Octoberemember
Akhir bulan Oktober, isi dompet sudah mulai menipis. Bagi Diva, ini lebih menyeramkan daripada Halloween dan segala mitosnya. Diva harus melengkapi target bulanannya untuk bisa mencairkan bonus tambahan. Namun sudah hampir dua jam dia berdiri di depan booth-nya sambil membawa brosur tabungan dan kartu kredit tapi tak juga ada yang tertarik mendengar promosinya. Bahkan Diva sudah mengerahkan sejuta pesona juga berbagai hadiah menarik untuk memikat calon pelanggan. Akan tetapi semua nihil. Tak ada yang berminat.
Diva menghela napas bosan sambil memandang dekorasi di depan pintu masuk lobi utama mall yang dipenuhi ornamen labu berbentuk Jack-o'-lantern mengelilingi sebuah batang pohon kering beranting banyak dengan lampu kecil kelap kelipnya. Dekorasi bernuasna oranye dan hitam itu sudah banyak mengundang pengunjung yang datang untuk berswafoto di sana. Berbanding terbalik dengan booth pameran produk perbankan yang sedang dijaganya. Sunyi sepi seperti kuburan angker yang terbengkalai.
"Kalau aku buka seratus tabungan, apa kamu bersedia makan malam denganku?" tanya sebuah suara yang mengalihkan fokus Diva.
Di depannya sudah berdiri sosok pria yang selama ini selalu berusaha mencari perhatiannya. Nasabah premium di kantor tempat Diva bekerja yang juga merupakan pemilik sebuah restoran ternama. Diva menghela napas pelan sambil mendongak menatap pria berhidung mancung di depannya.
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa makan malam dengan Bapak. Saya masih harus menjaga booth sampai tutup mall," jawab Diva sopan. Tak lupa ia menarik sudut bibirnya untuk menampilkan senyum menawan.
"Kalau begitu, aku tunggu saja! Lagipula restoranku masih buka sampai jam sebelas malam." Pria itu menatap Diva sambil tersenyum.
"Pak Devan, maksud saya sebenarnya-"
"Aku tahu. Tapi tidak ada larangan seorang nasabah jatuh cinta pada marketing perbankannya, kan?"
"Bukan itu saja. Saya ini sudah punya pacar loh, Pak."
"Baru pacar, kan? Belum suami?" balas pria bernama Devan tersebut sambil tersenyum.
"Iya, tapi kan-" Kalimat Diva terpotong saat tatapan matanya menangkap sosok yang dikenalnya melangkah memasuki lobi di seberang booth-nya. Seorang pria yang seharusnya sedang berada di luar kota karena tugasnya.
Diva menajamkan tatapan matanya. Mencermati setiap detail sosok yang ia kira sebagai kekasihnya itu. Dan kini Diva sungguh yakin sosok itu adalah kekasihnya karena pria itu mengenakan jaket bomber hijau favoritnya. Mata Diva terus bergerak mengikuti sosok itu hingga tak menghiraukan Devan yang memanggilnya berulang kali.
"Div, hei Diva!" panggil Devan lembut.
"Maaf Pak, sebentar!" Diva menyerahkan tumpukan brosur yang dipegangnya kepada Devan dan mulai melangkah mengikuti sosok yang ia kira ia kenal tadi.
Diva melangkah cepat menghampiri sosok pria yang mirip kekasihnya tersebut. Ingin memastikan apakah dugaannya benar. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pria itu menghampiri seorang wanita berpakaian modis dengan tas buatan desainer ternama yang kini tengah memberikan kecupan di kedua pipi pria itu.
Seperti sedang melihat hantu dengan bentuk mengerikan, tubuh Diva menegang nyaris kaku. Matanya nyalang menatap pasangan tersebut. Tangannya yang berkeringat dingin mengepal di sisi tubuhnya. Wanita itu kembali melangkah perlahan menghampiri sosok pria yang ia duga sebagai kekasihnya. Hanya tinggal berjarak satu meter ketika pria itu berbalik sambil menggandeng wanita yang baru saja di temuinya. Mata Diva membelalak. Melihat perselingkuhan yang dilakukan kekasihnya di depan mata sungguh mengerikan. Bahkan lebih mengerikan daripada film horor yang pernah ditontonnya.
"Mas Aswin?" panggil Diva dengan suara bergetar. Masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Bola mata Diva bergulir menatap pria yang dipanggilnya Aswin juga wanita di sebelahnya bergantian.
"Dia siapa?" tanya wanita di sebelah pria bernama Aswin tersebut sambil memandang Diva dengan tatapan heran.
"Tidak tahu." Mata Diva melebar menatap tak percaya pada sosok yang selama ini ia anggap sebagai kekasihnya lebih dari tiga tahun. Pria itu terlihat tak acuh seakan tak pernah mengenalnya. Sungguh hebat sandiwaranya saat ini.
"Kok, dia bisa tahu namamu?" tanya wanita itu lagi terlihat masih curiga.
"Eh, masa? Dia salah orang kali," jawab Aswin sambil menggandeng tangan wanita di sampingnya. Diva menurunkan pandangannya dan berhenti pada tangan keduanya yang saling bertaut. "Maaf, aku tak mengenalmu."
Seperti dihujam oleh belati tajam yang tepinya bergerigi. Hati Diva terasa sakit sekali mendengar setiap perkataan yang Aswin ucapkan. Tanpa memedulikan Diva, pria bernama Aswin dan wanitanya pun berbalik pergi meninggalkan Diva yang masih berdiri mematung di tempatnya. Dengan bodohnya, Diva hanya bisa berdiri menatap hampa keduanya tanpa bisa melayangkan protes pada sosok yang sudah mencabik-cabik hati dan perasaannya.
Tanpa Diva sadari, sebulir air mata mengalir di pipinya. Dengan segera Diva pun menghapus air mata tersebut. Tak ingin terlihat menyedikna meskipun jiwanya seakan terhempas ke dasar lautan. Menyesakkan. Bibirnya yang masih terkatup rapat sudah hampir berdarah karena digigitnya kuat-kuat menahan amarah. Hingga tiba-tiba sebuah lengan menggenggam tangannya dan menariknya menuju pria yang baru saja meninggalkannya tanpa peduli.
Devan, pria itu ternyata menyaksikan apa yang tengah terjadi pada Diva. Dengan geram, ia nyaris menyeret Diva ke hadapan pria yang sudah membuat wanita yang dicintainya itu meneteskan air mata. Langkah lebar Devan berhasil mengadang Aswin. Nampaknya pria itu cukup terkejut melihat ada yang tiba-tiba menghalangi jalannya. Aswin mengerenyit heran menatap Devan ketika pria itu menarik Diva ke hadapan Aswin tanpa melepas genggaman tangannya.
"Kamu bilang tak mengenalnya?" tanya Devan dengan sorot mata tajam seakan ingin menghujam pria tak tahu diri yang berdiri di hadapannya itu.
"Maaf, Anda siapa ya? Saya merasa tak pernah punya urusan dengan Anda." sahut Aswin dengan raut wajah yang menurut Devan sangatlah menyebalkan. Ingin rasanya Devan melayangkan tinju terkuatnya pada wajah menjengkelkan ini.
"Aku tanya sekali lagi! Diva ... kamu mengenalnya atau tidak?" tanya Devan dengan nada suara lebih tinggi dari sebelumnya. Matanya memandang Aswin sengit.
Aswin melirik Diva dengan raut wajah seakan tak pernah mengenalnya. Wajahnya tak menyiratkan rasa bersalah sedikit pun karena telah membohongi wanita itu selama ini. Dan itu membuat Devan semakin geram. Diva yang berdiri di sampingnya nyaris mendengar bunyi geretakan gigi Devan yang beradu.
"Pak Devan, sudahlah. Biarkan saja!"
"Aku benar-benar tak habis pikir denganmu. Kenapa diam saja diperlakukan seperti ini?"
"Marah hanya akan menghabiskan tenagaku saja. Lagipula bagus kan, kalau sekarang aku tahu sebrengsek apa pria ini. Setidaknya aku tak perlu tersiksa menghabiskan sisa usiaku dengan pria macam dia!" ucap Diva dengan sorot mata dingin yang ia layangkan pada kekasih yang kini sudah menjadi mantan.
"Baguslah kalau begitu, karena mulai detik ini dia adalah pacarku. Takkan kubiarkan dia meneteskan air matanya lagi!" tegas Devan sambil menatap Aswin dengan sorot berapi-api. Untung saja pria itu bisa menahan emosinya, kalau tidak Aswin bisa babak-belur di tempat. "Ayo!" Devan menarik tangan Diva pergi.
Masih diliputi emosi, Devan menarik Diva hingga nyaris keluar pintu mall. Diva pun menepuk lengan Devan untuk meminta atensi pria itu.
"Pak, Pak Devan! Bapak mau tarik saya ke mana? Jam kerja saya masih belum selesai!" protes Diva sambil menghentikan langkahnya begitu Devan berbelok ke arah pintu keluar mall.
"Ah, itu. Aku hanya ingin menjauhkanmu dari orang yang sudah melukai hatimu." Diva terkesima dengan jawaban Devan. Pria itu terlihat sungguh-sungguh dengan perkataannya. Bahkan Devan terlihat lebih marah dan kecewa daripada Diva karena kejadian tadi.
"Kenapa Bapak sebaik ini pada saya?" ceplos Diva dengan tatapan heran. Wanita itu menatap kedalaman netra pekat Devan, mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi di sana. Namun nihil. Netra pekat itu terlihat jernih dan tulus. Seakan tak ada rahasia di sana.
"Bukankah sudah kubilang kalau sejak pertama kali aku melihatmu, aku sudah jatuh cinta padamu," jelas Devan lugas. "Aku sungguh tak ingin melihatmu bersedih seperti tadi." Diva kembali terkesima. Tak lama senyumnya terbit.
"Terima kasih," ucap Diva tulus.
"Untuk apa?"
"Untuk semuanya. Terima kasih sudah membela saya tadi."
"Itu hanya hal kecil. Aku bahkan ingin melakukan banyak hal besar untukmu," ucap Devan sambil mengusap puncak kepala Diva lembut.
"Tapi, Bapak kan tahu kalau saya tidak mencintai Bapak."
"Bukan tidak mencintaiku, tapi belum Diva. Tenang saja, aku akan membuatmu menerima cintaku juga mencintaiku dengan tulus," kata Devan yakin. "Sudahlah tak perlu pikirkan hal ini. Kita jalani saja apa yang akan terjadi di antara kita." Devan kembali menggandeng lengan Diva menuju pintu keluar mall.
"Eh, tunggu. Kenapa kita keluar mall, Pak?"
"Kan, dari awal sudah kubilang akan mengajakmu makan malam."
"Ini masih sore, Pak. Jam kerja saya saja belum selesai."
"Tak masalah. Kita bisa berjalan-jalan dulu melihat festival Halloween di taman depan. Dan soal pekerjaanmu, aku akan buat seratus tabungan untuk memenuhi target bulananmu," jelas Devan sambil menatap Diva dalam.
"Bapak yakin mau buka tabungan sebanyak itu?"
"Tentu. Untuk kamu apa sih yang tak bisa aku lakukan?" Diva terdiam menatap Devan dengan raut wajah curiga.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Devan bingung.
"Pak, jangan bercanda lagi, ah!" tegur Diva yang merasa setiap kata yang diucapkan Devan hanyalah kepalsuan belaka.
"Kapan aku pernah bercanda sama kamu?" tanyanya balik. Kali ini raut wajahnya dua kali lipat lebih serius dari sebelumnya.
"Habisnya Bapak selalu dengan mudahnya mengumbar pernyataan cinta pada saya. Membuat saya merasa Bapak tak benar-benar serius mengutarakannya. Lagi pula tidak seharusnya seterusnya terang itu kan, Pak?"
"Jadi menurutmu selama ini ucapanku hanya main-main? Lalu kalau aku benar-benar serius, apa kamu mau menerimaku?" tanya Devan tanpa basa-basi. Pria itu membungkukkan tubuhnya sedikit agar bisa sejajar menatap wajah Diva. Netra pekat Devan kini memandang Diva lekat-lekat seakan ingin membuktikan kalau pria itu tak pernah main-main dengan setiap ucapannya.
"Itu-saya pikirkan dulu." Diva memalingkan wajahnya dan segera melangkah cepat mendahului Devan menuju taman depan mall di mana sedang ramai dengan festival Halloween. Entah kenapa wajahnya terasa menghangat seakan aliran darah membanjiri wajah mungilnya.
Bibir Devan melengkung membentuk senyum. Pria itu segera menyusul Diva dan mereka pun berjalan beriringan menikmati keramaian festival Halloween di taman depan mall. Di sekeliling taman dan di antara tenda booth yang ada, para cosplayer meramaikan acara tersebut dengan berbagai macam kostum hantu, monster juga penyihir yang terlihat seperti sungguhan. Booth di sekeliling taman juga tak kalah unik dengan aneka makanan dan minuman bertema Halloween. Ada puding labu, es krim rasa labu, juga berbagai kue kering berbentuk kelelawar dan laba-laba yang dilapisi cokelat. Para penjualnya pun terlihat keren karena mengenakan kostum-kostum yang unik untuk menarik minat para pelanggan.
Diva melirik dua orang di booth sebelah kanan dengan kostum penyihir lengkap dengan hidung bengkok dan topi kerucutnya terlihat sedang mengaduk kuali besar berisi cairan berwarna hijau. Diva yang penasaran dengan isi kuali tersebut pun menghampirinya. Ternyata cairan hijau itu merupakan jus melon segar yang memancing dahaga Diva. Devan yang memperhatikan tingkah laku Diva pun segera meminta sang penyihir untuk memberikan mereka dua gelas jus yang segar itu.
Sambil menyedot jus melonnya, Divya kembali menyusuri booth di barisan kanan. Cosplayer hantu dan monster seringkali mengejutkan mereka dengan pose-pose dan ekspresi yang menyeramkan. Seolah-olah sedang berada di dalam rumah hantu sungguhan versi indoor. Sesekali Diva tergelak melihat mimik menyedihkan hantu yang mematung di antara booth. Namun tak sedikit pula Diva terkejut hingga harus bersembunyi di balik punggung Devan.
Melihat senyuman sudah kembali di wajah Diva, Devan pun ikut menarik sudut bibirnya melengkung. Inilah yang ia suka dari Diva. Keceriaannya sanggup membuat dirinya ikut tersenyum. Rasanya hangat hingga ke dalam relung hatinya. Hanya menatap Diva tersenyum saja sudah sanggup membuatnya merasa bahagia. Akan lebih bahagia kalau senyuman Diva hanya menjadi miliknya seorang.
Kembali Diva menyusuri tiap booth makanan yang tersedia di taman. Hingga jemari hangat menelusup masuk di sela jemarinya. Diva menoleh menatap Devan yang berdiri tepat di sampingnya. Pria itu terlihat tenang seperti biasanya. Berbanding terbalik dengan Diva yang merasa ketar-ketir sendiri. Sedikit canggung dengan genggaman tangan Devan di tangannya.
"Pak-"
"Jangan panggil Pak lagi. Panggil Mas saja!"
"Tapi Mas, saya-"
"Jangan pakai bahasa formal. Santailah sedikit. Sekarang aku bukan sedang menjadi nasabahmu." Devan menoleh menatap Diva dengan tatapan hangat yang entah kenapa sanggup menggetarkan perasaannya yang tadi sempat carut marut.
"Seperti ini, bukankah terlalu cepat?" tanya Diva sambil mengangkat tangannya yang masih digenggam erat oleh Devan.
"Tidak ada yang terlalu cepat. Satu jam ini sudah merupakan prosesnya bukan?"
"Tapi perasaanku masih berantakan, Mas. Belum bisa langsung menerimamu seperti ini."
"Aku tak memintamu langsung menerimaku. Aku hanya ingin kamu menikmati kebersamaan kita hari ini. Biarkan perasaanmu mengalir. Kalau sudah tiba waktunya dan kamu merasa yakin, baru berikan jawabannya padaku."
Akhir Oktober yang identik dengan mitos hantu, monster, penyihir dan makhluk mengerikan lainnya memang sempat menjadi momen paling mengerikan yang Diva alami. Dikhianati kekasih yang sudah lama menjalin kasih dengannya tapi juga mendapatkan seseorang yang benar-benar tulus menyayanginya.
Meyakinkan hatinya yang terluka karena dikhianati bukanlah perkara mudah. Hampir setengah tahun Devan jungkir balik membuktikan perasaan cintanya pada Diva. Selama itu pula Diva mencoba memahami perasaan Devan yang sebenarnya.
Hingga genap setahun, Diva sudah menjernihkan perasaannya dari masa lalu yang menghantuinya. Akhirnya kini Diva sudah yakin untuk melabuhkan hatinya hanya pada Devan seorang. Hari ini, tepat di akhir bulan Oktober tak lagi semenyeramkan mitos Halloween. Kini bulan Oktobernya hanya akan dipenuhi bunga-bunga dan cinta kasih.
Di ruangan empat kali lima yang sudah didekorasi sedemikian rupa dengan bunga mawar pink dan putih, Diva duduk menatap cermin besar di depannya. Terlihat pantulan wajahnya yang sudah dipoles make up natural. Rambut hitamnya yang digelung pun sudah dihiasi aksesoris mutiara dan kristal. Gaun putih yang ia kenakan terlihat cantik menampilkan lekuk tubuhnya yang sempurna.
Ya, hari ini adalah hari pernikahannya dengan Devan. Senyum merekah sudah sejak tadi menghiasi bibir mungil berpoleskan lipcream berwarna pink. Dan semakin merekah begitu Diva memasuki ruang ballrom tempat acara pernikahannya dilangsungkan. Di depan sana ada Devan yang terlihat maskulin dengan setelan jas putihnya. Pria itu melemparkan senyum hangatnya ke arah Diva. Begitu Diva mendekat, pria itu segera mengulurkan tangannya untuk menyambut wanita yang telah resmi menjadi istrinya. Mulai saat ini mereka akan mengarungi hidup bersama-sama. Tak peduli apakah itu sudah atau senang, mereka akan berjuang bersama.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro