
Tentang Bulan dan Bintang
Bintang Bumantara atau yang biasa di panggil Tara menatap pantulan dirinya di cermin, malam ini ia mengenakan kostum deadpool tanpa topeng untuk menghadiri pesta Halloween yang diadakan salah satu temannya di sebuah bar.
Sejak ibundanya meninggal di malam Halloween, Tara berubah drastis. Untuk menghilangkan dukanya karena kepergian sang bunda, Tara selalu menghabiskan malam Halloween dengan berpesta sampai pagi hingga tidak sadarkan diri.
Ketika memasuki bar, suara riuh terdengar dengan sangat jelas. Tara terbiasa dengan hal ini. Hidupnya kini sudah tidak memiliki tujuan yang jelas karena ia seorang diri. Jangan tanyakan kemana perginya sang ayah, karena Tara pun tidak tau. Ia tidak pernah melihat sosok Ayahnya sejak kecil.
"Deadpool, huh?" sapa Emma ketika Tara duduk di sampingnya. Gadis yang mengenakan kostum Harley Quinn tersebut sudah bergelayut manja di lengan Tara.
"Looks good, right?" satu-satunya hal yang bisa Tara banggakan dari kehidupannya yang malang ini hanya wajah tampannya.
Semakin malam, suasana di bar semakin meriah. Orang-orang menggunakan kostum beraneka ragam. Mulai dari yang menyeramkan hingga mengumbar keseksian. Sebenarnya Tara tidak mengerti apa korelasinya malam Halloween dengan kostum-kostum seksi tersebut. Yang ia tahu, pada malam ini konon gerbang antara dunia manusia dan dunia ghaib terbuka. Hingga penghuni dunia ghaib bisa berlalu lalang di bumi. Tapi, bukankah hal tersebut terdengar konyol? Ini sudah tahun milenial, siapa yang akan mempercayai omong kosong seperti itu?
"Main games, yuk!" ujar Kevin, teman Tara yang mengadakan pesta ini.
"Games apaan?" tanya Reza.
Kevin tersenyum lebar. "The help."
Dari enam orang yang duduk mengitari meja, hanya Tara yang terlihat tidak tertarik.
"Cara mainnya?" Emma terdengar sangat penasaran.
Kevin menegapkan tubuhnya. "Jadi gini,nanti kita ke kamar mandi dan lampunya di matiin. Terus di depan cermin kita ngomong 'gue mau lihat wajah pasangan hidup gue'. Dalam waktu sepuluh menit kalau ada yang ngelihat sesuatu dia pemenangnya."
Tara pernah mendengar tentang permainan tersebut sebelumnya. "Bukannya itu games buat cewek, ya?"
"Emang. Tapi, kan, kita modifikasi. Gimana, ikut, gak?" tanya Kevin. Lelaki itu nampaknya sangat bersemangat untuk memainkan permainan ini bersama teman-temannya.
"Hadiahnya apa?" tanya Tara.
"Sepuluh juta."
"Kurang," tantang Tara.
Kevin mendengkus. "Tiga puluh juta."
Tara langsung menyunggingkan seringainya. Persetanlah dengan rasa takut dan makhluk-makhluk yang katanya mengerikan itu. Tara hanya butuh uang untuk melanjutkan hidupnya.
"I'm in." ucap Tara.
***
Sudah ada tiga teman Tara yang masuk ke kamar mandi tapi, keluar dengan wajah masam karena tidak melihat apapun. Kini giliran Tara, jika tidak melihat apapun ia akan berbohong agar tetap memenangkan permainan ini. Biarlah disebut licik, toh tidak ada orang yang benar-benar baik, kan, di dunia ini?
"Kita lihat jagoan kita. Siapa tahu yang muncul wajah Mbak Kunti," kata Kevin dengan nada meledek. Tara terkekeh, "Maksud lo jodoh gue makhluk dunia ghaib, gitu?"
Kevin mengedikkan bahu. "Who knows? Silakan masuk, Tuan."
"Gak masalah kalau cantik, mah. Buat hilangin rasa bosen aja, ya, gak?" kata Tara iseng.
Tara memasuki kamar mandi yang gelap gulita itu dengan yakin. Ia berdiri di depan cermin sambil menyalakan rokoknya. Tara tidak melihat apapun, bahkan ia sudah menghabiskan dua puntung rokok selama menunggu.
Tetapi, sebuah cahaya yang menyilaukan mata membuat tubuh Tara beku. Ia sudah yakin pasti akan ada penampakan atau hal menyeramkan lainnya yang muncul pada cermin. Tapi, ketika ia memperhatikan dengan sungguh-sungguh, matanya malah membelalak kaget.
Yang Tara lihat bukanlah penampakan menyeramkan, tetapi sebuah pantulan gadis yang luar biasa cantik. Bagaimana bisa di ruangan yang gelap ini pantulan gadis itu menjadi satu-satunya sumber cahaya?
Selama sepuluh detik, Tara hanya menatapnya tanpa melakukan apapun. Hingga pintu kamar mandi terbuka dan lampu yang tiba-tiba menyala, ia baru mengalihkan perhatiannya.
"Gimana, bos?" tanya Kevin dengan riang. Tetapi, ketika menatap wajah Tara yang pucat ia menyadari jika sesuatu telah terjadi di dalam sini.
"Tara, you okay?" kali ini Emma yang bertanya.
Tara menarik nafas panjang sebelum mengalihkan perhatiannya dari cermin lalu menatap teman-temannya. "I saw her. Demi Tuhan gue lihat, Vin!"
Kevin mengernyit. "Hantu? Mbak Kunti?"
"Bukan! Cewek, cantik banget demi apapun! sumpah gue gak bohong!" Tara terlihat begitu meyakinkan meski teman-temannya memberikan tatapan tidak percaya.
Tara berani bersumpah jika gadis yang ia lihat tadi adalah sosok paling cantik yang pernah ia tahu selama dua puluh empat tahun dirinya hidup. Tapi, apakah gadis tersebut makhluk ghaib? Kepala Tara mendadak pening bukan karena alcohol, melainkan kehadiran misterius gadis itu.
Sentuhan pada pundaknya membuat lamunan Tara pecah. Ia menoleh dan mendapati teman-temannya yang sedang menatapnya dengan khawatir. "Lo beneran gak papa?" tanya Kevin.
"Fine." Jawab Tara singkat.
Setelah mendengar jawaban Tara, mereka kembali menuju meja yang ditempati sebelumnya. Karena permainan tersebut suasana berubah menjadi canggung. Apalagi Tara masih terlihat terkejut karena apa yang baru saja menimpanya. Seorang Bintang Bumantara tidak pernah terlihat seperti ini.
Kevin berkata, mencoba mencairkan suasana. "Tar, nanti pulang bareng gue, ya, ambil uangnya."
Tara mengangguk pelan. Kepalanya masih dipenuhi oleh gadis misterius tersebut. Ayolah, sejak kapan ada hantu yang wajahnya sangat menawan seperti itu?
Tara menenggak botol berisi vodka yang berada di hadapannya lalu bangkit dan melangkah menuju lantai dansa. Sialan, ia benar-benar butuh distraksi atas pikirannya yang kacau ini.
Kaki jenjang Tara melangkah dengan yakin menuju kerumunan orang-orang yang sedang menari. Ia memejamkan mata, mencoba menggerakan tubuhnya seirama dengan suara musik. Tetapi bayangan tentang sosok tersebut kembali hadir.
Tara mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, ia merasa sangat. Ini bukan hal yang mengerikan jika Tara bisa mendapatkan jawaban atas siapa sosok tersebut. Tapi kenyataannya masih nihil.
Tubuh Tara terdorong dengan keras oleh seseorang yang mengenakan kostum vampire. Namun, bukan hal itu yang mengalihkan perhatiannya. Tara melihat gadis yang menghantui pikirannya bersandar di pojok ruangan.
Dengan cepat, Tara menerobos kerumunan manusia untuk menghampiri sosok tersebut. Gadis itu mengenakan kostum layaknya malaikat. Gaun berwarna putih tanpa lengan yang panjangnya hanya selutut dan sebuah sayap besar yang menghiasi punggungnya.
"Shit!" Tara mengumpat ketika gadis itu melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Kenapa langkahnya sangat cepat, sih? Batin Tara. Beruntung, berkat kaki panjangnya Tara dapat menyusul gadis tersebut.
"Hei!" panggil Tara. Ia yakin suaranya cukup kencang, tapi gadis tersebut tetap berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Tara berlari, lalu jemarinya berhasil menahan lengan gadis itu hingga ia membalikkan tubuh. Saat ini, Tara merasa waktu berhenti untuk sesaat. Wajah gadis itu dengan sosok yang Tara lihat di cermin sama persis.
"Kenapa, ya?" tanya gadis itu kebingungan.
Tara mengerjapkan matanya berkali-kali. "Eng ... dipanggil temen lo di dalam."
Aduh, alasan bodoh apa yang sedang Tara katakan?
"Saya datang sendiri." Jawab gadis itu singkat.
Sungguh Tara kehabisan kata-kata di depan gadis ini. Tara memandang sosok di hadapannya dari ujung rambut hingga kaki dan tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan semuanya kecuali sempurna. Kulitnya yang putih bersih terlihat sangat kontras dengan rambut panjang dan matanya yang hitam legam.
"Halo?"
"Nama lo siapa? Boleh kenalan, gak?"
***
"Bulan, gue gak punya mobil. Gak papa naik motor?"
Setelah berkenalan, Tara tanpa basa-basi langsung menawarkan diri untuk memberikan gadis itu tumpangan pulang. Meskipun tidak memiliki kendaraan mewah, tapi Tara cukup percaya diri.
"Gak papa."
"Atau gue pinjem mobil temen gue, ya? Tapi lo jangan pergi, oke?" tanya Tara. Ia menatap Bulan dengan lekat, menunggu sebuah jawaban.
"Gak usah. Gak papa, kok." Jawab Bulan sambil mengulas senyum tipis.
Demi langit dan Bumi, Tara berani bersumpah jika Bulan adalah gadis paling cantik yang pernah dirinya temui. Apalagi ketika Bulan tersenyum hingga menampilkan sebuah lesung pipi yang sangat manis.
"Oke. Tapi sayap lo?"
"Kenapa sayap aku?"
"Gak masalah kalau kena angin kenceng?" tanya Tara khawatir.
Bulan tertawa singkat dan berkata. "Gak, lah. Santai aja."
"Oh, ya, lo mau langsung pulang atau makan dulu?"
Tara sangat paham jika apa yang dirinya lakukan sekarang adalah h tindakan agresif yang cukup memalukan. Ketertarikannya pada Bulan ia tunjukan dengan sangat jelas. Tidak memperdulikan resiko tentang apa yang gadis itu pikirkan.
"Emang kamu mau ajak aku makan?" tanya Bulan. Tara tersipu malu. "If you let me."
Bulan kembali tersenyum lalu berkata. "Sure."
Dengan hati yang berbunga-bunga, Tara mengendarai motornya menuju salah satu kedai roti bakar favoritnya. Mungkin ini bukanlah tempat yang mewah, tapi ia yakin tidak akan mengecewakan. Lokasinya yang berada di tepi danau membuat kedai ini memiliki nilai lebih di mata Tara.
"Jadi, kenapa kamu tiba-tiba panggil aku?" Bulan menatap Tara lekat dengan mata legamnya. Pandangan Tara yang semula mengarah pada danau di hadapannya langsung beralih pada sosok cantik itu. "Karena kamu ada di mimpi aku."
Tentu saja Tara berbohong. Tidak mungkin ia mengatakan jika dirinya melihat pantulan Bulan di cermin saat bermain permainan aneh bersama teman-teman. Ia yakin jika semua ini hanya sebuah kebetulan yang sudah direncakan Tuhan.
"Gitu, ya? Kok bisa sih mimpiin aku padahal kita belum pernah ketemu?"
Angin malam yang menerpa rambut panjang dan bulu-bulu yang menempel pada sayap Bulan membuat gadis itu seperti tidak nyata. Bulan sangat cantik, bahkan Tara sudah tidak bisa menghitung berapa kali ia memuji kecantikan gadis itu.
Tara mengedikan bahu. "Gak tahu. Aku ngerokok boleh?" tanyanya hati-hati.
Bulan mengangguk. Gadis itu cukup pendiam dan tidak banyak berbicara kecuali Tara memulainya terlebih dahulu.
Tara menghembuskan asap rokoknya ke udara, lalu kembali menatap Bulan. Sepasang mata legam itu ternyata sedang memperhatikannya dengan sorot yang tidak bisa terbaca. Tara mendadak salah tingkah.
Pandangan Tara berhenti pada salah satu objek, yaitu sayap Bulan. Sayap imitasi yang Bulan kenakan terlihat sangat menawan. Ukurannya besar dan kokoh, berwarna putih bersih dengan bulu-bulu cantik yang menempel.
"Ini pasti mahal, ya?" Tara memberanikan diri untuk menyentuh sayap milik Bulan.
Bulan menggeleng sambil tersenyum. "Enggak. Ini Ayah aku yang buat, kenapa?"
"Ayah kamu buat sendiri?" tanya Tara tidak percaya.
"Iya. Kamu suka?" Bulan mengikuti pandangan Tara yang sedang terfokus pada sayapnya. Lelaki itu menatap setiap detail dan menyentuhnya dengan hati-hati. Tara sangat terkesima dengan benda ini dan kenyataan bahwa sayap ini dibuat oleh Ayah Bulan sendiri.
Tara begitu bersemangat ketika menjawab pertanyaan Bulan. "Banget! kayak sayap asli. Buatnya berapa lama?"
"Bertahun-tahun. Kamu mau coba?"
"Boleh?"
"Boleh. Kapan-kapan nanti aku kasih pinjam. Ayah juga punya sayap yang untuk lelaki."
Percakapan ini membuat sebuah senyum lebar terpatri di wajah Tara. "Gokil. Kalau gitu berarti kita bisa ketemu lagi dan lagi, kan?"
***
Tara mengira ketertarikannya dengan Bulan hanya sementara, tetapi setelah berbulan-bulan ternyata ia masih saja mengagumi gadis itu. Siang ini Tara akan mengunjungi rumah Bulan, ia akan bertemu ayah gadis itu untuk mengenalkan diri dan juga melihat koleksi sayap-sayap buatannya.
Rumah Bulan sangat luas dengan arsitektur bergaya klasik, warna putih dan emas mendominasi bangunan tiga lantai tersebut. Bulan langsung menghampiri Tara setelah lelaki itu meneleponnya bahwa ia sudah sampai.
"Yuk, masuk." Ajak Bulan. Gadis itu mengenakan gaun berwarna putih selutut dengan hiasan ikat pinggang yang mempermanis tampilannya.
Tara tersenyum lalu berkata. "Cantik banget. Tapi Ayah kamu gak galak, kan?"
Bulan tertawa singkat. "Enggak, kok. Aku juga udah kasih tau kalau kamu mau dateng, yuk?"
Ketika memasuki rumah Bulan, pandangan Tara langsung dimanjakan oleh benda-benda antik yang menghiasi setiap sudut ruangan. Sebuah lukisan bergambar bulan -benda angkasa, berukuran besar membentang di ruang tamu. Tara seperti memasuki rumah klasik yang sering ada difilm.
"Orang tua aku suka banget sama bulan, menurut mereka bulan adalah salah satu benda langit yang paling misterius dan menyimpan banyak rahasia." Ungkap Bulan. Gadis itu menjelaskan secara singkat ketika menyadari tatapan Tara yang memandang lukisan bulan dengan sorot terpukau.
Tara menatap Bulan lalu berkata. "And that's why mereka namain kamu bulan?"
"Tepat banget!" kata Bulan mengakui.
"Mungkin karena itu kamu secantik cahaya bulan, ya?"
Bulan memicingkan matanya ketika mendengar ucapan Tara. "Aku mau tau dong keahlian kamu selain ngegombal tuh apa, ya, Tar?"
"Next time, kalau kamu main ke rumah aku, kamu bakal tau." Bisiknya.
Bulan bisa merasakan pipinya yang memanas karena perkataan Tara barusan. Tubuhnya meremang karena suara berat lelaki itu yang menyapa telinganya. Ia menarik nafas lalu mengabaikan perasaan aneh yang hinggap di dadanya dan kembali melangkah menuju tangga.
Tara mengikuti Bulan dengan pandangan yang masih mengitari setiap sudut rumah ini. Ia sedang membayangkan bagaimana rasanya tinggal di rumah mewah yang memukau ini.
"Are you ready to meet my father?" tanya Bulan.
"Sure." Sahut Tara yakin.
Tara berani bersumpah ketika ia pintu ruangan tersebut terbuka tidak ada kata yang dapat mendeskripsikan kekagumannya. Ruangan tersebut begitu besar dan lima buah sayap imitasi tertata dengan rapih di tengahnya. Sayap-sayap itu disanggah oleh tiang-tiang besi yang panjangnya sekitar satu meter.
"Ayah, ini temen Bulan." Suara tersebut berhasil mengalihkan perhatian Tara. Ia terlalu fokus dengan sayap-sayap ini hingga melupakan bahwa ada Ayah Bulan yang sedang memperhatikan dirinya.
Ketika melihat lelaki paruh baya yang berdiri dekat jendela, Tara mendapatkan jawaban darimana wajah rupawan Bulan berasal. Bahkan diumurnya yang tidak muda lagi, ayah Bulan masih terlihat begitu tampan. Struktur wajahnya sangat tegas, dengan hidung mancung dan mata hitam kelam persis seperti milik Bulan. Keluarga ini benar-benar diberkati. Batin Tara.
"Tara, Om." sapa Tara sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan. Lelaki tersebut tersenyum lalu menanggapi uluran tangan Tara. "Thomas. Bulan sering cerita kalau dia punya teman yang tertarik dengan sayap-sayap buatan saya."
Tara tersipu malu. Jadi Bulan sering menceritakan tentang dirinya kepada sang ayah?
"Bener, Om. Waktu ngelihat sayap Bulan saya terpukau banget dan ternyata itu buatan sendiri. Wow, its awesome."
Thomas mengangguk lalu berkata. "Terima kasih banyak. Kamu katanya mau lihat-lihat? Silakan."
"Boleh saya sentuh?" Senyum Tara merekah ketika melihat Thomas mengangguk menyetujui permintaannya.
Dari kelima sayap yang tertata rapih, ada satu sayap dengan warna yang berbeda. Sayap berwarna hitam tersebut memiliki ukuran paling besar. Tara menggerakan tangannya untuk menyentuh sayap itu perlahan.
"Itu sayap buatan pertama saya. Sebelum Bulan lahir." Ungkap Thomas.
"Serius? Berarti sayap ini udah puluhan tahun?" tanya Tara penasaran. Ia memandang Thomas dan sayap tersebut secara bergantian.
Thomas mengangguk lalu menjawab. "Betul. Dua puluh lima tahun."
"Wow," Puji Tara. Ia tidak tahu mana yang lebih menakjubkan, hasil karya atau malah Thomas itu sendiri.
"Kalau gitu aku turun aja, ya? Siapin minum untuk kalian."
Pertanyaan Bulan membuat kedua lelaki itu langsung menoleh ke arahnya. Thomas tertawa singkat. "No, princess. Saya memang mau turun dulu. Kalian ngobrol-ngobrol aja berdua."
Sepeninggalan Thomas, Bulan dan Tara mendadak hening. Mereka saling menatap satu sama lain tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mata legam milik Bulan seakan menyihir Tara karena keindahannya.
"Well, kita disini aja atau?"
Bulan mengerjapkan matanya lalu berkata. "Kamu mau keliling rumah aku? Habis itu kita duduk-duduk di halaman belakang."
"Boleh. Oh, iya, aku gak lihat Ibu kamu. Beliau lagi gak di rumah?"
Raut wajah Bulan mendadak sendu ketika mendengar pertanyaan Tara. "Ibu lagi gak di rumah. Makanya kamu gak lihat."
"Oh," sahut Tara pelan.
Setelah percakapan tersebut, mereka langsung keluar dari ruangan. Bulan berjalan di depan Tara sambil menceritakan masing-masing ruangan yang berada di lantai dua. Sesungguhnya, Tara tidak menyimak penjelasan Bulan dengan baik karena ia terdistraksi oleh rambut panjang Bulan yang begitu berkilau.
"Nah ini kamar aku." Ucap Bulan. Gadis itu membuka pintu kamarnya agar Tara bisa melihat dalamnya.
"Rapih dan wangi banget, ya?" Padahal Tara belum memasuki ruangan tersebut, tetapi aroma yang menyerbak dari dalam sudah tercium dengan sangat jelas.
Bulan terkekeh lalu berkata. "Aku emang suka wewangian, sih. Mau masuk?"
Tara menatap Bulan dengan tatapan terkejut. Apa Bulan baru saja memberikannya izin untuk memasuki kamar pribadinya?
"Boleh?"
"Ya gak papa. Lagian cuman lihat-lihat aja, kan?"
Tara mengangguk.
Pintu kamar Bulan terbuka semakin lebar ketika mereka memasuki ruangan tersebut. Nuansa kamar ini persis seperti kepribadian Bulan. Rapih, cantik, tenang.
Kamar Bulan didominasi oleh warna putih dengan langit-langit berwarna biru cerah. Ada sofa kecil di dekat jendela, vas bunga pada nakas samping ranjang dan meja rias yang dipenuhi oleh barang-barang khas perempuan.
"Kamu gak punya lemari?" tanya Tara ketika ia menyadari jika tidak melihat lemari di kamar yang luas ini.
Bulan mendudukan diri di sofa lalu tertawa. "Punya, lah! Lemari aku di walk in closet, Tara." Jelasnya.
Tara menyengir lalu ikut duduk di samping Bulan, ia menyenderkan tubuhnya pada sofa berwarna putih tersebut yang empuk. Berada sedekat ini dengan Bulan membuat jantung Tara berdegub dengan cepat.
"Menurut kamu gimana?" pertanyaan Bulan membuat Tara menoleh, ia menatap Bulan bingung.
"Rumah aku, menurut kamu gimana? Suka gak?" tanya Bulan sekali lagi.
Senyum Tara merekah sebelum ia menjawab pertanyaan Bulan. "Tau gak? Aku kayak lagi ke rumah orang-orang yang ada di film klasik, gitu."
Bulan tersenyum mendengar jawaban Tara, apalagi ketika lelaki itu memberikan ekspresi riang yang persis seperti seorang bocah laki-laki.
"Syukur, deh, kamu suka. Gak serem, kan?" ledek Bulan.
Tara menggeleng dengan cepat lalu menjawab. "Gak, lah! Gak serem sama sekali malah. Emang siapa, sih, yang bilang serem? Biar aku samperin orangnya!"
Bulan kembali tersenyum, ia ikut menyenderkan tubuhnya di sofa dan menatap Tara dengan lekat. Sejujurnya, Bulan sangat suka menatap Tara diam-diam. Ia seperti sedang melihat lautan dalam yang penuh dengan rahasia dan cerita.
"Kenapa ngelihatinnya kayak gitu, sih?" tanya Tara penasaran. Masalahanya tatapan Bulan membuat sensasi aneh pada dadanya. Bulan hanya menggeleng tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Serius kenapa? Ada yang salah?" desak Tara.
Bulan kembali menggeleng. "Enggak. Aku cuman lihatin doang, gak boleh, ya?"
Tara menegapkan tubuhnya lalu berkata. "Boleh, tapi kenapa kayak gitu ngelihatnya?"
Bukannya Tara tidak pernah ditatap oleh seorang perempuan sebelumnya tetapi, cara Bulan menatapnya sangat berbeda. Gadis itu seakan sedang menyelami Tara hanya lewat sebuah tatapan.
"Yaudah, aku gak lihat lagi." Ucap Bulan final. Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya dari wajah Tara.
"Bukan, gitu, Bulan. You can look at me as much as you want tapi, kasih tau aku kenapa?"
"No reason at all. Cuman suka aja ngelihat kamu." Jawab Bulan santai.
Demi apapun yang ada di dunia ini, ketika Bulan mengatakan hal tersebut perut Tara langsung di terjang oleh ratusan kupu-kupu.
"Aku juga suka sama kamu." Sahut Tara.
Bulan langsung menoleh dengan cepat dan menyahuti. "Bentar-bentar, maksud aku tuh tadi-"
"Aku beneran suka sama kamu. I like you a lot, since the first time we meet." Meski Tara bisa merasakan jantungnya yang serasa ingin lepas karena perkataannya barusan tetapi, ia lega bisa mengungkapkan perasaannya kepada Bulan.
Bulan belum merespons apapun atas perkataan Tara, tapi matanya tidak lepas menatap lelaki itu. Gadis itu terkejut oleh ucapan Tara yang tiba-tiba.
"Eng ... kamu mau minum apa? Dari tadi belum aku kasih min-"
"Bulan, do you like me as much as I like you?"
Ini adalah saat yang paling mendebarkan bagi Tara. Bisa saja karena hal ini ia tidak dapat bertemu Bulan lagi, tapi hidup itu memang penuh pilihan, kan? Tara memilih untuk mengambil resiko agar kegundahannya berakhir.
"Tara, gini, aku juga suka sama kamu. Tapi, yaudah ..." jawab Bulan terbata-bata. Bulan tidak tahu apakah jawabannya ini tepat atau justru sebaliknya. Pasalnya, ia belum pernah berada di posisi seperti sekarang selama dua puluh dua tahun dirinya hidup.
"Yaudah apa, Bulan?" desak Tara.
"Eng..."
Bulan terlihat sangat gugup dan Tara sadar akan hal itu. Hanya ada satu cara untuk mendapatkan jawabannya dan Tara harap hal ini akan berfungsi dengan baik.
Ketika Tara mendekat dan jemari lelaki itu menyentuh wajahnya, Bulan sangat kebingungan. Tetapi, hal selanjutnya yang Tara lakukan berhasil membuat tubuh Bulan mematung. Matanya membulat dan jantungnya berdetak dengan sangat cepat.
"Kamu mau kan jadi pacar aku?" bisik Tara. Bulan tidak menjawab tapi ketika Tara kembali menciumnya dan tidak ada perlawanan apapun, Bulan rasa jawabannya sudah sangat jelas. Tara tidak perlu lagi kata ketika tangan Bulan melingkar pada lehernya.
***
"Bintang Bumantara! Astaga kamu belum bangun? Kan hari ini kita mau piknik, gimana, sih?" ocehan Bulan menjadi alarm yang berhasil mengusik tidur Tara. Gadis itu berdiri di depan kasur Tara dengan wajah galaknya.
"Maaf, sayang. Semalam aku pulang telat..." ucap Tara dengan suara seraknya.
Bulan berdecak. "Yaudah sekarang bangun! Lagian kan aku udah bilang, gak usah begadang. Kamu lagi ngerjain apa, sih?"
Tara perlahan bangkit dari tidurnya, ia duduk di pinggir kasur lalu memeluk pinggang Bulan dengan erat. Dengan mata yang masih terpejam, Tara kembali berkata. "Kevin semalam pindahan, jadi aku bantuin dia. Lumayan, loh, dikasih dua juta hehehe,"
"Terus sekarang mau tidur atau jadi pergi? Kalau gak jadi aku-"
"Jadi tuan putri! Masa udah dapet uang aku gak ajak kamu pergi? Kapan lagi coba aku traktir?" ledek Tara. Bulan terkekeh, jemarinya menyisir rambut hitam Tara dengan lembut.
"Yaudah sekarang bangun dong! Mandi siap-siap!" perintah Bulan
Dengan berat hati, Tara melepaskan rengkuhannya dari tubuh Bulan dan bangkit. Ia mengecup pipi gadis itu sebelum melangkah menuju kamar mandi.
Sambil menunggu Tara, seperti biasa Bulan selalu merapihkan kamar lelaki itu. Tara tinggal di sebuah rumah tua yang sudah lelaki itu rombak sedemikian rupa. Tapi tetap saja Tara selalu berantakan. Pakaian yang berserakan di lantai, plastik bekas makanan hingga punting rokok yang menumpuk di samping kasurnya.
"Kemarin aku ditawarin sama temennya Emma buat jadi model untuk clothing linenya dia. Menurut kamu gimana?"
Bulan mengalihkan pandangannya dari tumpukan pakaian yang sedang ia lipat ke arah Tara yang baru keluar dari kamar mandi. Lelaki itu sudah mengenakan celana jeans berwarna hitam dengan tubuh bagian atasnya masih polos. Pemandangan yang berhasil membuat Bulan bersemu.
"Maksudnya?"
Tara duduk di samping Bulan sambil mengeringkan rambutnya lalu menjawab. "Ya aku pakai produk dia, terus di foto. Dia baru merintis gitu, makanya minta tolong sama Emma."
"Nanti kerjanya sama Emma?" tanya Bulan.
"Iya. Tapi gak kerja yang setiap hari, cuman kalau ada produk baru aja."
"Bayarannya cukup?"
Sebenarnya Bulan tidak tertarik membahas hal ini. Apalagi setelah mendengar nama Emma. Mungkin Bulan terdengar konyol, tapi ia sangat cemburu dengan kedekatan gadis itu dan Tara.
"Ya gak juga. Dia kan juga baru mulai, tapi gapapa, ya? Sambil aku cari-cari kerjaan yang lain. Oke?" tanya Tara. Ia menatap Bulan dengan lekat, memperhatikan ekspresi wajah gadis itu yang sulit dibaca.
"Kalau kamu oke, yaudah. Do it." Ucap Bulan datar.
Tara menghentikan kegiatan mengeringkan rambutnya untuk berbicara serius dengan Bulan. Jemarinya menyentuh wajah Bulan agar gadis itu menatapnya.
"Kok gitu, sih, wajahnya? Hmm?"
Bulan menghela nafas lalu menjawab. "Gak papa. Kan tadi aku juga bilang, gitu."
"Tau. Tapi mata kamu, tuh, gak bisa bohong, loh." Kata Tara lembut.
"Sok tau."
"Bulan, kamu tau gak? Sebelum kenal sama kamu, aku gak pernah mikirin tentang kerjaan. Aku gak peduli mau dibilang apapun, sama siapapun. Tapi setelah kamu jadi pacar aku, aku ngerasa gak adil kalau aku gak memperbaiki diri." Lanjutnya, "Aku gak mau bikin kamu malu. Makanya I try my best, I do everything I can do. At least, aku punya sesuatu yang bisa bikin kamu bangga."
Bulan paham sekali dengan penjelasan Tara. Tapi sejak awal mereka memulai hubungan ini, Bulan tidak pernah memaksakan apapun karena ia tahu kehidupan seperti apa yang sudah Tara lewati. Bulan tahu sekeras apa Tara berusaha untuk tetap hidup dan tidak kehilangan akal sehatnya.
"I'm okay with everything you are, Tara." Bisik Bulan.
Tara menggeleng. "But I'm not. Aku gak bisa jadi diri aku yang seperti ini saat ada kamu di samping aku."
"She liked you, you know that, right?" gumam Bulan. Tara mengerutkan dahinya untuk memahami ucapan Bulan, butuh beberapa detik hingga akhirnya ia tahu siapa yang sedang Bulan maksud.
Tara menyunggingkan sebuah seringai di wajahnya. "Oh cemburu."
Bulan langsung melotot lalu memukul lengan Tara kesal. "Bukan gitu! Maksud aku tuh-"
"But I'm totally yours, Bulan. Harus dengan apalagi aku meyakinkan kamu supaya percaya?" Bulan berusaha menahan senyumnya tapi gagal, gadis itu malah tertawa kecil karena ucapan Tara.
"Aku percaya, kok. Gak usah sedih gitu dong!" ledek Bulan iseng. Wajah Tara yang semula sangat serius berubah menjadi kesal karena sikap Bulan yang meledeknya. Ia menerjang gadis itu lalu menggelitiki pinggangnya tanpa ampun.
Bulan tertawa dengan keras sambil berusaha berontak, tapi usahanya sia-sia karena tenaga Tara jauh lebih kuat darinya.
"Tara stop! Tara! Aku marah ya? Katanya mau pergi! Taraaa!" teriak Bulan disela-sela tawanya.
Nafas Bulan memburu ketika Tara berhenti menggelitikinya, ia menatap lelaki itu dengan tajam dan bibir yang merengut. "Sumpah ya! Aku marah kalau-"
' "Kita gak usah pergi, yah? Pesen makanan aja, deh, gimana?" pinta Tara. Lelaki itu menatap Bulan dengan ekspresi memohon.
"Kok? Emang kenapa?"
"Because we gonna do something more fun."
***
Beberapa minggu yang lalu Tara menerima sebuah kotak berisi testpack dengan dua garis yang terlihat jelas pada alat tersebut. Tanpa perlu menebak, Tara sudah tahu jika benda tersebut milik Bulan. Bulan menghilang begitu saja sejak Tara menerima kotak tersebut. Telepon yang tidak bisa dihubungi, rumah yang selalu kosong. Bulan seperti di telan bumi.
Tara mengutuk keputusannya beberapa waktu lalu yang menyebabkan kekacauan ini terjadi. Semua akan baik-baik saja jika Tara bisa mengendalikan nafsunya.
Sudah hampir tengah malam tetapi Tara masih mencari Bulan. Ia mengendarai motornya tanpa tujuan yang jelas. Tara hanya ingin bertemu dengan Bulan dan membicarakannya dengan baik-baik.
Malam ini bulan sedang terang-terangnya, memberikan cahaya untuk langit yang kelam. Hal ini membuat Tara meneteskan airmata, ia akan sangat menyesal jika tidak menemukan Bulan secepatnya.
Tara tidak tau sejauh apa ia mencari Bulan hingga menemukan sebuah pantai yang berada di sisi jalan. Tempat ini akan sangat menarik jika dirinya bisa mengajak Bulan berkencan, hamparan laut dan cahaya bulan membuat tempat ini jadi sangat romantis.
Sepasang mata Tara menatap sesuatu yang cukup janggal. Ia memelankan laju motornya untuk melihat seorang gadis yang berdiri di tepi pantai itu sendirian. Apa yang sedang orang itu lakukan?
Tara hampir saja mengabaikan sosok tersebut dan kembali mencari Bulan hingga sebuah kejadian aneh terjadi. Sebuah sayap tiba-tiba terbentang di punggung gadis itu. Tanpa berpikir panjang, Tara langsung menghentikan motornya di pinggir jalan dan berlari menuju sosok tersebut.
Semoga intuisi Tara kali ini benar. Semoga sosok tersebut adalah Bulan.
"Bulan!" panggil Tara. Ia berdiri di belakang sosok tersebut dengan napas yang memburu. Dan ketika sosok itu membalikkan badan, Tara tidak bisa menopang tubuhnya lagi untuk berdiri.
Sosok yang selama ini Tara cari hingga kepalanya hampir pecah, berdiri di hadapannya dengan sorot mata yang sendu. Bulan kehilangan cahayanya.
"Kamu kemana aja, Bulan?" tanya Tara. Ia bangkit dan melangkah menghampiri gadis itu. Namun, perkataan Bulan membuat langkah Tara terhenti.
"Jangan mendekat!" bentaknya.
Tara kebingungan. "Kenapa? Aku cari kamu dari pagi sampai malam selama berminggu-minggu. Kamu keman, sayang?"
"Aku bukan Bulan lagi." Jawabnya dingin.
"Hah? Maksud kamu apa? Kita ngomong baik-baik, ya? Yuk, sekarang kita pulang-"
"Pergi. Sekarang kamu pergi atau aku akan buat kamu menyesal!" ancam Bulan. Gadis itu terlihat begitu mengerikan, tidak ada gurat manis di wajah cantiknya.
Tara mengusap wajahnya dengan kasar. Ia paham jika sudah melakukan kesalahan yang fatal, tapi Tara berjanji akan bertanggungjawab dan memperbaikinya.
"Bulan..."
"Dari awal harusnya aku gak membantu kamu dipermainan konyol itu. Harusnya aku gak menghiraukan panggilan kamu. Ketemu kamu, menghabiskan waktu dengan kamu adalah hal yang sangat aku sesali." Kata Bulan. Penjelasan gadis itu membuat tubuh Tara meremang, dadanya sesak sekali mendengar ucapan itu dari mulut Bulan.
Tara menunduk lalu berbisik. "Aku tau aku salah ..."
Bulan menyahuti dengan lantang. "Memang! Oleh karena itu aku minta kamu pergi sekarang-"
"Bulan, kita bisa bicara baik-baik, oke? Aku janji apapun itu akan aku perjuangkan, tapi kamu dengerin aku dulu."
"Gak ada yang perlu dibicarain, Tara. Semuanya sudah selesai!" pekik Bulan.
"Kamu hamil anak aku, Bulan. Gimana bisa selesai?" tanya Tara dengan nada yang frustasi.
Tara menyadari sayap yang ada di punggung Bulan menutup, cukup membingungkan bagaimana sayap imitasi bisa melakukan hal seperti itu.
"Karena aku hamil anak kamu makanya semuanya sudah selesai. Aku melanggar terlalu banyak hal hanya untuk bersama kamu dan anak ini adalahnya puncaknya." Ucap Bulan. Matanya sudah dipenuhi oleh airmata yang menggenang.
Tara menggeleng, suaranya bergetar ketika menyahuti ucapan Bulan. "Aku gak ngerti. Kenapa hal ini seakan-akan akhir dari segalanya untuk kamu? Kita bisa bicarain baik-baik sampai ketemu solusinya."
Bulan melangkah mendekati Tara. "Karena ini memang akhir dari segalanya untuk aku, Tara. Gak ada solusi untuk masalah ini."
"Ada, Bulan. Kenapa gak-"
"Karena aku bukan manusia! Aku harus memilih antara diri aku sendiri atau makhluk yang hidup di tubuh aku. Menurut kamu, apakah aku akan tega membiarkan makhluk gak bersalah ini musnah agar aku bisa tetap hidup?"
Tara berharap ia sedang bermimpi atau ucapan Bulan hanya sebuah omong kosong. Tapi sayangnya apa yang sedang ia hadapi sekarang adalah sebuah kenyataan.
"Kamu mau tau kenapa aku bisa muncul di cermin pada malam itu? Atau kenapa Ayah aku membuat sayap-sayap itu di rumah? Oh kamu juga gak tanya dimana Ibu aku?" lanjutnya, "Jawabannya ini, Tara. Ibu aku juga melakukan hal serupa dengan apa yang aku lakukan sekarang."
Airmata sudah jatuh membasahi pipi Bulan ketika gadis itu menjelaskan semua rahasianya di depan Tara. Lelaki itu juga tidak terlihat baik-baik saja, Tara hanya menunduk dengan bahu yang bergetar.
"Ibu aku adalah penghuni bulan, pada malam dimana gerbang antara dunia kamu dan dunia kami terbuka Ibu ketemu sama Ayah. Dan semua terjadi sama seperti apa yang kita alami. Sayap hitam itu, bukan buatan Ayah. Itu punya Ibu, ketika beliau memilih aku untuk tetap hidup dia harus kehilangan segalanya. Sayap putihnya berubah warna karena Ibu melakukan hal yang terlarang, Ibu juga kehilangan nyawanya. Beliau menjadi debu demi aku."
Penjelasan panjang Bulan membuat Tara kehilangan akal sehatnya. Semua terdengar sangat mustahil tapi hal-hal janggal yang menjadi sebuah pertanda menjadi bukti kuat atas ucapan Bulan.
Tara mengangkat kepalanya, ia menarik nafas panjang dan menatap Bulan. Bulan tidak boleh pergi kemana pun atas alasan apapun. Ia akan memperjuangkan segalanya meski harus melawan semesta.
Rengkuhan Tara yang melingkar erat pada tubuh Bulan membuat gadis itu menangis histeris.
"Persetan sama penghuni bulan, hal terlarang atau apapun namanya, aku gak peduli! Kamu gak perlu memilih apapun, aku janji akan ngelakuin apapun untuk kamu. Asal kamu mengizinkan aku untuk hal itu ..."
Tara melepaskan rengkuhannya dan menangkup wajah Bulan, menghapus airmata yang membasahi pipi gadis itu.
"Bulan..."
"Gak ada jalan keluar-"
"Bilang kamu sayang sama aku,"
Bulan menatap Tara dengan lekat, mengagumi setiap detailnya. Ia akan sangat merindukan Tara, semua tentang lelaki itu adalah bagian terindah dari hidupnya.
"Aku sayang sama kamu. Oleh karena itu aku memilih keputusan ini. Supaya kenangan tentang kita bukan hanya cerita, tapi tetap hidup dalam bentuk bayi kecil. Aku bisa pastiin kamu gak akan kesepian lagi, karena nanti anak ini akan terus menemani kamu." Ucap Bulan dengan suara pelan.
Tara menggeleng dengan cepat lalu menyangkal ucapan Bulan. "Enggak. Aku bisa gila kalau gak ada kamu, gimana aku bisa-"
"Kamu bisa. Tara dengar, aku gak sepenuhnya tinggalin kamu. Percayalah, setiap kali kamu melihat bulan, aku juga lagi menatap kamu. Aku menitipkan kamu seluruh hidup aku lewat anak ini, tolong jaga baik-baik bukti cinta kita."
Banyak hal yang memang tidak diciptakan untuk bersatu. Sama halnya dengan bulan dan bintang. Keduanya bersinar terang di langit, tapi hanya mampu berdampingan. Bukan tanpa sebab, mungkin memang harus begitu agar keduanya tidak kehilangan kilaunya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro