Halloween Terakhir
Memutuskan untuk tinggal di indekos sederhana yang jauh dari hingar bingar perkotaan memiliki dua keuntungan. Pertama, biaya sewa lebih murah. Kedua, godaan untuk hidup hura-hura pun cenderung minim. Apalagi bagi mahasiswi dengan modal pas-pasan sepertiku.
Namun, seperti dua sisi mata uang; ada untung, ada rugi pula di sisi lainnya. Lingkungan indekosku tak terjamah oleh kendaraan umum, dan mau tak mau aku harus berjalan cukup jauh untuk sampai ke jalan raya.
Melipir melewati sebuah jembatan juga perlintasan kereta api yang sudah tak difungsikan. Jika berjalan pagi hari, suara gemercik dari air terjun mini yang kulewati mampu memanja gendang telinga.
Sialnya, kesyahduan itu berubah suram saat aku harus memintasi rute yang sama dengan penampilan seperti sekarang. Ini semua karena kampusku mengadakan acara halloween.
Masker bengkoang yang mulai mengering dan pecah-pecah membuatku ingin membasuhnya. Aku yang memilih kostum hantu lokal ini-dengan alasan ingin tampil beda-, tetapi aku pula yang dibuat berjengit takut saat menatap refleksi wajahku di cermin. Siapa yang setuju kalau hantu di Indonesia lebih menyeramkan dan beragam? Dari Mbak Kun sampai Mas Poci.
Satu jam menunggu, tak ada juga orang lewat untuk bisa kumintai tolong. Dengan berat hati, aku memilih berjalan kaki.
Angin yang berembus membuat sekelilingku semakin dingin. Aku menoleh ke kiri dan kanan saat merasa puluhan pasang mata tengah merongrong memperhatikanku. Namun, tak kudapati apa pun.
Sesaat setelah kedua kakiku menginjak bibir jembatan, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Jembatan ini dinamai jembatan gantung oleh warga sekitar. Namun, sampai hari ini tak jua kupahami alasannya. Mengingat bentuknya tak seperti jembatan gantung kebanyakan.
"Trik or treat? Berikan darahmu atau tubuhmu kami lempar."
Demi Tuhan aku terlonjak saat suara itu menyapa gendang telinga. Aku menoleh dan terkejut mendapati dua anak kecil berkepala plontos yang hanya mengenakan celana dalam warna putih tahu-tahu berdiri di belalang dengan sebelah tangan terulur. Lingkar hitam di area mata membuat mereka tampak menyeramkan.
Trik or treat? Aku pernah mendengar istilah itu. Memang biasanya setiap halloween anak-anak mampir ke rumah tetangga untuk melakukannya. Misalkan, berikan permen atau mereka akan berbuat nakal di rumah tersebut. Tapi kok kali ini terdengar berbeda? Aku juga baru tahu kalau orang-orang di sini turut merayakan halloween. Apakah sekadar untuk bersenang-senang? Karena dalam kondisi tak membawa apa pun selain perlengkapan untuk ke kampus, aku hanya tersenyum sembari menepuk puncak kepala mereka bergantian.
"Dek, mending pakai kostum lain aja yang lebih tertutup. Kasihan polosan begitu nanti masuk angin," ujarku sambil lalu.
Dua anak itu sepertinya langsung pulang karena tak kudengar lagi suaranya. Aku pun enggan menoleh karena memang sedang berkejaran dengan waktu. Secepatnya aku harus sampai kampus.
Tuk ... tak ... tuk ... tak.
Tubuhku kaku mendengar suara sepatu kuda saling bersahutan dengan gemerincing benda yang biasa tergantung di lehernya. Hingga sepasang tangan dingin menyentuh pundakku dari belakang.
Aku memutar badan ragu, dan langsung dihadapkan pada sosok perempuan dengan kostum serupa. Kedua netraku bergulir memindai penampilannnya. Pakaian yang ia kenakan dibiarkan terjuntai, pun rambutnya terurai hampir menutupi sebagian wajahnya.
Tanpa bicara, dia mengarahkanku pada delman yang tak jauh dari posisi kami berada. Aku terkesan karena dia begitu total bermain peran.
"Apa kita satu kampus?" tanyaku saat kami telah sama-sama naik delman.
Lagi, dia tak bersuara.
Akhirnya sisa perjalanan dilalui dalam diam. Aku menghargai totalitasnya, jadi tak lagi mengajaknya bicara.
Kuucapkan terima kasih berkali-kali saat sampai ke tempat tujuan, tetapi belum tuntas aku mengajaknya bicara, Aidil dalam balutan kostum zombie mengagetkanku. Aku langsung mengenalinya karena sebelum ini dia memang mengirim foto selfie padaku.
"Hai, Mbak Sundel!" serunya.
"Enggak sopan. Aku lagi ngobrol juga."
"Ngelawak nih. Datang sendiri, ngobrol sama siapa, Mbak?"
"Sama-," Kalimatku terputus saat menyadari tak ada siapa pun di belakang. Kalaupun mereka sudah pergi, mengapa secepat itu? Aku menatap Aidil dengan tatapan menuntut, memintanya percaya bahwa aku tidak datang sendirian. "Sumpah, dari jembatan gantung tadi aku sama anak kampus ini juga naik delman."
"Mana mungkin ada delman lewat sana, Karin. Apalagi malam-malam. Diantar Mbak penunggu jembatan kali."
"Ngaco!"
"Serius. Satu-satunya alasan kenapa jembatan itu dinamai jembatan gantung, bukan karena bentuknya, tapi karena di sana banyak orang yang memutuskan mengakhiri hidup dengan gantung diri di sana. Jadi, bukan enggak mungkin kan kalau yang tadi mengantar kamu memang penunggu di sana?"
Kendati bulu kudukku langsung meremang mendengar penjelasannya, aku masih menolak percaya. Bagaimanapun, penjelasan Aidil sama sekali terdengar tidak logis. Kalau anak kecil saja bisa berkeliaran di sekitar sana, mengapa delman yang dikendarai orang dewasa tidak mungkin melewati area itu? Saking jengkelnya, aku langsung berlalu dari hadapan pemuda itu.
Area kampus sudah benar-benar menyeramkan. Pernak-pernik khas halloween bertabur di mana-mana. Ada kerangka, buah labu Jack O'lantern, dan lain-lain. Beberapa kali pula aku berpapasan dengan orang dengan penampilan tak kalah menyeramkan. Sebelumnya, halloween diangap sakral karena namanya lainnya saja Hallowe'en Allhallowe'en atau malam para kudus. Namun, belakangan perayaan itu seolah hanya jadi ajang bersenang-senang dengan pesta kostumnya.
Tunggu.
Omong-omong, kenapa kampus begitu sepi? Seharusnya ada lebih banyak orang di sini. Apalagi, alumni pun kabarnya akan turut meramaikan.Aku terbengong cukup lama dengan netra berotasi ke berbagai arah, berharap menemukan seseorang. Apakah aku terlalu cepat? Sepertinya tidak. Waktu keberangkatanku tadi bahkan tertunda satu jam karena tak juga ada kendaraan melintas.
Sekelebat bayang dari lantai atas. Tanpa pikir panjang, aku langsung meniti satu per satu anak tangga. Aku yakin teman-temannya sudah berkumpul di sana.
Begitu sampai ke lantai dua, aku yang tadinya ingin bertemu teman-temannya justru tak sengaja menangkap sosok lelaki berperawakan tinggi kurus sedang berdiri di balkon. Terdorong rasa penasaran, gadis itu mendekat.
Si pemuda yang ternyata Aidil berbalik. Aku masih kesal pada pemuda itu, tetapi tetap tak bisa menolak untuk tidak bicara dengannya. Bagaimanapun hanya dia uang bisa kukenali sampai detik ini.
Hingga tiba-tiba, seluruh ruangan yang semula terang, berubah gelap. Satu sama lain bisa melihat hanya berkat sinar samar rembulan. Aku merapatkan tubuh, takut gelap dan berharap Aidil tidak akan menjauh sedikit pun darinya. Namun, sosok lain muncul. Rambut perempuan itu terurai, area wajah sama sekali tak terjamah, tertutup sempurna oleh setiap helainya. Bau amis pun seketika terhidu oleh indra penciuman kami. Benar-benar persis seperti yang bertemu dengannya di jalan tadi.
Aku dan Aidil sama gemetar. Tidak ingin tinggal lebih lama, tetapi berlari pun susah. Kami bergerak mundur menghidari si perempuan tak menjejak lantai.
"Siapa lo?" Aidil berteriak.
Aku sendiri memilih menyembunyikan tubuhnya dengan sempurna di balik tubuh Daniel.
Kamu milik saya.
Suara yang tak lebih keras dari desau angin itu sanggup membuat bulu kudukku meremang. Aku semakin ketakutan, bahkan mulai menangis.
"Jangan ganggu kita. Pergi!"
Bukannya mendengar, perempuan itu justru mengulurkan tangannya. Jemarinya dilengkapi kuku-kuku panjang, menghitam, dan runcing. Mencengkeram kuat leher Aidil.
Aku menjerit melihat Aidil tampak kepayahan meloloskan diri. Namun, tak berselang lama perempuan itu justru berhasil membuat Aidil terdorong hingga tubuhnya jatuh dari balkon lantai dua. Teriakanku semakin menggila, aku berlari ke sana-kemari dengan harapam ada yang mau menolong. Sial, tak satu pun bersedia memberi bantuan. Mereka.yang ada di ruanhan hanya duduk diam dengan kepala tertunduk.
"Tolong ... tolong! Tolong teman saya. Dia juga anak kampus ini." Demikian aku memohon. Namun, hingga berulang kali kalimat itu meluncur tak satu pun mendengar. Aku mengerang frustrasi dan langsung berlari cepat sembari memegang ujung gaun yang kukenakan. Ragu, aku mendekati tubuh Aidil yang terkapar di sana. Anehnya, tak ada jejak darah. Bukankah jatuh dari ketinggian berpotensi membuat tubuh berdarah-darah? Apalagi area kepala yang lebih dulu menyentuh lantai dasar. Tak terdapat itu dalam tubuh Aidil.
Aku mengulurkan tangan, mati-matian menanggalkan rasa takut demi mengetahui apakah dia baik-baik saja atau tidak? Namun, begitu tanganku menyentuh tubuhnya, sebuah suara mengembalikan kesadaranku.
"Karin!"
Aku terhenyak dan refleks membuka mata. Banyak orang berkostum aneh mengelilingiku membuatku menjerit ngeri. Anehnya, Aidil menjadi satu di antara mereka, sementara aku beralih menjadi sosok yang terbaring tanpa alas.
"Syukurlah kamu sadar. Kami benar-benar khawatir."
Memangnya aku kenapa? Kutelan bulat-bulat pertanyaan itu, tak langsunh disuarakan. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Coba minum dulu. Kamu sepertinya masih syok."
"Aidil, ini ada apa?" tanyaku akhirnya.
"Kamu pingsan di pinggir jembatan gantung, Rin. Untung tadi ada Mas Dafa yang kebetulan lewat. Coba kalau enggak. Sampai pagi kamu di sana. Kami kok bisa pingsan di sana? Sakit apa gimana?"
Aku menggeleng tegas. Seingatku akuu bahkan sudah di kampus. "Enggak tahu. Justru tadi posisinya terbalik. Kamu yang dijatuhkan dari lantai dua. Aku sedang kelabakan mencari bantuan, tapi kenapa posisinya jadi tertukar?"
Aidil menghela napas. Mahasiswa yang lain pun saling berbisik, tampak sama bingungnya. Namun, tak satu pun memberi penjelasan.
"Rin, lain kali jangan lewat sana sendiri. Usahakan ada teman, apalagi malam-malam begini. Kita enggak pernah tahu apa yang bakal terjadi di jalan. Selalu ada tangan-tangan jahat baik dari yang terlihat atau enggak."
Aku berusaha mencerna kata demi kata yang terlontar dari bibir Aidil. Sampai tiba-tiba kilas balik saat aku di jembatan tadi berputar otomatis. "Trik or treat? Berikan darahmu atau tubuhmu kami lempar?"
Kelopak mataku sontak melebar. Mungkinkah mereka yang benar-benar melakukannya?
"Karin, jangan melamun."
Segera aku tersadar. Mendadak tubuhku terasa berat mengingat kejadian tadi. Entahlah, terlalu banyak hal mengejutkan hari ini. Sepertinya ini akan menjadi halloween terakhirku. Dengan alasan apa pun aku tidak akan melakukannya lagi.
"Bisa bangun? Biar kamu aku antar pulang."
Aku mengangguk dan langsung bangun dari posisi semula. "Tapi, aku ingin menghapus riasan dulu sebelum pulang. Boleh?"
Aidil tampak menganggukkan kepala.
Ditemani teman perempuan aku langsung bertukar pakaian dan menghapus riasan.
Aidil benar-bwnar mengantarku pulang setelah itu. Aku berpegangan kuat sepanjang jalan. Enggan menoleh ke kiri atau ke kanan. Hanya menatap lurus punggung tegap Aidil yang ada di hadapanku. Itu lebih baik dibanding aku harus menyaksikan sesuatu uang tidak ingin kusaksikan lagi.
Semula semua tampak normal, sampai tiba-tiba aku merasa motor yang Aidil tumpangi menghantam sesuatu. Peganganku sontak terlepas. Tubuhku seolah terlempar ke udara, dan detik berikutnya terhempas kiat membentur jalan beraspal. Sesaat sebelum gelap mengungguli kesadaranku, sempat kulihat sosok Aidil tersenyum tanpa beban ke arahku. Itu mustahil. Bukankah dia seharusnya mengalami hal yang sama? Mengapa dia masih berdiri kukuh sementara aku menggelepar sekarat?
"Trik or treat? Berikan darahmu atau tubuhmu kulempar? Dan kamu memilih yang kedua. Sementara aku mendapat keduanya.
Apakah malam ini benar-benar halloween terakhirku?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro