Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mystery of Love

"Kau marah?"

Mark berusaha bertanya memperjelas semua meski ia sudah bisa tahu dari raut wajah gadis bersurai panjang itu. Ia tidak menyerah meski terus diabaikan gadis yang dua tahun belakangan itu menjadi kekasihnya. Setidaknya itu yang dipercayai Mark.

Diana, gadis blasteran Kanada-Korea itu tidak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari berkas-berkas di tangannya. Dengan wajah datar dan dinginnya, ia menjawab, "Tidak."

Mark menghela napas panjangnya. Ia pun merebut kertas-kertas sialan itu demi mendapat perhatian gadisnya. Meski kini ia harus mendapatkan tatapan tajam dari Diana, Mark tidak peduli. "Katakan padaku, bagian mana dariku yang berubah?"

"Kau tidak tahu?" tanya Diana dingin.

"Katakan saja."

Diana tersenyum miring, tak habis pikir dengan kegigihan pria yang kini terlihat bodoh di hadapannya. "Kau tidak lagi mengantarku pulang, tidak mengambil gambarku ketika acara kantor, dan tidak memberiku emoji ketika mengirim pesan."

"Hanya itu? Kau akan menyingkirkanku dari hidupmu karena itu? Lalu, apa arti kebersamaan kita selama dua tahun ini? Waktu yang selama ini kita habiskan bersama, tidakkah itu berarti buatmu?"

"Tidak."

Mark tertawa hambar. Ia tak habis pikir dengan sikap dingin yang tiba-tiba ditunjukkan kekasihnya. "Kau pikir kencan itu lelucon?"

"Kencan? Aku tidak berkencan denganmu. Aku hanya menganggapnya bersenang-senang."

"Sulit dipercaya." Mark berdiri, berjalan sedikit untuk meregangkan otot serta emosinya.

"Cobalah bercermin, lihat betapa menyedihkannya dirimu."

Mark mempersempit jaraknya dengan Diana, mengkungkung gadis yang masih terlihat nyaman dengan posisi duduknya. "Kau melepasku?" desis Mark.

"Mmm," jawab Diana tanpa ragu.

Mark kembali tertawa, tetapi terdengar menyedihkan. Pria itu menjauhkan tubuhnya dari Diana, menekan keningnya sebentar, lantas kembali menatap Diana nanar.

"Fine," ujar Mark sedikit menggertakkan giginya. "Aku hanya bisa mendoakan kebahagiaanmu."

Mark meraih mantel cokelat panjang dari gantungan, memakainya tergesa, kemudian meraih tas jinjingnya dengan kasar.

"Mark."

Mark menghentikan langkahnya ketika suara lirih Diana memanggilnya. Meski pria itu tengah marah dan kesal setengah mati, mendengar suara lembut Diana, hatinya tetap luluh.

Meski tidak berbalik, Diana tahu jika Mark akan mendengarkannya. "Proyek kita-"

"Jangan khawatir. Aku akan bersikap profesional." Setelah mengatakan itu, Mark benar-benar meninggalkan Diana di kantor yang telah sepi.

***

Dedaunan sudah mulai berubah warna di sepanjang jalan River Falls, Wisconsin. Mark melangkahkan kakinya gontai, menyusuri jalanan yang telah sepi. Hari ini, ia memang sengaja tidak memakai mobilnya. Mark ingin mengenang kebersamaannya bersama Diana dengan berjalan kaki, kemudian menikmati sisa hari di restoran cina langganan mereka.

"Hari ini tepat dua tahun dan dia menganggap dua tahun ini hanya sebagai lelucon? Menggelikan." Mark bergumam sepanjang perjalanan. Rasanya masih tak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Diana. "Bersenang-senang hingga membuang waktuku selama dua tahun? Cih, sialan."

Mark mengeratkan mantelnya ketika embusan angin mulai terasa dingin pada pertengahan bulan Oktober. Meski dingin, pria berambut brunette itu sangat menyukai musim gugur. Selain daun-daun yang berubah warna, ia juga menyukai Halloween. Seminggu mendekati perayaan, hiasan labu dan lampu warna-warni sudah terlihat menghiasi kota.

Kedua sudut bibir Mark melengkung ke atas. Mengingat Halloween, tiba-tiba hatinya merasa lega. Beban berat dan kesedihan karena putusnya hubungan percintaan, sudah lenyap begitu saja. Mark menyukai permen, cokelat, dan segala hal yang manis. Ajaibnya, Halloween menyediakan semua kesukaannya itu. Berkencan selama dua tahun dengan Diana, cukup menghalanginya mencicipi semua makanan yang mengandung gula itu. Diana tidak suka permen dan cokelat. Gadis itu menyukai makanan berbumbu dan pedas layaknya kebanyakan orang Asia.

Langkah Mark terhenti ketika melewati sebuah kedai kopi. Sebenarnya tidak ada yang istimewa di kedai itu karena Mark selalu melewatinya setiap hari. Namun, entah mengapa, malam ini kedai itu terlihat nyaman. Meski tidak terlalu ramai, beberapa pelanggan terlihat tengah menikmati minuman yang uapnya masih mengepul dan beberapa kue. Akhirnya Mark memutuskan masuk ke dalam kedai bernuansa klasik khas Amerika Utara.

Lagu 'Shape of My Heart' dari boy band legendaris Backstreet Boys, langsung menyambutnya ketika Mark memasuki kedai itu. The River-nama kedai itu-terasa hangat dan nyaman, sangat kontras dengan keadaan di luar. Dinding bata merah di kedai itu sangat cocok dengan semua pernak-pernik khas Halloween. Jack O'Lanterns-labu yang diukir menyerupai monster dan diberi lampu di dalamnya-ditata rapi di setiap sudut kedai. Mark tersenyum tipis melihat semua itu. Ia menyukai Halloween, sangat suka.

Mark memilih duduk di sudut ruangan dengan jendela kaca besar di sisinya. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat seluruh ruangan dengan jelas. Seorang pelayan cantik mendekatinya, memberikan senyum manis, lantas menanyakan pesanan.

"Hot chocolate dan cheese cake," ujar Mark menyebutkan pesanannya kepada pelayan. Setelahnya, Mark kembali membuang pandangannya ke jendela kaca besar di sampingnya. Lagu Backstreet Boys masih mengalun lembut di telinganya. Tampaknya, pemilik kedai memang sengaja memutar semua lagu milik boy band itu. Mark sama sekali tidak keberatan. Semua lagu yang balada milik Backstreet Boys memang enak didengar dengan lirik yang menghanyutkan.

Mark sedikit tersentak ketika seorang pelayan meletakkan semua pesanannya di meja. Pria bersurai brunette itu menatap gadis pelayan di hadapannya lantas menyungingkan senyum. "Terima kasih," ujar Mark tulus.

"Selamat menikmati," jawab gadis itu.

Mark kembali tersenyum, lantas meraih cangkir yang berisi cokelat panas dengan uap yang masih mengepul. Minuman manis kesukaannya itu memang selalu bisa menenangkan hati yang tengah kalut. Setelah menyesapnya sedikit, Mark meletakkan cangkirnya kembali. Namun, dahinya tiba-tiba berkerut, kemudian mengangkat wajahnya.

"Apa ada yang salah?" tanya Mark ketika mendapati pelayan tadi masih berdiri di samping mejanya.

Gadis muda itu menggelengkan kepalanya dengan senyum manis yang entah mengapa terlihat begitu lucu di mata Mark. "Aku merasa senang karena akhirnya bisa bertemu langsung denganmu."

Mark menautkan alisnya. Matanya menyipit penuh selidik. "Kenapa harus senang? Aku bukan artis," ujar Mark sedikit kesal. Mood baik karena cokelat panas tadi, ternyata hanya bertahan sebentar.

"Bukan seperti itu," ujar gadis itu buru-buru. Dia tidak ingin orang yang ada di hadapannya ini salah paham. Gadis pelayan itu mengulurkan tangannya ke hadapan Mark. "Alice. Kau bisa memanggilku Alice."

Mark mengernyit, tetapi ia membalas uluran tangan itu meski sedikit ragu. "Mark."

"Aku tahu." Alice menyunggingkan senyum manisnya, lantas mengangguk sekilas. Tanpa banyak bicara lagi, wanita cantik dengan rambut panjang yang diurai begitu saja, berbalik untuk kembali menjalankan tugasnya.

Mark mengangkat bahunya melihat tingkah aneh Alice-gadis yang baru dikenalnya beberapa menit. Ia tidak mau ambil pusing dan hanya meneruskan menikmati secangkir cokelat panas yang menenangkan.

***

Mark menghela napas panjang sebelum memasuki gedung Department of Chemistry di University of Wisconsin-River Falls tempatnya mengajar. Dosen muda berusia 35 tahun itu, harus bersikap senormal mungkin setelah mengakhiri hubungan percintaannya semalam. Meski semalaman ia telah menyusun kata-kata agar terlihat biasa saja, pagi ini Mark merasa semua omong kosong itu sangat lucu dan aneh. Ia pun memutuskan bertingkah sebiasa mungkin dan membiarkan semuanya mengalir senatural mungkin. Toh, tidak semua hubungan harus berakhir di pelaminan, kan?

"Morning, Mr. Olsen."

Mark menyunggingkan senyum kepada beberapa mahasiswa yang menyapanya sepanjang perjalanan. Mark Olsen memang sangat terkenal di kalangan mahasiswa karena masih muda dan pembawaannya yang santai. Meski mata kuliah yang diajarkannya terbilang berat-Bioteknologi-tidak serta merta membuat Mark menjadi dosen yang galak dan kaku.

Mark berbelok di ujung koridor kemudian masuk ke ruangannya. Ruang kerjanya begitu membosankan dengan rak yang terisi penuh dengan buku-buku literatur dan map-map yang bertumpuk di atas meja menjadi tanda bahwa pekerjaannya belum selesai.

Mark mendesah pelan, melihat tumpukan pekerjaan di meja, lantas meletakkan tasnya di meja samping. "Aku harus menyelesaikan semua ini sebelum Halloween," gumam Mark lirih. Setelahnya, pria itu melepas mantel cokelat mudanya, menggantung di tempat mantel, kemudian duduk di kursi empuknya.

Baru saja Mark mengambil salah satu map di hadapannya, suara ketukan pintu membuatnya meletakkan kembali map itu. Seorang wanita cantik dengan manik cokelat yang membuat Mark tergila-gila sejak dua tahun lalu, memasuki ruangannya dengan tatapan dingin.

"Setelah makan siang, ada meeting untuk membahas progress proyek kita." Tanpa duduk terlebih dahulu, Diana mengatakan maksudnya datang menemui Mark dengan dingin.

"Ya, aku akan datang," jawab Mark tenang.

Setelah mendengar jawaban Mark, Diana berbalik hendak meninggalkan ruangan Mark. Namun, baru sampai memegang knop pintu, suara Mark menghentikan langkahnya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Mark sendu. Nada bicaranya mengisyaratkan kerinduan yang mendalam. Pagi ini ketika bangun dari tidur kurang nyenyaknya, Mark merasa ada lubang besar di hatinya yang menganga.

Diana berbalik, kemudian menatap Mark masih dengan sikap dinginnya. "Hmm, seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja. Rasanya lega karena semalam bisa mengatakan semuanya."

"Benarkah?" ujar Mark dengan senyum miringnya. "Syukurlah kalau begitu."

"Lupakan semua yang telah terjadi karena kau dan aku tidak akan menjadi kita." Diana berbalik, kemudian mantap melangkahkan kakinya keluar ruangan Mark tanpa menoleh untuk kedua kalinya.

Mark tersenyum getir melihat pintu ruangannya yang sudah tertutup lagi. "Melupakan semua? Brengsek!"

Pria bermanik hitam kelam itu mengumpat pelan. Darahnya sudah mendidih mendengar ucapan tidak berperasaan Diana tadi. Namun, lagi-lagi rasa cinta yang mendalam, meredam emosinya. Mark mengambil sebuah foto berbingkai emas di mejanya. Kenangan indah Halloween tahun lalu sekarang terasa hambar. Tawa lebar Diana dengan tangan yang mengamit lengan Mark erat, seolah mengejek status hubungannya sekarang. Karena tidak mau menumpuk sakit hati lagi, Mark langsung membuang foto itu di tempat sampah.

"Tidak ada lagi kita?" Mark tertawa hambar dengan air mata yang tiba-tiba mengalir begitu saja. "Kau bodoh, Mark. Bodoh sekali."

***

"Aku tahu kau akan datang lagi."

Mark mengernyitkan dahi saat Alice tiba-tiba menyambutnya di depan The River. Gadis itu masih berpenampilan sama dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai, sweater merah muda yang melekat pas di tubuhnya, dan senyum manis yang selalu tersungging di bibir cerinya.

Mark menatap Alice jengah, kemudian melangkahkan kakinya menuju pojok favoritnya. "Kau tidak bekerja? Seharusnya kau melayani pelanggan, bukan mengikutiku," ujar Mark tanpa melihat lawan bicaranya yang masih mengikuti langkahnya di belakang.

Alice melihat Mark dengan mata berbinar penuh kagum. Mata keduanya saling bertemu setelah Mark duduk di kursi dan menyamankan duduknya. Alice masih menyunggingkan senyum manisnya di hadapan dosen muda itu.

"Sifku sudah selesai sore tadi," ujar Alice ceria. "Aku sengaja menunggumu datang."

Mark menghela napas lelah. "Kau tidak punya kerjaan lain selain mengikutiku?"

Alice menggelengkan kepala masih dengan senyum dan tatapan kagumnya kepada Mark. Mau tak mau, Mark sedikit tersenyum melihat tingkah yang menurutnya sangat lucu itu. Dari postur tubuhnya, Alice sudah sangat dewasa. Namun, entah kenapa, sikapnya sangat kekanakan.

"Aku menunggu sangat lama untuk bisa bertatap muka denganmu seperti ini."

Mark mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan ucapan Alice. Menyadari kesalahannya, Senyum Alice menghilang digantikan kegugupan yang kentara.

"Kau mau cokelat panas dan cheese cake, kan? Aku pesankan sebentar."

Alice bergegas meninggalkan Mark yang masih diselimuti kebingungan. Mark memperhatikan gerak-gerik Alice di meja pemesanan. Karena dirasa tidak ada yang aneh. Mark mengangkat kedua bahunya lantas mengeluarkan ponsel untuk menyibukkan diri.

Entah berapa lama Mark menghabiskan waktu bermain ponsel, suara Alice tiba-tiba mengalihkan pandangannya. Gadis itu meletakkan makanan kesukaan Mark di atas meja tak lupa dengan senyum manisnya.

"Hari ini kau pulang lebih cepat," ujar Alice memulai pembicaraan setelah duduk di kursi yang terletak tepat di hadapan Mark.

"Hmm," jawab Mark seadanya sembari memasukkan ponselnya ke dalam tas, lantas meraih cangkir berisi cokelat panas yang masih mengepulkan uap. Setelah menyesap dan menghirup aroma menenangkan dari minuman kesukaannya itu, Mark meletakkan cangkirnya kembali dengan hati-hati. "Kenapa kau masih di sini? Bukankah sifmu sudah berakhir?"

"Aku menunggumu. Bukankah tadi sudah kukatakan?"

Mark mencebik pelan. Gadis di hadapannya ini sangat cerdas membalikkan apa yang diucapkannya. Mark menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, melipat kedua tangannya di dada, dan menatap Alice dengan segudang pertanyaan di otaknya.

"Kau menguntitku?"

Hampir saja Alice tersedak ludahnya sendiri karena pertanyaan Mark. Gadis itu menepuk pelan dadanya, berharap sedikit meredakan rasa sesak karena terkejut tadi. "Untuk apa aku melakukan hal konyol seperti itu?" Alice langsung tertawa renyah.

"Semua perkataanmu membuatku berpikir negatif," jawab Mark masih dengan tatapan tajamnya kepada Alice. "Kau tahu dengan benar jadwalku, siapa lagi kalau bukan stalker?"

"Bagaimana jika aku lebih suka mengatakannya sebagai takdir. Aku dan kau saling terhubung hingga aku bisa dengan mudah mengetahui semua tentangmu."

"Omong kosong," tolak Mark mentah-mentah. "Teori dari mana itu?"

Alice menyunggingkan senyum penuh arti. "Dunia tidak sesempit yang kau bayangkan selama ini. Ada banyak ketentuan dan aturan tak kasat yang berlaku di dalamnya. Bukan hanya manusia, hewan, dan tumbuhan yang harus mematuhinya untuk menjaga keseimbangan dunia ini. Jika kau mau membuka sedikit hatimu, kau akan melihat betapa ajaib dan luasnya dunia ini."

"Bullshit!" umpat Mark tajam. "Sebagai seorang ilmuwan dan akademisi, aku tidak mempercayai hal-hal semacam itu."

Alice terkekeh. "Jangan terlalu kaku," sindir Alice. "Kau akan tampak membosankan dengan semua itu."

"Lalu, kenapa kau masih mau berbicara dengan orang membosankan sepertiku?" Mark meraih mantel dan tas yang diletakkan di kursi sebelahnya. Pria berkulit putih terkesan pucat itu, pergi begitu saja meninggalkan Alice.

"Kau marah?"

Gadis itu, Alice, ternyata tak menyerah begitu saja. Dengan sedikit berlari, gadis berambut panjang yang dibiarkan tergerai itu berhasil menyusul langkah lebar Mark.

"Marah karena hal semacam itu? Lupakan saja," jawab Mark tak acuh tanpa menghentikan langkahnya.

Angin dingin tiba-tiba berembus. Bagi orang biasa, angin seperti ini sangat lumrah bertiup pada pertengahan musim gugur. Namun, Alice berbeda. Gadis itu menghentikan langkahnya ketika merasakan bulu kuduknya berdiri seiring dengan datangnya angin dingin yang tak biasa itu. Maniknya yang berwarna hitam, berubah warna kuning menyala. Ia mempercepat langkahnya ketika melihat sekelebat bayangan hitam mendekati Mark.

"Mark!" teriak Alice yang langsung menubruk tubuh Mark, memeluknya erat.

Mark tidak mengerti apa yang terjadi. Alice menerjangnya begitu saja dan kini gadis itu memeluknya dengan erat. Dapat ia rasakan napas Alice terengah-engah dengan bahu bergetar. Mark hanya membiarkan hal itu, menunggu sampai Alice tenang. Meski menyebalkan, Mark tidak setega itu membiarkan seorang gadis ketakutan dan menangis.

"Hei, kau kenapa?" tanya Mark lembut setelah dirasa Alice lebih tenang.

Alice melepaskan pelukannya, merapikan rambutnya yang berantakan, kemudian menatap Mark dengan manik hitamnya yang terlihat sembab. "Aku tidak mau kau pergi dari pandanganku. Aku takut."

Mark mengerutkan dahi, bingung dengan kalimat ambigu yang diucapkan Alice. "Memangnya kau pikir aku pergi ke mana? Aku mau pulang karena udara semakin dingin."

Alice masih menatap Mark dengan mata sembabnya dan sesekali mengusap hidungnya yang masih berair karena habis menangis. Melihat hal itu, Mark tersenyum kecil. Sungguh, Alice terlihat seperti anak kecil sekarang ini. Sulit dipercaya. Penampilan cantik nan sempurna dengan rambut tergerai itu, ternyata tersimpan sifat kekanakan yang justru membuatnya menggemaskan.

"Ya, pulanglah. Segera masuk rumah dan kunci semua pintunya."

Mark kembali mengernyitkan dahi saat mendengar kalimat aneh dari mulut Alice. "Tentu saja aku akan mengunci pintu rumah," jawab Mark. "Kau juga seharusnya pulang. Tidak baik seorang gadis keluyuran sendiri."

"Hmm, aku akan pulang setelah memastikan kau sampai rumah dengan selamat."

Mark menyipitkan mata. Gadis di hadapannya itu memang aneh. Sejak tadi, semua yang dikatakannya juga aneh. Namun, Mark tidak mau ambil pusing. Ia hanya mengangkat bahunya kemudian berkata, "Terserah saja."

Mark kembali meneruskan langkahnya dengan Alice yang masih mengekor di belakang. Pria itu mengembuskan napas panjang, mencoba tak peduli dengan tingkah aneh Alice. Tak butuh waktu lama, akhirnya Mark sampai rumah. Pria bersurai brunette itu membalikkan badan guna menatap Alice sebelum memasuki rumahnya.

"Pulanglah," ujar Mark lebih seperti perintah yang dijawab Alice dengan anggukan kepala.

"Masuklah. Aku akan segera pulang," jawab Alice dengan pandangan teduh. "Kita akan bertemu lagi besok."

"Aku tidak mau."

"Kau tidak bisa menolaknya, Mark. Takdir kita sudah terikat. Kita pasti akan bertemu."

Alice berbalik, kemudian meninggalkan Mark yang masih termangu di depan pintu rumahnya. Gadis itu tahu jika waktunya tidak banyak lagi. Ia menengadahkan wajahnya, memandang bulan yang hampir penuh.

"Purnama tepat pada perayaan Halloween yang langka akan datang sebentar lagi. Kenapa hatiku masih diliputi keraguan?" Alice bergumam sembari mengusap liontin bermata biru safir di lehernya. Percakapan dengan ayahnya kembali menyentak ingatan Alice sebelum menyeberang ke dunia manusia.

"Keturunan setengah Demon sepertimu, membuat ramalan masa depan menjadi kacau. Ayah tidak menyalahkan kehadiranmu karena saat itu Ayah terlalu lemah. Pesona ibumu tidak bisa Ayah tolak. Ia adalah wanita paling memesona yang mampu menjerat Ayah. Kelembutan dan keberaniannya, berhasil mempertahankanmu hingga akhir hayatnya."

"Kacau? Memangnya apa yang akan kulakukan?"

Ayah Alice tersenyum, kemudian berjalan mendekatinya. Pria paruh baya itu mengeluarkan sebuah liontin bermata biru safir dan memberikannya kepada putrinya. "Kaum Demon terbagi menjadi dua kubu sejak dulu kala. Kaum Pure Demon dengan kebanggaannya sebagai Demon berdarah murni pembenci manusia dan kaum Mud Demon yang cinta damai karena ingin hidup berdampingan dengan manusia biasa. Karena leluhur kita tidak ingin ada pertumpahan darah di antara keduanya, mereka membuat kesepakatan di antaranya memberi sebuah tanda agar kedudukan satu sama lain jelas."

"Liontin biru ini bermakna-"

"Mud Demon. Biru safir untuk Mud Demon dan Red Rose untuk Pure Demon," jawab ayah Alice cepat. "Selama ini tidak pernah ada masalah dengan perjanjian itu. Kami tidak pernah saling mengusik hingga sebuah ramalan besar kaum Demon kembali muncul beberapa tahun lalu."

Ayah Alice menjeda sejenak, pandangannya menerawang. "Seorang anak manusia yang lahir tepat ketika pintu dunia manusia dengan surga dan neraka dibuka dengan tanda purnama di punggungnya, akan memiliki kekuatan besar untuk menyatukan bangsa manusia dan Demon."

"Terbukanya pintu surga dan neraka? Bukankah itu Halloween?" tanya Alice yang dijawab dengan anggukan kepala oleh ayahnya. "Seharusnya itu ramalan bagus karena kita akan hidup damai dan berdampingan dengan manusia."

"Sayangnya, kaum Pure Damon menganggap hal itu sebagai jalan kehancuran bangsa Demon. Mereka akan mati-matian mencegah hal itu terjadi."

"Lalu, sudahkah anak itu terlahir?"

Ayah Alice menganggukkan kepala. "Tiga puluh lima tahun lalu, seorang anak laki-laki terlahir tepat ketika pintu surga dan neraka terbuka dan terhubung dengan dunia manusia. Tanda purnama sesuai dengan yang disebutkan dalam ramalan juga tercetak jelas di punggung anak itu."

Alice menutup mulutnya dengan tangan, tak percaya bahwa ramalan itu sudah berjalan. "Anak itu masih hidup sampai sekarang?"

Ayah Alice kembali mengangguk. "Ketika anak itu lahir, kaum Mud Demon mati-matian menjaganya hingga usianya mencapai 35 hari. Setelah itu, kaum kita tidak bisa menyentuhnya lagi. Anak itu akan tumbuh dengan aman seperti manusia biasa."

"Lalu?"

"Tahun ini akan terjadi purnama tepat pada saat gerbang surga dan neraka terbuka. Kekuatan jahat dan baik akan berlipat ganda pada malam itu sedangkan kekuatan anak manusia bertanda purnama akan melemah. Hal itu membuat kaum Pure Demon berusaha melenyapkan satu-satunya ancaman bagi kelangsungan hidup darah murni bangsa Demon. Mereka akan membunuhnya. Ketika anak itu terbunuh, bencana besar akan datang bagi bangsa kita."

Alice menggenggam liontinnya erat. Seluruh tubuhnya bergetar dengan semua cerita ayahnya tadi. Ia tidak ingin bangsanya melawan takdir hingga menyebabkan bencana.

"Apakah aku akan mengacaukan semua? Itukah takdirku?"

Pemimpin Mud Demon yang adalah ayah Alice, menatap sendu Demon muda di hadapannya. "Kita tidak bisa melawan takdir. Ayah memutuskan mengutusmu menyeberang ke dunia manusia, melindunginya sampai bulan purnama terbenam."

"Aku?" ucap Alice tak percaya. "Bagaimana bisa? Kekuatanku tidak seberapa. Bagaimana jika aku mengacaukan semuanya?"

"Kau bisa melakukannya. Pewaris liontin biru ini sudah ditakdirkan akan hadir dan menyelamatkan anak manusia itu. Namun-" Ayah Alice tampak ragu, menatap putrinya dengan sendu.

"Kenapa? Apakah aku akan gagal?" tanya Alice bingung yang dijawab dengan gelengan kepala oleh ayahnya.

"Kau akan dihadapkan pada dua pilihan," jawab ayah Alice lirih. "Keduanya akan membawa kebinasaan."

"Kebinasaan? Apakah aku akan mati?"

Ayahnya tidak menjawab pertanyaan Alice. Pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu hanya tersenyum lembut sembari mengelus surai panjang putrinya.

Alice membuang napas panjangnya. Percakapan terakhir dengan sang ayah sebelum melepasnya ke dunia manusia, mulai terasa nyata sekarang. Serangan pertama sudah dimulai di depan mata Alice. Gadis itu cemas.

"Apakah sudah dimulai?" gumam Alice lirih seraya menggenggam erat liontin birunya.

***

Mark memutar bola matanya malas saat melihat Alice sudah berdiri di depan rumahnya. Gadis itu terlihat begitu bersemangat dengan rambut panjangnya yang terurai dan senyum manis yang selalu tersungging di bibir cerinya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Mark malas.

"Kau akan ke kampus? Aku ikut." Bukannya menjawab pertanyaan, Alice malah melontarkan pertanyaan lain.

Mark menghentikan langkahnya, lantas berbalik sebelum membuka pintu mobil. "Aku mau kerja. Bukankah kau juga harus kerja di The River?"

Alice menggelengkan kepalanya. "Aku sudah tidak bekerja di sana lagi. Sekarang aku bebas melakukan apa saja."

Mark membuang napasnya kasar, menatap Alice jengah. "Bebas melakukan apa saja bukan berarti kau mengikutiku ke mana pun."

Alice menekuk wajahnya, bibir cerinya terlihat melengkung ke bawah. "Aku baru pindah ke kota ini dan belum memiliki teman. Kaulah satu-satunya temanku. Jika tidak bersamamu, aku harus bersama siapa? Apakah aman jika berkenalan dengan orang asing di jalan?"

Mark mengembuskan napasnya kasar. Mana bisa ia membiarkan Alice yang menggemaskan seperti ini sembarangan berkenalan dengan orang asing di jalan. "Gadis dua puluh tahun sepertimu terlihat sangat polos adalah hal langka. Memangnya selama ini kau hidup di mana?"

"Dua puluh lima tahun," ujar Alice tak terima. "Jadi, aku boleh ikut?"

"Masuklah." Mark menjawab dingin kemudian memasuki mobil.

Alice benar-benar menjadi gadis baik selama mengikuti Mark. Meski mendapat pandangan aneh dari beberapa orang yang berpapasan dengannya, Alice sama sekali tidak terganggu. Gadis itu terus saja menyunggingkan senyumnya. Hanya sesekali saja ia bertanya kepada Mark sesuatu yang membuatnya penasaran. Selebihnya, gadis itu pandai menjaga sikap.

"Kau suka ice chocolate?" ujar Mark ketika melihat Alice menyedot rakus es cokelat yang ia belikan di kantin kampus. Sekarang mereka berdua duduk di taman kampus yang lumayan ramai siang ini.

Alice menganggukkan kepalanya. "Ini adalah minuman terenak di dunia. Kau harus mencobanya."

Mark tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. "Aku lebih suka cokelat panas."

"Ya sudah."

Mark tersenyum melihat tingkah Alice yang menggemaskan. Entah kenapa, seharian ini hatinya bahagia seolah tidak ada beban yang berarti. Bahkan, Mark merasa biasa saja ketika tadi bertemu Diana. Tanpa Mark sadari, ia telah terbiasa dengan kehadiran Alice yang selalu membawa keceriaan di sekitarnya.

"Terima kasih," ujar Mark lirih berharap Alice tidak mendengarnya. Akan tetapi, Alice yang memiliki pendengaran tajam, mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Mark.

"You're welcome," jawab Alice tulus.

Mark terkejut, menatap Alice penuh tanya. Ia tidak percaya bahwa Alice menjawab gumamannya. Untuk beberapa saat, mata mereka saling bertemu seolah bicara melalui dua pasang manik kelam itu.

Kejadian romantis itu hanya berlangsung sekejap, sebelum Alice mengalihkan tatapannya. Matanya menatap tajam ke arah gerombolan remaja di bawah pohon yang kini memandang kebersamaannya dengan Mark. Tanpa Alice sadari, mata kelamnya sudah berubah kuning menyala. Ia berubah waspada ketika mengenali ada Demon lain di sekitar mereka.

"Kita harus pergi dari sini." Alice menarik paksa tangan Mark.

"Ada apa?"

Alice tidak peduli dengan pertanyaan Mark. Gadis itu harus membawa Mark sejauh mungkin dari jangkauan kaumnya yang haus darah.

"Sebenarnya ada apa?" Mark menghempaskan tangan Alice setelah sampai di parkiran. Matanya menyalang kepada gadis di hadapannya.

"Jika aku mengatakannya, apa kau akan percaya?"

"Percaya apa? Jika tentang teori seperti kemarin itu, aku tidak mau mendengarnya lagi."

"Bagaimana jika kukatakan bahwa aku bukanlah manusia? Apakah kau percaya?"

Mark menautkan alisnya, mencoba mencerna apa yang dikatakan Alice. Namun, sejurus kemudian, pria itu terkekeh. "Bukan manusia? Kau pasti bercanda. Sudahlah. Ayo, aku akan mengantarmu pulang."

"Aku tidak berbohong," ujar Alice lantang. Kedua tangannya mengepal untuk meredakan ketakutannya. "Aku bukan manusia. Aku adalah Demon, salah satu penghuni sisi lain dunia manusia."

"Kau serius?"

Alice menganggukkan kepala kemudian menunjukkan perubahan warna matanya. Mata yang mualanya hitam kelam, berubah begitu saja menjadi kuning menyala.

Mark membelalakkan mata. "Kau pasti menggunakan efek khusus," ujar Mark meyakinkan diri sendiri. "Ya, benar. Tidak ada yang seperti itu. Aku pasti sudah gila."

Alice menatap Mark prihatin. Ia tahu akan sulit meyakinkan orang bahwa manusia bukanlah satu-satunya penghuni dunia ini. "Mark, percayalah. Aku sungguh tidak ingin kehilanganmu." Alice merengkuh tubuh Mark. Dapat ia rasakan bahwa tubuh pria itu bergetar. Mark pasti terkejut dengan semua ini. "Aku berjanji akan melindungimu dengan seluruh jiwaku. Tidak akan kubiarkan mereka menyentuhmu."

***

"Besok lusa adalah Halloween dan aku akan menjadi sasaran pembunuhan oleh bangsamu?"

Alice mengangguk atas pertanyaan Mark. Setelah berhasil menenangkan diri, kini Mark dan Alice duduk berdua di The River dengan cokelat panas yang masih mengepulkan uap.

"Lalu, apa yang harus kulakukan? Apakah ada cara menghindarinya? Jujur saja, aku belum mau mati seperti itu. Banyak mimpiku yang belum terwujud." Mark menggenggam cangkir di hadapannya, mencoba menyalurkan kehangatan ke kedua tangannya yang terasa dingin.

"Hanya aku yang bisa menghentikannya."

Mark menaikkan satu alisnya. "Kau? Bagaimana caranya?"

Alice menggelengkan kepalanya. Wajahnya murung. "Aku belum tahu."

Mark mendesah pelan. Sudut bibirnya tertarik ke atas, membuat senyum manis. Diraihnya tangan Alice dari meja, lantas menggenggamnya. "Jangan terlalu memikirkannya. Jika memang lusa adalah hari terakhirku, aku akan menerimanya," ujar Mark lembut. "Meski kita baru kenal, aku merasa nyaman berada di dekatmu. Terima kasih karena membuat hari-hari terakhirku terasa lebih berwarna."

Tanpa sadar, Alice menitikkan air mata. Mendengar ucapan Mark membuatnya semakin merasa bersalah. Beberapa hari bersama Mark, Alice bisa menilai jika Mark adalah pria baik dan lembut. Tanpa gadis itu sadari, hatinya sudah mulai terpaut dengan pria tampan berkulit pucat itu.

"Aku akan mencari jalan untuk melindungimu."

Genggaman tangan Mark semakin erat. Pria itu tersenyum kepada Alice. "Kau masih muda. Jangan berkorban apa pun untukku."

Hening. Alice menatap Mark dengan mata berkaca-kaca. Pada akhirnya, gadis itu menundukkan wajah. Bahunya bergetar karena isakan. Ia merasa menjadi orang paling gagal di dunia.

***

31 Oktober akhirnya datang. Setelah mengatakan semua kebenarannya kepada Mark, Alice tidak pernah sedikit pun meninggalkan Mark sendirian. Dengan intensnya kebersamaan mereka, tanpa mereka sadari tumbuhlah benih cinta di antara keduanya.

"Malam ini aku ingin keluar," ujar Mark dari dapur rumahnya. Pria itu membawa dua gelas cokelat hangat untuk teman menghabiskan sore berdua dengan Alice.

"Heh, kau serius?"

"Ini Halloween. Aku ingin menikmatinya," ujar Mark dengan senyum manisnya.

Senyum manis Mark tak kuasa Alice tolak. Gadis itu hanya menganggukkan kepala, setuju dengan usulan pria itu.

Malam Halloween dengan hiasan lampu dan Jack O'Latern sepanjang jalan, membuat Mark terus menyunggingkan senyum. Anak-anak dan remaja berkostum seram, masuk dari satu toko ke toko lainnya demi mendapatkan segenggam makanan manis itu. Malam ini, Mark datang dengan kostum drakula yang selalu ia simpan sejak remaja. Tak lupa di tangan kanannya, juga ada sebuah kantung hitam untuk menampung permen dan cokelat.

"Kau masih melakukan ini?" tanya Alice setelah menyaksikan penampilan aneh Mark.

"Tahun lalu aku melewatkannya. Diana tidak terlalu suka."

"Ah, perempuan tidak tahu diri itu."

Mark melirik tajam Alice yang berjalan di sampingnya. Gadis itu tampaknya tak tahu tahu jika kata-katanya membuat Mark marah.

"Kita masuk ke toko itu. Mari isi kantungmu dengan banyak permen." Alice menarik lengan Mark dengan bersemangat.

Toko yang menjual barang antik itu terlihat sepi. Hanya ada satu pegawai berkostum drakula lengkap dengan gigi taring dan tanduk merak di kepala.

"Trick or treat?" seru Mark setelah berdiri di depan pegawai itu. Meski sudah dewasa, Mark tidak malu melakukan itu.

Pegawai berekspresi datar itu mengangguk sekilas, lantas berbalik. Mark tersenyum lebar karena mengira bahwa pegawai itu mengambil permen. Alice yang sejak tadi mengamati gerak-gerik mencurigakan pegawai itu, bersikap waspada. Mata Alice berubah kuning ketika pegawai itu mngeluarkan pisau perak dari balik jubahnya. Dengan kecepatan yang dimilikinya sebagai Demon, Alice segera menerjang pegawai itu. Namun, nahas. Tangan pegawai itu lebih cepat menusukkan pisau peraknya tepat di dada Mark. Alice melihat seringai dan mata kuning pegawai itu. Setelah itu, pegawai jelmaan Demon itu menghilang begitu saja dari pandangan Alice.

"No!!!" teriak Alice.

Demon muda itu menahan tubuh Mark sebelum jatuh menyentuh lantai. Alice membaringkan tubuh Mark dengan hati-hati, takut menambah rasa sakit akibat dari tusukan tadi. Air mata gadis itu mengalir deras, tangannya gemetar mengusap peluh dingin di wajah Mark.

"It's Okay," ujar Mark lirih di sela rasa nyeri di dadanya. Pria bersurai brunette itu tampak sudah pasrah dengan takdir yang harus ditanggungnya. "Tersenyumlah. Kau bebas sekarang."

Mark sudah kehilangan kesadarannya. Alice terisak keras, menyesali kebodohannya.

"Kau punya dua pilihan, Putriku."

"Ayah?" Alice menegakkan tubuh dan menajamkan pendengarannya. Suara ayahnya tiba-tiba terdengar jelas di kepalanya.

"Kau biarkan harapan bangsa Demon binasa atau kau membiarkan dirimu yang binasa."

"Apa maksud Ayah? Tolong jelaskan kepadaku," teriak Alice pada suara di kepalanya.

"Kau tahu apa yang harus dilakukan, My Princess."

Suara ayahnya tiba-tiba menghilang membuat Alice panik. Gadis itu memandang wajah Mark yang pucat. Gadis itu tahu jika ia harus berkonsentrasi. Pelatihan yang diikutinya selama ini, pasti memiliki tujuan tertentu. Jantung Alice tiba-tiba berpacu kencang dan darahnya terasa berdesir ketika ia ingat apa yang dikatakan ayahnya dulu.

"Seorang Demon bisa menyerahkan jiwanya untuk manusia yang dicintainya. Begitu pula sebaliknya," gumam Alice mengingat setiap kata yang diucapkan ayahnya dulu. "Apakah ini yang ibu lakukan untuk menyelamatkan Ayah?"

Sekarang puzzle itu mulai terbentuk jelas. Mengorbankan diri yang dimaksud ayahnya adalah menukar jiwanya dengan jiwa Mark.

Alice menatap Mark dengan air mata yang terus mengalir deras. Meski kebersamaannya dengan Mark hanya sebentar, tidak bisa dipungkiri jika hatinya telah tercuri. Dilepaskannya liontin bermata biru safir itu, kemudian dipakaikan di leher Mark. "I love you, Mark."

Alice mendaratkan bibirnya di bibir pucat Mark. Tanpa bisa gadis itu tahan, air matanya telah jatuh tepat di wajah Mark. Alice merasakan sensasi lain dari ciumannya. Tubuhnya tiba-tiba lemas seolah tenaganya telah terkuras habis. Alice memejamkan matanya, tubuhnya perlahan transparan, perlahan menghilang seperti bayangan.

***

Mark tidak tahu apa yang terjadi. Pria itu mendapati dirinya terbaring di rumah sakit ketika bangun. Ia sama sekali tidak bisa mengingat apa pun yang dilakukannya selama seminggu terakhir. Dokter dan perawat di sana hanya mengatakan bahwa penyebab dirinya terbaring di rumah sakit adalah kecelakaan mobil.

Kepala Mark tiba-tiba pusing jika ia berusaha keras mengingat kejadian itu. Tidak ada luka serius dan sesuatu yang kurang dari tubuhnya. Hanya saja, sebuah liontin bermata biru safir menggantung indah di lehernya. Pria itu tidak ingat sejak kapan ia mengenakan perhiasan semacam itu. Namun, ia merasa ada sesuatu yang lain dengan liontin itu. Ketika Mark menggenggamnya, ada pendar hangat yang tercipta.

Senyum tipis tiba-tiba tersungging di bibirnya. Sebenarnya, selama tak sadarkan diri, Mark bermimpi aneh tentang seorang gadis yang menggemaskan. Namun, ia tidak bisa mengingat lebih jauh lagi tentang hal itu.

"Bisakah kita berjumpa lagi lain kali?" gumam Mark sembari mengusap liontinnya dengan pandangan menerawang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro