ponselnya?" tanyaku pelan.
Di luar dugaan Pak Anjas memberikan sebuah boneka Annabelle mini padaku. Aku menjerit ketakutan, namun pak Anjas semakin mendekatkan boneka tersebut padaku, aku semakin berteriak sembari memanggil nama Ikbal dan mengumpatinya dengan kuat hingga tak lagi bisa mengeluarkan suara.
"Ikbal... Tolong gue, Bal di mana ..."
"Ikbal sialan, demi tuhan gue nggak mau jadi annabelle. Ikbal, tolong ... Gue mau jadi perwakilan kelas tapi gue enggak mau cosplay jadi hantu." tangis semakin jadi. Menepis tangan yang baru saja menyentuh bahuku.
"Can ... Cantikaa ... "
"Cantika Pratiwi!!"
Aku merasakan seseorang menangkup wajahku, dengan perlahan aku melihat sosok dihadapanku. Pria itu Ikbal, aku langsung menjatuhkan diri ke pelukannya.
"Gue takut jangan tinggalin gue, Bal. Gue nggak mau diikutin anak kecil, gue enggak mau dilemparin boneka sama anak kampus, gue enggak mau juga ketemu Pak Anjas. Dan enggak mau cosplay jadi Annabelle." isaku
"Astaga, lu kenapa sih? Baru juga tidur 30 menit udah kaya tidur 8 jam. Mimpi apa sih lu, Can?"
Aku terdiam mendengarkan pertanyaan Ikbal. Aku lihat sekelilingku, semua tercengang melihat drama yang baru saja aku ciptakan, aku melihat pakaian yang aku kenakan masih sama sebelum aku terlelap, aku melihat ke arah tas di atas meja tidak ada boneka menakutkan dan semacamnya.
Astaga, aku mimpi siang bolong dalam waktu 30 menit. Aku melihat ke arah Ikbal, dengan tatapan memohon. "Gue mau jadi perwakilan tapi jangan cosplay jadi Annabelle, gue mohon, Bal. Lu pernah bilang kan gue cantik, masa gue cantik gini cosplay jadi Annabelle, Bal. Lu tega ngilangin kecantikan gue?" tatapan memohon aku keluarkan.
"Iya kita ganti, lu cosplay Harley Quinn gue cosplay jokernya, enggak pake koma!"
"Terus kita couple?" tanyaku heran.
Sementara Ikbal tersenyum penuh kemenangan.
"Ikbal sialan, gue enggak mau couple sama lu."
"Kalau enggak mau, lu terima cosplay annabelle pilih mana?" Ikbal memainkan kedua alisnya di depanku.
Hari sial untukku, tak hanya Ikbal yang memaksa tapi Jetry menyetujui kami menjadi pasangan untuk acara halloween. "Oke deh," jawabku pasrah
"Lu enggak bakal punya pilihan lain kalau sama gue, Can. Siapin aja diri lu siapa tahu kita beneran jadi couple."
"IKBALLLL..." teriakku kesal.
Ikbal berlalu sambil tertawa senang, sementara aku hanya bisa pasrah menerima nasib, nggak ada salahnya sehari menjadi Harley Quinn, she's not bad, right.
"Eh, tapi Can ... Setan mana ada siang-siang." ucap Ikbal dari ujung sana.
Aku terdiam. Aku baru saja bercerita lima menit yang lalu tentang mimpiku pada Ikbal, ucapan Ikbal benar kalau setan tidak mungkin datang pagi, siang hari. Bodoh sekali aku ini.
***
Dandan dengan model terbaru membuatku takut melihat wajah, cara berpakaianku malam ini kalau saja bukan karena paksaan Ikbal dan teman-teman yang lain sudah aku pastikan tidak akan pernah terjadi. Jika yang asli celana Harley Quinn sangat seksi, aku memilih memakai celana pendek saja tapi jangan terlalu seksi karena aku tidak mau.
"Hadeh ... Malas banget pakai ginian," Gerutuku di sepanjang perjalanan menuju kampus Institut Angkasa Muda.
Ikbal tertawa. "Berisik. Gini aja lu cantik, Can."
"Bisa-bisanya Anda memuji disaat saya berpakaian seperti ini," aku cemburut di depan Ikbal.
"Serius Can, cantik banget."
"Sinting." gerutuku
Ikbal mengusap puncak kepalaku, kami dalam perjalanan menuju kampus. Aku ditemani Ikbal karena malam ini aku berpasangan dengannya, teman kami yang lain sudah ada di kampus lebih dulu.
"Ini biar apa sih, Bal?"
"Gimana maksudnya, Can?"
"Kenapa harus ada pesta halloween?" tanyaku penasaran
"Biar ramai, baru tahun ini aja kampus kita mengadakan party. Lu harus tahu Can, Di Belgia, merayakan halloween sebuah keharusan. Mereka menyalakan lilin malam hari untuk mengenang kerabat yang sudah meninggal." jelas Ikbal
Aku bergedik ngeri. "Orang meninggal harusnya didoain, bukan terus dikenang terus bikin party ginian." sahutku
"Ssstt ... Jangan ngomong gitu, kita beda budaya dengan mereka."
Aku tahu tapi tetap saja pesta seperti ini menurutku tidak penting, aku pernah membaca sebuah artikel kurang lebih isinya seperti ini setiap tanggal 31 Oktober, dunia merayakan halloween. Sebuah festival yang berasal dari bangsa Celtic, nenek moyang bangsa Eropa. Karena Bangsa Eropa suka berkelana, budaya ini ikut menyebar sampai ke benua-benua lain seperti Amerika dan Australia. Festival halloween dirayakan dengan menggunakan kostum-kostum seram. Anak-anak berkeliling ke rumah-rumah tetangga sambil mengucapkan "Trick or treat". Yes, kalimat itu berarti, "Beri kami coklat atau kami jahili". Saat ini, anak-anak dibebaskan untuk menjahili rumah orang-orang yang dianggap pelit. Biasanya mereka menghiasi pohon "Si pelit" dengan tisu toilet. Hahaha ... Bukan seram yang aku dapatkan, melainkan kelucuan anak-anak.
Tapi kalimat Trick or Treat awalnya digunakan sebagai mantra yang dipercaya dapat menenangkan roh jahat. Kemudian mulai digunakan anak-anak saat mencari permen. Dulunya, hanya anak-anak yang kurang mampu yang menggunakan kalimat trick or treat untuk mendapatkan makanan. Tapi sekarang, trick or treat adalah budaya untuk semua orang. Semua bisa berubah mengikuti perkembangan zaman.
"Sudah sampai Can, ayo, turun."
Suara Ikbal menyadarkanku dari lamunan, aku segera mengangguk lalu turun dari mobil Ikbal. Malam ini kami diantar oleh supir pribadi Ikbal.
"Hai, Can ...,"
Pria bertubuh tegap memakai kostum zombie lengkap dengan make up, aku sedikit takut memandang wajahnya. "Hai," jawabku singkat.
"Nih, semangat ya," memberikan satu botol air putih lalu mengusap puncak kepalaku, berlalu pergi begitu saja seperti biasanya.
Aku menghembuskan napas, lalu melangkah memasuki area pesta halloween.
Malam semakin larut acara sudah dimulai sejam yang lalu, aku pikir sudah memakai kostum hantu akan ada acara uji nyali ternyata tidak. Kami bersenang-senang malam ini. Bermain games tebak film horor, bermain ABC lima dasar sambil menyebutkan nama-nama hantu. Ada-ada saja, entah siapa yang memiliki ide ini. Terakhir pembacaan pemenang best costum yang ternyata dimenangkan oleh kelas lain. Aku tidak kecewa karena aku sudah menebak pasti akan kalah. Aku si penakut malam ini diharuskan berdiri di sini bersama kostum hantu, aku sudah panas dingin bahkan tanganku berair.
"Cacan baik-baik aja?"
Aku menoleh. Margana Mahendra- presiden kampus kami sekaligus mantan kekasihku. "Nggak. Mau pulang,"
"I know. Kamu tidak menikmati pesta ini, saya senang lihat kamu lagi."
Aku mengalihkan pandangan, sial, disaat seperti ini jantungku berpacu lebih cepat. Pria itu terlihat sibuk bahkan tidak berpapasan lagi setelah memberikan satu botol air putih.
"Cacan masih takut hantu?"
"Nggak takut. Permisi mau pulang dulu," aku menjauhi Margana tapi tanganku ditahan olehnya.
"Can, masih marah, mau mendengarkan penjelasanku?"
Nggak. Aku ingin sekali menjawab ini, aku benci dengan Margana. Benci karena pria itu pernah melukai hatiku, Margana pernah meninggalkanku tanpa alasan, membiarkanku sendiri bersama spekulasi negatif yang aku ciptakan semakin kuat.
"Maaf Ga, aku harus pulang sama Ikbal."
"Iqbal terus ya, aku cemburu."
Aku mengabaikan, aku tak peduli tentang cemburunya.
"Hati-hati Cacan ..."
"Thank." Balasku cuek
Malam semakin larut cuaca di luar terasa dingin untung besok adalah hari libur itu artinya aku bisa bangun siang, bisa tidur sepuasnya untuk melepaskan lelah.
"Cie habis reunian sama mantan."
Ikbal meledekku.
"Nggak, biasa aja."
"Biasa aja kok mukanya gagal move on banget sih?"
"Bal, lu seneng nggak kalau pasangan lu disukai banyak orang? lu terganggu enggak" tanyaku pada ikbal
"Selagi dia bisa jaga hatinya, gue nggak perlu khawatir lah. Kita sudah dewasa, memiliki hubungan juga harus dewasa."
aku terdiam, mendengarkan jawaban ikbal, benar sekali tapi aku adalah seseorang yang tidak suka berbagi, jadi hal tersebut sangat menggangguku. Margana yang notabennya seorang presiden mahasiswa dengan paras yang tampan banyak mengundang ketertarikan kaum hawa di kampus kami. bahkan secara terang-terangan para wanita tersebut mengungkapkan ketertarikannya dengan Margana.
Dua Tahun yang lalu pada saat kita masih berada semester 5 aku marah besar, pada saat orientasi mahasiswa baru di kampusku. Margana selaku presiden mahasiswa memberikan sambutan dengan seragam organisasinya. seluruh mata terfokus padanya, bahkan banyak tatapan para mahasiswa baru yang memujanya, aku panas ingin rasanya menegaskan bahwa yang berdiri di depan mereka semua adalah milikku.
hari itu aku tumpahkan semua apa yang ku tahan selama ini dihadapan Margana, ia diam mendengarkanku yang terus menumpahkan emosi. aku semakin kesal saat ia justru mengeluarkan pertanyaan.
"Gue salah ya bal? gue enggak suka kalau pasangan gue di uber-uber banyak orang."
"Can, gue udah tahu apa yang terjadi antara lu dan Margana. Normal kali lu risih, enggak nyaman atau ngerasa harus bersaing sementara udah jelas Margana milik lu begitupun sebaliknya. Tapi coba deh bcara baik-baik sama Margana, dengerin apa yang dia bilang, gue yakin ada solusinya untuk hubungan kalian. lu masih cinta kan sama dia?"
Aku mengangguk pelan. Rasa cinta tidak bisa pudar begitu saja setelah apa yang kita lalui, bahkan beberapa jam yang lalu sosok itu masih memperhatikanku.
"Jangan Nangis lu, gue nggak mau ya ada adegan peluk-pelukan taruhannya badan gue."
"Hah? Maksudnya?" tanyaku heran namun Ikbal justru menyuruhku untuk membalikkan badan dan melihat ke arah luar melalui kaca mobil sisi kiri.
Alangkah terkejutnya aku melihat sosok tampan dengan jaket boomber hitam favoritnya, sejak kapan dia ada di sini, dia adalah Margana Mahendra.
"Sudah sana turun, mumpung belum terlalu malem. Gue cabut, good luck Cantika."
Bahuku didorong oleh Ikbal, pria itu mengusirku. Aku berjalan menghampiri Margana, menuntunnya masuk ke dalam rumahku dan duduk di teras. Sudah cukup malam namun lima sampai sepuluh menit untuk sekadar berbicara, masih bisa aku lakukan.
Ia melepas bombernya, meletakkannya ke bagian pahaku yang terbalut hot pants begitu pendek tanpa menyentuh sedikitpun. Aku menahan napas, berusaha mengontrol diri agar tidak terbuai suasana. "Kita sudahi pertengkaran ini, yuk,"
"Aku merasa kita nggak marahan, kita sudah selesai kan?"
"Siapa yang bilang selesai? Aku nggak pernah bilang kita selesai aku hanya memberi jarak bukan melepaskan kamu. Tapi kamu malah menganggap kita selesai, kamu sudah nggak cinta aku?"
Aku menatap wajahnya, terlihat jelas guratan lelah di sana, aku tahu akhir-akhir ini ia banyak menjalankan kegiatan kampus yang menguras tenaga salah satunya hallowen party ini.
"Maaf..."
"Maaf aku terlalu berpikir negatif tentang hubungan kita."
Margana meraih bahuku dan mendekap tubuhku. "Aku cinta kamu, mereka hanya teman biasa Cantika. Bahkan sampai saat ini seluruh hidupku hanya tentang kamu."
Aku mengeratkan pelukan kami, jujur aku sangat merindukan ini sejak aku memutuskan untuk menghindarinya.
"Baikan yaa, sudah dua tahun loh. Kamu nggak takut takut kalau aku berpaling?"
Aku menepuk punggungnya
"Lepas...!! Enggak usah peluk-peluk kalau mau berpaling."
"Bercanda sayang, kamu jangan peluk Ikbal. Aku enggak suka!"
"Kamu tahu dari mana aku meluk Ikbal? Terus kenapa kamu nonjok Ikbal?"
Iya, Ikbal baru saja menceritakan kalau dia baru saja ditonjok oleh Margana.
"Intel aku banyak selama ini, salah satunya Ikbal, tapi karena sekarang Ikbal sudah terbongkar dia aku pecat. Soalnya dia berani meluk kamu, aku nggak terima."
Jelasnya panjang lebar, sementara aku tertawa mendengar penjelasannya baru kali ini seorang Margana Mahendra memperlihatkan kecemburuan secara terang di depanku.
"Baikan yaa?"
Aku menoleh kearahnya, menganggukkan kepala dan tersenyum.
"Janji jaga hati?"
Aku mengajukan promise kelingking, dan disambut oleh Margana.
"Janji untuk Cantika Pratiwi. "
"Aku pulang ya, Bang Zac ngintip dari jendela. Tadi aku WhatsApp Bang Zac minta izin dikasih waktu cuma lima belas menit, sisa lima menit lagi" jelasnya sembari menatap arloji
Memang Margana dan Kak Zac sudah saling menengenal sejak mereka satu tim futsal.
"Yaudah, Hati-hati.. Kabarin kalau sudah sampai."
"Iya sayang," jawbnya kemudian mengecup keningku dan berlalu menuju mobilnya yang terparkir di depan gerbang rumahku.
Setelah kepulangan Margana aku masuk kedalam rumah, dikejutkan dengan tatapan kak Zac yang sangat aneh
"Kenapa sih?"
"Besok gue minta Bayaran, si Gana udah ngebangunin gue jadi satpam kalian berdua. Dasar nggak sopan." kesal Bang Zac
"Dih sekali doang Kak, sudah minta Bayaran." Aku menepuk bahu bang Zac sebelum masuk ke dalam rumah.
"Gue aduin Mama besok pagi, gue bilang lu pacaran di depan rumah sampai jam dua pagi."
"Dan mama enggak akan percaya, lu kalau boong tuh yang make sense lah." sahutku menjulurkan lidah kemudian meninggalkannya menuju kamar.
Leganya, setelah dua tahun aku merasa gelisah tentang perasaan ini. Pada akhirnya berujung jelas. Margana Mahendra, so sorry for being childish but i love you, tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Aku tak menyangka pesta halloween berhasil membuat hubungan kembali setelah Margana melihat aku sibuk, selalu berduaan dengan Ikbal bahkan menjadi pasangan untuk acara ini.
Margana Mahendra pria berusia 21 tahun, mahasiswa teknik kimia dan seorang presiden BEM di kampus kami yang sebentar lagi lengser berhasil membuatku jatuh cinta karena Margana salah satu pria memiliki prinsip dalam hidupnya.
Untung ada party halloween jadi kita bisa balikan, coba nggak ada. Haha, hati-hati di jalan. I love you Gana!
Aku mengirimkan pesan untuk kekasihku, ya, sekarang dia resmi menjadi kekasihku. Aku terkejut ketika Margana membalas pesanku secepat kilat.
Haha iya, aku bersyukur. Terima kasih sudah menerimaku kembali, aku mencintaimu dan itu tidak berubah sampai kapan pun.
Membaca pesan dari Margana membuatku ingin membanting ponsel, berlari ke arah kamar lalu berteriak sepuasnya. Aku baper!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro