Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

My Boo

"Boo!"

Isla melirik malas pada Abner yang kini sibuk melayang-layang di kamarnya. Pria itu bahkan sesekali menirukan gaya Spiderman dengan menempel pada langit-langit. Padahal, kalau dilihat-lihat, jemarinya bahkan tidak menempel sama sekali, tapi justru menembus.

Abner ini, hantu yang sudah gentayangan sejak dua puluh lima tahun. Pertama kali pindah ke apartemen barunya, Isla langsung menjumpai sosok hantu dengan wajah seram---yang di buat-buat. Awalnya ingin menjadi tak acuh, bersikap biasa saja seolah memang tidak mengetahui kehadirannya, tapi Abner terlalu gigih hingga membuat Isla menyerah.

"Abner! Seriously, kamu mengganggu. Sana, cari tempat lain untuk gentayangan!"

"Sudah pernah, Isla. Tapi tidak ada yang seperti kamu."

Ini mungkin terdengar romantis untuk semua orang, tapi tidak untuk Isla. Ia malah mengambil vas bunga yang ada di dekatnya dan bersiap melemparnya pada Abner sebelum akhirnya ia ingat bahwa itu akan menjadi hal yang sia-sia.

"Kenapa galak sekali, sih?! Benar, kok, tidak ada yang seperti kamu," kata Abner sambil menangkupkan kedua telapaknya di depan dada, "mereka tidak ada yang bisa melihatku. Tidak bicara denganku. Kamu ... kamu seorang yang bersikap 'memanusiakan manusia' padaku."

"Abner ... kamu itu hantu. HANTU! Astaga, jadi, wajar mereka tidak memanusiakan kamu."

"Iya ... iya. Tidak usah diingatkan juga sudah tau, kok." Jeda, Abner mencoba mendekat pada Isla yang masih menatapnya nyalang,"pakaian dalammu warna peach, ya? Tadi saat kamu ganti baju, aku tidak sengaja lihat."

"ABNER!"

Gelak tawa si hantu pria itu menjadi penghias latar musik di dalam kamar Isla saat si pemilik kamar sibuk mencoba menangkap si sosok tak kasat mata. Kalau bisa, ia benar-benar akan memukul hantu itu dengan vas bunga. 'Andai Abner adalah manusia', begitu yang selalu Isla ucapkan dalam hati setiap kali ia ingin memberi Abner pelajaran.

*****

Sejak kepindahannya ke kantor pusat, Isla selalu merasa tubuhnya meremang tiba-tiba. Meski sudah tiga bulan berada di kubikal barunya, ia tidak pernah merasa terbiasa dengan hawa dingin seperti ini. Sebenarnya, yang seperti ini memang selalu ia rasakan sejak pertama kali pindah ke Burford, tepatnya ke apartemen barunya. Ia kira, atmosfir seperti ini akan lepas saat ia keluar dari apartemennya. Nyatanya, hampir pada setiap tempat yang ia pijak, Isla selalu merasakan atmosfir seperti ini.

"Abner ...." Isla mendesis sinis. Matanya melirik tajam si hantu pria yang kini asik meniup-niup tengkuknya.

"Apa? Kamu terlihat kepanasan. Ini sedang kubantu agar tidak panas." Perkataan Abner jelas tidak masuk akal. Ini sudah pertengahan bulan Oktober, yang artinya sudah masuk musim dingin.

"Hentikan!"

"Apa?" Ini Nathan, yang tanpa ragu memundurkan kursinya hanya untuk melihat keadaan Isla.

Yang ditatap jelas terlihat gelagapan. Sambil terus berucap 'andai Abner manusia' di dalam hatinya, Isla mencoba sebaik mungkin menampilkan senyum yang seolah berkata 'tidak apa'.

"Ah, by the way, Isla ... kamu sudah dapat undangan untuk acara Halloween minggu depan?"

Alis Isla terangkat satu," Belum. Ah, lagi pula, Aku tidak tertarik dengan acara seperti itu. Itu hanya seperti acara anak-anak. That's not my cup of tea."1

Nathan terlihat tidak terima. Maka dengan wajah penuh antusiasme, ia mendekat. Bunyi gesekan roda dari kusinya terdengar begitu ribut hingga menarik perhatian beberapa pasang mata dari kubikal lain untuk melihat ke arah mereka.

"Pernah dengar sejarah Halloween?" Nathan bisa melihat bagaimana Isla mengelengkan kepalanya tak acuh.

"Dulu ... Halloween ini selalu dijadikan ajang mencari cinta sejati, loh. Tidak tahu persis bagaimana ini berubah menjadi ajang menakut-nakuti dengan slogan trick or treat." Nathan mengangkat bahunya. Dari sudut pandangnya, ia bisa melihat bahwa Isla mulai memerhatikan dan menyimak dengan baik.

"Tradisi orang Amerika terdahulu, mereka akan memainkan permainan yang disebut Snap Apple. Ini permainan mudah, kamu hanya perlu memakan apel yang digantung dengan tali. Tapi ... tantangan kecilnya adalah kamu harus melakukannya dengan mata tertutup dan tangan yang diikat di belakang tubuh. Lalu, jika ada seseorang yang juga ikut memakan apel itu, kamu bisa membuka penutup matanya dan tadaaaa ... you find your true love."

"But, we are neither in America nor American. Lagi pula, itu terdengar aneh dan agak pervert."

"Astaga, itu, sih, otakmu saja! Kamu itu hanya mengunakan penutup mata dan tangan yang diikat. Tidak ada borgol, cambuk atau alat BDSM lainnya. Lagi pula itu tempat umum, Isla."

"Well, karena kamu yang mengatakannya ini jadi terdengar mesum! Kamu, kan---Aku hanya menyuarakan pendapat." Isla buru-buru mengalihkan pembicaraan begitu melihat wajah Nathan yang terlihat kesal.

"Iya ... iya ... tidak ada yang bisa menyalahkan. Wanita, kan, memang mudah termakan gosip murahan. Jadi, ingin datang?"

Isla terlihat mengedikan bahunya, "Tidak tahu."

"Kamu harus datang! Aku sudah menjelaskan susah-susah. Pokoknya kamu harus datang bersamaku. Deal? Deal!"

Setelah itu, Isla tidak lagi memerdulikan racauan Nathan yang membahas ini dan itu. Ia yang pada dasarnya tidak begitu memikirkan hubungan asmara bahkan pada usianya yang sudah mencapai dua puluh enam tahun, agaknya dibuat sedikit tertarik dengan ajakan Nathan. Dengan berbekal frasa siapa tahu? Isla memutuskan untuk datang ke acara Halloween itu dengan Nathan.

Saat melirik tempat di mana Abner berada sebelumnya, Isla tidak menemukan apa pun. Nampaknya, hantu itu sudah pergi sebab hawa dingin tidak lagi memenuhi kubikalnya.

*****

Setibanya di apartemen, Isla melihat Abner yang berada di atas sofa sambil bersidekap tangan di depan dadanya. Ia memilih abai sebab rutinitas mandinya lebih penting dari pada meladeni Abner yang sering bertingkah tidak jelas.

Setelah dua puluh menit menghabiskan waktu untuk mandi, kini Isla sudah kembali ke tempat di mana ia menemukan Abner yang masih duduk di atas sofa dengan posisi yang sama. Saat merasa posisinya sudah cukup nyaman, Isla meminum jus apel dengan suara 'aahhh' yang terdengar heboh. Hal ini tentu saja mengundang perhatian Abner.

"Isla, kamu tidak malu menggunakan pakaian begitu?" Abner mengeluarkan tatapan dramatis sambil memindai penampilan Isla yang hanya menggunakan kaus tipis dan celana pendek.

"Ini apartemenku. Lagi pula tidak ada yang lihat juga."

"Aku. Ada Aku, Isla!"

"Lalu? Kamu, kan, hanya hantu, Abner."

"Tetap saja! Aku ini pria!"

"Iya, pria mati." Isla tidak juga mengalihkan perhatiannya. Ia malah kembali mengulang kegiatannya---meminum jus apel dengan suara 'aahh' yang heboh---dan itu membuat si hantu pria memandangnya sebal.

Abner sempat terdiam setelah mendengar ucapan Isla sebelum akhirnya membalas dengan lirih, "Benar. Kamu benar. Aku hanya pria mati yang mungkin sudah berumur lima puluh tahun kalau saja masih hidup." Jeda, Abner terkekeh samar, "untung saja sudah mati. Aaahh ... Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wujudku saat berusia lima puluh tahun. Masih tetap tampan tidak, ya?"

Merasa tidak juga mendapat tanggapan dari Isla---padahal ia sudah berisik sejak tadi tapi Isla tidak juga mengalihkan atensinya dari layar TV---Abner mencoba mendekatkan posisi duduk mereka.

"Umm ... Isla. Kamu akan pergi ke acara Halloween dengan Nathan?"

"Hu-um," sahut Isla sambil terus meminum jusnya dan lagi dengan akhiran suara yang heboh bahkan ditambah dengan sendawa.

"Seriously?! Kamu, kan, tau kalau Nathan---"

Isla menatap Abner dengan kedua alis yang terangkat. Tidak mengeluarkan kata sedikit pun, tapi Abner mengerti bahwa ia harus melanjutkan.

"Umm ... begini, karena Aku menyayangimu, Aku akan memberitahukan sebuah rahasia."

Ada hening sejenak sebab Isla bisa menyaksikan raut wajah si hantu pria itu berubah menjadi gelisah. Meski terdengar janggal, tapi, sungguh, Isla seperti bisa melihat Abner yang mencoba mengatur napas hanya untuk menenangkan diri padahal yang dilakukan hantu itu hanya diam.

"OK, here we are ... dua puluh lima tahun lalu, Aku menghadiri acara Halloween. Itu tidak seperti acara Halloween seperti basanya, di mana kamu akan menemukan anak-anak yang berteriak trick or treat dari pintu ke pintu. Ini seperti flirtation."

Kali ini ucapan Abner menarik perhatian Isla sebab ia merasa pembicaraan ini akan memiliki sangkut pautnya dengan ucapan Nathan siang tadi.

"Aku mengikuti permainan Halloween. Itu seperti kompetisi memakan apel dengan mata tertutup dan---"

"Maksudnya Snap Apple?"

"Iya, itu! Dengarkan dulu, Isla. Jangan menyela! Lalu, lalu ... saat menunggu giliran, sepertinya itu membuatku bosan dan berakhir dengan Aku yang sepertinya meminum minuman berakohol. Entahlah, setelah itu Aku tidak tahu apa-apa selain bangun dengan keadaan melihat tubuhku sendiri yang sudah tidak lagi bernapas dan dikerumuni banyak orang yang berbisik-bisik menyebalkan. Sekian. Itu lah kisah sedih pria lajang berusia dua puluh lima tahun."

Wajah Abner terlihat amat sangat mendalami cerita, namun itu tidak membuat Isla menaruh simpati sama sekali. Ia malah bersidekap sambil menunjukan raut angkuh.

"Lalu ... tujuanmu bercerita seperti itu, apa?"

"Astaga! Kau ini wanita berpendidikan! Kenapa bodoh sekali?! Sudah kubilang, kan, kalau Aku menyayangimu. Tentu saja alasannya karena Aku tidak ingin kau berakhir sepertiku! Dan juga, ini Nathan! Kamu bahkan tau dia itu bagaimana!"

Geram dengan sikap Abner yang lagi-lagi meninggikan nada suaranya, Isla menaruh gelas jus yang sudah kosong ke atas meja dengan sedikit membantingnya.

"Sejak sebulan lalu kamu terus berbicara bahwa kamu menyayangiku. Sebenarnya, ini menyayangi dalam konteks apa? Abner ... kamu itu sudah mati. Hantu. Lagi pula, kamu tidak perlu khawatir karena Aku tidak akan berakhir sepertimu. Kenapa? Karena satu, Aku wanita. Dua, usiaku sudah dua puluh enam. Dan lagi, I don't believe what people saying until I witness it with my own eyes!"

*****

Semenjak pertengkarannya dengan Abner dua hari lalu, Isla tidak lagi mendapati hantu pria itu memperlihatkan dirinya sembarangan. Tidak ada hawa dingin saat berada di kubikal kantornya. Tidak ada racauan tidak jelas saat ia pulang ke apartemen. Isla tahu bahwa Abner masih berada di sekitarnya, hanya saja intensitas kehadirannya benar-benar terasa samar.

"Pulang bersama?" Nathan tiba-tiba menawarkan diri begitu melihat Isla yang asik melamun di depan pintu kantor sambil menatap kosong pada hujan.

Isla merilik sebentar sebelum berakhir kembali menatap hujan yang nampaknya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Sebenarnya, tawaran Nathan begitu terlihat menggiurkan. Ia yang tidak membawa payung di tengah hujan deras seperti ini hanya bisa mengharapkan uluran tangan orang lain.

Tapi, ini Nathan. Meski pria itu selalu baik pada Isla dan tidak pernah menunjukan gelagat aneh seperti yang orang-orang kantor gosipkan---ajakan untuk ikut ke acara Halloween bukan lah hal yang aneh menurut Isla---tetap saja, ia pikir dirinya juga harus memiliki sikap siaga.

"Ayo, sekalian, Aku ingin membicarakan soal acara Halloween nanti."

Dan berakhir Isla yang memilih menerima kebaikan Nathan dengan tangan terbuka.

"Tidak perlu memakai baju terbuka. Ini, kan, acara Halloween bukan klub malam. Memakai kostum yang memukau di kompetisi Snap Apple, rasanya akan menambah nilai tersendiri." Isla hanya mengangguk saat mendengar ucapan Nathan.

Kalau boleh jujur, Isla benar-benar merasa mengantuk. Ini sudah pukul sepuluh malam dan tubuhnya terasa sangat lelah. Maka yang ia lakukan hanya mencoba untuk menyamankan posisi pada kursinya dengan bersandar nyaman sambil memejamkan mata.

AAAARRRGGHHHH

Seingat Isla ia hanya memejamkan mata sejenak sampai akhirnya mendengar teriakan histeris Nathan. Ia dibuat bingung saat melihat keadaan sekitar di mana mobil Nathan berhenti di sebuah gang sempit dan gelap. Ia bahkan tidak ingat bahwa ia sempat membuka tiga kancing atas kemejanya.

Saat melihat keadaan Nathan, Isla dibuat semakin terkejut sebab pria itu terlihat sangat berantakan---wajah pucat, kemeja serta kaitan pada celana yang sudah tidak beraturan. Isla menatap nanar pada Nathan. Segala asumsi terkait perbuatan buruk Nathan terhadap dirinya terus saja bermunculan. Lalu tentang gosip yang mengatakan bahwa Nathan akan selalu mencicipi teman wanitanya langsung mendapat pembenaran valid di dalam otak Isla. Tapi, bukan itu yang kini menjadi fokusnya.

Di sana, tepat di mana tatapan Nathan terpaku, Isla melihat sosok Abner yang begitu berbeda. Wajahnya terlihat seram dengan mata yang Nampak menyala. Ia bahkan bisa melihat urat-urat tipis keluar di sekitaran mata Abner.

"Boo!" ucap Abner saat seringai menyeramkan muncul di wajahnya.

"Abner ...." Isla yakin kalau suaranya hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri, tapi di sana, ia bisa melihat Abner yang langsung mengalihkan tatapan padanya.

Memahami situasi dan kondisi sekitar, Isla buru-buru merapihkan pakaiannya dan keluar dari mobil tanpa memerdulikan Nathan yang mencoba meraih tangannya.

"Pergi."

Isla mendadak menghentikan langkahnya yang hendak menghampiri Abner sebelum akhirnya memilih untuk berbalik arah dan langsung pergi dari tempat itu begitu saja---sesuai perkataan Abner. Ini sudah larut dan lagi sedang hujan. Sedikit sulit untuk mendapati kendaraan umum yang lewat pada saat seperti ini. Namun, entah harus merasa beruntung atau tidak, sebab saat ini ia sudah berada dekat dengan apartemennya. Nathan sepertinya mengambil kesempatan saat menyadari Isla yang tertidur di dalam mobilnya. Bodohnya, pria itu melakukannya di tempat yang dekat dengan hunian Isla.

"Cepat, Isla!"

Kesadaran Isla yang sudah berada pada hitungan lima puluh persen, kembali dipaksa bertambah saat ia menyaksikan Abner yang ikut berjalan di sampingnya. Terlihat berbeda dari penampilannya yang tadi. Wujud ini adalah wujud Abner yang ia kenal.

"Abner ...."

"Iya ... cepat! Jangan pingsan dulu! Aku tidak bisa mengangkatmu nanti. Aduh, Isla. Cepat!"

*****

Isla berakhir menggigil meski sudah membalut diri dengan selimut tebal dan berada di kamar dengan suhu yang hangat. Tangannya menangkup gelas berisi teh hangat yang sesekali ia minum perlahan. Matanya melirik Abner yang sibuk mondar-mandir sambil berkacak pinggang.

"Sudah dibilang, kan?! Kenapa tidak pernah mendengar perkataanku, sih?!" Nada suara Abner benar-benar terdengar kesal, "kalau saja Aku tidak muncul, kamu mungkin---ah sudahlah. Pokoknya---"

"Abner ...."

"Ya? Apa? Kamu kenapa? Cepat bilang, astaga!"

"Kamu berisik ... Aku pusing."

Setelahnya hanya sunyi yang terdengar. Abner benar-benar mengunci mulutnya dan hanya berakhir memandangi Isla. Sadar bahwa dirinya diperhatikan sebegitu intens, Isla pun menoleh. Hal itu tidak membuat Abner terkejut sepertinya, sebab keduanya kini berakhir dengan kegiatan saling memandang.

"Abner ... Sorry. Sorry for my words last time, I'm not supposed to be that mean to you."

Abner tersenyum lembut sebelum akhirnya memberi anggukan, "Sudah kubilang, kan, kalau Aku menyayangimu. Jadi, lupakan. That's nothing."

Isla menghela napas. Ia merasa harus mengeluarkan sesuatu yang membuat dadanya sebegini sesak hingga rasanya mampu membuat ia menangis.

"Abner ...." Jeda, Isla kembali menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengeluarkannya dengan kasar, "andai kamu manusia, Aku mungkin ... jatuh cinta sama kamu."

Isla sendiri bingung kala mendapati dirinya menjulurkan sebelah tangan hanya untuk menggapai pipi Abner yang nyatanya berakhir hampa sebab tangannya hanya bisa mendarat ke atas kasurnya. Setelahnya, Isla hanya bisa terkekeh. Merasa lucu dengan pikirannya, tapi tidak ada hasrat ingin berhenti.

"Abner ... andai kamu manusia, mungkin kita akan berkencan. Mungkin sekarang kamu akan memelukku dan merawatku dengan sabar sampai sembuh." Tatapan Isla kembali memindai wajah Abner yang entah mengapa terlihat begitu tampan di bawah sinar lampu temaram yang ada di kamarnya. Rambut hitam pekat, rahang yang tegas meski hanya warna pucat yang bisa ia lihat dari kulit Abner. Ada sedikit rasa menyesal sebab baru menyadari pemandangan seperti ini ia lewati begitu saja selama tiga bulan ini.

"Isla ... kamu sepertinya demam. Kata-katamu kacau," sahut Abner.

Isla menggeleng ribut. Ia menurunkan selimut yang membalut kepalanya, "Andai kamu manusia ... Aku pasti akan mengajak kamu ke acara Halloween, bukan Nathan."

"Kamu benar-benar demam. Kamu butuh tidur, Isla."

Isla terlihat membaringkan diri pada kasur sebab ia merasa pening mulai menyerang kepalanya. Kembali membalut diri dengan selimut tebal sebelum akhirnya ia benar-benar terlelap.

"Abner ... andai kamu manusia."

Abner hanya bisa memandang sendu wajah Isla. Jemarinya ia bawa untuk berada di atas telapak tangan Isla hingga itu terlihat seperti keduanya yang saling menggenggam.

"Wish accepted ...."

*****

"BANGUN!!!!"

Isla menggeram kesal sebab paginya yang biasa tenang kini harus menjadi begitu ribut sebab si hantu pria lajang itu terus-menerus berteriak tepat di telinganya.

"Bangun, Isla ... ini sudah pagi!"

"Berisik, Abner. Berisik!"

"Hah! Coba lihat! Semalam siapa yang mengatakan, 'Abner andai kamu manusia'?"

Isla langsung membuka kedua matanya dan menatap Abner penuh selidik, "Kamu jadi ... manusia?"

Yang terjadi selanjutnya adalah Abner yang bertahan pada posisi sambil tertawa terpingkal-pingkal, sementara Isla sibuk melemparinya dengan barang-barang yang bisa dijangkaunya.

"Ppppfftt ... kamu ini benar-benar ingin Aku menjadi pacarmu, ya? Sebegitu frustasinya karena belum punya kekasih diusia segini?"

"Jangan berkhayal! Siapa yang ingin jadi kekasih hantu?"

"Hah! Kata orang yang pernah mengatakan 'Abner ... andai kamu manusia, Aku pasti akan jatuh cinta padamu'."

"Abner! Mengoceh sekali lagi, Aku akan melakukan exorcise di apartemen ini supaya kamu musnah!"

Abner melotot horor. Agaknya ia tidak percaya kata-kata ancaman seperti itu keluar dari mulut orang yang sudah diselamatkannya. Tapi, Abner paham betul bahwa Isa tidak mengatakannya dengan serius. Maka dari itu raut wajahnya kembali tenang. Ia membawa dirinya mendekat pada emari pakaian Isla sambil menunjuk-nunjuknya dengan ibu jari.

"Apa?" tanya Isla dengan raut bingung.

"Better for you to get dressed, you're having party tonight."

"I'm not going." Isla kembali merebahkan dirinya di atas kasur dan menutup diri sepenuhnya dengan selimut.

"Apa? Kenapa? Tunggu! Kalau ini soal partner, kamu tidak perlu khawatir. Aku akan ke sana denganmu."

Sekali lagi, andai Abner manusia, mungkin ini akan terdengar romantis. Tapi, tidak. Di telinga Isla ini terdengar gila karena faktanya Abner bukan manusia. Ia tidak ingin berakhir konyol sebab berbicara di tempat umum dengan makhluk tak kasat mata.

"The point isn't about that, Isla. Tujuan untuk ikut kompetisi Snap Apple sendiri, kan, untuk menemukan cinta sejati!" Tidak mempan. Isla tetap tak acuh dengan perkataan Abner.

"Please ... kamu harus datang. I've got something to show."

"Apa?"

Abner tersenyum penuh arti. Kalau dari sudut pandang Isla, senyum itu terlihat picik.

"Come and get it, then."

*****

I know (I know), you belong to somebody new

But tonight, you belong to me

Begitu memasuki ruangan pesta Halloween, telinga Isla langsung disambut dengan suara Eddie Vedder yang menyanyikan lagu tonight you belong to me. Matanya menangkap piringan hitam yang sedang terputar pada turn table modern, maka rasa penasarannya tentang asal lagu yang khas dengan horror film itu lenyap begitu saja.

Semua yang datang mengenakan kostum menarik dan mungkin sedikit creepy. Setidaknya, kostum bloody Marry yang ia kenakan tidak membuat rupanya sebegitu abstrak. Lalu, mata Isla menangkap sosok Nathan yang berjalan mendekat ke arahnya.

"Hey, you're here."

Isla bisa melihat bagaimana tatapan Nathan begitu terlihat angkuh dan total menyebalkan. Kalau saja tidak dalam kondisi menggunakan gaun super menyusahkan ini, Isla mungkin sudah menendang tulang hidung pria itu agar belangnya hilang.

"As you see," sahut Isla tak acuh.

"Alone?" Nathan tersenyum angkuh dan jelas sedang mencemooh Isla dalam diam.

"I'm with my boyfriend. He'll be here soon." Isla sedang tidak berbohong. Ia memang datang bersama Abner hanya saja Nathan tidak bisa melihatnya. Meski hanya sesosok hantu, Abner tetap 'teman prianya'.

Isla bisa menyaksikan Abner yang dengan bangganya mengedipkan sebelah mata padanya sebelum mengacungkan ibu jari dan pergi menjauh. Kalau dipikir-pikir, ia sedikit merasa bersalah saat menyebut Abner sebagai 'pria mati'. Well, he's literally dead. Tapi, mengatakannya langsung di depan wajah Abner, Isla yakin perasaan 'teman prianya' itu terluka.

Mata Isla kembali meneliti ruangan. Ia mencoba mencari Abner, namun tidak juga menemukannya. Isla mencoba berjalan dengan mengangkat sedikit gaunnya agar tidak terinjak. Pesta sudah dimulai, oleh sebab itu, suasana begitu terlihat chaos dan ini jelas menyulitkan Isla untuk menemukan 'teman prianya' yang tak kasat mata itu.

"Hey, we need one more participant." Seseorang dengan kostum penyihir menghentikan langkah Isla dengan menarik lembut lengannya.

Isla bahkan belum sempat menjawab, namun 'penyihir' itu sudah mengumunkan bahwa dirinya menyetujui untuk menjadi salah satu kontentan yang entah apa itu.

Snap Apple, benar, tujuan Isla datang ke acara ini adalah untuk ikut kompetisi mencari pasanangan. Sepertinya kompetisi itu akan segera dimulai, mengingat waktu yang sudah menunjukan hampir tengah malam. Isla dan empat wanita lainnya sudah berjejer rapih dengan apel yang tergantung di hadapan mereka juga tangan yang diikat.

Sosok wanita dengan kostum nyentrik---yang Isla sendiri tidak tahu karakter apa itu---menaiki podium hingga semua orang di sana bisa melihatnya dengan jelas. Jemarinya ia gunakan untuk mengetuk-ngetuk microphone.

"Halo? Ini berfungsi, kan? Sepertinya begitu. Baiklah, sebelum dimulai, kalian akan mendengarkan sebuah kata pengantar dari the unknown," katanya sambil mengibaskan sebuah amplop putih yang ada di tangan kanannya.

"On Halloween, the hidden door is open. On Halloween, the impossible will be possible. On Halloween, once you close your eyes and wishper your wish, it'll come true."

Isla termenung saat kalimat terakhir selesai dibacakan. Ia terbayang-terbayang akan keinginannya akhir-akhir ini.

Abner

Ia mencoba kembali mencari keberadaan Abner, namun matanya sudah ditutup dengan kain hitam. Ia merasa gugup dan takut. Takut ketika apelnya hanya akan berakhir ia habiskan sendiri dan saat membuka mata yang ia temukan hanya kosong. Ini bukan perkara gagal mencari cinta sejati, tapi harga diri.

"Boo!"

"Abner!" Isla sedikit senang saat akhirnya mendapati keberadaan Abner. Meski tidak melihatnya, setidaknya Isla bisa mendengar suaranya.

"Makan apelnya, Isla. I'll show you something."

Isla agak ragu, namun ia tetap melakukan apa yang Abner katakan. Ini sulit, sungguh. Selain apelnya yang terus bergerak setiap kali Isla mencoba untuk memakannya, mulutnya tidak cukup besar untuk memakan apel itu dengan gigitan yang besar---agar cepat habis. Rasanya ingin menyerah saja kalau bisa, tapi iming-iming dari Abner membuatnya penasaran.

Isla kembali berusaha hingga akhirnya ia memiliki akal untuk menahan apel pada gigitanya dan berhasil. Apel itu hanya tinggal setengah sekarang, Isla bisa merasakannya. Suara tepuk tangan dan siulan menggoda terdengar riuh. Itu pertanda bahwa salah satu atau beberapa peserta sudah mendapatkan partner mereka. Dan ini membuat Isla kembali dilanda rasa gugup sebab tidak ada seorang pun yang mendekat meski apelnya sudah hampir habis.

'Andai Abner manusia, mungkin ia yang akan berada dihadapanku saat ini dan memakan apel bersama.'

'Andai Abner manusia ....'

"Boo!"

Isla tersentak saat mendapati suara Abner dan apelnya yang tertahan dari sisi lain. Lantas, ia juga merasa ada napas yang berhembus di wajahnya sebelum ia merasakan sepasang tangan yang menariknya hingga ia terpaksa melepaskan gigitan pada apelnya. Lalu, Isla merasa tangan itu meraih ikatan pada pergelengannya sebelum akhirnya melepaskan dengan mudah.

Begitu mendapati tangannya yang terbebas, Isla buru-buru menarik lepas penutup matanya dan berakhir terkejut sebab ia melihat Abner di sana.

"Boo! Surprise!"

Dulu, Isla tidak pernah percaya dongeng. Ia selalu menjunjung tinggi prinsip 'tidak akan percaya sebelum menyaksikannya sendiri', dan malam ini ia percaya sebab di hadapannya Abner begitu berwarna. Rambut yang terlihat samakin hitam, rahang tegas, warna bibir dan kulit yang terlihat cerah. Begitu nyata sebab kini ia bisa merasakan sentuhan jemari Abner pada pipinya. Abner-nya menjadi manusia.

"Isla ... kamu tahu kenapa Aku selalu mengatakan Boo setiap melihat kamu?"

Isla menggeleng kaku, ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bahkan suasana pesta yang sudah tidak terkondisikan, ia abaikan begitu saja sebab saat ini atensinya tertarik penuh oleh sosok tampan di hadapannya.

"Because Boo is the way British calls their lover. We're both British and in England, and ... you're my Boo."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro