Go Home
"Wow! What a beautiful necklace, Babe." Jessy melotot saat melihat benda berkilauan yang melekat di leher Beatrix.
Beatrix menuang air panas ke dalam dua cangkir berisi bubuk kopi hitam. "Thank you."
"Di mana kau membeli ini?"
"Jack yang memberikannya padaku." Perempuan berkulit putih itu mengaduk kopinya, ia memberikan salah satu cangkir kepada Jessy.
Jessy menerimanya, lalu mengikuti langkah Beatrix menuju meja bar dekat dapur. Raut terkejut tercetak jelas di wajahnya.
"Akhirnya dia mengungkapkan perasaannya padamu?" tanya Jessy setelah duduk di samping sahabatnya.
Beatrix mengangguk, ia tidak bisa menyembunyikan senyum mengingat kejadian semalam. "Ternyata dia jauh lebih romantis dari yang aku kira." Perempuan itu menambah dua bongkah gula batu dalam kopinya.
"Beritahu aku apa yang terjadi." Jessy terlihat sangat bersemangat. Ia bahkan melempar sebongkah gula batu ke dalam kopi, sehingga membuat cipratan kecil.
"Rahasia."
"Oh, ayolah. Kau pelit sekali."
"Tidak ada yang terjadi, Jessy."
"Bohong."
"I swear!"
Jessy menambah krimer ke dalam cangkir kopinya. "Jack tidak melakukan apa-apa?" tanyanya lagi.
Beatrix terdiam sebentar, ia tersenyum malu tatkala berucap, "Actually ... he kissed me."
Jessy terkekeh. "Sudah kuduga."
"Ah, jadi kau hanya memancingku?" Beatrix menyeruput kopi hitamnya.
"Tentu saja tidak. Aku hanya bertanya."
"Sudahlah."
Jessy masih tertawa. "Aku bisa lihat wajahmu memerah."
"Jangan menggodaku terus, Jessy."
"Baiklah, kita ganti topik saja." Jessy memperbaiki posisi duduknya. Ia melipat tangan di atas meja setelah menyeruput kopi, lalu menatap Beatrix yang masih tersenyum. "Kau akan mengadakan pesta Halloween lagi bulan depan?"
"Yeah. Itu sudah menjadi kewajiban untukku, Jessy." Perempuan berambut pirang itu kemudian meraih ponsel dan membuka catatannya. "Aku dan Jack berencana ...."
"Oh my God!" Jessy memotong ucapan sahabatnya itu. "Kalian bahkan sudah berencana merayakannya berdua?"
Beatrix mengalihkan tatapan pada Jessy. "Aku belum selesai bicara."
"Tapi aku tahu kau pasti akan bilang begitu."
Beatrix menghela napas pelan. Sahabatnya itu memang seperti peramal. Ia tahu segala hal bahkan sebelum Beatrix mengatakan apa pun.
Perempuan yang rambutnya tergulung asal itu meletakkan kembali ponsel di atas meja. "Ya, kau benar. Tapi aku tetap mengundangmu, juga teman-teman yang lain."
Jessy tertawa. "Kau terlalu mudah untuk dibaca, Beatrix." Sambil sesekali meminum kopinya, Jessy memperhatikan Beatrix dengan saksama. "Kalau begitu, beritahu aku apa yang kalian rencanakan."
"Hanya pesta Halloween biasa," jawab Beatrix, "hanya saja, kali ini Jack akan membantuku, dan aku harap, kau juga akan membantuku."
"Tentu saja."
Lalu sisa sore itu, mereka habiskan untuk mematangkan rencana pesta Halloween yang akan diadakan di akhir bulan Oktober nanti.
***
"Halo, Sayang." Jackob mengecup bibir Beatrix saat gadis pujaan hatinya itu terlihat di balik pintu. Jackob melepas mantel, lalu memberikannya pada Beatrix. "Hari ini dingin sekali."
"Itu karena musim gugur akan segera berakhir, Sayang." Beatrix menerima mantel milik Jackob, lalu menggantungnya di gantungan dekat pintu. "Akan aku buatkan teh hangat untukmu."
Jackob yang sudah berada di meja bar dekat dapur tersenyum. "Terima kasih, Sayang. Omong-omong, di mana Jez?" tanya Jackob sambil melihat sekeliling. Jez adalah anjing peliharaan milik Beatrix.
"Dia aku ungsikan di rumah Jessy."
"Ah, thank you." Jackob merasa lega tentu saja. Ia dan Jez tidak akur. Entah mengapa setiap bertemu dengan Jez, anjing itu selalu menggonggong padanya.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Beatrix setelah berada di dapur, menyiapkan dua cangkir teh hangat untuk mereka berdua.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Jackob-setelah menyandang status sebagai kekasih dari seorang Beatrix Johnson, setiap hari Jumat ia akan menyambangi rumah Beatrix, menghabiskan weekend bersama. Entah hanya untuk menikmati sore sambil nonton film, minum kopi atau teh, jalan-jalan, mau pun bercinta. Tidak terkecuali dengan hari ini.
"Biasa saja. Tidak ada yang menarik."
"Kau selalu berkata begitu."
"Karena memang itu kenyataannya."
Beatrix meletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja, lalu ikut duduk di samping kekasihnya itu. "Baiklah." Lebih baik ia mengalah. Jackob memang tidak pernah mau membicarakan tentang pekerjaannya lebih jauh lagi.
"Daripada membicarakan pekerjaanku yang tidak menarik, bagaimana jika kita mulai mempersiapkan pesta Halloween minggu depan?" tanya Jackob setelah menyeruput teh hangat miliknya.
Beatrix mengangguk. "Boleh saja. Besok kau libur, kan? Besok kita berbelanja."
"Besok?" Laki-laki dengan rahang tegas itu mengerutkan kening.
"Ya. Kenapa?"
"Setelah teh kita habis, kita langsung berangkat."
Beatrix menggeleng. "Kau baru saja sampai, Jack. Istirahatlah dulu." Beatrix meraih cangkir tehnya, menggenggam erat cangkir tersebut sehingga bisa merasakan kehangatan yang menjalar melalui telapak tangannya.
"Itu bukan masalah bagiku, Honey." Jackob menatap Beatrix dengan intens. Memasang jurus andalannya. Ia tahu, Beatrix paling tidak bisa menolak jika sudah mendapat tatapan maut seperti ini.
"Kau curang!" Perempuan dengan rambut panjang itu membuang pandangannya ke sembarang arah. Mencoba tidak tergoda dengan rayuan Jackob.
"Apa maksudmu?" tanya Jackob pura-pura tidak mengerti.
"Kau tahu aku paling lemah dengan tatapanmu itu."
"Aku tidak tahu."
"Bohong!"
Laki-laki berambut cokelat gelap itu tertawa. "Hei, jangan marah. Baiklah, kita berangkat besok."
Beatrix yang semula memasang wajah masam pun kini tersenyum. "Good boy," ucapnya sambil mengecup singkat pipi Jackob.
"Kau merayuku?"
Beatrix mengerutkan dahi. "What? No!"
Lalu tanpa menjawab apa-apa lagi, Jackob membawa Beatrix dalam rengkuhannya. "Aku kedinginan, Sayang," ucapnya sebelum mulai memagut bibir manis perempuan yang paling ia cintai itu.
***
Malam ini, Kota Hiddenburg tidak seramai biasanya. Kota kecil di negara bagian Amerika Serikat itu biasanya selalu ramai saat pergantian hari. Namun saat ini, hanya beberapa orang yang terlihat. Mungkin karena suhu sudah semakin menurun-menandakan bahwa musim gugur sebentar lagi berakhir, sehingga membuat beberapa orang lebih nyaman berada di rumah.
Beatrix berjalan sendirian sambil menenteng belanjaan terakhirnya sebelum mulai mempersiapkan pesta Halloween. Ia sudah membayangkan akan menyediakan hidangan apa saja nanti saat pesta. Entah mengapa ia jadi lebih bersemangat untuk merayakan Halloween tahun ini. Apakah itu karena Jackob?
Perempuan yang sedang membawa dua kantong belanjaan dalam pelukan itu tersenyum saat melewati persimpangan di dekat rumahnya. Ingatannya terlempar saat ia dan Jackob bertemu di sini tahun lalu.
"Jez! Jangan lari terlalu cepat."
Beatrix terlihat kepayahan mengikuti langkah Jez-anjing peliharaannya-yang sangat bersemangat jalan-jalan sore itu.
Buk!
Beatrix mengaduh saat menabrak seseorang yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Buah-buahan yang dibawa orang itu terjatuh dan menggelinding di trotoar.
"Ma-maafkan aku," ucap Beatrix tidak enak. Ia menarik tali yang mengikat leher anjing berjenis Golden Retriever itu. Masih berusaha mencegah Jez berlari lagi. Jez menggongong pada laki-laki bertopi yang sedang berdiri di hadadapnnya. "Jez, kau tidak sopan!" Beatrix berusaha menarik Jez agar menjauhi laki-laki itu.
"Tidak apa-apa." Laki-laki itu tersenyum sambil memunguti apel dan jeruk yang berjatuhan tadi.
Beatrix membantu laki-laki itu sebagai bentuk pertanggungjawaban. "Buahmu jadi kotor."
Laki-laki itu tersenyum. "Tidak apa."
"Di mana rumahmu? Akan aku bantu bawakan buahnya."
"Ah, tidak usah. Terima kasih. Sebaiknya kau bawa saja anjingmu jalan-jalan. Sepertinya dia sudah tidak sabar." Laki-laki itu melirik Jez yang masih sibuk menggonggong padanya.
"Maafkan aku. Anjingku tidak sopan padamu."
"Tidak masalah."
Beatrix mengulurkan tangan sebelum laki-laki itu pergi menjauh. "By the way, aku Beatrix Johnson."
Laki-laki itu membalas uluran tangan Beatrix. "Jack."
"Hanya Jack?"
"Jackob Miller," jawabnya setelah terdiam cukup lama.
Getaran serta dering ponsel menyadarkan Beatrix dari lamunan. Ia segera merogoh saku mantel dan menjawab panggilan masuk di ponselnya.
"Halo, Sayang."
"Kau di mana? Aku sudah di rumahmu." Terdengar suara Jackob di seberang.
"Aku sedang di jalan. Sebentar lagi sampai."
Beatrix mematikan telepon lalu berjalan cepat menuju rumahnya. Tidak sampai lima menit, ia sudah sampai. Jackob menyambutnya dengan wajah masam.
"Padahal aku sudah bilang, kita berbelanja bersama."
Beatrix tersenyum. Ia meletakkan belanjaannya di atas meja dapur. "Tidak apa. Ini hanya sedikit bahan-bahan yang lupa kita beli kemarin, Sayang."
"Sama saja. Kita harusnya bisa pergi bersama."
Beatrix tertawa kecil. Jackob memang selalu berlebihan mengkhawatirkan dirinya. "Jangan seperti anak kecil begini, Babe."
"Aku hanya khawatir."
"Sudahlah, lagipula aku baik-baik saja sekarang. Jangan dipermasalahkan. Sebaiknya kita mulai mempersiapkan pestanya, Jack."
Jackob mengalah. Ia tidak ingin bertengkar dengan kekasihnya hanya karena masalah sepele. "Baiklah. Apa yang harus aku lakukan?"
"Hias labunya." Beatrix menyodorkan lima buah labu kuning dengan berbagai ukuran pada Jackob.
"Banyak sekali."
"Sebagai maskot untuk Halloween, kita harus punya banyak labu untuk dipajang di depan rumah," ucap Beatrix sambil sibuk menyiapkan bahan lain.
Jackob pun mulai sibuk dengan labunya. Sedangkan, Beatrix menyiapkan beberapa hiasan menyeramkan lainnya. Mulai dari laba-laba mainan lengkap beserta sarangnya, labu-labu mini yang akan menjadi penghias meja tempat makanan-makanan nanti akan dihidangkan, hingga lilin-lilin putih yang diberi tetesan lilin merah menyerupai darah.
Beatrix meletakkan sarang laba-laba di dekat meja pojok yang sudah ia tutupi dengan kain putih, lalu berkacak pinggang sambil memperhatikan hasil karyanya.
"Perfect." Beatrix tersenyum puas, lalu berbalik dan menyambangi Jackob yang masih sibuk dengan labunya. "Sudah selesai, Sayang?"
Jackob mengarahkan pisau untuk membentuk gigi taring labu terkahir. Labu yang memiliki ukuran paling besar. "Sedikit lagi."
Beatrix mengamati empat labu yang sudah terpahat sempurna. "Labunya terlalu seram. Buatlah wajah yang agak lucu untuk labu terakhir, Jack."
Jackob menghentikan aktivitasnya. "Kau ingin merayakan Halloween atau Valentine?" tanya laki-laki itu dengan dahi berkerut."
"Tentu saja Halloween,"
Mendengar jawaban Beatrix, Jackob kembali sibuk dengn labunya. "Berarti kau tidak perlu labu dengan wajah lucu."
"Bukan begitu maksudku. Hanya agar labunya terlihat bervariasi. Kau tahu, Halloween tidak melulu harus terlalu seram."
"Siapa bilang?"
"That's something like ... pergeseran budaya?" ucap Beatrix ragu. Kalimatnya lebih terdengar seperti pertanyaan ketimbang jawaban.
Jackob tida memedulikan Beatrix. "Aku yang menghias labu, itu berarti terserah aku."
Beatrix menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. "Baiklah, terserah kau saja, Tuan Miller."
***
Besok adalah hari yang paling ditunggu-tunggu warga Kota Hiddenburgh. Perayaan Halloween. Rumah-rumah terlihat kompak dihias dengan berbagai nuansa menyeramkan. Tidak terkecuali rumah Beatrix. Ia dan Jessy sedang memasang tempelan mata, hidung dan gigi taring pada pintu depan rumahnya.
"Nah, selesai!" Beatrix menepukkan tangannya sebanyak dua kali setelah menempel gigi taring terakhir pada pintunya. "Aku akan bawa labunya keluar," ucap Beatrix seraya masuk ke dalam rumah.
"Aku bantu." Jessy mengikut langkah Beatrix.
Sesampainya di dapur, Jessy dan Beatrix segera memindahkan labu-labu itu keluar rumah. "Hati-hati membawanya, Jessy."
"Aku membawanya dengan sepenuh hati," jawab Jessy berlebihan. Setelah ia meletakkan labu-labu itu di meja luar rumah Beatrix, Jessy mengerutkan dahi. "Labunya terlihat seram sekali."
"Jack yang membuatnya," ucap Beatrix tanpa ditanya, "padahal aku sudah bilang, agar membentuk labunya lebih bervariasi lagi."
"Sebenarnya ini bagus, hanya saja terlalu seram."
"Hi, Girls!" Sebuah suara menginterupsi pembicaraan antara Jessy dan Beatrix.
"Kau terlambat, Jack. Aku dan Beatrix sudah menyelesaikan semuanya." Jessy melipat tangan di depan dada.
"I'm so sorry. Aku agak tidak enak badan," ucap Jackob sambil merapatkan mantelnya.
Beatrix yang sejak tadi memandang khawatir pada kekasihnya itu kemudian menyentuh dahi Jackob. "Kau agak panas dan terlihat sangat pucat, Sayang."
"Sepertinya aku kelelahan karena kemarin harus lembur selama beberapa hari," ucap jack seraya menyentuh tangan Beatrix yang masih setia berada di dahinya.
"Kalau begitu kau harus beristirahat. Masuklah."
"Tidak apa. Aku baik-baik saja." Jackob berusaha menolak. Namun, ia terlihat tidak tenang. Tatapannya berkelana ke rumah-rumah di sekitar rumah Beatrix. Ia terlihat sangat tidak nyaman.
Melihat itu, dahi Beatrix mengerut. "Kau yakin?" tanyanya. Jackob tidak menjawab. "Istirahatlah di dalam, Sayang," lanjut Beatrix karena Jackob tidak kunjung menjawab.
Setelah terdiam beberapa saat, Jackob akhirnya berucap, "Tidak usah. Aku pulang saja."
"Aku antar?" tanya perempuan berhidung mancung itu.
"Tidak. Aku bisa pulang sendiri. Maaf tidak bisa membantumu, tapi akan aku usahakan datang besok."
"Baiklah."
Jackob ternyum lalu mengecup singkat bibir Beatrix sebelum meninggalkan rumah kekasihnya itu.
"Kalian melupakan aku," ucap Jessy setelah Jackob tidak terlihat di sana. "Seolah-olah aku tidak berada di sini."
Beatrix mengalihkan tatapannya pada Jessy yang sedang memasang wajah masam. Sedetik kemudian ia tertawa. "Kau berlebihan."
"Lihat saja, kalian bermesraan berdua seolah aku tidak ada."
Masih sambil tertawa, Beatrix menarik lengan Jessy. Kemudian beranjak masuk ke dalam rumahya. "Ayo kita buat kue kering sebagai camilan dengan sisa bahan yang ada."
Jessy tidak menjawab, tetapi ia tetap mengikuti langkah Beatrix ke dalam rumah.
***
Malam ini, meskipun udara semakin dingin, tetapi anak-anak di kota kecil itu tetap bersemangat berkeliling untuk menyambangi rumah-rumah, lalu berteriak, "Trick or treat!" saat pemilik rumah membukakan pintu.
Dengan berbagai kostum hantu, warga Kota Hiddenburgh terlihat bersemangat merayakan Halloween. Mulai dari kostum mumi, penyihir, vampire, Drakula, Annabelle, dan masih banyak lagi.
Tidak terkecuali dengan Beatrix, ia memilih menggunakan kostum Sadako. Hantu yang terkenal dari film horor Jepang. Dengan gaun terusan berwarna putih lusuh, serta rambut palsu berwarna hitam panjang dan riasan wajah yang dibuat semirip mungkin dengan Sadako, Beatrix menyambut teman-teman yang datang ke rumahnya.
"Kostum apa yang kau kenakan kali ini, Jessy?" tanya Beatrix pada Jessy yang baru saja sampai di rumahnya. Beatrix menahan tawa. Jessy terlihat seperti mumi, tetapi mumi tidak memakai kain putih untuk menutupi tubuhnya.
"Ada sebuah film horor dari sebuah negara bernama Indonesia yang memunculkan hantu ini, Beatrix. Aku suka filmnya, makanya aku memakai kostum yang serupa dengan film itu." Jessy terlihat bangga dengan kostumnya kali ini.
Hanya dengan mengenakan sebuah kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya, dan riasan wajah yang cukup menyeramkan dan menjijikkan, Jessy merasa telah berhasil menjadi yang terseram malam ini.
"What? Indonesia?"
"Ya, dan nama hantunya adalah Pocong."
Mendengar nama asing yang disebutkan Jessy, Beatrix mengerutkan dahi. "Aku tidak tahu itu dan tidak mau tahu." Perempuan itu membenarkan letak rambut palsunya. "Masuklah, Jess. Bantu para tamu menikmati hidangannya."
"Aku ke sini untuk menikmati pesta. Kenapa aku harus ikut membantu?" Jessy berjalan malas ke dalam rumah Jessy yang sudah mulai ramai.
"Hei, jangan mengeluh. Kau sudah melakukan ini selama bertahun-tahun bersamaku."
Jessy mendesah kasar. Ia tidak menjawab lagi dan lebih memilih masuk untuk segera menikmati hidangan. Oke, maksudnya membantu teman-teman Jessy menikmati hidangan yang ada.
Sedangkan, Beatrix masih setia menunggu di depan rumahnya. Jackob tidak kunjung datang. Kekasihnya itu menghilang sejak kemarin malam. Ponselnya tidak aktif. Beatrix sangat khawatir. Ia takut ada apa-apa dengan Jackob.
Perempuan itu kemudian menghela napas. Seandainya ia bisa lebih memaksa Jackob untuk menunjukkan rumahnya. Enhtahlah, Beatrix juga tidak tahu apa yang membuat laki-laki itu seolah menutup diri. Rumah, pekerjaan, keseharian, tidak ada yang Beatrix ketahui. Jackob benar-benar menutup rapat semuanya.
Ia mengelus kalung pemberian Jackob yang berada di lehernya. Apa yang terjadi dengan kekasih hatinya? Apakah dia akan baik-baik saja?
"Beatrix, ayo masuk dan nikmati pestanya."
Entah sejak kapan Jessy berada di belakangnya. Dengan wajah muram, Beatrix menggeleng. Ia bersyukur karena riasan Halloween-nya kali ini bisa menyamarkan raut sedihnya.
"Aku khawatir dengan Jackob."
Jessy terlihat tidak bisa berkata-kata. Ia tersenyum tipis sambil menghela napas pelan. "Dia pasti akan baik-baik saja. Percayalah padaku."
"Tapi dia tidak datang, Jess."
"Mungkin dia sedang istirahat. Dari kemarin dia tidak enak badan, kan." Jessy masih berusaha positif thinking. Setidaknya harus ada satu orang yang berpikir jernih saat ini.
Giliran Beatrix yang menghela napas. Ia menunduk, memandangi tangannya yang sedang saling bertaut, menahan gelisah. "Semoga saja."
Jessy tersenyum tulus, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Beatrix. Berusaha menyalurkan ketenangan dan kehangatan pada sahabatnya itu.
"Lupakan Jack sejenak. Ayo, masuk! Teman-teman sudah memulai beberapa permainan."
Walaupun sedang tidak berselera, Beatrix tetap mengikuti langkah cepat Jessy. Mungkin benar kata sahabatnya itu, Jackob hanya sedang beristirahat karena sedang tidak enak badan. Baiklah, ia harus tetap menikmati malam Halloween kali ini dengan perasaan senang. Seperti Hallowen tahun-tahun lalu. Meskipun ekspetasinya merayakan bersama dengan orang tersayang harus pupus.
***
Malam sudah semakin larut. Teman-teman Beatrix satu per satu mulai meninggalkan rumahnya. Rumah-rumah di sekitar rumah Beatrix mulai gelap. Pemiliknya mungkin sudah terlelap. Jalanan yang tadinya ramai oleh anak-anak yang mengenakan kostum seram pun kini lengang.
"Aku pulang dulu. Kau tidurlah. Jack pasti akan menghubungimu secepatnya."
Beatrix yang masih setia berada di dekat pintu rumahnya hanya tersenyum tipis saat Jessy menyentuh lengannya. "Terima kasih, Jess. Hati-hati di jalan."
Jessy mengangguk lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana. Beatrix masih menatap sahabatnya itu sampai ia masuk ke dalam mobil dan melambai padanya. Perempuan yang sudah membuka rambut palsunya itu balas melambai.
Ia menghela napas pelan saat deru mobil Jessy semakin menjauh. Setelah menyerah memandangi ujung jalan yang masih saja terlihat gelap dan sepi-tidak ada tanda-tanda keberadaan Jackob di sana, Beatrix melangkah masuk ke dalam rumah.
Baru saja ia akan merapikan piring-piring kosong di atas meja, terdengar suara ketukan pintu. Beatrix terkesiap, dengan cepat ia melangkah menuju pintu dan membukanya.
"Jack!" jeritnya saat mendapati Jackob sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Tanpa sadar, Beatrix segera menghambur ke pelukan laki-laki bertubuh tegap itu. "Kau baik-baik saja?" tanyanya setelah melepas pelukan.
"Aku tidak pernah merasa sebaik ini, Honey," jawab Jackob seraya memegang pundak Beatrix erat. Senyum tipis tercetak di bibirnya.
"Omong-omong, kenapa kau mengetuk pintunya? Padahal kau bisa memencet bel seperti biasanya," tanya Beatrix sambil menatap Jackob yang masih tersenyum.
"Aku tidak suka suara bel di malam Halloween, Babe."
Beatrix tertawa singkat. "Memangnya kau ini roh jahat?" Ia teringat legenda yang mengatakan bahwa pada malam Halloween, roh-roh jahat akan menjauh dari rumah-rumah yang membunyikan suara bel rumahnya.
Sebagai jawaban, Jackob hanya mengangkat bahunya.
"Lalu ... kenapa kau tidak datang ke pestaku? Padahal kau sudah sehat."
Jackob merangkul kekasihnya, lalu membawa gadis itu menjauh dari rumahnya sendiri. "Aku tidak punya kostum yang cocok untuk dipakai."
"Kenapa tidak bilang padaku? Aku bisa membantumu mencarikan kostum terbaik, Jack." Beatrix masih mengikuti langkah Jackob yang entah menuju ke mana. Satu lengannya ia lingkarkan pada pinggang laki-laki bermata hitam itu.
"Tidak apa. Aku lebih senang berdua denganmu seperti ini."
"By the way, kita mau ke mana?" tanya Beatrix saat sadar ia sudah semakin jauh dari rumahnya.
Jackob menyeringai. "Rumahku."
Mata Beatrix berbinar, ia senang akhirnya sang kekasih mulai terbuka padanya. "Benarkah?"
Beatrix mengalihkan tatapannya pada Jackob. Namun, sepersekian detik berikutnya, senyum di bibir Beatrix menghilang. Ia melihat kilat merah di mata Jackob, juga senyum aneh yang terasa jahat.
"Tentu saja," jawab Jackob tanpa mengalihkan tatapannya pada Beatrix. "Tempat di mana kau tidak akan bisa merasakan apa pun, tempat di mana kau akan terus tersesat mencari tempat peristirahatan karena surga menolakmu, dan neraka yang juga tidak bisa menerimamu karena perjanjian dengan iblis."
Bersamaan dengan itu, suara denting jam kota sebanyak dua belas kali terdengar dari kejauhan. Beatrix mematung, ia merasakan tubuhnya tidak bisa bergerak saat perlahan Jackob mengalihkan tatapan padanya dan menyeringai lebih lebar.
Wait ....
Beatrix menelan ludah saat ia merasakan tubuhnya seperti terhempas menembus tembok pembatas. Lalu, seketika keheningan menyelimuti dirinya. Gadis itu kini berada di 'rumah' Jack si petani malas.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro