Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5

"Kenapa masih di sini?"

Adnan berhenti mengetik. Dia mendongak. Bowo berdiri di seberang mejanya dengan muka gelisah.

"Gue harusnya di mana saat jam kerja?" sahut Adnan. Dia menyukai ruangan yang tenang. Suasana yang demikian akan membantunya fokus bekerja. Ketika Bowo datang ーyang mana biasanya tanpa pemberitahuanー Adnan harus mempersiapkan diri. Biasanya pekerjaan jadi tertunda.

"Hari lo ada pertemuan!" seru Bowo.

"Jadwal gue kosong dari pertemuan hari ini." Adnan menjawab cepat, tetapi dia agak ragu. Karena itu dia mengambil tab dan memeriksa jadwal hariannya. Benar saja. Hari ini dia bebas dari segala pertemuan.

"Bukan meeting sama customers atau vendor. Maksud gue, lo ada pertemuan sama cewek." Bowo mulai tak sabaran.

"Cewek?" Alis Adnan bertaut. Dia tidak mengerti maksud Bowo. Kemudian ingatan itu terbit. Matanya membelalak. "Lo belum batalin kopdar itu?"

Bowo mengangkat tangannya bagai penjahat yang menghindari sergapan polisi. "Eits, bentar. Technically, gue nggak bisa batalin pertemuan lo dan si cewek. Gue nggak punya nomor dia, selain yang ada di ponsel lo."

"Kalo gitu, lo telepon cewek itu. Kasih tahu kalo pertemuan itu batal. BATAL!" Adnan berdiri dan menyodorkan ponselnya. Wajahnya tak lagi santai.

Bowo mendorong ponsel tersebut. "Cewek itu pasti kecewa kalo gue bilang kemarin itu gue yang balas chat. Dia pasti ngerasa dipermainkan."

"Lo bisa mikir sampai ke situ, kenapa kemarin nggak mikir dampaknya?" sentak Adnan.

"Kemarin gue akui gue salah. Sorry." Bowo tersenyum kecut. "Sekali ini, berbaik hati ke cewek itu. Datang ke sana. Sebentar juga nggak apa-apa asal lo sudah ketemu muka. Dia pasti nggak akan terlalu kecewa kalaupun lo nggak cocok."

Adnan mendesah. Dia memiliki ibu, adik perempuan, juga anak perempuan. Seketika pikirannya melayang pada mereka andai janji yang dibuat dibatalkan seseorang. Kekecewaan itu pasti lebih besar karena perasaan perempuan yang lebih lembut.

"Nan, datang ya. Ya?"

Bisa saja Adnan marah. Dia berhak atas itu. Namun yang meluncur dari mulutnya bukanlah makian, melainkan pertanyaan, "Dimana tempatnya?"

Wajah Bowo berubah cerah. "Di Jimbaran resto."

Adnan melotot. "Lo minta gue ke Jakarta Pusat dari Cikupa?!"

Bowo tertawa kering. Matanya berputar ke arah lain, menghindari tatapan marah sahabatnya.

MoM

"Bowo," Adnan menggeram. Dia merasa gila menatap kepadatan jalan. Dan tambah gila mendengarkan suara di seberang teleponnya.

"Om Bowo nggak salah! Ayah jalan-jalan nggak ngajak aku?"

Suara imut yang bertanya itu bernada menuntut. Ingin sekali Adnan menyangkal, tetapi dia terlalu letih untuk memikirkan kebohongan lain karena begitulah sistem kebohongan. Satu kebohongan harus ditutupi kebohongan lain. "Ayah pergi ketemu seseorang. Bukan jalan-jalan." Adnan mengatur suaranya tetap tenang.

"Ayah kebiasaan nih. Jalan-jalan nggak ngajak aku. Ayah ke hotel, kan? Mau nginap, ya? Mau berenang, ya?"

Jawaban jujur Adnan tidak diperhatikan bocah di seberang. Dia mengurut pelipisnya. Kemacetan cukup buruk sementara tujuannya begitu dekat ditambah omelan menggemaskan melalui telepon, Adnan bimbang mesti marah atau tertawa.

"Ayah nggak menginap di hotel. Ayah juga nggak berenang di hotel. Ayah mau ketemu seseorang. Terus pulang. Kamu lagi apa?" Adnan berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ayah ketemu siapa?"

Usaha Adnan gagal. Inspektur cilik itu begitu teliti atau mungkin diarahkan menjadi cermat oleh orang dewasa di dekatnya yang diduganya adalah ibunya sendiri mengingat nomor siapa yang digunakan si anak untuk meneleponnya.

"Seseorang yang nggak kamu kenal," jawab Adnan jujur. Bagaimanapun dia juga tidak mengenal orang yang akan dia temui.

"Cewek ato cowok?"

Adnan memajukan badannya. Ada keraguan menjawab pertanyaan yang ini. Langit di luar berwarna kelabu khas ibukota dan seakan menjadi pertanda bahwa dia harus tetap jujur. "Cewek."

"Ayah dicomblangin Nenek lagi?"

Adnan meragu. Biasanya ibunya paling getol jika ada kencan buta untuknya, tapi perempuan ini agak berbeda. Apa mungkin ibunya lupa? pikirnya.

"Ayaaah!"

"Ayah lagi nyetir. Bisa kita teleponan setelah Ayah nggak nyetir?"

Ada suara-suara bising di seberang yang kurang tertangkap. "Ayah hati-hati ya," kata si anak setelah suara bising menghilang.

"Iya. Baik-baik di rumah."

Tidak ada sahutan. Telepon itu diputus dari seberang.

Adnan menggeleng. Anak itu selalu seenaknya sendiri. Pandangannya kembali ke jalan. Mobil-mobil di depannya mulai melaju lebih cepat. Adnan tersenyum tipis. Sejak tadi dia gatal ingin menginjak pedal gas.

Mobilnya tiba di hotel dua puluh menit kemudian. Menakjubkan bagaimana jalanan di pusat kota dapat memboroskan kesabaran lebih baik dari jalanan di Cikupa. Dia sengaja berhenti di lobi dan menggunakan jasa petugas parkir valet. Dia enggan berlama-lama memutar parkiran untuk mencari lokasi parkir kosong maupun kesulitan menemukan lift menuju lobi. Selain itu, dia juga tidak suka menunggu dan paling malas berhadapan dengan orang yang terlambat sehingga dia menghindari dirinya datang terlambat. Langkahnya lebar dan cepat memasuki hotel. Dia mendapat bantuan petugas hotel yang mengarahkannya ke restoran. Meja yang direservasi Bowo menandakan pria itu memang sengaja tidak ingin membatalkan pertemuan ini. Ada kekesalan di dadanya karena mau menuruti jebakan Bowo, tetapi dia juga tidak tega mengabaikan orang lain, terutama perempuan.

Adnan duduk, memesan kopi, lalu memainkan ponsel sembari menunggu. Dia akan bersabar jika perempuan itu datang terlambat. Menurut adiknya yang juga perempuan, kaum hawa memang suka membuat menunggu karena waktu yang habis untuk berias dan membuat pria menunggu menimbulkan kesenangan tersendiri. Adnan tidak habis pikir soal perempuan. Dia tidak bisa berkonsentrasi pada berkas kerja yang dibuka di ponselnya. Pikirannya melayang pada calon teman kencan butanya yang misterius. Ada harapan di hatinya bahwa perempuan ini berpenampilan mewah. Adnan akan mempunyai alasan untuk menolak. Dia pernah menggunakan alasan ini sewaktu bertemu perempuan yang dikenalkan ibunya. Perempuan itu memakai barang-barang mahal dari ujung kepala ke ujung kaki. Penolakan itu timbul karena Adnan merasa belum mampu menyesuaikan diri dengan pengeluaran si perempuan jika mereka ingin serius. Ya, perempuan berpenampilan mewah mempunyai kesan mengerikan di matanya. Bagaimana bisa perempuan menghabiskan ratusan juta untuk sebuah sepatu yang dipakainya di kaki?

"Silakan, Bu. Ini mejanya."

Perhatian Adnan beralih. Dia mendongak. Tatapannya langsung disergap oleh kecantikan perempuan muda di seberang mejanya.

"Kamu..." Adnan kehilangan kemampuan bernalar. Dia diam. Kata-kata seolah berlarian di benak, tetapi sulit dirangkai. Dia telah kehilangan kewaspadaannya. Perempuan cantik adalah godaan dan Adnan goyah. Tekadnya memukul mundur si perempuan bakal menjadi usaha keras.

Ketika pelayan meninggalkan mereka dan si perempuan di hadapannya, Adnan meragu dia masih ada di bumi.

"Nama kamu Yuniza?" tanyanya. Adnan perlu memastikan perempuan ini bukan bidadari. Rasa-rasanya tak mungkin ada manusia yang sejelita ini.

Perempuan itu mengangguk.

Sial, umpat Adnan dalam hati. Cara mengangguknya pun luar biasa menawan.

Perempuan itu, Yuniza, masih diam berdiri. Adnan seolah ditantang bersikap gentleman. Meski akalnya masih jumpalitan, Adnan melawan situasi dalam dirinya. Dia berdiri, menarik sebuah kursi, dan mempersilakan Yuniza duduk. Adnan kembali ke kursinya. Dalam jarak yang lebih dekat, Adnan menyadari satu hal. Yuniza masih muda. Dia bahkan menebak Yuniza berumur di awal dua puluh tahun.

Bagus sekali, pikirnya dalam nada miris.

"Boleh saya bertanya?" Adnan mengumpulkan kesadarannya. Dia bukan datang ke sini untuk bermain-main dengan gadis muda sekalipun fisik Yuniza adalah tipenya.

Setelah Yuniza memberikan persetujuan lewat gerak badan, Adnan bertanya, "Bagaimana kamu bisa mendapatkan nomor ponsel saya?"

"Saya... Tahu dari Mbak Mia." Suara Yuniza nyaris seperti bisikan.

"Mia? Siapa Mia?" Adnan tidak mengenal. Dia menduga Mia adalah salah satu kenalan ibunya. Koneksi ibunya cukup luas dan itu terbukti dari banyaknya perempuan yang dikenalkan ibunya selama ini.

"Mbak Mia itu..."

Adnan mau gila melihat bagaimana Yuniza menggigit bibir bawahnya yang berwarna merah muda. Tangannya gatal ingin menghalangi perbuatan menyakiti diri yang dinilai Adnan begitu imut.

Ketika perhatiannya tertujut pada wajah Yuniza, perempuan itu berubah layaknya bom yang meledak tiba-tiba. Satu kalimat Yuniza dan Adnan serasa mau gila. "Saya mau menikah sama kamu."

"Hah?" Dia salah dengar?

Atau perempuan ini yang gila?

###

Recipe #6

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro