Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tahun Terakhir


Kobaran api menguasai ruangan. Menari menghias kamar. Napasku tak terasa, meski asap menutupi pandangan. Terdengar kayu menjerit sebelum lenyap menjadi abu.

Hilanglah kesadaranku bersamaan dengannya.

Meski dirundung rasa sepi, kenangan akan dirinya tidak pernah pudar. Segala tentang dirinya seakan tidak memudar meski telah lama terkubur.

Laba-laba menyapa malam itu, tertanda orangtuaku sedang mengawas. Begitulah kata mereka, kuharap mereka di sini menemani. Mengisi hati yang telah lama hampa. Selagi mengenang, kunyalakan lilin sambil memandang anak-anak yang berlarian dengan kostum aneh mereka.

Kembali teringat akan sosok yang kujumpai beberapa malam lalu.

Ia yang senantiasa menyapa.

Ia yang selalu membelai rambutku.

Tersenyum dan mengecup kening sambil berbisik semua akan baik-baik saja.

Kutatap kursi kosong di samping. Mengingat wajahnya yang berangsur-angsur terkikis dari ingatan. Aku bahkan hampir lupa namanya, namun kenangan kami tetap abadi di hati.

Gelas yang terbengkalai, pemandangan malam nan ramai namun terasa hampa, disertai cahaya temaram kamar, menambah kemuraman di malam Halloween.

Aku bukannya tidak mau menyalakan lampu. Namun, semakin gelap penerangan semakin terasa keberadaannya.

Teman sehati.

Cinta pertama.

Belahan jiwa.

Semuanya menyatu dalam dirinya.

Kian ... Itu namanya.

***

Kami bertemu pada malam Halloween pula, saat anak-anak mulai berpakaian aneh dan meminta permen disertai ancaman mengotori rumah dengan tisu toilet.

Kududuki pelataran rumah dalam diam. Semua telah pergi, tersisa aku seorang. Bukannya tidak diajak, hanya saja ingin menyendiri di malam perayaan. Ketika semua orang berkumpul berburu permen, akan kujaga rumah sambil melayani tamu yang melintas dengan sebuah permen.

Meski telah lama menunggu, tampak tiada yang bersedia datang ke rumahku. Wajar, mungkin karena tanpa dekorasi Halloween yang memadai atau akunya yang terlihat menolak tamu meski itu bukanlah suatu kesalahan.

Kulihat anak-anak tengah berjejer di sebelah, menunggu giliran mendapatkan permen sementara sang tuan rumah harus kewalahan menghadapi.

Sang tuan rumah satu-satunya yang menarik di mata dan hati. Tanpa sadar, kuteruskan langkah hingga tak terasa sudah berada persis di tengah antrean.

Mata hijaunya menatap anak kecil yang sibuk berebut permen dengan temannya meski sudah diberi jatah sama.

"Sudahlah." Akhirnya ia berucap, tampak lelah dengan tingkah anak-anak itu. "Kalian tidak akan dapat permen kalau berantem terus."

Keduanya berhenti dengan wajah tersungut-sungut. Jelas keberatan namun tidak ingin mendapat masalah lebih.

Meski aku berdiri persis di belakang, mereka lalui begitu saja seakan aku tidak ada. Namun, yang kupedulikan saat ini adalah mata hijaunya. Kemilau bagai zamrud yang telah menarikku.

Rupanya, hanya ia yang sadar akan keberadaanku.

"Ah, selamat malam." Ia tampak canggung kala tatapan kami bertemu. "Kamu sudah lama tinggal di sini?"

Aku tersipu, aneh kalau ia tidak sadar kalau kami selama ini bertetangga. "Kamu pindah dari mana?"

"Aku sudah lama di sini," balasnya. "Kamu orang baru?"

Eh, bukannya aku tinggal di sini sejak kecil? Atau kami yang tidak pernah berjumpa?

Mata hijau satu-satunya yang menarik hati. Kupandangi terus meski tahu jika ia bisa jadi salah sangka. Namun, betapa pun lama aku tatap, ia tidak berkutik maupun menunjukkan tanda keberatan.

Akhirnya, ia kembali bersuara. Suaranya lembut bagai sutra disertai pandangan nan teduh. "Siapa namamu?"

Aku sebut namaku.

Ia sebut pula namanya.

Aku mengenalnya.

Ia kenal aku.

Namanya Kian.

***

Sudah berapa lama?

Sampai kapan harus menunggu?

Pertanyaan yang terus menghantui.

Benar kata mereka?

Aku dibuang?

Tidak mungkin.

Kami hanya mengenal sebatas nama.

Tidak mungkin ia pergi begitu saja.

Kutolehkan kepala sambil menunggu. Beberapa anak masih berkeliaran di malam Halloween.

Sudah Halloween ke berapa? Aku sendiri ragu.

Kulangkahkan kaki keluar. Mencarinya. Mata hijau itu. Yang kurindukan.

Udara malam menyapu helaian rambut. Selagi melewati anak-anak yang bahkan menggubrisku, kupacu langkah ke rumahnya.

Dia di sana, tengah duduk tenang bersama semangkuk permen. Mata hijau sejuknya memandang sekitar hingga pandangan kami bertemu.

Ia tersenyum menyapa, berbisik pelan namaku.

Langsung kudekati. "Belum habis, ya?"

Ia hanya tersenyum sambil mengiakan. "Kamu tidak rayakan Halloween?"

Aku menggeleng. "Anak-anak bahkan mengabaikanku, melihat rumahku saja enggan."

Ia hanya ber-"oh" pelan, seakan enggan berucap namun di sisi lain hendak.

Aku duduk di sisinya. Menatap anak-anak yang berkeliaran dengan kostumnya.

Malam berlalu dengan hampa.

Tiada yang bisa kulakukan selain menatap langit-langit.

Mengapa tidak bisa tidur?

Lebih tepatnya, mengapa mata hijaunya terus menghantui?

Bukannya takut, aku justru bersyukur sempat melihat keindahan itu. Caranya menatap juga suara lembut itu, membuatku hampir mabuk kepalang. Apalah daya, ia barangkali tidak mengenalku selain fakta kalau kami bertetangga.

Kala memandang mata hijaunya, taman surga terpampang, seakan dunia ini tiada bandingnya. Sungguh beruntung bagi yang melahirkannya, memiliki anak dengan mata seindah itu. Dilengkapi dengan malam serta bintang menemani, membuat mata itu bagai kemilau dalam kegelapan.

Mata itu ...

Mengingatkanku akan ...

***

Aku terbangun beberapa jam sebelum pagi. Setidaknya itu yang kuingat.

Aneh, kenapa hari masih malam?

Kupandangi jendela, anak-anak berlarian ria bersama kantong permen mereka. Menggema ke seantero negeri. Ah, aku berlebihan. Telingaku sensitif akhir-akhir ini.

Entah kenapa, otakku kembali mengenang mata indah itu.

Aku lantas keluar dan mencarinya.

Mata itu ... Seakan memanjangkan umur.

Ia di sana lagi, duduk sambil membagikan permen pada anak-anak.

Aku mendekat. Lagi-lagi keberadaanku tidak dianggap.

Ia tersenyum, segera setelah mereka pergi. "Kamu tampak lelah."

"Eh?" Aku tidak merasakan apa pun, meski hanya tidur beberapa jam sambil memikirkan mata hijau itu. "Tidak apa-apa. Kamu tidak lelah duduk di sini terus sambil menunggu?"

"Tidak apa," ujarnya. "Anak-anak hanya ingin permen."

"Mereka mengabaikanku," ujarku jujur.

"Benarkah?"

"Kamu tidak sadar?"

Ia termenung, barulah tampak paham.

Hening lama. Kesunyian mencekam hingga membuatku tidak nyaman meski tetap memandang mata hijaunya.

"Boleh duduk sebentar?" tanyaku.

Ia mengiakan.

Kami hanya duduk, sambil memandang perumahan selagi malam bergulir.

***

Tiada yang kuingat selain bersandar di bahunya sebelum waktu bergulir entah mengapa. Ia belai pelan rambutku hingga membuai, membuat diri lupa kalau sudah di rumah orang.

Kulirik lagi jam dan jendela, hari masih malam, dengan perayaan yang sama. Aku langkahkan kaki keluar, menengok dari jendela akan sosoknya.

Ia di sana, tengah duduk bersama pria lain yang kuyakini sebagai sahabatnya. Keduanya tampak berbincang serius sebelum akhirnya sang teman serahkan sebungkus permen.

Mereka tertawa sebelum berpisah.

Aku lantas keluar dan mengejarnya. Beruntung keberadaanku tampak tidak disadari.

"Siapa itu?" tanyaku.

"Seorang teman lama," balasnya. "Kamu datang."

"Apa?" Barulah aku ingat, hendak kutanyakan bahwa-

"Terima kasih sudah berkunjung, Halloween tahun ini memang sunyi." Ia lantas tersenyum dan mengajakku masuk.

"Um, sudah malam ke berapa?" heranku. Bukankah malam Halloween tidak selama ini?

Bukannya menjawab, ia berpaling dan biarkan pintu terbuka, isyarat mengizinkanku masuk.

Aku lantas masuk dan ikuti langkahnya.

Rumahnya ... Sangat aneh.

Hanya itu yang bisa kukatakan.

Satu-satunya yang masuk akal hanyalah seekor laba-laba yang bergelantungan di pojokkan, begitu kecil namun terlihat jelas.

"Silakan duduk." Ia rupanya tengah bersandar di sofa, entah kenapa nelihatnya begitu membuatku gemas namun kutahani.

Mata hijaunya nan sejuk disertai senyuman lembut itu telah meluluhkan kalbu. Aku tanpa sadar tersipu namun ia tampak tidak keberatan.

Ia panggil namaku lalu berucap, "Duduklah."

Aku duduk di sisinya dan bertanya. "Kamu orang mana? Rumahmu ... Unik."

Ia terkekeh. "Benarkah? Padahal biasa saja."

Kutatap sekeliling. Kenapa ada cahaya bergelantungan di langit? Lalu, benda kecil apa yang tergeletak di depan dan mengeluarkan bunyi-bunyi aneh?

"Kian." Hanya itu yang bisa kukatakan, memanggil namanya. "Benda apa ini?" Kutunjuk ke atas, cahaya bergelantungan tadi.

"Eh?" Ia pun tampak bingung. "Ini ... Lampu."

Lam ... Pu?

Ia raih tanganku, terasa lembut dan hangat sementara aku gemetar tidak tahu harus berkata apa.

"Selamat malam Halloween," ucapnya. "Sudah empat tahun kita saling sapa."

Apa ... Maksudnya?

***

Bayangannya kembali muncul dari balik jendela, kini tampak lebih pucat dan tengah mengobrol dengan si pria tadi. Berarti, satu tahun telah berlalu dan ini tahun keempat pertemuan kami yang hanya sebatas mengobrol sejenak.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, aku memilih diam dan hanya mengamat. Membiarkannya terus mengobrol dengan sang teman hingga malam tergulir.

Selagi menunggu, kutatap sekeliling. Anak-anak tampak lebih tinggi dan gemuk, berjalan sambil berbincang tentang malam ini. Tiada perubahan selain itu.

Mata hijau Kian masih sama, meski cahayanya memudar.

Anak-anak masih berebut permen.

Rumahku juga masih tampak kokoh.

Sementara aku? Aku sendiri tidak tahu.

Kuamati Kian dan temannya, masih mengobrol santai. Mereka lalu masuk ke rumahnya dan demikianlah ia.

Aku lantas keluar dan mengamati sekitar. Mencari tahu apa yang terjadi.

Namun, entah kenapa kakiku terpacu ke rumahnya. Tempat terakhir yang ingin kulihat. Lalu, kudengar percakapannya dengan sang teman.

"Temanmu tidak datang tahun ini?" tanya temannya.

"Mungkin karena ada kamu," sahut Kian. "Kulihat ia begitu pemalu."

"Lho, aku tidak punya kekuatan sepertimu," sahut sang teman. "Tidak mungkin kuintip gadismu."

Kian terkekeh. "Ia sepertinya lupa kalau sudah berlalu abad entah ke berapa."

"Umurnya berapa?"

"Entah, barangkali seabad lebih. Tapi, kenapa baru sekarang kukenal? Logikanya, ia setidaknya melihatku sejak kecil."

"Apa karena ini malam Halloween?"

"Maksud?"

"Kamu tahu, arwah dan Halloween."

"Ah, masa?"

"Siapa tahu kalau kamu adalah takdirnya."

Aku maupun ia tergelak mendengarnya.

Sesuai dugaan, sang teman menyahut dengan serius. "Kamu kira dia kebetulan datang? Ayolah, kamu juga butuh teman. Semakin hari makin pucat saja."

Kian menunduk. Ya, ia memang tampak lebih pucat dari tahun kemarin entah kenapa.

Temannya lalu panik sambil menyerahkan sebungkus permen padanya.

Tak lama, kulihat ia melirikku dan tersenyum.

Aku berpaling akibat serangan pipi panas serta jantung berdegup kencang.

Kutatap sekeliling lagi, di ruang dan rumah yang sama dengan tahun berbeda.

Kutahu ia sedang menunggu. Sedang termenung dalam rindu menanti.

Aku keluar, beberapa anak yang kini meninggi masih tidak menyadari keberadaanku.

"Kian!" seruku.

Sesuai dugaan, tiada merespons kecuali dirinya yang masih berdiri membagi permen pada anak-anak. Mereka sudah besar dan gemuk namun bertingkah seakan tidak bisa makan selain malam Halloween.

Labu berjejer rapi depan rumahnya seperti biasa. Karena ini tahun kelima, wajar kalau banyak perubahan di sekitar. Kecuali dirinya yang tampak sama saja namun masih saja pucat.

Kupanggil lagi namanya.

Mata kami bertemu. Ia tersenyum dan kembali membagi permen.

Kutunggu sambil membiarkan anak-anak berebut permen. Di antara mereka dengan kepo bertanya.

"Paman sudah menikah?"

"Belum." Ia tersenyum, disertai sinar rembulan membuat sosoknya bagai malaikat.

"Paman tidak punya rencana habis ini?" tanya mereka.

Kian terdiam, melirikku. Aku tahu, anak-anak itu akan mengira kalau ia hanya mengalihkan pandangan agar lebih fokus atau mencari jawaban yang tepat.

"Aku ... Tidak tahu." Ia bahkan terdengar ragu.

Anak-anak mengikuti arah pandang, padaku. Namun, jelas mereka tidak tahu apa yang ditatap selain jalan dan rumah tetangga.

Salah satu dari mereka menunjuk rumahku. "Hei, kenapa rumah itu tidak didiami lagi?"

Kian terdiam, ia terus menatapku ragu, seolah minta jawaban.

Aku tidak mungkin jujur, kecuali itu akan membuatnya tampak seperti paman jahil yang menakuti anak-anak di malam Halloween, meski itu lumrah dilakukan.

"Ke mana pemilik terdahulu?" tanya seorang dari mereka.

Yang lain membalas, "Kudengar kalau rumah itu dihuni seorang gadis remaja. Saat itu, dia sedikit lebih tua dari kita. Nah, karena ditinggal mati orangtuanya, wajar kalau dia sedikit ceroboh dan tidak sadar kalau lilinnya terjatuh hingga membakar seisi rumah."

"Ah, masa?" sahut temannya. "Mana mungkin sebuah lilin dapat membakar satu rumah?"

Yang lain menyahut, "Memang siapa yang menghuni setelahnya? Kamu bilang terbakar, tapi kenapa tampak baik-baik saja?"

Anak itu membalas, "'Kan, rumah hantu. Pas direnovasi baru dijual, lalu ada komplain. Itu teoriku."

"Tapi, kenapa rumahnya dibakar tadi?" tanya temannya.

"Bisa jadi ada yang iri dengannya," balasnya. Anak itu berpaling ke Kian. "Paman bisa lihat hantu, 'kan? Bisa tanya dia?"

Kian terdiam sejenak. "Dia ... Sepertinya tidak sadar kalau beberapa dekade telah berlalu."

"Maksud Paman?"

Salah satu anak menyahut, "Begini, dia mungkin sudah lama 'tertidur' sebagai arwah dan baru bangkit di malam Halloween yang entah ke berapa nanti. Paman pernah lihat?"

Kian mengiakan tanpa menambah apa-apa.

"Paman?"

Ia menatapnya. "Ya?"

"Bantu kami investigasi rumah ini!"

Tiada balasan selain tatapannya, tangan dan bibir bergetar. Ia menatapku ngeri, dengan mata hijaunya yang tampak memudar seakan jiwa itu terkikis dari raga.

Ia roboh.

***

"Kuharap engkau tenang di sana."

Ada .. Apa?

Yang kulihat hanya kegelapan. Namun, aku tahu suara siapa itu.

"Maafkan aku."

Kulanjutkan langkah. "Apa maksudmu? Ada apa?"

Tiada sahutan.

Tidak jelas pula maksudnya.

Aku menyeru.

Hening.

Waktu bergulir begitu cepat, namun sayang aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi.

Hingga ...

***

Ini sudah tahun keenam. Anehnya, tiada perubahan di rumah kosong ini. Aku tetap berada di ruang dan pemukiman yang sama.

Aneh, kenapa rumahnya begitu sunyi?

Kutatap anak-anak yang tengah berjalan dengan raut muram. Hati lantas gemetar, firasat buruk merasuk.

Tidak ...

"Malam ini, kamu rayakan dengan apa?" tanya salah satu temannya.

"Harusnya, bersama Paman kita," sahut temannya.

Mereka terdiam sejenak.

"Apa ... Itu karena kutukan si Hantu?"

"Maksudmu?"

"Aku dengar kalau dulu orangtuanyalah yang membunuh gadis malang itu."

"Masa? Kenapa baru sekarang?"

"Tadi siang kujenguk Paman, ia akhirnya bercerita."

"Apa katanya?"

"Dia ..."

Aku sudah dengar semuanya. Lantas melangkahkan kaki ke rumah. Kali ini, tidak lagi aku heran mengapa bisa ke sana dengan atau tanpa seizinnya.

"Kian!"

Seruanku menggema, namun jelas anak-anak itu tidak bisa dengar.

Aku melesat ke beberapa ruang mencarinya, berharap segera menemukan hingga-

Kudengar bisikan lirihnya, memanggil namaku.

Aku menoleh.

Ia berdiri depan jendela, tampak lebih pucat dari tahun kemarin. Seisi rumah seakan sengaja dimatikan agar terkesan terbengkalai meski penghuninya masih di sana.

Aku mendekat.

Ia hendak menyentuh pipiku, namun jemarinya menembus. Keheningan mencekam, hanya tatapannya yang membuatku sedikit tenang.

Ia sekali lagi membisikan namaku.

Aku pun membalas.

"Maafkan aku."

"Ada apa?"

"Aku-"

Hanya dengan kalimat sederhana, ia tuturkan semua.

Ya, aku memang terbunuh akibat api. Pelakunya tidak lain adalah orangtuanya.

Ini dendam temurun, hanya karena persaingan.

Aku yang tidak tahu apa-apa.

Aku yang bahkan tidak mengerti apa pun.

Ikut terkena.

Kini, keturunannya berdiri padaku.

Mata hijaunya sayu, seakan siap dicabut nyawanya.

"Mari pergi bersama."

Hanya itu kata-kata terakhir.

Ketika gerbang antara dunia arwah dan manusia terbuka, aku harusnya datang padanya untuk membunuh keturunan itu. Sekaligus memutus rantai kutukan ini.

Ia tidak bersalah.

Tiada yang patut disalahkan.

Kami hanya keturunan, yang bahkan tidak tahu dosa leluhur.

Tugasku tinggal mencabut nyawanya.

Memutus rantai ini.

Tapi ... Bagaimana bisa?

Suara lembutnya kembali terdengar. "Kamu tidak bertindak?"

Kupandangi matanya.

Tangan diulur.

Inilah tahun terakhir.

***

"Pulanglah. Waktumu telah tiba."

Barulah aku sadar.

Semua telah berlalu.

Kendati demikian, aku malah masih terbangun di malam Halloween berikutnya.

Di tahun yang entah ke berapa ini, sekaligus tahun setelah kepergiannya.

Entah sampai kapan aku akan berpisah dengan mata hijaunya.

Entah sampai kapan harus kutunggu ia menyusul.

Yang pasti, aku akan menunggunya.

Menunggu hingga malam Halloween berikutnya.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro