Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Moonlove Sailing

~ Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk dua insan saling jatuh cinta?

***

Bulan purnama di atas laut menyinari malam Mia. Dengan langit cerah dan diterangi bintang, kesendirian perempuan berusia delapan belas tahun itu semakin syahdu. Di tepi pantai, hatinya mengadu. Matanya lurus menatap lautan. Tubuhnya tak bergerak, seolah beku diterpa angin kencang. Tak ada seorang pun di sekitar Mia, membuat gadis itu semakin larut dalam pikirannya.

"Kamu sedang apa?" Tiba-tiba muncul suara. Mia mendongak, melihat siapa yang bicara. Seorang pemuda berkulit sawo matang berdiri kebingungan menatapnya. Mata Mia yang layu karena sembap langsung terbuka lebar. Ia buru-buru berdiri dan melangkah mundur.

"Eh, eh, tenang! Saya bukan penjahat," ujar pemuda tersebut.

"Mana ada penjahat yang mengaku penjahat?!" seru Mia. Pemuda itu mengerutkan dahinya.

"Saya itu khawatir kamu mau bunuh diri, makanya saya datangi," jelas sang pemuda. Mia menarik napasnya, lalu berpikir sejenak.

"Saya cuma sedang menjernihkan pikiran," kata Mia.

"Jangan berlarut-larut dalam pikiran yang kusut. Kalau ujungnya mau mati, kamu bisa kebingungan nanti."

"Kenapa bingung?"

Pemuda itu tersenyum, "Karena sekarang waktunya berlayar, bukan mati."

Ada sesuatu dalam senyum pemuda itu yang membuat Mia menarik ujung bibirnya juga. Ia tahu bahwa bertemu pria asing di tempat sepi pada malam hari bukanlah sesuatu yang dekat dengan kata 'aman', tapi senyum polos pemuda di hadapannya membuat rasa waspadanya seolah lepas dari genggaman.

"Saya juga mau berlayar!" seru Mia penuh semangat. Pemuda itu lantas menatap Mia dari bawah ke atas. Dahinya berkerut dalam, terlihat lucu sekali di mata Mia.

"Memangnya kamu nelayan?" tanya pemuda itu.

"Memang yang boleh berlayar hanya nelayan?" Mia malah bertanya balik.

Pemuda itu mengangguk, lalu menepuk dadanya yang membusung, "Saya kan nelayan."

Mia terkekeh geli melihat wajah bangga pemuda di depannya. Dia merentangkan tangannya, "Kalau saya Mia."

Pemuda itu menatap telapak tangan Mia yang terbuka lebar, menodongnya untuk menyambut. Ia menggaruki kepalanya sebentar. Meskipun ragu, akhirnya ia menyambut salam tadi dengan sebuah jabat tangan yang cukup kuat.

"Halo, Mia," kata pemuda itu kikuk. Mia merasakan keunikan yang menggelitik dari pemuda di hadapannya itu. Sudah tahu sedang berkenalan, mengapa tidak memberikan namanya balik?

"Perahumu mana?" tanya pemuda itu, memecahkan rencana Mia untuk menanyakan nama.

Mia menatap sekitarnya. Pantai yang luas dengan laut terbentang di hadapannya seolah hanya milik mereka berdua. Sepi, tanpa ada manusia dan hanya ada satu perahu yang tertanam tepat di perbatasan antara pasir dan air. Gelombang kecil menerpa bagian bawah perahu itu berkali-kali, seolah mengundang untuk masuk laut dan berpetualang.

"Saya ketinggalan rombongan," ujar Mia beralasan. Dia bahkan ragu bahwa "rombongan" adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kelompok nelayan. Pikirnya, mungkin mereka punya sebutan sendiri, tapi dia hanya memakai sebutan yang ia tahu.

"Oh ... kasihan ...." Jawaban sang pemuda melegakannya. Sinar rembulan membuat wajah pemuda itu terlihat bercahaya. Bagai perahu yang digoda ombak kecil, Mia pun terpikat pada wajah bersih dan polos pemuda itu.

"Boleh menumpang berlayar di perahu kamu?" tanya Mia dengan semangat membara.

Pemuda itu kembali mengerutkan dahi. Alis tebalnya sampai menyatu saat ia bertanya balik, "Alat pancingmu mana?"

" ... Boleh sekalian pinjam juga?" Mia terkekeh. Pemuda itu awalnya ikut tertawa kecil, tapi setelah tahu bahwa Mia tidak bercanda, ia menghentikan tawanya.

"Kalau mau berlayar, persiapanmu harus matang. Pergi ke laut itu bukan jalan-jalan atau bahan bercandaan," tegur pemuda itu.

"Saya hanya merasa butuh berlayar," Mia mengerucutkan bibirnya, "Untuk menjernihkan hati dan pikiran."

Pemuda di hadapannya memandangnya mengamati Mia dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia lalu menghela napas, lalu menggerakkan kepalanya untuk memberi isyarat agar Mia ikut dengannya.

"Boleh?!" dengan wajah berbinar, Mia bertanya.

"Daripada kamu nekat berlayar sendirian, tanpa perahu ataupun alat pancing, lebih baik bersama saya," ujar sang pemuda.

"Itu sih namanya bunuh diri," gerutu Mia.

"Tepat!" sang pemuda berhenti dan menatap gadis di hadapannya, "Saya tidak akan memaafkan kamu kalau kamu bunuh diri di sini. Mengerti?!"

Mia mengangguk ragu. Wajah galak sang pemuda membuat nyalinya sedikit mengkerut. Tak lama, pemuda itu mengembangkan senyumnya.

"Sekarang bantu saya dorong perahu," perintah pemuda itu tanpa ada sisa kegalakan yang tadi mencuat tiba-tiba. Mia menuruti dengan suka hati. Siapa sangka bahwa perjalanannya malah berujung pengalaman berlayar untuk pertama kali?

Gadis muda itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong perahu. Di luar dugaan, perahu yang terlihat kokoh itu ternyata berat tertanam di dalam pasir. Setelah dua kali mendorong bersama sang pemuda, ujung perahu pun mulai mengambang di permukaan air. Sang pemuda menaiki Mia ke atas perahu terlebih dahulu, baru kemudian ia menaiki perahu itu sendiri.

Mereka duduk berhadapan di dalam perahu yang mungil tapi tebal itu. Angin yang bertiup membawa perahu menuju tengah laut. Ombak yang menerjang cukup membuat Mia gugup, tapi tawa sang pemuda saat melihat tingkahnya memudarkan segala ketakutan yang ada di hatinya.

"Kamu tidak mungkin seorang nelayan," ujar pemuda tersebut.

"Memang bukan," jawab Mia. Ia tak ragu untuk jujur, toh sudah terlambat untuk menolaknya ikut dalam perjalanan ini kan?

"Berarti ini pertama kali kamu berlayar?" tanya pemuda itu.

"Yap!" Mia menjawab dengan riang. Terlalu riang sampai sang pemuda menggelengkan kepalanya.

"Untung kamu bertemu saya, jadi sekarang bisa berlayar sama-sama," ujar si Pemuda. Ia duduk dengan tenang, menikmati ayunan dari gelombang air di bawah perahunya sambil menatap bulan yang terlihat begitu cantik dan besar malam itu.

"Memang kamu tidak takut karena sedang membawa orang tak berpengalaman untuk berlayar?" tanya Mia penasaran. Pemuda itu melepas tawanya sedikit.

"Tahu satu pepatah tentang perahu?" tanya sang pemuda.

"Pepatah apa?"

Pemuda itu memajukan tubuhnya dan mengangkat telunjuknya, "Perahu yang tak pernah keluar dermaga tak akan rusak atau tenggelam, tapi bukan itu tujuan dibuatnya perahu."

Mia termangu mendengar kalimat itu. Di hadapannya duduk seorang asing yang seolah sanggup mengucapkan apa yang selama ini ingin Mia dengar.

"Tujuan ya?" gumam Mia. Ia mengikuti gerakan sang pemuda, menatap bulan purnama yang bundar dan besar di atas kepalanya, "Apa ya tujuan saya dibuat?"

"Kalau tidak berlayar, mana tahu?" Pelan, pemuda itu menggerakkan sebuah tongkat di kiri kanannya dengan gerakan memutar. Setelah perahu berjalan tenang, Mia baru sadar kalau keduanya adalah dayung sang nelayan.

Keduanya mengobrol santai. Mia seolah meninggalkan semua bebannya di daratan dan melampiaskan emosinya pada sang pemuda yang duduk di hadapan.

"Kamu tahu? Saya benci bulan ini. Bulan Oktober," kata Mia pada suatu titik setelah mereka lama berbagi cerita. Mia tidak membawa jam tangan, ia tak tahu sudah berapa lama mereka habiskan sambil bertukar ucapan. Saat merasa tenggorokannya kering, Pemuda itu langsung mengeluarkan sesuatu dari balik tempat duduknya. Sebuah termos dan gelas.

"Kenapa?" tanya pemuda itu sambil menuang air hangat ke dalam gelas. Genggamannya begitu kokoh sehingga meskipun perahu terombang-ambing, tak ada air yang tumpah dari termos saat dituang.

"Karena bagi saya itu bulan yang spesial," jawab Mia.

Pemuda itu mengerutkan dahi, lalu memberi minumannya kepada sang gadis, "Kalau spesial kenapa benci?"

"Karena cuma saya yang merasa Oktober itu spesial. Terima kasih," Mia menjawab sambil menerima minuman dari pemuda nelayan. Minuman tersebut adalah minuman penghangat tubuh. Dengan meminum sedikit, bukan hanya tubuhnya yang terasa nyaman, kerongkongannya pun tak kering lagi.

"Mainmu kurang jauh kalau berpikir hanya kamu saja yang merasa Oktober itu spesial." Pemuda nelayan mengambil gelas Mia dan meminum sisa air di dalamnya. Pipi Mia menghangat saat menyadari bahwa mereka baru saja berbagi gelas.

"Me- memang siapa lagi yang berpikir bahwa Oktober itu bulan spesial?" tanya Mia sambil mengabaikan rasa kikuknya.

"Saya." Pemuda nelayan kembali mengangkat wajahnya untuk melihat bulan, "Saya itu malah cinta banget sama bulan Oktober."

"Kenapa?" Mia memiringkan kepalanya. Sesuatu tentang seseorang di hadapannya membuat gadis itu terlena. Penampilan pemuda ini biasa saja, tapi mengapa Mia tak bisa berhenti penasaran terhadapnya?

"Karena di akhir bulan ini, saya akhirnya bisa berlayar."

"Kok begitu?" Semakin lama, tuturan pemuda itu semakin membingungkan Mia. Bukannya kesal, Mia malah merasa semakin ingin memahami.

"Memang begitu. Sepanjang tahun, saya itu hibernasi. Tidak tahu apa yang saya lakukan. Tapi saat bulan Oktober, jiwa saya serasa bangun. Terpanggil laut. Lalu, di tanggal 31 malam, seperti malam ini, saya berlayar."

Mia menarik napasnya panjang. Pantas saja ia merasa tertarik pada pemuda itu. Rupanya bukan perahu dan gelas saja yang pemuda itu bagi, tapi juga perasaan.

"Kalau begitu kita mirip," ujar Mia.

"Hm? Mirip?" Keadaan berbalik, kini giliran sang pemuda yang tampak penasaran pada gadis di hadapannya.

"Kamu hanya bisa berlayar setahun sekali, saya hanya bisa berlayar saat melarikan diri."

"Melarikan diri dari siapa?"

Mia tersenyum meskipun matanya semakin sendu, "Orang tua."

"Ah ... orang tua ya ...." Seolah paham, pemuda itu mengangguk. Wajahnya yang tadi kebingungan kini seperti melihat titik cerah. Mia mengangguk.

"Kalau tidak melarikan diri, mereka tidak akan melepas saya berlayar."

"Memang kamu mau berlayar ke mana?"

"Ke ibukota. Aku punya mimpi untuk merantau, menggunakan ilmuku di perusahaan-perusahaan besar yang ada di sana. Tanpa mau mendengar, orang tuaku langsung mengempaskan mimpiku itu ke tanah dan mendesakku untuk melihat realitaku sebagai perempuan."

"Apa realitamu bagi mereka?"

"Menurutmu apa lagi?"

Pemuda itu terlihat berpikir keras. Ia melipat tangan di depan dada sambil mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi, berharap langit malam akan memberikannya jawaban. Sedetik, dua detik, pria itu tak juga menjawab meskipun sudah lebih dari lima detik berlalu. Mia tertawa geli.

"Kenapa tertawa?" tanya pemuda nelayan dengan wajah malu.

"Caramu berpikir dengan keras benar-benar memperlihatkan bahwa kau bukan perempuan."

"Memang apa sih realita perempuan itu?" tanya pemuda nelayan dengan gusar.

Mia memajukan tubuhnya, menatap sang pemuda dengan senyum yang masih bergetar karena menahan geli. Ia mengambil jeda sampai siap untuk bicara, lalu ia pun berkata, "Menikah. Itu realita perempuan."

"Hooo ... menikah ya?"

"Perempuan tidak boleh pergi jauh dari rumah. Mimpinya harus berpusat di rumah. Itulah realitanya," ujar Mia.

"Pasti berat ya, disuruh menelan realita yang belum tentu menggambarkan diri kita?" tanya pemuda nelayan.

"Saya cinta rumah, kok. Hanya saja, banyak hal di luar sana yang ingin saya gali."

"Itulah. Pergi ke luar bukan berarti tidak ingat rumah. Seperti air di lautan ini," pemuda itu melihat ke kiri dan kanannya, "Tak peduli kemana mereka pergi, tiap tetesnya selalu tahu ke mana mereka harus bermuara."

"Hhh ... seandainya orang tuaku berpikir seperti kamu." Mia meregangkan tubuhnya yang mulai pegal sementara sang pemuda nelayan tersenyum dan menundukkan kepala. Ucapan lalu perempuan tadi ia anggap sebagai pujian. Sebuah pujian yang baru pertama kali ia dapatkan dari orang pertama yang menemaninya berlayar.

"Mungkin mereka juga merasa terpenjara dengan rumah, sehingga menganggap itulah realita."

"Ah, tidak juga. Ayahku seorang pedagang yang berkali-kali pergi ke luar kota. Sayangnya aku tak diperbolehkan mengikuti jejaknya."

"Kenapa?"

"Entahlah. Katanya karena aku perempuan. Aneh kan?"

Pemuda itu menatap Mia tanpa berkedip. Begitu lama sampai Mia merasa ada yang salah dengan ucapannya. Tapi belum sempat gadis itu bertanya, senyum sang pemuda nelayan mengembang.

"Ternyata sama."

"Sama?"

"Kamu dan saya. Benar-benar sama. Terjebak dalam takdir," ucap pemuda itu. Mia merenungi kata yang baru ia dengar. Takdir ... betapa kejamnya kata itu terasa. Ia tak menyangka bahwa takdir hidupnya sudah ditulis rapi oleh orang tua dan diejakan kepadanya tanpa peduli apakah takdir itu yang ingin ia jalani.

"Ya. Takdir. Perempuan menikah dan mengurus rumah," Mia menyeringai. Matanya berkilat pedih. Dalam pikirannya yang mengawang, tiba-tiba sebuah pertanyaan terucap dari bibir tipis gadis itu, "Kamu pernah jatuh cinta?"

"Belum." Pemuda nelayan menjawab cepat meskipun mata Mia tak mengarah kepadanya.

"Saya juga belum, tapi saya penasaran." Senyum Mia terangkat sementara pandangannya semakin dalam menatap langit yang bertabur bintang.

"Wajar kalau gadis seusiamu penasaran," kata pemuda nelayan pelan.

"Menurut Abang, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa jatuh cinta pada seseorang?"

"Hm ... berapa lama ya?" Pemuda itu menatap Mia, "Katanya sih, dengan orang yang tepat ...."

Alis Mia mengerung, menyadari hening yang terasa tanggung. Ia mengembalikan matanya kepada pemuda di hadapannya. Pemuda itu tersenyum dengan senyuman yang mampu menimbulkan riak di dada Mia. Setelah mata mereka bertemu, pemuda nelayan menjentikkan jarinya, "Satu pertemuan mata itu cukup untuk mencintai selamanya."

Mia tertawa. Pemuda nelayan terdengar begitu konyol dan juga masuk akal dalam waktu yang bersamaan. Mereka pun kembali bicara. Tentang laut, tentang ikan, juga tentang hidup. Waktu terus bergulir sampai-sampai Mia tak tahu sudah berapa lama waktu itu berlalu. Malam itu, ia tak mengantuk maupun kelelahan meskipun sudah berlayar dan mengobrol semalaman.

"Berlayar itu menyenangkan sekali ya! Saya jadi merasa beruntung ikut ke dalam ke perahu ini." Tawa riang Mia berbanding terbalik dengan tatapan layu pemuda nelayan. Perlahan, pemuda itu menunduk sambil tersenyum lesu.

"Saya jadi tak ingin malam ini berakhir," uajr sang pemuda.

Seolah tahu apa maksud ucapan tadi, Mia menggerakkan tubuhnya. Perlahan maju dan mengusap punggung tangan pemuda nelayan yang terkepal kuat di atas pangkuan.

"Kalau malam ini berakhir, besok pagi saya akan tetap berada di sisimu," kata Mia lembut.

Pria itu tersenyum dan menyisir rambut gadis di hadapannya, "Kamu gadis yang baik, Mia"

"Kamu juga pemuda yang baik ...," sesaat Mia berpikir, "Um ... hanya saja saya lupa menanyakan namamu."

"Tidak usah memikirkan nama. Lihat bulan saja kalau mau panggil saya." Pemuda itu menunjuk bulan yang mulai pucat dan samar. Bulan itu sudah berada jauh di belakang Mia. Tanpa disadari, mereka bergerak menjauhi bulan dan mendekati tengah lautan.

Mia mengembalikan kepalanya yang sempat berbalik sambil tertawa, "Aneh kamu! Kalau saya mau panggil saat siang hari bagaimana?"

Pemuda itu menggeleng, "Saya tidak mungkin ada di siang hari."

Seperti bulan, wajah pemuda itu pun semakin pucat. Perlahan Mia menyentuh wajah itu. Cemas langsung menggelayuti hatinya.

"Kamu kedinginan ya? Mau pakai jaket saya?" Mia hendak melepaskan jaketnya ketika matanya menangkap sebuat pemandangan yang membuatnya menggigil. Di depan perahu, sebuah pusaran air yang besar menarik mereka untuk masuk ke dalam sana.

"Hey! Kayuh dayungmu! Ada pusaran besar di sana!" Mia menunjuk ke belakang punggung pemuda nelayan. Bukannya menengok, pemuda itu malah tersenyum dan menangkup wajah Mia.

"Tidak apa-apa," pemuda itu berkata lemah.

"Tidak apa-apa bagaimana?! Kita bisa mati!"

"Tidak apa-apa, Mia. Kamu tidak akan kenapa-kenapa."

"Saya?! Lalu kamu bagaimana?!"

"Inilah takdir saya."

Tidak ada ucapan pemuda itu yang terdengar masuk akal. Mia mulai mengeluarkan air matanya. Segera ia periksa seisi kapal, mencari alat yang bisa dipakai untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba ia merasa dikalungi sesuatu. Tak sampai satu detik, benda itu mengembang, membentuk jaket pelampung yang menyelimuti leher sampai perut Mia.

"Mia dengarkan saya." Pemuda yang mengalungkan pelampung itu meremas bahu Mia dan mengguncang tubuhnya.

"Hey!" Dada Mia terasa sesak, entah oleh pelampung ataupun kenyataan bahwa ia tak bisa memanggil pemuda itu dengan nama panggilannya. Tarikan napas Mia semakin pendek seiring dengan kepanikan yang ia rasakan.

"Dengarkan saya!" Pemuda itu mengeraskan suaranya, membuat Mia diam seketika. Pusaran air semakin dekat, mata Mia pun semakin basah.

"Berlayarlah dengan kesadaran bahwa mimpi dan bahaya akan datang bersamaan. Bersikaplah berani, tapi hati-hati. Jika terjatuh, siap bangkit lagi. Jangan cengeng, Mia. Luar sana bukan tempat bagi orang yang cengeng."

"Kamu ngomong apa sih?!" Mia meremas baju pemuda itu. Semua ucapan yang diberikan terdengar bagai pesan perpisahan. Padahal Mia belum siap untuk berpisah, belum siap untuk menjemput kematian bersama orang pertama yang sanggup menyentuh hatinya.

"Ingat ucapan saya, Mia! Berjanjilah untuk ingat ucapan saya!" seru pemuda nelayan.

"I- iya." Jawaban dan anggukan Mia membuat pemuda itu tersenyum. Gadis itu bisa merasakan kehangatan yang menegangkan saat pemuda nelayan memasukkan kepalanya ke dalam dekapan. Perahu melaju semakin cepat, tapi Mia hanya dapat melihat gelap.

Waktu seolah berhenti. Mia tak lagi takut pada sekitarnya. Ia tak memikirkan ombak, gelombang, ataupun pusaran yang siap menghisap perahu mereka.

"Saya mungkin tidak bisa apa-apa lagi. Tapi kamu, berlayarlah yang jauh. Bawa malam ini di hatimu, maka saya akan selalu ada menemanimu." Ucapan pria itu membuat Mia menangis. Entah kenapa ia tahu bahwa ini adalah waktunya berpisah dengan cinta pertamanya.

"Terima kasih sudah membuatku merasa hidup. Ini malam yang paling berkesan dari semua malamku berlayar sendirian." Ucapan itu bergaung di ruang kosong di kepala Mia. Begitu lama sampai akhirnya ada panggilan lain yang membuatnya terganggu dari nyamannya ketiadaan.

Mia membuka mata perlahan. Langit sudah terang dan sedikit tertutupi kerumunan orang-orang yang menjadikannya pusat perhatian. Ia tak ingat lagi apa yang terjadi setelah ucapan sang pemuda nelayan. Dekapan, pusaran, dan malam yang panjang seketika hilang. Tahu-tahu terbangun di pagi yang hangat di atas pasir pantai.

***

[Lima Tahun kemudian.]

"Terima kasih, Pak." Mia tersenyum menatap formulir cuti yang baru ditandatangani oleh atasannya.

"Santai aja, Mi. Kamu itu karyawan paling rajin di sini. Selama empat tahun aja sudah dua kali dipromosikan. Bisa kena tuntut saya kalau nggak meloloskan cuti sekali setiap tahun seperti ini," balas atasannya sambil tertawa.

Mimpi yang dulu sempat Mia pikir tak bisa terjadi akhirnya menjadi kenyataan. Kini Mia benar-benar sukses dengan karirnya dalam sebuah perusahaan besar di ibukota. Sebagian penghasilannya tiap bulan ia kirimkan ke orang tua sebagai tanda baktinya. Merasa hidup mereka menjadi semakin ringan dan putrinya semakin terlihat bahagia, orang tua Mia pun bersyukur dengan kegigihan Mia untuk merantau lima tahun lalu.

"Ngomong-ngomong," suara atasan Mia membuat langkah gadis itu terhenti saat sudah berada di depan pintu ruangan. Mia berbalik dan melihat atasannya tersenyum sambil berkata, "Selamat ulang tahun, Mia."

"Terima kasih, Pak," jawab Mia sopan. Setelah menunduk sedikit, ia membuka pintu ruangan dan kembali ke mejanya. Seorang rekan kerja pria yang duduk di sebelah melirik dengan pandangan ingin tahu.

"Dikasih, Mi?" tanya rekan tersebut. Mia mengangguk. Rekan kerja itu berdecih.

"Kayaknya cuma kamu deh anak buah yang dikasih izin cuti meskipun apply-nya sehari sebelum hari cuti," ujar sang rekan kerja.

"Makanya, ambil cuti setahun sekali. Pasti cepat dikasih acc," balas Mia.

"Eh, tapi aku penasaran deh. Kamu selalu ambil cuti di tanggal 30 Oktober sampai 1 November tiap tahunnya. Memangnya tiap akhir Oktober kamu ngapain sih?" tanya sang rekan kerja. Mia mengulum senyum, lalu menatap rekan kerjanya yang selalu ingin tahu itu.

"Berlayar sama pacar," jawab Mia singkat.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro