34
Hiruk pikuk kendaraan di jalanan telah menjadi tontonan Adnan sejak beberapa menit yang lalu. Dia enggan mengakui kebodohan yang telah dia setujui hingga nekat melanglang ke belahan lain kota yang berlawanan arah tempat kerjanya. Namun dia memang telah membuat kesalahan. Penyebab masalah ini kabur ke toilet sejak mereka tiba. Dia ditinggal sendirian di meja kosong tanpa penjelasan.
Ini adalah pelajaran baginya supaya kelak tidak usah memedulikan anak orang yang tampak mau kabur. Sebab belum tentu anak itu benar-benar mau kabur seperti yang dia tuduhkan.
Oh, Adnan yang malang. Dia harus menata ulang jadwal kerjanya.
Tak ingin membuang waktu lama untuk merenungi kesalahan, dia mengambil ponsel di saku celana. Ada beberapa hal yang masih bisa dia kerjakan sembari menunggu Yuniza.
"Maaf ya nunggu lama."
Adnan menghentikan pekerjaan yang dia kerjakan lewat ponsel. Dia mendongak. Kilau pesona perempuan muda di seberang meja menghentak jantung. Yuniza telah berganti pakaian dan merias wajahnya. Penampilannya 180 derajat berbeda dengan yang dilihat Adnan beberapa menit yang lalu.
Yuniza menyelipkan rambut ke belakang telinga. Dia gugup. "Aku aneh, ya?"
"Cantik," desis Adnan.
"Hah?"
"Kamu nggak aneh." Adnan bersyukur bahwa celetukannya tak terjangkau telinga Yuniza. Sungguh, jika ada yang ingin dia hindari, tak lain ialah menabur harapan di hati anak gadis.
"Begitu." Yuniza tertawa kering. Dia menarik kursi, lalu duduk di situ.
"Hm." Adnan mengangguk. Dia berusaha menutupi fakta jantungnya berdebar. Duduk berbatasan meja tidak cukup untuk merentang jarak supaya organ dalam Adnan aman di tempat. Dia mengalihkan perhatian ke ponsel, tetapi gagal merengkuh fokus.
Ini buruk, rutuknya dalam hati.
Yuniza mengetuk telunjuk ke tengah meja. Adnan melirik kecil. Dia masih enggan bertatapan langsung. Yuniza kembali mengetukan jari. Kali ini dia memanggil, "Bapak Adnan."
"Kenapa?" Adnan mengangkat kepala. Dia memantapkan diri menghindari sepasang mata indah Yuniza dengan cara melihat kening perempuan itu. Kening putih berlapis poni tipis sukses mendobrak pertahanan yang Adnan bangun. Bagaimana bisa kepala Yuniza pun begitu indah? Adnan merintih akibat lemahnya iman yang dia punya.
"Kamu kelaparan banget?" tanya Yuniza.
Sekarang Adnan sudah mengibarkan bendera merah. Dia tidak lagi berusaha menolak kilau pesona Yuniza. Mata Yuniza yang bulat berlapis bulu mata lentik terlihat lebih memukau saat dia membelalak dengan ekspresi cemas.
"Kamu nggak usah khawatir. Kita bisa di sini sampai jam 10 dan kamu bebas ambil makanan sebanyak-banyaknya. Apa ada yang kamu mau? Sosis? Omelette? Atau nasi? Biar aku yang ambilkan," kata Yuniza lagi.
Adnan ingin tertawa. Dia geli pada dirinya, Yuniza, dan situasi mereka. Dia menutup mulutnya demi meredam tawa.
"Kok ketawa?"
"Bukan." Adnan mengibaskan tangannya.
"Apa yang lucu?"
"Kamu."
"Aku? Kok bisa?"
Adnan berat mengakui bahwa dia juga menertawakan dirinya yang lemah pada kecantikan perempuan. Biasanya dia cukup cuek kalau berhadapan lawan jenis dan sulit terbawa perasaan. Menemukan dirinya masih normal karena bergetar oleh lawan jenis yang profilnya jauh dari kriteria idaman, Adnan merasa lucu. Dia lumayan percaya diri memiliki ketahanan dari romantisme. Tahu-tahu dia kalah oleh musuh yang tak tampak berbahaya.
"Kamu ngetawain riasan aku?" duga Yuniza. Wajahnya mencetak kekecewaan.
Adnan melirik jam tangannya sekilas. Beberapa menit menunggu Yuniza kembali dari toilet ternyata lebih lama dari yang dia kira. 30 menit waktu yang Yuniza butuhkan untuk berganti pakaian dan berdandan. Mana mungkin dia menyakiti usaha seorang perempuan untuk tampil menawan dengan berkata 'iya'.
"Aku tertawa karena pilihan tempat makan kamu." Adnan menyisirkan telunjuk pada meja prasmanan di kejauhan. "Apa anak muda sekarang menyukai sarapan buffet di hotel?"
"Nggak terbatas ke anak muda. Semua umur bisa sarapan di sini selama membayar," sahut Yuniza. Dia menyikapinya lebih kalem.
"Dari semua tempat, kenapa ke sini?"
"Kamu nggak mau makan dulu? Kita bisa lanjut ngomong sehabis aku ambil makanan. Kamu duduk aja." Yuniza bangkit. Ketika gadis itu sudah menjauhi meja, dia kembali lagi bersama pertanyaan, "Apa kamu butuh obat?"
Adnan menggeleng singkat. "Nggak. Aku baik-baik saja."
"Kamu nggak punya penyakit maag? Atau gerd?"
"Aku baik-baik saja asal kamu segera ambil makanan ke sini."
"Oh, oke. Tunggu sebentar."
Adnan memandangi Yuniza yang berlari-lari kecil menghampiri meja prasmanan. Dia terhanyut oleh kegembiraan menghabiskan waktu bersama perempuan cantik dan ーsialnyaー Adnan menyadari itu. Dia enggan melawan arus yang terlalu kuat yang diciptakan oleh Yuniza. Sekali ini, ya sekali ini saja, dia akan membiarkan dirinya terbawa arus. Ketika makan pagi ini usai, dia akan menyudahi kesenangan ini. Yuniza tidak akan ada lagi di rotasi hidupnya.
Yuniza kembali bersama dua piring yang penuh oleh makanan. Sebelum Adnan sempat berbicara, dia pergi lagi untuk mengambil dua gelas jus.
"Katanya, jus buah nggak direkomendasikan diminum berbarengan makanan berat. Tapi aku ingin minum jus sambil makan makanan berat. Apa kamu mau air putih? Kopi?"
Adnan terlalu terpukau pada makanan yang dikumpulkan Yuniza dalam dua piring. Dia pernah bertemu perempuan yang tak malu-malu makan banyak, tetapi belum pernah bertemu orang yang tak malu menumpuk makanan di buffet hotel bintang lima sampai menggunung. Tatapan ngeri Adnan naik. Yuniza masih menyengir dengan polosnya. Sayangnya Adnan tahu Yuniza telah menuai perhatian dari tamu restoran. Yang menyebalkan ialah hanya dia yang menyadari hal itu.
Enggak berasa tatapan orang-orang ke sini? pikir Adnan heran.
"Kamu mau minum apa?" tanya Yuniza lagi.
"Aku akan ambil sendiri." Adnan bergegas meninggalkan meja mereka. Dia bukan pergi sebab malu, melainkan tak tahan ingin tertawa. Yuniza sukses membuatnya ingin mengakak.
MoM
Yuniza merogoh saku depan tas punggung besarnya untuk mendapatkan cermin mini. Dia memeriksa penampilannya. Rambutnya masih baik, bedaknya masih oke, lipstiknya masih cetar, dan pakaiannya sesuai tempat. Sukar dipercaya jika tadi dia berpenampilan memprihatinkan. Pakaiannya kotor, begitu pula wajahnya yang berminyak, dan rambut acak-acakan. Bukan tanpa sebab dia memiliki penampilan tersebut. Dia berangkat dari rumah masih baik-baik saja. Berpakaian bersih, rambut diikat rapi, dan wajah bersih. Di tengah jalan, mobilnya kempes. Dia harus mengganti ban sendiri, bahkan terjungkal saking sulitnya mengganti ban mobil sendiri. Dia bisa memanggil jasa dari bengkel, tapi jam berapa staf bengkel tiba? Langit masih gelap dan ayam belum jua berkokok. Dia terlalu mandiri dan tak sabaran untuk menunggu seseorang menolongnya.
Dalam penampilan ini, dia tersenyum bangga. Setengah jam bergelut di toilet memberikan hasil yang sebanding.
Adnan kembali bersama segelas air putih. Yuniza tidak bisa memalingkan matanya dari Adnan. Pria itu sangat sempurna di pagi hari. Tentu saja di waktu yang lain pun Adnan memukau. Hanya saja versi Adnan di pagi hari dalam kemeja dan celana dasar adalah sesuatu yang baru. Dia juga senang menghirup aroma badan Adnan. Ingin sekali dia mencari tahu parfum serta sabun yang dipakai Adnan. Dia penasaran bagaimana aroma itu jika dihirup lebih dekat. Apakah masih sama memabukan atau bisa menjungkirbalikan hidupnya?
"Aku nggak biasa makan banyak," kata Adnan. Dia mengambil garpu.
"Aku biasa makan banyak," sahut Yuniza cepat. Dia tidak ingin Adnan membencinya karena membuang-buang makanan.
Adnan tersenyum. "Makan banyak bagus buat pertumbuhan."
Yuniza cemberut. "Aku sudah 21 tahun. Aku bukan anak-anak yang diingatkan makan banyak."
"Kamu bisa tumbuh ke samping," gurau Adnan.
Yuniza berdecak. Dia menusuk sebuah sosis dan menggigitnya besar. Kemudian tersadar bahwa dia hanya mengambil satu sosis ayam yang mungkin saja sudah diincar Adnan. Dia mengunyah sosis di mulutnya, lalu menelannya buru-buru.
"Kamu mau sosis ini?" tanya Yuniza. Dia menyodorkan sosis yang ditusuk garpunya untuk menegaskan.
Adnan mengernyit, melirik sosis, baru membalas, "Apa rasanya enak?"
"Enak." Yuniza mengangguk.
"Sosis lain pasti sama enaknya. Aku bisa makan yang lain."
"Kamu nggak marah?"
"Marah? Aku? Bukannya kamu?"
"Kenapa aku marah?"
"Kamu..." Adnan menunjuk sosis itu. "Mau menyuapi aku," lanjutnya dengan suara menurun.
"Hah? Ng-nggak." Yuniza menarik sosis itu. Dia sangat malu.
Adnan tertawa sambil menahan tangan Yuniza, lantas mengambil garpu di tangan itu menggunakan tangan yang lain. "Bilang saja kalau sosis ini bukan selera kamu dan mau memberikannya ke aku," kata Adnan.
"Ha..." Yuniza termangu.
"Apa kamu sama seperti Akbar?"
"Akbar?" Yuniza belum menangkap maksudnya.
"Akbar biasa memberikan makanan yang sudah digigit sedikit ke orang lain kalau dia nggak suka rasanya."
"Oh..." Yuniza tertawa getir. Dia disamakan bocah atas kebiasaan yang tidak dia punya.
Adnan melahap sosis bekas Yuniza. Melihat itu, perasaan miris Yuniza lenyap berganti bahagia. Mungkin tidak masalah jika sesekali disamakan bocah. Toh, bekas gigitannya dimakan Adnan tanpa rasa jijik.
Adnan tak tahu bahwa dia sudah menyemai benih harap di hati seorang gadis.
###
06/02/2024
udah 2 kittens aku bye the world dalam waktu berdekatan. aku rehat di weekend buat ngatur diri. kehilangan dua dedek bulu tu sedih banget. lagi lucu2nya, mendadak pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro