Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Onela

ONELA

Aku menyebutnya Onela-desa nan jauh dari hiruk-pikuk. Tak banyak kegaduhan di malam hari, selain hening pengisap sukma sebelum fajar menyingsing. Beruntung kekeraskepalaanku mampu memecahkan omelan Veney agar tidak terlalu sunyi.

"Ayolah, Bu. Sesekali, biarkan aku mengikuti pesta labu." Kakiku menghentak-hentak tanah, kemudian mengekor ke mana pun ibu pergi. Ketika ia berbalik jengah, bibir ini menyengir kuda.

"Tidak ada apa pun di pesta labu." Ia menghela napas. "Pesta labu perihal makan labu dengan berbagai macam olahan hanya bohong. Di sana ...." Ibuku meneguk liur. Oh, Veney tengah mengkhawatirkan sang puteri.

Bibirku merengut. Sekian lama hidup, tetapi ibu tak pernah mengizinkan anak bontotnya ini mengikuti pesta labu. Mungkin, di sana terdapat olahan labu yang tingginya satu menara. Sungguh, aku amat penasaran. Namun tidak, akal ini lebih dari tahu bahwa ucapan ibu hanya dusta dan ia baru saja mengakui secara terang-terangan.

"Aku ingin ke pesta labu. Apa pun alasannya." Egoku masih bersikeras.

Namun ibu menarik lenganku, menimbulkan hentakan halus dan debu yang mengepul karena telapak kaki kami bergesekan dengan tanah. Ia menyorot sayu. Ada sesuatu, tetapi entah apa.

"Q pernah mengatakan bahwa jika mengikuti pesta labu, maka di sana kita bisa bertemu ayah." Aku mengigit bibir sebelum mengembangkan senyum kaku.

"Ayahmu telah mati." Datar, tanpa emosi. Namun, menyiratkan luka.

Tungkaiku mundur karena bibir ibu mulai bergetar. "Pesta labu adalah ketika makhluk halus berbaur dengan manusia, Bu." Napasku terhela, bersama kebekuannya. "Oh, ayolah. Aku tidak seserius itu," ucapku di sela gelengan. Banyak gadis dan pemuda desa yang ikut pesta labu, sementara aku?" Bahuku mengedik sebelum berbalik dan berlalu ketika Q memanggil dari arah depan.

Langit telah kelam. Saatnya kakakku menceritakan masa pahit dan manis perihal Desa Onela bersama pesta labu yang hingga detik ini masih menjadi angan-angan nyata di imaji.

***

Q pernah berkata, dahulu ada gadis polos berbibir merah ceri nan menikah dengan bangsa iblis. Gadis itu terjerat karena pesona dalam semalam. Namun cinta, tetap partikel suci dalam jiwa.

Tunggu. Bukankah iblis tak memiliki jiwa? Lantas, bagaimana mereka mampu saling mencinta? Entahlah. Rasanya, sulit sekali dinalar. Keduanya melawan takdir Tuhan karena bersatu dan dikarunia puteri sebelum takdir sesungguhnya kembali memisahkan. Aku percaya, mereka tetap minyak dan air-tak dapat melebur.

"Lalu, apakah anak iblis dan manusia itu memiliki darah keduanya?" Aku mati penasaran, tetapi Q mengedikkan bahu. "Maksudku ia murni menjadi manusia, iblis, atau keduanya? Seperti siluman misalnya?"

"Bayi nan cantik jelita itu murni menjadi manusia berdarah manis yang diburu raja iblis."

Mataku berkedip penasaran.

"Manusia zaman dahulu menyebutnya sebagai Qrasther." Q mengangguk.

"Ia disebut Qrasther?" Aku memastikan lagi. "Bagaimana mungkin? Lantas, ke mana percampuran darah sang ayah jika ia masih menjadi manusia?" Alisku bertaut. Menikah tidak hanya meleburkan rasa, tetapi juga darah.

Q tersenyum kaku, menampilkan lubang kecil pada pipinya. "Ia manusia. Hanya saja, manusia yang diburu oleh Lucifer karena berdarah ganda dan hidupnya-"

"Pesta labu!" pekikku ketika sorot lampu dari arah luar memasuki celah bambu gubuk kami. Akhirnya, tungkaiku beranjak dan mengintip.

Aku menemukan penduduk desa yang sibuk mengangkut labu hasil panen beberapa hari lalu menggunakan keranjang bambu. Buah itu akan dipindahkan ke ujung perairan sebelum dilubangi bersama dan diberi lampu agar bercahaya. Kemudian, dibawa ke perayaan pesta labu yang disebut sebagai Halloween. Menarik, tetapi Q dan ibu tak pernah mengizinkanku ikut bersenang-senang.

"Ayolah." Napas dari hidung dan mulutku berembus dengan bahu yang naik turun. "Q, ini hanya perayaan." Aku berbalik, memperhatikan wajah jingganya karena cahaya teplok.

"Sekali tidak, tetap tidak. Pesta labu bukan ranahmu." Ia menarik napas, kemudian menyorotku sayu bercampur geram hendak menerkam. "Jika usiamu telah dua puluh satu tahun, kubiarkan kau melanglang buana."

Aku bersedekap. Begitu setiap tahunnya. Amerya hanya akan menjadi gadis gubuk karena dipenjara oleh mereka. "Bagaimana denganmu? Bahkan kau telah menginjak dua puluh tiga tahun, Q!"

"Karena hidupku, hanya aku yang menentukan." Ia beranjak, hendak memasuki kamar. Bayangan gerak tubuhnya nan memantul di dinding bambu menyisakan penasaran hebat perihal pesta labu.

Yang kudengar dari pemuda desa, pesta labu-Halloween adalah hari di mana manusia harus menyamar menjadi iblis agar tidak dimangsa. Namun, aku berpikir lain. Apa jadinya jika kami tidak menyamar? Akankah kami sungguhan dimangsa?

***

Tak pernah terpikir olehku berapa banyak manusia di tanah datar ini selain mengais sisa-sisa kebaikan penguasa yang mengatakan bahwa bumi ini hanya sepetak kecil tanpa perjuangan, perlawanan, dan menunggu kematian. Amat mengerikan, tetapi tragedi hanya secuil partikel kelam yang mudah digilas karena keberanian.

Hidup untuk mati. Tidak ada tabib penyembuh ataupun pengajar selain ilmu yang kudapat dari ibu dan kakak. Itu sebabnya kami hanya menunggu sekarat dan tenggelam dalam kebodohan bersama keinginan bertahan-agar tidak dipanggil-dihadapkan pada penguasa yang kami anggap pengisap, kemudian tak akan kembali dan Onela hanya mimpi samar yang patut dilupakan.

"Amerya, aku akan ke pasar menjual sayur hasil panen kemarin sore. Jadi, pergilah ke kebun lobak seorang diri." Q memilah sayuran yang layak dan tak layak dijual.

Ini masih pagi. Langit pun tampak mendung. Namun, semangat Q telah membara bak lampu di dalam tubuh labu. Cahaya itu memancar, tetapi terperangkap. Inilah kami, terjebak dalam Onela. Q menerima, sementara aku tak sudi.

Kakakku memasukkan sayur ke karung raksasa dengan hati-hati agar dedaunan rapuh itu tidak rontok, berakhir remuk setibanya di pasar. Alih-alih menurunkan harga jual, bisa saja diminta untuk pakan sapi.

"Jika aku melarikan diri dari Onela dan memutuskan mencari kehidupan, apa kau akan ikut?" Aku tersenyum datar ketika Q menyorot tak kalah datar.

Otaknya mengolok kebodohanku sebelum menggeleng. Ia bak nyawa dalam raga nan bertekuk lutut pada Onela dan enggan meninggalkan desa antah berantah. "Tak ada gunanya aku hidup setua ini jika melarikan diri menjadi keputusan terakhir. Untuk apa?" Kini, Q sibuk memasukkan koin emas ke dalam tabung. Mungkin, kami akan makan empal malam ini karena tabungannya telah menggunung.

"Di mana ibu?" Aku duduk di ranjang kayu depan gubuk, kemudian mengayunkan kaki penuh tanya.

"Ibu sudah lebih dulu ke pasar, berebut kios dengan orang yang menjelma bak saudagar di setiap hari senin." Lengan mungilnya mengangkat karung goni ke punggung yang kubantu dengan sigap.

Kutepuk-tepuk pundak Q yang kini menatap nyalang. "Kau harus mencari banyak uang untukku. Hitung-hitung untuk biaya memberi makan orang sedesa. Barang kali, adikmu ini dilamar saudagar kaya."

"Mengapa pihak wanita yang memberi makan sedesa?"

"Sudahlah, kau menurut saja. Sibuk tak masalah, tetapi jangan lupakan tradisi tanah kesayanganmu ini-Onela." Aku terkekeh garing.

"Adik kurang ajar! Aku berpeluh, sementara kau ...." Napasnya terhela panjang, mengatur kesal karena enggan berdebat. "Pergilah ke kebun lobak." Wajahnya mengedik ke jalan setapak di tengah semak sebetis. "Bisa kau lihat rerumputan kecil yang mengisap inang jelitanya."

Sorotku kosong ketika punggung berkarung goninya berlalu.

"Bagaimana mungkin kau bisa hidup di tengah kejanggalan, Q?" gumamku.

***

Aku kerap bertanya ketika menyorot ke barat, timur, utara, dan selatan. Sesungguhnya, apa yang ada di sana? Gadis seusiaku nan dijemput, tak pernah kembali. Mungkinkah mereka menemukan peraduan memabukkan, menyebabkan jiwa dan raga tak lagi sudi menapak di Onela subur ini? Atau teman-temanku telah mati, menyisakan bangkai tanpa nyawa. Mereka terbebas dari Onela dan menemukan tanah yang lebih subur, atau karena tak mampu lagi menapak dunia?

Mereka memang penguasa gila. Menggilas keberadaan gadis desa.

Di tengah tanah lembap, aku tergugu bersama sejuk karena pepohonan berdaun. Sejuah mata memandang, tak ada nan tampak selain rumah dengan jumlah terbatas dibandingkan kentalnya belantara. Kemudian, kami harus melalui jalan setapak untuk tiba di perkebunan polos-tanpa pohon raksasa karena telah ditebas habis oleh penguasa.

Nyaris delapan belas tahun aku hidup-kata kakak. Ada beberapa malam di mana tak seorang pun gadis nan diizinkan keluar gubuk. Jika tidak, kami akan mati. Namun keesokan harinya, desa telah bersih. Sapi-sapi pun berjejer rapi sehabis membajak sawah meskipun tanpa suara. Ini aneh. Aku tentu saja penasaran. Namun nyawa, masih teranggap berharga selagi belum dijemput oleh penguasa.

Benar. Penduduk desa percaya bahwa setiap ada kelahiran di Onela, maka akan ada satu gadis yang diseret paksa. Namun aku-ketika mengintip dari balik pohon jati, hanya mampu menatap nanar penuh buram ketika ia menjerit ketakutan. Kemudian bertanya, kapan kiranya giliranku tiba? Karena hidup ini memang sekadar menunggu ajal.

"Tidak! Aku tidak sudi ikut dengan mereka," gigiku beradu. "Aku pasti menemukan di mana sesungguhanya Onela ini berada, kemudian beranjak dari kejanggalan."

Desa ini terlampau kecil dan sejauh mata memandang, memang tak kutemukan selain pepohonan nan menjulang. Kakak perempuanku mengatakan bahwa sebelum aku lahir, ayah pernah bercerita mengenai daratan. Katanya, daratan ini tak berujung yang hanya berisi semak belukar. Selain itu, di bumi hanya ada dua golongan-rakyat jelata dan penguasa yang dibatasi gerbang emas kasatmata.

Apakah kalian berpikir aku pernah menemukan silaunya emas seperti yang ayah ceritakan pada Q? Tidak! Tak ada satu pun dari kami yang berani mencari mati. Kata Mareline-ibu temanku, haram bagi rakyat jelata sekadar menatap gerbang emas di tengah lingkaran pohon raksasa jika tidak dijemput oleh penguasa entah untuk apa. Jadi, tugas kami hanya menunggu dijemput untuk bebas atau berbalik terkurung.

Tubuh ini meremang sebelum menoleh ketika seseorang menepuk pundakku. Ia menyalurkan hangat yang mampu membuat raga terpaku. Ketika menyorot netra beningnya, tungkaiku mundur teratur sebelum terduduk di tanah.

"Amerya Vallery." Ia menyebut namaku dengan bisikan lembut.

Kepalaku menggeleng refleks sebagai respons dari waspada.

"Bagaimana mungkin kau bisa mengetahui namaku?" Aku menuntut dan ikut menyorot arah pandangnya. Apakah ia ingin menjemput dan bibir ini berakhir histeris seperti gadis tempo dulu? Pikiranku bertanya-tanya.

"Lobak." Telunjuk pemuda itu mengacung pada plang kecil berisi tulisan di salah satu lobak yang tumbuh lebih cepat dari teman-temannya karena berukuran paling besar. "Kau lebih dari waras karena menamai lobak dengan nama manusia jika meletakkan namamu di sana masih masuk di logika."

Gigiku beradu karena kekehan jenakanya.

"Entah apa yang membuatku berpikir bahwa nama di plang itu adalah nama sang empunya lobak."

Tidak penting dan aku tak peduli berlebih tertarik dengan pembahasan dari mana pemuda itu mengetahui namaku. Saat ini, aku masih berusaha menepi dari pemikiran seputar Onela. Satu lagi, matanya berkilau yang mampu membuat terpaku.

Ia mendekat sebelum berjongkok, menyejajarkan mata. "Aku telah mendengar ketakutan para gadis ketika dijemput." Tatapannya amat datar, tetapi menyiratkan keanehan. "Maka dari itu, jangan mencari tahu di mana Onela berada." Ia berkedip serius, mematenkan ucapan dengan ekspresi. Kemudian, mengais pemikiranku.

"Kau tahu mereka dibawa ke mana?" tanyaku penasaran dengan liur terteguk, tanpa kejelasan karena ia paham makna pertanyaanku yang tergolong memiliki nestapa. Tak berharap pria berpenampilan lusuh ala anak petani ini tahu karena kami pun sama-terjebak.

"Ke negeri antah berantah."

"Di mana itu?"

Bahunya mengedik.

Aku tercenung setelahnya, menyorot tumbuhan lobak mungil yang sedari tadi berusaha kubebaskan dari kurungan rerumputan. Namun setelah mengingat sorot teduhnya yang menyiratkan rahasia, rasa penasaranku meluap ke udara. "Aku baru melihatmu di sekitar sini."

"Ya, rumahku terletak di ujung desa." Tangannya terulur, menyentak jiwaku agar sudi berkenalan. "Luc Leewind." Ia menengadah, pamer wajah pada awan meskipun siang menjelang pagi ini agak mendung. "Amerya, desa ini tidak sepetak yang kau kira." Telunjuknya mengacung-membentuk garis tegak lurus ke langit sebelum membentuk seperempat lingkaran setelah menunjuk ke depan dengan gerak perlahan. "Langit berbentuk seperti kubah, itu pertanda bahwa desa ini bukan petak kecil."

Aku terdiam.

"Jika hanya sepetak, tidakkah kau berpikir bahwa lambat laut tanah ini akan habis karena pinggirnya terkikis air hujan?" Bibirnya terangkat sebelah. "Lantas, di mana kau akan tinggal?

Aku tidak terima karena sorot Luc mencemooh seolah berkata, bermainmu kurang jauh, Amerya. "Nyatanya, ibu dan kakak perempuanku mengatakan begitu." Setelahnya, bahuku mengedik tak peduli dengan bibir mencebik refleks karena kesal pada diri sendiri. "Onela hanya kehidupan kecil di tengah luasnya bumi nan datar," jawabku asal. Kami tak saling kenal, tetapi aku merasa familier dengan hawanya.

"Kau berpikir bumi ini datar?" Ia meratakan tanah menggumpal dengan telapak kaki, kemudian duduk santai. "Nanti malam, ada pesta labu di desa ini. Akan kubuktikan bahwa bumi ini tidak datar."

Pesonanya menerpa wajahku yang terdiam. Pemuda itu tampan, hangat, dan memabukkan. Entah apa yang salah pada diri ini. Namun ketika sorotnya menjatuhkan telak, ada sesuatu yang tak dapat bangkit dari jerembap. Gilanya lagi, ajakan pemuda itu membuatku memikirkan cara untuk melarikan diri dari ibu dan kakak nanti malam. Kemudian, bersenang-senang bersama Luc tanpa omelan panjang. Mungkin, hal ini terjadi karena aku haus dunia luar.

"Ibu dan kakak perempuanmu tidak akan mencari dan bertanya. Percaya padaku." Ia berucap serius.

Bak terhipnotis dengan netra Luc, aku mengangguk gagu. "Baiklah. Buktikan padaku bahwa dunia tidak seputar berkebun dan menunggu ajal."

Ia tak menggubris, memilih beranjak sembari menepuk-nepuk bokong agar bersih dari tanah. "Banyak hal yang orang terdekatmu tutupi."

Rambutku terkena angin hingga menyentuh pipi ketika suara lembutnya mengalun, memunculkan remang pada tubuh. Dada ini pun bergejolak karena langit mendadak kelam sebelum kembali cerah. Aku setuju dan merasa bahwa ucapan Luc adalah benar. Semenjak kepergian ayah, aku hanya nyawa dalam raga yang tumbuh di tengah pagar keingintahuan dan berpatok pada apa yang sekitar ciptakan. Buktinya meskipun manusia seusia kami berpikir mengenai sesuatu yang sama, tetapi Luc mampu memikirkan sesuatu yang berbeda. Aku perlu berguru padanya atau kami akan mencari bersama-sama.

"Aku akan ikut denganmu untuk menghadiri pesta labu malam ini." Bibirku tersenyum senang. "Aku tahu, yang kau maksud pesta labu adalah Halloween, bukan?"

Pemuda itu mengangguk di sela senyum.

"Amerya!"

Kami berdua tersentak, menatap cemas wanita matang nan berdiri di pematang sawah yang kini menjadi perkebunan lobak.

"Ibumu mati keracunan, sementara kakakmu ... dijemput oleh penguasa."

Petir menggelegar di sekitar tubuh kami. Sudut kelopakku telah basah.

Sesuai praduga bahwa aku benar-benar hidup di sisa kesia-siaan karena hanya menunggu ajal.

***

Penguasa-manusia berjubah nan menyeret para gadis, kemudian membawanya entah ke mana. Anehnya, sekitar hanya terpaku-seolah tunduk-ketika penguasa datang, tanpa berbicara. Setelah manusia di sekitar kejanggalan sadar, langit akan kelam dan penguasa bersama sang gadis telah menghilang di semak belukar sebelum seluruhnya terjaga. Akhirnya, mereka kehilangan dan aku satu-satunya yang tidak terkendali karena mampu menyadari perihal apa yang telah sang penguasa lakukan. Sungguh, mantra tunduk benar-benar tak berarti bagiku.

Tidak seluruhnya. Penguasa hanya memilih yang terpilih.

Aku tidak pernah meninggalkan mereka, tetapi mereka yang meninggalkanku. Kini, raga itu terkubur dalam bumi dan akan lebur dimakan tanah. Sementara Q, aku berharap dipertemukan dengannya kelak.

Siang tadi penduduk desa berbondong-bondong melangsungkan upacara kematian. Sementara aku, hanya insan dengan tetesan air mata. Seharusnya jiwa raga ini telah siap jika ditinggalkan karena sekeras apa pun menolak, penguasa akan datang dan kematian hanya lagu lama yang dianggap biasa. Namun, kehilangan tetap mendarah daging di nadi manusia.

Benar, bukan? Tak ada alasan bagi kami untuk hidup selain menunggu ajal. Di siang hari bumi ini seolah kelam, tetapi malam kembali biasa kecuali bagi hidup sang empunya nestapa.

Senyap. Tak ada lagi suara gaduh dari dapur ketika ibu merebus ubi, ataupun rapalan Q yang mengisahkan tragedi sehabis senja sebelum menyisakan ketertarikan di imaji. Lagi, senyap.

Gesekan pintu dan tanah mengejutkan nestapa. Wajah lusuh ini terusap kaku karena Luc datang dengan kostum ala pengeran. Seolah tak memberiku kesempatan untuk bertanya, ia melempar helai putih tanpa permisi. "Pakai ini!"

"Apakah kau akan membawaku ke pesta labu?" Air mata di pipi kuusap ketika ia mengangguk. Ada harapanku di wajahnya nan ungguh-sungguh.

Terlampau banyak definisi pesta labu yang mereka utarakan. Pertama, Veney mengatakan bahwa pesta labu adalah perayaan dengan menu labu. Kedua, gadis seusiaku memberitahu bahwa pesta labu hanya berisi manusia nan bersenang-senang biasa. Terakhir, Q mengaku bahwa pesta labu-yang disebut Halloween-adalah waktu di mana alam manusia dan iblis melebur menjadi satu. Ucapan ibu terlalu klise, begitupun dengan Qava. Yang masuk akal hanya bualan Q dan hal itu kuanggap tidak biasa.

Aku memiliki tujuan dan malam ini adalah kesempatan.

Tubuhku berlalu, mengganti pakaian lusuh dengan gaun putih bersih pemberian Luc. Setibanya di hadapan pemuda itu, sorot takjubnya kuabaikan.

"Mari kuhapus kesedihanmu malam ini."

***

Desa ini tampak sepi. Mungkinkah mereka semua mengikuti pesta labu? Kelam dan sejuknya embusan angin tanpa kehidupan memberiku jawaban. Pantas ibu dan Q tak pernah mengizinkanku keluar di malam perayaan. Mungkin, sang puteri akan mengamuk dan bertanya mengapa Amerya hanya satu-satunya yang tak diizinkan mengikuti Halloween.

"Luc, apakah kita akan tiba di sana ketika fajar?" Aku menatap dari balik bahunya nan gagah. "Ini nyaris tengah malam.

"Tidak sejauh itu, Amery."

Panggilan indah terucap dari bibirnya. Setelah diam, kami melangkah beriringan melawan pekat. Malam kepergian Q dan kematian ibu seolah bersahabat pada langit.

Di sepanjang perjalanan, belum kutemukan hal menarik selain semak belukar. Jika boleh menyimpulkan, aku bak burung emas di sangkar gubuk. Amat disayang dan tak diizinkan terbang, kecuali malam ini karena mereka telah tiada. Aku menyadari bahwa untuk mendapatkan kebebasan, harus melepas ibu dan Q sebagai gantinya.

"Ketika menjemputku, kau melewati semak-semak ini?" Aku mendongak, agak kesulitan mengimbangi langkahnya dengan gaun putih nan sesekali tersangkut pada tumbuhan kecil sebetis.

Luc menarik sudut bibirnya, membentuk lengkungan memesona.

"Tak ada jalan lain. Aku bukan peri bersayap yang mampu melewati langit."

Aku pun ikut menarik ujung bibir. Candaan garingnya mampu menyirami luka siang tadi. Setidaknya, malam setelah kematian ibu dan kepergian Q tidak sekelam malam pekat karena pemuda ini menggandeng tanganku. Kami baru bertemu, tetapi tidakkah manusiawi jika ia memberiku kenyamanan baru?

Kematian di Onela ini dianggap biasa. Siang berdukacita dan malam mencari sukacita. Hal ini benar-benar lagu lama.

Entah berapa lama kami berjalan, menyusuri hutan. Namun, aku agak terkejut karena fajar mulai menyingsing karena langit menyentuh biru kelam. Ada kejanggalan. Aku tak berharap hal ini sesuai dengan apa yang Q ceritakan.

"Sudah pagi, Luc." Aku bergumam di tengah semak belukar, penuh kekhawatiran. "Ini ...." Ucapanku menggantung karena Luc menggeleng, memangkas ketakutan.

"Hanya terang bulan. Buktinya, tak ada ayam berkokok."

Napasku terhela, menepis kengerian-kengerian ucapan Q perihal bangsa iblis.

Semak-semak melambai abstrak di sudut-sudut mataku. Rayuan makhluk sekitar agar aku sudi melirik ke kanan ataupun kiri terlawan oleh rasa penasaran perihal kapan kami akan sampai. Namun, aku kembali tersadar dengan ucapan Q. Jika kau merasakan pergantian kelam menuju fajar yang amat cepat, itu pertanda bahwa bangsa iblis tengah bersenang-senang.

"Luc ...." Ucapanku menggantung karena terkesiap ketika kunang-kunang mengiringi langkah kami. Formasinya membentuk deretan serdadu yang siap memerangi pekatnya biru kelam. "Wuah ... kunang-kunang."

Luc menunduk. "Itu peri."

"Itu hanya mitos. Tak ada peri di bumi ini."

"Jika begitu, pernahkah kau mendengar mitos peri yang ditangkap oleh penduduk desa dan keesokan harinya pemuda itu ditemukan mati tercincang?"

Aku menggeleng.

"Jika iblis pengisap darah?"

Aku mengangguk penuh semangat. "Q sering bercerita soal ini."

"Pernahkah kau beranggapan bahwa mitos diambil dari fakta?" Alis tegasnya dinaikkan sebelah.

"Jika begitu, tangkap dan minta sayap padanya. Tempat itu terlampau ja ...." Aku terdiam setelah dikejutkan dengan rusa bertanduk emas.

Kami berhenti karena Luc memakukan langkah. Jarinya menyentuh ujung tanduk, kemudian partikel kukuh itu melebur menjadi kepingan emas di udara. Rusa pun menjadi kupu-kupu hitam sebelum menghilang. Ini sungguh hebat!

"Jika kau menemukan rusa bertanduk emas, sentuh pucuk tanduknya. Mereka hanya ilusi. Rusa bertanduk emas tidak nyata." Luc berucap santai, kemudian menggenggam pergelangan tanganku makin erat.

"Lantas, apa yang baru saja kulihat?" Tanganku mendingin karena ngeri.

"Siluman, tetapi tidak mengganggu. Mereka hanya lewat."

Keterkejutanku hanya bertahan beberapa saat. "Dari mana kau belajar hal-hal seperti ini?" Aku melirik labu-labu bercahaya di pinggir jalan setapak yang amat membuat penasaran. Pesta labu telah dekat. "Apakah orang desa yang meletakkan itu?" Telunjukku mengacung ke arah lampu nan terperangkap karena amat menarik perhatian.

"Pernahkah kau berpikir bahwa iblis mampu melakukan ini semua?" Senyumnya mengembang.

Bibir ini terdiam karena pertanyaannya tak kurang dari masuk akal. Ketika Luc memintaku agak merunduk, bagian atas kepalaku memberat sebelum tersadar bahwa ia meletakkan mahkota yang nyaris tersangkut di rambut. "Dari mana kau mendapatkan mahkota bunga ini?" Rasa penasaranku memuncak lagi, bersama antusias. Luc berhasil membuatku selalu bertanya-tanya.

"Apakah kau perlu tahu?" Ia membenahi rambutku, tetapi tersangkut.

"Perlahan, Luc. Ini sakit!" Aku mengaduh.

Ia tersenyum caggung. "Ups! Maaf, Qras."

Senyum jenaka kami terkembang ketika telapak tangannya mengusap kepalaku. Panggilan itu .... Imaji di benakku nyaris sampai. Namun ketika menemukan cahaya berkilau di sudut mata, bibir ini tak sanggup merapalkan kata. Gedung tempat kami berpijak amat megah dan berkilau di balik semak belukar.

"I-ini istana?"

"Rumah saudagar terkaya di desa."

"Sungguh?!" pekikku karena bising. Ketika menyentuh buminya, hawa bersenang-senang amat kental mengaliri malam.

Luc tak menanggapi wajah antusiasku.

Langkah kami memelan ketika kerumunan nan kutemukan berpenampilan mengerikan. Aku bergidig, bersembunyi di punggung Luc. Meskipun tak pernah melihat, tetapi ibu dan kakak kerap bercerita perihal makhluk bertaring, berwajah buruk rupa, ataupun .... liurku terteguk karena letih berimajinasi.

"Kau sudah gila! Antar aku pulang, Luc!" Wajahku telah merah, menahan amarah dengan napas memburu.

Luc berbalik dan menunduk, menyorot rasa geramku. "Hey, mereka hanya mengenakan kostum, Amery." Ia menghela napas. "Kau tidak pernah mendengar pesta Hallowen?"

Aku diam.

"Kostum mengerikan sengaja digunakan untuk menyamar agar bangsa iblis beranggapan bahwa manusia yang mengikuti perayaan ini sebangsa dengan mereka." Ia menghela napas. "Maka dari itu, tak ada korban jiwa."

Tentu saja pernah. Namun, keanehan ini kuanggap mitos yang Q gadang-gadangkan sunguhan ada. Aku tak berpikir bahwa Halloween akan semengerikan ini karena kostum mereka.

"Selamat bersenang-senang, Amerya!" pekikan gadis dari belakang tubuh mengejutkanku. "Aku Qava."

"Hah?" Aku menoleh refleks, menemukan Qava yang dibalut kostum badut. "Qava, kau mengikuti pesta ini juga?"

Ia mengangguk antusias.

Netraku beralih menatap sekeliling sembari bergidig ngeri karena Qava mengedikkan bahu. Ruang raksasa ini dikelilingi pepohonan sebagai dekorasi menakjubkan karena tampak bak istana hutan di negeri peri, sesuai dengan apa yang Q ceritakan.

Penduduk desa tampak menikmati. Ada yang meminum arak ataupun menakut-nakuti sesamanya dengan kostum ala mereka. Aku menemukan api unggun di sudut barat, kemudian gerombolan manusia nan mengukir labu penuh antusias. Ketika melirik ke sisi lain lagi, ada atraksi berhantu dan deretan peramal yang sibuk menjejer kartu. Tak ada satu pun dari mereka yang mengenakan kostum layak. Lantas, mengapa Luc memberiku gaun yang lebih dari indah?

Luc menciptakan remang ketika menatapku berbeda sebelum mendarat pada bar nan tersaji berbotol-botol cairan merah. Seharusnya, ruangan ini pengap. Namun, aku balik mencium aroma harum nan menyeruak penuh kesegaran.

Aku menghampiri Luc yang tengah memutar-mutar cairan merah di plastik transparan. "Jika kemari, mengapa kau memintaku mengenakan gaun yang lebih dari manusiwi?!" protesku dengan dumalan, mengabaikan Qava nan melambai hendak berlalu dan bergabung bersama penduduk desa lain. Namun, Luc tidak menanggapi.

Ia beralih membawaku ke tengah medan dansa. Seluruh penduduk desa menyingkir. Mereka membentuk lingkaran, membiarkan aku dan pemuda ala pangeran ini berayun ke kanan dan kiri.

"Luc, kau gila!"

"Ini hanya pesta perayaan hasil panen, Amerya." Bibirnya terkekeh.

"Kita mengganggu mereka, Luc." Aku menatap sekeliling canggung yang dibalas kedikan bahu oleh Luc.

"Mereka saja yang refleks menyingkir." Alisnya terangkat satu. "Kau lihat, aku tidak menitahkan apa pun."

Aku menunduk kaku ketika ia mengembangkan senyum penuh kharisma. "Apakah karena ini?" Mataku memperhatikan penampilan kami sebelum mendongak. "Kita seperti sepasang puteri raja karena penampilan."

Gaun putih semata kakiku terasa menjuntai ketika Luc mengayunkan tubuh kami ke kanan dan kiri, tak sudi menanggapi.

"Apa pendapatmu tentang Onela?" Akhirnya, ia membuka suara meskipun hanya dengan bisikan.

"Hanya desa kecil yang sebenarnya tak sudi kutinggali lagi jika berhasil melarikan diri." Aku berucap jujur sebelum terjerat di tatapannya ketika Luc menyunggingkan bibir samar. Matanya berkilau karena cahaya lampu. Wajahnya lebih maskulin daripada terakhir kali kami bertemu di kebun lobak. Aku tidak menyangka.

"Kau cantik, Amerya." Ia berbisik lagi yang sontak membuat bibir ini tersenyum kaku sebelum kubalas dari hati bahwa ia pun lebih dari tampan.

Musik rock berganti dengan alunan syahdu, pengisi langit fajar-mungkin. Aku pun baru menyadari karena sibuk bergarau dengan perasaan.

"Bagaimana jika kau tidak berhasil keluar dari Onela? Kau menginginkan hal itu terjadi, bukan?" Ia menuntutku dengan pertanyaan.

"Aku akan berhasil. Ingin melarikan diri bersama?" Aku memberinya tawaran gila, tanpa memikirkan kami yang mungkin saja akan mati kelaparan di tengah belantara.

Luc merengkuh pinggulku. "Hm." Kepalanya mengangguk gagah yang kubalas dengan kekehan jenaka. Karena malu, sorotku menyirami sekeliling agar lepas dari ikatan bola matanya.

Keramaian tadi beralih sepi, terutama ketika lampu diredupkan. Mungkin mereka akan kembali ke rumah dan mempersiapkan tenaga untuk berkebun esok hari atau kami yang terlampau lama sampai tujuan? Namun, aneh. Tak satu pun dari mereka yang sudi menyapa kecuali Qava. Setelahnya, hanya ada beberapa manusia kaku yang tampak seperti monster penentu kematian. Ketika menyorot ke sudut ruangan, aku menemukan .... "Q!" pekikku nyaring dan hendak mengejarnya yang tampak di antara kerumunan.

"Amerya!" Luc menyeret lenganku.

"Aku melihat Q." Wajahku berubah semringah. "Benar. Datang ke mari, aku bisa bertemu dengan orang yang telah tiada!"

Tungkai ini nyaris sampai pada Q yang tampak kosong sebelum terseret ke belakang karena sentakan Luc. Wajah pemuda itu beralih tidak bersahabat setelah kami kembali berhadapan. Aku tak menyangka. Namun, mimpi buruk benar-benar datang.

Seluruh saraf Luc mengejang. Gigi taringnya mencuat keluar bersama sorot tajam sebelum menancap di leherku, nyaris menarik sukma. Setelahnya, nadiku mengalirkan darah lebih cepat. Sakit dan terhempas akibat racun dari taringnya. Raga ini limbung.

Bukan sekadar mitos perihal makhluk pengisap darah. Ia mampu membuatku terperosok dalam waktu semalaman. Merayuku di tengah jiwa yang sedang dirundung nestapa. Akhirnya, jiwa ini tersungkur dan menjadi mangsa mereka.

Malam pekat kebiruan adalah tragedi, tepat ketika Luc menjilat sisa darahku di sudut bibirnya setelah berliter-liter ia isap menyisakan lunglai. Aku terkulai, nyaris tidak sadarkan diri.

Suatu malam di tengah pesta Halloween, pengisap akan menjemput sang permaisuri. Makhluk itu mampu menjatuhkan dalam waktu semalaman sebelum menjerat tanpa ampun karena darah mereka yang pernah mengalir di tubuh Qrasther akan menjadi candu yang tak ternilai harganya.

"Salahkan ayah ibumu yang amat egois hingga kau terlahir dengan garis keturunan bangsa kami, Qrasther." Ia menyeringai dan terbahak, memecah kesunyian menjadi kengerian.

Mataku makin buram, mendengar suara menggelegar nan amat mencekam. Meskipun sakit di leher membuat raga ini bak tercekik, tetapi sayu ketika menyorot Luc membuatku menyadari satu hal.

"Darahmu manis dan kau adalah milikku, Amerya Vallery." Luc merentangkan tangan sebagai penguasa.

Kata Q, salah satu pengisap akan menjadikan Qrasther sebagai permaisuri dan gadis itu adalah ....

Ucapan menggantung Q beberapa waktu lalu memberiku gambaran.

Secepat gerakan cahaya, Luc mendekat. Ia berbisik. "Kau, Amery."

Mengapa tidak Q? Hatiku bertanya karena bibir tak lagi mampu.

"Karena kau puteri kandung Veney. Tidak dengan Q."

Luc merengkuhku ke dalam gendongan, kemudian berjalan menuju arah fajar bersama tubuh ini yang lemah lunglai.

"Tak akan kubiarkan kau menjadi mangsa mereka karena Amery hanya milikku-sang raja iblis." Ia menciumku dan kembali melangkah tegas-masih ke arah fajar. "Setelah cahaya meredup, monster bak penentu kematian memang bukan manusia. Makhluk itu bukan Q, tetapi iblis yang siap memangsamu karena aroma harum tanpa penyamaran."

Aku terjebak, atau dijebak? Dan malam Halloween adalah malam di mana Tuhan mengutukku untuk menyatu dengan bangsa mereka, kemudian melahirkan puteri jelita sebelum terjerat pada makhluk yang sama.

END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro